Tiada hari tanpa perang, itulah gambaran yang terjadi di benua Majang saat ini.
Entah apa tujuan utama peperangan yang tidak pernah diketahui kapan berakhirnya, semuanya hanya mengakibatkan kerusakan, kehancuran bahkan kematian.
Seorang anak kecil berusia sekitar enam tahun tampak tertatih merangkak dari tumpukan mayat yang semakin hari terus membusuk, ia mencoba peruntungannya mencari sesuatu yang bisa ia temukan untuk mengisi perutnya yang lapar.
Dengan sisa tenaganya ia terus merangkak di antara tumpukan mayat yang berserakan di sekitarnya.
Tubuhnya kotor bermandikan darah dan bau amis dari tubuh-tubuh mati yang mengenainya, tanpa lelah ia terus mencari apa pun yang bisa dimakannya.
Wajahnya begitu pucat, matanya sayu dipadu dengan giginya yang terus beradu menahan lapar di perutnya.
Bau busuk yang menyengat tak lagi dihiraukannya, ia terbiasa melihat dan menyentuh potongan tubuh dan darah yang berceceran.
Beruntung, lokasinya tidak jauh dari kotak kayu logistik yang berserakan.
"Ah, akhirnya aku menemukan makanan" ucapnya penuh haru setelah membuka kotak kayu di dekatnya.
Tanpa peduli apakah makanan itu masih bisa dimakan atau tidak, ia dengan lahap memakan banyak makanan yang terbuat dari ketela dan umbi umbian yang dikeringkan.
Suara langkah kuda dari kejauhan mengejutkannya, ia yang sedang asyik mengunyah langsung bersembunyi ke dalam tumpukan mayat.
Tampak terlihat dua orang pria berpakaian prajurit semakin mendekatinya.
"Hei, apa kau yakin ada sumber makanan yang tersisa di sekitar sini?" Tanya seorang pria berbadan kurus.
"Ya, aku yakin di sini lokasinya, lihatlah tumpukan mayat para prajurit itu, dari seragamnya mereka bukanlah prajurit tempur, aku yakin mereka prajurit pembawa logistik" jawab pria satunya setelah mengamati.
"Lihat itu ada kotak kayu yang berserakan, ayo kita ke sana" ajak pria kurus dengan sumringah.
Sesampainya, kedua pria langsung turun dari kudanya kemudian memeriksa kotak kayu yang ditemukannya.
"Hei, ini terlihat seperti baru dibuka, coba kau perhatikan makanan ini nampak bersih, padahal tutupnya telah terbuka" ungkap pria sedikit gemuk itu kepada temannya.
"Sepertinya masih ada yang hidup, apa kita akan memeriksa mayat-mayat ini?" tanya pria kurus penasaran.
"Tidak perlu, kita sebaiknya membawa kotak yang masih utuh lalu bergegas kembali ke kamp" jawabnya.
Keduanya lalu pergi dengan masing-masing membawa dua kotak berisi makanan.
Anak kecil yang dari tadi terus mendengarkan akhirnya bisa bernapas lega.
"Syukurlah" lenguhnya lalu keluar dari tempat persembunyiannya.
Ia kemudian memperhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada lagi orang yang datang ke tempatnya.
Setelah merasa suasana sudah aman, anak kecil itu kemudian mengemas makanan yang tersisa dan memasukkannya ke dalam bajunya lalu pergi ke arah sungai dengan tergopoh-gopoh karena kondisi tubuhnya yang masih lemah.
Namun baru beberapa langkah ia berjalan, tubuhnya terhuyung ke kanan ke kiri tidak seimbang merasakan pusing yang begitu hebat lalu jatuh tak sadarkan diri.
Beberapa hari kemudian anak kecil itu tersadar dari pingsannya.
"Makananku! Syukurlah, masih ada" ucapnya yang langsung teringat akan makanannya.
Anak kecil itu kembali melanjutkan perjalanannya, kali ini tubuhnya jauh lebih baik dari sebelumnya, ia mulai berjalan dengan normal melangkahkan kakinya ke arah sungai tak jauh dari kampung yang menyisakan puing-puing bekas peperangan.
Bola matanya berbinar ketika melihat aliran sungai begitu jernih melintasi bebatuan di sekitarnya, tanpa sabar ia langsung membuka bajunya dan terjun melompat ke dalam sungai.
