Bab 3

"Great!" sarkas Re pada Alena di dalam mobil yang dihentikan di pinggir jalan karena sudah tak ada alasan lagi bagi mobil ini untuk melaju.

Alena hanya bisa menunduk malu di samping idolanya di jok penumpang. Suara Re yang lembut tadi malam benar-benar membuatnya terlelap hingga ia terlambat bangun sampai tak bisa membangunkan Re untuk bersiap menuju Hotel tempat penyanyi itu manggung hari ini.

Acara dimulai pukul 11.00 namun Re baru ada di perjalanan pukul 12.00 siang dan terjebak dalam kemacetan. Akibatnya pihak hotel membatalkan sepihak perjanjian hingga Re gagal manggung hari ini. Bukan hanya itu saja, tapi agensi Re juga harus membayar denda karena pelanggaran perjanjian.

Re sangat kesal dan ikut merasa malu karena telah mengecewakan Mas Jun manajernya terutama malu pada pihak agensinya. Ia harusnya tampil di acara ulang tahun itu. Alih-alih mendapat bayaran yang cukup menggiurkan malah harus membayar denda karena Re tidak jadi datang ke acara tersebut.

Ini semua karena asisten pribadinya yang tidak becus!

"Lo niat kerja, nggak, sih?! Gue nggak butuh orang yang banyak ngomong tapi nggak ada hasilnya," kesal Re.

Perlahan-lahan Alena mengangkat kepalanya, memberanikan diri. "Ya namanya juga gue kesiangan. Lagian kenapa lo nggak bangun sendiri aja. Gue nggak tahu kalau kerjaan gue harus bangunin lo juga," bela Alena mengerutkan keningnya.

Re membuang napas kasar. "Kalo gue bisa bangun sendiri, gue nggak butuh asisten, kali! Mikir, dong! Udah salah, nyolot lagi."

Alena tak merasa ini semua 100% kesalahannya. Ia benar-benar tidak tahu jika harus membangunkan Re adalah bagian dari tugasnya. Jadi Alena tidak memasang alarm dan malah kebablasan tidur sampai pukul 9 pagi. Yah, apalagi ia sedang menstruasi jadi tidak perlu bangun subuh untuk ibadah, juga menjadi faktor penambah keterlambatan bangunnya.

"Yaudah, gue minta maaf. Ini memang sepenuhnya kesalahan gue," ringis Alena tak tahu lagi harus berbuat apa. "Gue emang asisten paling bodoh sampe nggak bisa bangunin elo."

"Emang," timpal Re. "Tahu diri juga, lo." Alena hanya bisa sabar mendengar itu.

Re langsung ambil majalah di sampingnya sembari menyandarkan kepala pada kursi jok dan menutup wajahnya dengan majalah yang ia lebarkan. "Sumpah, gue nggak mau ngeliat muka lo lagi," geramnya.

Alena menghela napas panjang. "Gue kan udah minta maaf. Gue janji nggak bakal ngulangin kesalahan yang sama lagi, Re," bujuknya.

Ia tidak tahu mengapa ia berusaha sekeras mungkin agar Re mau memaafkannya. Apakah benar ini hanya tekad agar ia tidak mengecewakan Om Jun atau tekad agar Re jangan sampai benar-benar membencinya? Alena merasa dua alasan itu berbanding sangat tipis.

"Ngundurin diri, baru gue maafin lo," datarnya penuh ancaman.

Alena terhenyak. "Nggak! Gue nggak bakal ngundurin diri. Coba pikirin cara lain biar lo bisa maafin gue," ujarnya, membujuk.

"Tapi gue males liat muka lo! Lo udah ngehancurin mood gue sehancur-hancurnya tahu, nggak! Kalo udah gini gue juga jadi males buat manggung di tempat lain," keluh Re masih dengan wajah yang tertutup majalah dan napasnya yang kian tersengal.

Alena baru mengetahui jika Re adalah orang yang terlalu dikuasai oleh mood-nya. Apabila mood-nya sudah hancur, Re takkan mau melakukan apapun sampai ada moodbooster yang bisa mengembalikan suasana hatinya.

