Because You Were There
10.09 WIB. Selasa. Bulan Ketiga.
Gedoran pintu dari kepalan tangan mungil itu terus berdebum menghasilkan musik di pagi hari yang sangat dapat merusak gendang telinga. Terutama bagi orang yang ada di balik pintu kamar mandi. "Re! Ini udah jam berapa?! Lo inget, kan hari ini manggung di Plaza!" pekikkan dari pemilik suara mezzo-sopran yang menggema ke seluruh ruangan. "Lo mandi apa mati, sih?!"
Tangannya tak berhenti menggedor pintu. Ia sangat khawatir. Ini sudah setengah jam cowok itu di dalam kamar mandi. Apa jangan-jangan Re kepeleset terus kepalanya kejedot lantai sampai darahnya ngucur?
Gadis itu bergidik ngeri memikirkannya. Pikiran Alena, kan, jadi liar kalau cowok itu nggak keluar-keluar terus. "Re! Ini udah jam sepuluh! Lo manggung jam sebelas. Gue nggak punya pintu kemana aja, lo harus naik mobil ke sana. Belom jalanan macet, Re!" pekikkan gadis itu yang lagi-lagi tak mendapatkan sahutan apapun. "Re!" sentaknya sekali lagi.
"GANDENG AI SIA!" (Berisik lo!)
Akhirnya suara cowok itu terdengar juga di telinga Alena yang kini bisa menghembuskan napas lega. Kebiasaannya tak kunjung berubah, Re memang begitu kalau emosinya sudah sampai puncak, pasti Bahasa Sunda kasar yang muncrat dari bibirnya. Tangannya pun ia turunkan ke sisi tubuh masih menatap pintu kamar mandi.
"Yaudah buruan kel—"
Pintu yang berderit perlahan sukses membuat mata Alena membulat sempurna. Ia pun mengangkat dua tangannya sekilat mungkin guna menutup mata. "AAAH! Gue bukan cewek murahan, ya. Maksud gue ada di sini bukan untuk beginian," celotehnya terus menggeleng-gelengkan kepala.
Kernyitan terukir jelas di dahi Re begitu melihat reaksi gadis itu yang sangat berlebihan menurutnya. "Apaan, sih maksud, lo?!" sewotnya.
"Handuk lo merosot tuh!"
Pandangan ia turunkan dan matanya terbelalak karena ucapan gadis itu benar. Untung, gadis itu sudah menutup matanya sedari tadi. Hampir aja gadis itu mel—ya, gitulah. Re segera melilit handuknya dengan benar kali ini menutupi pusar sampai lutut dan kembali memasang wajah dinginnya seraya melipat tangan di depan dada. "Nggak usah munafik! Gue tahu lo ngintip dari celah jari lo," tudingnya.
Alena meringis. Yah ketahuan, deh. "Enak aja lo!" sanggahnya.
Alena memang mengintip tapi bukan di saat handuknya Re merosot. Alena tak mau mata suci ini ternodai oleh hal-hal yang tak sepatutnya ia lihat. Jemarinya masih menempel di atas mata yang sekarang ia regangkan lagi sedikit. Yang kayak gini, nih, yang namanya dilihat dosa tapi nggak dilihat sayang. Jarang-jarang, Alena bisa lihat Re hanya memakai handuk putih saja hingga menampilkan otot perutnya yang jelas terbentuk.
"Udah puas mandangin gue?" tanya Re ketus yang membuat Alena gelagapan. Ia pun membalikkan tubuhnya cepat.
"Ge-er banget, sih, lo!" tukasnya. "Udah sana buruan ganti baju. Lo udah telat."
Re menggeram, "Salah siapa gue bangun telat kayak gini?! Dasar Aspri nggak becus," ucapnya serius. "Lo mau gue pecat, hah?!"
Alena mendengkus sebal. Kalau bukan karena lembaran kertas berharga yang ia butuhkan, Alena bakal mikir dua kali jadi asisten pribadi Re alias penyanyi muda yang lagi booming tahun ini. Selain karena suara emasnya yang memang merdu dan menenangkan hati siapapun yang mendengar, wajah tampannya pun semakin menaikkan pamor keartisannya. Ia benar-benar idola remaja tahun ini.
"Lo nggak bakal bisa mecat gue," balas Alena tak mau kalah.
"Kenapa gitu? Lo nggak ada di situasi yang bisa ngancem gue," timpal Re menatap rambut lurus gadis itu yang masih memunggunginya.
"Lo lupa? Manajer lo—Om gue. Dan dia yang udah nyeret gue jadi asisten pribadi lo. Jadi gue cuma mau keluar kalau Om Jun yang mecat gue."
Alena tahu bahwa Re sangat menghargai Om Jun dan tidak berani mengecewakan pemuda itu karena jasanyalah Re bisa terkenal seperti sekarang. Jadi, tak mungkin Re bisa melawan ketetapan Om Jun.
Cowok itu membuang napas kasar. Re tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis yang seumuran dengannya ini. Sudah diusir berulang kali, tetep aja ngotot buat stay. Re sangat membencinya. Re benci orang yang selalu melawan tiap perkataannya, yang tidak mematuhi perintahnya, yang sangat lancang ikut marah kalau Re lagi marah. Otoriter, itulah sifat Re.
"Kalau gue nggak bisa mecat elo. Gue bakal buat lo menderita sampai surat pengunduran diri lo ada di tangan gue," ancamnya menyeringai.
Alena meneguk. "Siapa takut?" tantangnya yang diterima Re dengan senang hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
🌼mami cia🌼
kok gak bisa like ya,,,server eror.
2021-09-11
0
nagita andreas🎄
keren
2020-08-08
0
Rista Manurung
C
2020-06-26
0