"Ah, segarnya" ucap si anak begitu senang bisa kembali merasakan segarnya air yang membasahi seluruh tubuhnya, tak lupa ia juga meminum air sambil menyelam.
Ia teringat pakaiannya yang kotor lalu segera mengambilnya dan menyucinya seperti apa yang pernah ia lihat dari ibunya ketika mencuci.
Setelah selesai membersihkan diri dan pakaiannya, si anak langsung telentang menatap langit sambil menunggu pakaian yang dijemurnya kering.
Di bawah pohon yang menjulang tinggi dan terik matahari yang samar menyinarinya, si anak teringat akan nasib keluarganya yang mati terbunuh dalam perang.
"Ibu, Ayah, Kakak, Kakek, Nenek dan semua keluargaku, maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu kalian" lirihnya dengan derai air mata membasahi pipinya.
Terus menangisi nasibnya, si anak sampai tertidur pulas dengan sendirinya.
Hari berganti malam, deru angin menyeruak menerpa tubuh mungilnya yang tidak mengenakan apa pun, si anak terbangun merasakan kedinginan lalu bergegas mengambil pakaian yang telah dijemurnya dan langsung memakainya.
Gelapnya malam dan semilirnya angin menyebarkan bau bangkai dari tumpukan mayat yang kebanyakan merupakan warga kampung, tidak sedikit pun membuatnya takut dengan suasana yang begitu mencekam di keheningan malam.
Ia telah menyaksikan sendiri betapa mencekamnya suasana perang di mana banyak tubuh yang terhunus tombak, kepala yang terpisah dari badannya, bagian tubuh yang terpotong, semburan darah yang menggenangi tanah dan bahkan sanak keluarganya meregang nyawa di hadapannya.
Ia hanya mengingat apabila orang mati harus dikuburkan, seperti yang biasa orang kampung lakukan sebelum akhirnya menjadi medan peperangan.
Inilah waktu yang ia tunggu di mana tidak terdengar lagi suara jeritan dan peraduan logam yang saling bersahutan.
Langkah kakinya dengan cepat menuju bilik rumahnya yang telah rata, ia mengambil cangkul milik mendiang kakeknya.
Tangan mungilnya dengan tertatih terus mengayunkan batang cangkul menggali tanah tak jauh dari rumahnya.
"Ah, sialan! Kenapa masih ada orang yang datang, aku hanya ingin mengubur jasad keluargaku" keluhnya dengan kesal mendengar suara langkah kuda dari kejauhan.
Ia kemudian bersembunyi di balik batang pohon yang tergeletak tak jauh dari tempatnya menggali.
Tak lama kemudian seorang pria tua dengan jenggot putihnya yang panjang tiba di dekat lubang yang digali si anak.
"Keluarlah anak manis, kakek tidak akan menyakitimu" pinta si kakek berpakaian serba putih langsung turun dari punggung kuda.
Si anak tampak ragu, namun setelah memperhatikan si kakek yang wajahnya terlihat baik, ia memberanikan diri keluar dari persembunyiannya.
"Kakek siapa?" tanya si anak memberanikan diri.
"Ha ha ha, mungkin kau akan terkejut mendengarnya karena kakek bukan dari benua ini" jawab si kakek sambil mengelus jenggotnya.
"Hem, kau bisa panggil aku kakek Zhang, namaku Tang Xie Zhang, aku dari benua Matahari di bagian timur jauh" imbuh si kakek.
"Sekarang siapa namamu anak manis?" balik tanya si kakek.
"Aku dipanggil ujang oleh keluargaku, tapi aku sendiri tidak tahu siapa namaku" jawab si anak hanya tahu nama panggilnya.
(Ujang adalah panggilan untuk anak laki-laki di pulau Batik bagian barat benua Majang).
"Oh begitu rupanya, baiklah kakek akan berikan nama baru untukmu, namamu adalah Tang Xie Jingga, apa kau suka nama barumu itu?" ucap kakek Zhang memberikan nama.
"Aku suka Kek, walau aneh terdengarnya, namaku sekarang adalah Jingga" sahut si anak begitu senang mendapatkan nama baru.
Jingga yang terlihat senang seketika raut wajahnya berubah murung, hal itu membuat kakek Zhang mengerutkan alisnya.
"Baru saja wajahmu terlihat bahagia, sekarang malah terlihat murung, kenapa? ceritakanlah sama kakek" tanya kakek Zhang.