Apa Alena benar harus pergi agar idolanya ini mau bernyanyi kembali? Tapi bagaimana dengan biaya sekolah Alena? Ah, mengapa ia harus berada di situasi yang menyedihkan seperti ini?

Alena telah membuat keputusan. Ia tidak akan mengundurkan diri karena urusan sekolahnya lebih penting. Baiklah, demi sekolah. Alena mulai lagi merayu Re agar cowok itu mau memaafkannya.

"Re, lo bisa minta apapun, deh. Pasti gue kabulin asal tidak melanggar norma asusila dan norma agama. Maafin gue, ya?" melas Alena.

Ia tidak percaya harus membuang sejauh mungkin harga dirinya demi biaya sekolah. Sungguh menyedihkan.

Keheningan menggantung di udara semakin membuat Alena cemas. Sampai satu kata keluar dari bibir cowok itu yang malah semakin membuat perut Alena mulas.

"Apapun?"

Harga diri Alena pasti akan terinjak-injak setelah ini.

"Ya, apapun," jawabnya pasrah.

Re menurunkan majalah dari wajahnya dan mulai menegakkan tubuh untuk menggantungkan tangan kanan pada kursi jok penumpang sambil menatap Alena penuh kekesalan namun kian menenang seiring waktu.

Bola mata cokelat madu itu masih menatap kemilau kelabu miliknya. Ia sangat ketakutan apa yang akan Re katakan sebagai permintaannya.

Re menarik senyum misterius semakin membuat Alena menegang.

******

Dari balik jendela mobil yang ia turunkan sedikit hingga hanya menampakkan matanya saja. Re terbahak puas pada Alena yang sudah berdiri di tengah lampu merah lengkap dengan rambut yang sudah ia ikat sana-sini dengan karet gelang dan tulisan yang dikalungkan di leher gadis itu sudah seperti kambing qurban. Bahkan coretan lipstik pun sudah memenuhi wajahnya.

Rengginang sialan! Rengginang bego! Rengginang nggak punya hati. Dasar anak dajjal!

Bibir Alena terus merapalkan sumpah serapah pada Re yang berhasil membuatnya ditertawakan oleh semua pengguna jalan yang menunggu lampu merah berganti hijau. Mukanya sudah penuh dengan coretan dan tulisan yang dikalungkan ini semakin membuatnya terlihat bodoh.

Udah mirip Dijah Yellow, belum?

Banyak kamera ponsel yang mengabadikan momen ini dan Alena hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan. Saat ia melakukan itu, Re meneleponnya.

"Kenapa diem aja? Joget sana!" titah Re songong.

"Belom puas lo udah malu-maluin diri gue kayak gini!" kesal Alena.

Re menggigiti kukunya sambil bersandar pada jok memperhatikan gadis itu dari kaca gelap mobil. "Belom. Gue masih kesel liat muka lo. Lo nggak mau ngundurin diri aja, hah? Kasihan gue."

Andaikan air mata tidak akan menunjukkan kelemahan seseorang, Alena pasti sudah menangis sekarang. Rasa kesalnya sudah mencapai ubun. Namun ia harus menahannya daripada diejek oleh penyanyi sialan itu.

Re selalu mengulang kata mengundurkan diri sejak ancaman yang tadi pagi saat Re gagal memecat Alena yang bersikeras tak mau dipecat.

"Kalau gue nggak bisa mecat elo. Gue bakal buat lo menderita sampai surat pengunduran diri lo ada di tangan gue."

"Siapa takut?"

Ingatan itu mampu menguatkan tekad Alena untuk bertahan dari setan berwujud manusia bernama Re.

"Gue nggak bakal nyerah. Gue nggak akan pernah bikin surat pengunduran diri kalau bukan Om Jun yang minta ke gue."

Terdengar kekehan mengejek dari sana. "Batu banget, sih, lo. Yaudah sana joget! Dan gue nggak bakal maafin lo kalo lo sampe menyingkir dari tengah jalan."