Jingga mendongakkan kepalanya menatap kakek Zhang dengan lekat, ia sendiri tidak memahami apa yang terjadi pada perubahan perasaannya.
Ia hanya menggelengkan kepalanya sambil memaksakan segaris senyuman di bibirnya yang mungil.
"Oya Kek, bagaimana kakek bisa tahu keberadaanku di sini?, padahal selama ini aku terus bersembunyi di antara banyak mayat" tanya Jingga ingin tahu.
Kakek Zhang tersenyum lembut menanggapinya lalu menjawab,
"Kakek bisa merasakan adanya kehidupan walaupun letaknya sangat jauh"
"Hem, tadinya kakek tidak akan menemuimu, namun kakek kagum di usiamu yang begitu muda bisa begitu tegar dengan kehidupan seperti ini" imbuhnya menjelaskan.
"Kakek berniat membawamu ke benua Matahari, apa kau mau ikut bersama kakek?, setidaknya kau bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik di sana" ajaknya.
"Apa aku tidak akan gosong Kek, tinggal di benua Matahari?, matahari di sini saja sudah membuatku kepanasan" jawabnya dengan polos mendengar kata matahari yang disampaikan kakek Zhang.
"Ha ha ha, kau ini ada-ada saja, benua Matahari hanyalah sebuah nama karena letaknya berada di timur matahari, sebentar lagi mentari akan terbit, apa kau tidak mengantuk cucuku?" jawab kakek Zhang lalu bertanya.
"Tidak Kek, aku harus mengubur jasad orangtuaku dulu juga jasad keluargaku yang lain, supaya mereka tenang di alam sana" jawabnya lugas.
"Mayat semua orang sudah begitu busuk bahkan sudah hampir habis dimakan belatung, tentunya tidak baik untuk kesehatanmu, bagaimana kalau kakek bakar saja semuanya" tawar kakek Zhang sebagaimana menjadi hal biasa di tempat asalnya.
"Tapi aku mohon untuk jasad kedua orangtuaku aku harus menguburnya, untuk yang lainnya terserah kakek saja" sahut Jingga memintanya lalu menarik jasad ibunya.
Kakek Zhang tersenyum melihat seorang anak kecil dengan susah payah menarik jasad ibunya yang bahkan tidak bergeser sedikitpun.
Dengan kemampuannya, kakek Zhang menjentikkan jari ke tanah bekas galian yang telah dibuat oleh Jingga.
"Gempa Kek, ada gempa!" teriak Jingga merasakan tanah pijakannya bergetar hebat.
Setelah lubang kubur dirasa cukup untuk menampung sekitar delapan orang, kakek Zhang memindahkan jasad ibunya Jingga ke liang lahat.
Jingga terbengong melihat jasad ibunya terbang lalu masuk ke dalam kubur, kakek Zhang memintanya menunjuk jasad keluarganya Jingga yang lain untuk dikuburkan di liang lahat yang sama.
Jingga terus berlarian menunjukkan jasad keluarganya dibantu oleh kakek Zhang yang kemudian memindahkannya ke dalam kubur satu persatu.
"Kakek, apakah kakek seorang penyihir? bagaimana caranya kakek bisa memindahkan jasad keluargaku tanpa menyentuhnya?" Jingga dengan terkagum menanyainya.
Kakek Zhang hanya tersenyum menjawabnya lalu memindahkan gundukkan tanah mengubur semua jasad keluarga Jingga.
"Ayo kita pergi sekarang" ajak kakek Zhang tanpa menunggu jawaban langsung menggendong Jingga lalu memindahkannya ke punggung kuda.
"Kakek bagaimana dengan mayat warga kampung? katanya kakek mau membakarnya" Tanya Jingga.
Kakek Zhang mengacuhkannya sambil terus memacu kudanya menjauhi kampung dan medan pertempuran yang dilaluinya.
Setelah cukup jauh berada di atas bukit, kakek Zhang berhenti lalu berbalik menatap medan perang termasuk keberadaan kampung-kampung di sekitarnya.
Dari telapak tangannya keluar bola api berwarna keemasan sebesar genggaman tangan lalu melemparkannya, bola api semakin membesar langsung membakar semua yang mengenainya, Jingga menutup matanya karena terpapar cahaya yang semakin menyilaukan.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan begitu cepat kuda berlari terus menerus, di sepanjang perjalanan Jingga melihat banyak bangkai manusia yang tergeletak nyaris menyisakan tulang belulang, betapa peperangan begitu dahsyatnya merenggut nyawa setiap orang.
"Kek, kenapa di dunia ini harus ada perang?" tanya Jingga merasa pilu mengingat bagaimana keluarganya terbunuh dalam perang.
"Pada dasarnya setiap kerajaan maupun kekaisaran memiliki ego untuk saling menguasai satu sama lain, itulah salah satu yang menyebabkan terjadinya peperangan" jawab kakek Zhang sesederhana mungkin.
Jingga yang mendengarnya tidak mengerti sama sekali, yang ia tahu perang hanya membuat orang orang mati, rumah hancur dan alam menjadi rusak.
Hari pun berganti malam, keduanya berada di tengah hutan rimba yang lebat.
"Sebaiknya kita istirahat dulu, bukankah kau sudah lapar sekarang?" tawar kakek Zhang lalu keduanya turun dari punggung kuda.
Jingga yang terbiasa tidak makan selama terjadinya perang tidak begitu merasakan lapar, namun ia merasakan lelah setelah hampir seharian menempuh perjalanan panjang.
"Tunggulah di sini, kakek akan memburu binatang untuk makan malam kita" pintanya menambahkan.
"Baik kek" sahut Jingga lalu duduk tak jauh dari kuda.
Dalam duduknya, Jingga kembali teringat akan keluarganya, terutama ibunya yang begitu menyayanginya.
"Ibu, suatu hari nanti aku akan berusaha menjadi orang yang berguna seperti yang Ibu inginkan" gumam batinnya mengingat mendiang Ibunya.
"Itu bagus, namun kau juga harus menjadi orang kuat dan hebat untuk bisa mendamaikan kaummu suatu hari nanti" ujar kakek Zhang menimpali.
Jingga bingung mendengarnya, bukan tidak memahaminya, namun bagaimana bisa kakek Zhang mendengar apa yang batinnya ucapkan.
Kakek Zhang hanya tersenyum lembut melihat tatapan heran dari Jingga.
"Sudah jangan menatap kakek seperti itu, sebaiknya kamu membantu kakek memanggang kambing ini" pinta kakek Zhang yang sedang menguliti kambing hasil buruannya.
Jingga bingung bagaimana membantu kakeknya, ia tidak mengerti sama sekali bagaimana membantunya. Dengan polosnya Jingga hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Aku bantu makannya saja ya kek, hehe" ucap Jingga begitu polos.
Setelah matang, keduanya begitu lahap menyantap kambing panggang sampai Jingga bersendawa saking kenyangnya, namun rasa kambing panggang yang lezat memaksa mulutnya terus mengunyah. Kakek Zhang sampai terpingkal dibuatnya.
"Sudah, sudah, sebaiknya kau bersiap tidur, besok pagi kita lanjutkan perjalanan" ujar kakek Zhang yang tidak berhenti dibuat tersenyum oleh tingkah laku Jingga cucunya.
Dengan perut yang terisi penuh oleh daging kambing membuat Jingga sulit bergerak, ia langsung berbaring tertidur lelap karenanya.
Kakek Zhang menyelimutinya lalu bermeditasi tak jauh dari cucunya.
Baru saja matanya terpejam dalam meditasi, pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki semakin mendekat ke arahnya.
Tak ingin cucunya sampai terbangun dari tidurnya, kakek Zhang membuat dinding formasi menutupi keberadaan mereka termasuk kudanya.
Sebelumnya ketika kakek Zhang sedang memanggang kambing hasil buruannya, kepulan asap membumbung tinggi ke udara.
Beberapa orang kampung Rimba yang mendiami hutan melihat adanya kepulan asap di arah selatan area hutan.
Khawatir akan terjadinya kebakaran hutan, kepala kampung langsung mengumpulkan warga kampung Rimba lalu memerintahkan kepada empat pemuda untuk meninjau langsung lokasi mencari sumber asap.
"Maman, Endang, Endin dan Uteng, kalian segera ke sana mencari sumber asap, beri tanda dengan panah apabila terjadi kebakaran lalu kembali melaporkan kepadaku" perintah kepala kampung dengan tegas.
"Baik pak kepala" jawab keempatnya serentak lalu pergi menuju ke selatan area hutan.