Alena menghembuskan napas panjang. Di tengah jalan seperti ini, menghadap kemana pun sama saja. Ini kan lampu merah perempatan, tiap kendaraan yang mengantri untuk lewat pasti memfokuskan dulu pandangannya pada orang gila bernama Alena.

Tanpa mematikan sambungan teleponnya, Alena mengepakkan sayap kirinya dan mulai menggerakkan pinggulnya ke sana kemari. Entah tarian apa yang sedang ia gerakkan yang penting namanya joget.

Wajahnya kian memerah dan semakin memerah karena mendengar gelak tawa dari pengemudi dan sorakan-sorakan aneh.

"Kurang heboh gerakannya!"

"CCS! Cantik-cantik Setres!"

"Terangkanlah! Terangkanlah!"

"Neng, mending sini sama Om."

Re merasa perutnya tergelitik melihat cewek batu itu malah menuruti perintahnya. Padahal jalan keluar untuk bebas selalu Re buka lebar, tapi cewek itu yang memilih stay dan menderita. Apa ini salah Re?

Lampu merah sudah berganti kuning lalu hijau. Banyak pengendara yang melewati Alena menyisakan tawa dan adapun yang mengklakson karena menghalangi jalannya.

"Apa gue masih nggak boleh pergi dari sini?!" pekik Alena lewat ponsel. Tin! Tin! Deru klakson menyakiti telinganya.

Bukan jawaban yang ia dapat malah suara putusnya sambungan telepon.

"Re! Re, lo kemana?" cemas Alena lalu menghentakkan ke udara ponselnya dan melotot pada mobil yang masih terparkir di pinggir jalan tak jauh dari tempatnya berdiri.

Setelah memutuskan panggilan Re menyimpan ponselnya dalam saku kemeja dan bersandar sambil bersedekap. "Mang Yus, jalan," titahnya.

Mang Ayus langsung melebarkan matanya dan menggerakkan kaca spion depan mengarah pada Re. "Terus, si eneng-nya kumaha?"

"Nya tinggalkeun we," balasnya datar. "Buruan ah, keburu lampunya merah lagi," amuk Re.

Ayus hanya bisa mengangguk patuh dan menjalankan mobilnya melewati Alena yang membelalakkan matanya.

Dalam gerakan lambat, Alena dapat melihat Re di balik kaca mobil terus menatap lurus ke depan dengan tampang datarnya. Alena sontak memekik memanggil namanya keras sembari menggedor kaca jendela yang tengah melewatinya. Namun ... Re sama sekali tak berkutik.

Melihat kepergian mobil bosnya, mata Alena semakin berkaca-kaca. Perasaannya sudah gado-gado. Ia tak tahu mana perasaan yang dominan.

Kalau Re akan benar meninggalkannya, Alena akan teguh pendirian bahwa ia takkan kemana-mana biar Re tahu kalau Alena serius mau mendapatkan maaf darinya. Kalau ia serius mau memperbaiki kesalahannya.

Alena sudah lelah untuk berdiri, ia pun duduk bersila di tengah jalan yang sudah kembali menyalakan lampu merah.

Kamu jahat banget, sih! Re yang dulu nggak pernah kayak gini ke aku. Kalau kamu marah, ya tinggal bilang, nggak usah malu-maluin diri aku kayak gini. Kamu jahat, Re. Jahat banget.

*****

Tangan Ayus sudah gemetaran memegang kemudi karena merasa tak tenang meninggalkan gadis itu sendirian di sana. Berbagai kemungkinan hadir dalam otaknya semakin membuatnya cemas.

Bagaimana kalau Alena masih berdiri di sana? Bagaimana kalau gadis itu malah ditangkap polisi? Bagaimana kalau gadis itu diganggu sama anak jalanan? Parahnya lagi dibawa sama om-om genit?

Biasanya Ayus hanya diam saja jika berkendara membawa Re, karena ia tahu anak itu tak mau diajak bicara olehnya karena lelah selepas manggung. Tapi ini keadaan mendesak.

"A, kamu teh meni jahat pisan ninggalken si eneng. Kumaha mun terjadi sesuatu jeng si eneng? Heunteu khawatir kitu? Mang mah meni khawatir pisan," celotehnya yang panjang lebar jika sudah bicara membuat Re malas berbicara dengannya.