Keempat pemuda langsung bergegas meninggalkan kampung Rimba setelah membawa perlengkapan.
Di kedalaman hutan, keempatnya semakin cepat melangkah menuju sumber asap, namun semakin lama mereka melangkah, tidak ditemukan tanda-tanda bekas pembakaran yang mereka cari.
"Ini aneh, tadi kita dengan jelas melihat kepulan asap dari kejauhan, namun kenapa semakin kesini kita tidak menemukan bekasnya sama sekali" ujar seorang pemuda berusia dua puluhan terlihat bingung.
"Betul katamu, harusnya kita sudah berada dekat dengan sumber api" timpal seorang pemuda gemuk di belakangnya.
"Apa sebaiknya kita kembali saja, aku merasa tidak nyaman berada di dalam hutan ini" ucap seorang pemuda kurus mulai ketakutan.
"Alah, kau ini benar benar penakut, aku tidak akan mundur sebelum menemukan sumber api yang kita cari, bagaimana menjelaskannya kepada kepala kampung kalau pencarian kita nihil tidak menemukan apa pun?" celetuk seorang lagi yang terus mengayunkan goloknya merintis jalan.
Keempat pemuda itu lalu memutuskan melanjutkan perjalanan mencari sumber api.
"Tunggu, apakah kalian mencium bau kambing di sekitar sini?" Tanya Maman pemuda berusia dua puluhan menghentikan langkah ketiganya.
Ketiganya berhenti lalu mencium bau di sekitarnya dengan mengenduskan penciumannya.
"Ya, aku menciumnya, baunya sangat lezat, sepertinya kita sudah dekat dengan sumber api tadi" sahut Endang yang berbadan gemuk.
"Kata nenekku, kalau mencium bau kambing di dalam hutan tandanya ada Genderuwo" celetuk Endin semakin ketakutan.
"Kau ini selalu saja membual, dasar penakut!" timpal Uteng sedikit geram dengan ucapan temannya.
"Tapi ada benernya juga ucapan si Endin, ibuku juga bilang begitu, aku mau kembali sekarang" ucap Maman membenarkan ucapan Endin lalu berjalan cepat meninggalkan ketiga kawannya.
"Man tunggu, aku ikut pulang" teriak Endin lalu menyusulnya.
Endang dan Uteng saling pandang, tak ingin ketinggalan, keduanya berlari pergi menyusul keduanya.
"Woi Man, Endin, tunggu!" teriak Endang yang kesulitan mengejar karena badannya yang gemuk.
Maman dan Endin langsung berhenti menunggu kedua temannya yang tertinggal jauh di belakang.
Sambil ngos-ngosan Endang dan Uteng berhasil menyusul kedua temannya.
"Tunggu dulu, apa yang akan kita laporkan kepada kepala kampung?" tanya Uteng sambil mengatur napasnya yang berat.
Maman dan Endin tidak langsung menjawabnya, keduanya mendongak ke atas memperhatikan langit malam yang tidak ditemukan lagi adanya kepulan asap.
"Lihatlah ke atas, tidak ada lagi kepulan asap, itu berarti tidak ada kebakaran yang terjadi, kita bisa menyimpulkan ada orang yang sedang membakar kambing lalu pergi entah kemana" jawab Maman santai.
ketiganya mengangguk membenarkan perkataan Maman lalu berjalan pulang ke kampung Rimba.
Hari pun berganti, Jingga terbangun dari tidurnya lalu memperhatikan kakek Zhang yang duduk dalam posisi bersila di dekatnya.
"Kau sudah bangun cucuku?" Tanya kakek Zhang masih memejamkan matanya dalam posisi meditasi.
"Sudah kek, apa kakek sudah bangun dari tadi?" Jawab Jingga balik bertanya.
"Ya, ayo kita lanjutkan perjalanan kita" jawab kakek Zhang membuka matanya lalu beranjak bangkit kemudian menggendong Jingga menaiki punggung kuda.
Perjalanan hari ini terasa berbeda dengan hari kemarin, tidak lagi terlihat kerusakan akibat perang atau pun mayat korban perang, kali ini keduanya menelusuri perkebunan luas di kaki bukit.
"Kek, banyak buah-buahan yang matang, bolehkah aku mengambilnya?" Pinta Jingga yang dari tadi meneteskan saliva melihatnya.
"Hahaha, baiklah, biar kakek saja yang mengambilnya" sahut kakek Zhang lalu menghentakkan jarinya menarik beberapa buah yang sudah matang.
"Tangkap Cu!" Serunya dengan cepat buah-buahan terbang ke arahnya lalu disambut oleh Jingga dengan menangkupkan kedua tangannya menangkap buah-buahan yang beterbangan ke arahnya.
"Hore! Terima kasih Kek" ucapnya gembira.
Keduanya begitu asyik memakan buah dengan suasana yang begitu damai.
Tak berselang lama, langit yang cerah berubah menjadi gelap gulita, keduanya mendongak ke atas melihat apa yang terjadi.
"Kakek aku takut" ucap Jingga merasakan kengerian melihat hujan panah beterbangan di atasnya menutupi sinar matahari.
Kakek Zhang lalu menghentikan laju kuda berbalik arah karena merasakan getaran tanah semakin keras.
"Perang lagi" gumam kakek Zhang lalu menghembuskan napas.
"Jangan takut Cu, ada kakek, kita tunggu sampai langit kembali cerah" ujarnya menenangkan Jingga yang terus memejamkan mata sambil menutup kedua telinganya.
Setelah celah langit kembali terbuka, kuda poni mengeluarkan sayapnya lalu terbang ke awan dengan kecepatan tinggi.
"Kakek kita terbang kek! Yuhuu" teriak Jingga merasakan pertama kali terbang.
Kakek Zhang hanya tersenyum simpul memperhatikan cucunya yang begitu senang berada di atas awan.
"Lihatlah ke bawah, perkebunan berubah menjadi arena pertempuran, harusnya ini musim panen petani mengais rezeki, sangat disayangkan" ucap kakek Zhang yang terus memperhatikan peperangan yang terjadi di bawahnya.
Gemuruh dari ribuan manusia yang saling menghantamkan logam dan teriakan yang terus bersahutan meninggalkan pilu pada kedua orang yang terus memperhatikan peperangan di bawahnya.
Kegembiraan yang dirasakan oleh Jingga berubah menjadi ratapan kesedihan, mengingatkannya pada waktu peperangan yang merenggut keluarganya.
"Apa kakek tidak bisa menghentikan perang di bawah sana?" Tanya Jingga yang masih fokus melihat ke bawah.
"Ha ha ha, perang akan terus terjadi walau kakek ikut mencampurinya, itu menjadi tugasmu nanti ketika dewasa, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan" jawab kakek Zhang.
Dengan menempuh udara, perjalanan keduanya jauh lebih cepat, tinggal beberapa tarikan napas lagi keduanya akan sampai di pelabuhan Dadali wilayah barat benua Majang.
Angin yang berhembus kencang di langit membuat Jingga merasakan kantuk yang pada akhirnya ia terlelap mendekap punggung kuda poni yang membawanya terbang.
"Bangun Cu, kita sudah sampai di pelabuhan" ucap kakek Zhang lalu memangku Jingga ke dalam dekapannya.
Seketika perisai pelindung yang menyembunyikan keberadaan kapal selama kepergian kakek Zhang terbuka.
Tampak beberapa orang begitu senang melihat kedatangan kakek Zhang yang tak lain adalah seorang Jenderal di kekaisaran.
"Jendral kembali" teriak seorang petugas mengabarkan.
Suara teriakan yang melengking akhirnya berhasil membangunkan anak kecil yang masih terlelap di pangkuan kakek Zhang.
Jingga membuka kedua matanya, ia menoleh ke arah suara, betapa terkejutnya ia melihat kapal besar di depannya.
"Besar sekali, ini apa kek?" Tanyanya yang langsung membesar kedua bola matanya menatap kapal yang begitu megah.
"Ini kapal milik kekaisaran Xiao yang akan membawa kita ke benua Matahari" jawab kakek Zhang.
"kakek Zhang, turunkan aku" pinta Jingga yang tidak sabar ingin memasuki kapal.
Dengan lembut kakek Zhang menurunkannya, Jingga berlarian di atas dek kapal ke sana kemari.
"Lin Fang, kau jaga cucuku, jangan biarkan ia terjatuh" perintah kakek Zhang kepada anak buahnya.
"Baik Jenderal, hamba akan menjaganya" sahut Lin Fang langsung mengejar Jingga yang berlarian di atas kapal.
Kakek Zhang kembali tersenyum melihat tingkah anak kecil yang dibawanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!