Re hanya terdiam mendengarkan sebelum berucap, "Salah dia sendiri."

Jawaban yang sungguh tidak diharapkan Mang Ayus.

"Muter balik we, nya?"

"Nggak!" tolak cepat Re.

"Nggak boleh, Re nggak mau satu mobil sama cewek setres itu," sambungnya.

Ia pun mengalihkan pandangan pada kaca jendela yang sudah tertitik rintikan air hujan. Mang Ayus hanya menghela napas pasrah dan melanjutkan menyetir.

*****

Derasnya hujan membasahi tubuh Alena yang belum berkutik untuk berpindah tempat padahal sudah dibujuk oleh beberapa orang untuk minggir. Sekarang, Alena terlihat seperti orang gila yang nyata.

Sejak rintikan mulai turun, ia langsung kelabakan untuk menyembunyikan ponselnya yang akan rusak bila terkena air hujan. Ini ponsel satu-satunya dan Alena takkan mampu untuk membeli lagi. Untungnya, ada anak kecil yang tiba-tiba keluar dari mobil dan menghampirinya dengan wajah prihatin lalu memberikan sekantong kresek yang sangat disyukuri oleh Alena.

Alena langsung mengucapkan terima kasih pada anak kecil itu dan pada ayahnya yang berada dalam mobil. Hanya anggukan ragu yang Alena dapatkan sebagai balasan. Mungkin, mereka ragu apakah gadis itu benar orang gila atau bukan. Alena langsung membungkus ponselnya dan ia simpan dalam saku celana. Setidaknya, air tidak akan langsung menghantam benda elektronik itu, walaupun kelembapan juga bisa menjadi faktor kerusakan ponsel.

Hujan belum juga berhenti setelah dua puluh menit berlalu yang membuat tubuh Alena menggigil. Re tidak akan memutar balik kendaraannya. Re sudah benci Alena. Mengapa rasanya sakit mengetahui cowok jahat itu membenci dirinya? Perasaan yang campur aduk masih bergejolak di hatinya yang sekarang sudah tak bisa ia tahan rasa sakitnya.

Buliran air mata langsung meluncur ke pipinya. Ia tidak merasa malu lagi untuk menangis. Karena setidaknya ada hujan yang bisa menyamarkan tangisannya.

Al, kamu bener-bener menyedihkan! Kamu nggak malu apa diliatin banyak orang?

Tangisannya malah semakin mengalir mendengarkan suara hatinya sendiri.

Aku nggak mau Re benci sama aku. Aku harus dapet kata maaf dari dia. Harga diri udah aku buang jauh-jauh, aku nggak peduli lagi.

Yang penting Re bisa tahu seberapa besar tekad aku buat dia balik lagi percaya sama aku.

Alena peluk kedua lututnya. Ia keluarkan seluruh kesedihannya di sana dengan napas yang mulai sesenggukan karena air mata tak kunjung berhenti juga mengalir.

"Bego." Suara dari balik punggungnya bersamaan dengan terhentinya hujan di sekitar tubuhnya. "Lo cewek terbego yang pernah gue temuin."

Alena mengusap air matanya dengan jemari lalu menoleh ke belakang dan ternyata pemilik suara telah berjongkok menggenggam payung putih memayungi mereka berdua.

"R-re?" serak Alena yang malah mengalirkan lagi air matanya.

Kepala Re sudah terlindung kupluk dari hoodie hitam yang ia kenakan beserta masker putih yang kini ia turunkan di bawah dagu agar bisa berbicara dengan jelas.

"Iya, ini gue." Cowok itu langsung menyampirkan jaket kulit yang memang dibawanya pada bahu gadis itu. Derasnya air hujan masih gagal untuk menyembunyikan mata merah dan wajah sembab yang terpampang jelas di penglihatan Re. "Ngapain nangis, sih? Jangan nangis, dong. Ingus lo kemana-mana, tuh."

Alena langsung berdiri yang diikuti gerakannya oleh Re. Ia langsung memukul dada cowok itu semampunya. "Lo jahat! Lo jahat banget sama gue!" kesalnya terisak tak berhenti memukuli Re dengan tangan yang sudah gemetar tergigil.

Re terpaku. Tiap hentakkan dirasakan di dadanya. Tapi kepalan kecil itu tak memberikan efek banyak. Justru karena hal ini, gadis itu malah semakin terlihat lemah di matanya.

"Re ... lo jahat! Lo jahat banget ...," isaknya.

Cukup. Gadis itu sangat kelelahan. Re langsung lingkarkan satu lengannya pada bahu gadis itu dan ia tarik untuk menenggelamkan wajah gadis itu pada tubuhnya. Dekapan ini mampu membuat tangan gadis itu berhenti memukul membiarkan seluruh air matanya tumpah di pakaian Re.

"Iya, gue akuin gue jahat. Udah, ya, jangan nangis." Ia elus perlahan rambut gadis itu yang berhasil menenangkannya.

Seburuk-buruknya Re, ia juga tak mau sampai buat anak orang nangis karena ulahnya. Ia jadi merasa bersalah sekarang. Seharusnya cewek itu langsung pergi dari tengah jalan mengetahui Re meninggalkannya. Mengapa gadis itu malah keras kepala untuk berdiam diri di tengah jalan?

"Batu banget, sih, lo. Yaudah sana joget! Dan gue nggak bakal maafin lo kalo lo sampe menyingkir dari tengah jalan."

Sekelebat ingatan muncul dalam memorinya. Ia baru ingat akan perintahnya yang padahal asal nyeblak itu yang membuatnya tersadar.

Jadi gadis ini berdiam diri agar Re benar-benar mau memaafkannya? Ah, benar gadis bodoh.

"Re ... lo maafin gue, kan?" getir Alena.

Re terdiam cukup lama. "Gue udah maafin lo sejak lo minta maaf yang pertama. Gue cuma males aja liat muka lo. Jadi bukan berarti gue nggak maafin elo."

Alena menjauhkan tubuhnya dari tubuh Re dan menatap manik mata cowok itu. "Jadi lo maafin gue atau nggak? Lo mau gue tetep kerja sama lo atau nggak? Lo ngomongnya kayak yang gak ikhlas gitu," dumel Alena memanyunkan bibir.

Re ingin sekali membentak cewek ini karena tak mengerti juga apa maksud kembalinya Re ke sini dan bahkan ia sudah berkata jika memaafkan cewek ini. Lemot banget, sih.

"Gue udah maafin lo, Aspri gue," ucapnya dipaksa lembut. "Jadi ... lo tetep kerja buat gue, me-nger-ti?" Ia sengaja mengeja perlahan kata itu.

Alena tersenyum kecil. "Makasih. Gue janji bakal kerja yang bener. Maaf udah buat lo batal manggung hari ini," ucapnya malu.

Re menggeleng. "Nggak, maafin gue udah bertingkah kekanakan. Gue juga nggak bakal ngulangin hal beginian."

Alena terkekeh geli. "Nyadar diri juga lo," candanya.

Re menghela napas kecil. "Kambing," gerutunya yang disusul gelak tawa dari Alena.

Klakson pun kembali berseru membuat dua anak ini menyingkir menuju mobil yang terparkir tak jauh dari lokasi.

Alena dapat lagi **** senyumnya karena bisa kembali bekerja untuk Re si penyanyi yang Alena pikir sedang terkena star syndrome hingga Re selalu merasa bahwa dirinya adalah orang yang tinggi dan seorang asisten hanyalah orang yang berada di bawah kastanya.

Mereka dapat bekerja sama dengan baik walaupun ancaman untuk memecat Alena masih sering Re lontarkan dari bibirnya karena kadang Alena tidak benar menjalankan tugas dan masih sering menghancurkan mood-nya. Ia memaafkannya bukan berarti ia akan mengubah sifatnya terhadap gadis itu.

Re akan tetap menjadi Re yang Alena kenali sekarang, begitupun dengan Alena yang akan tetap menjadi Alena yang Re kenali sekarang.

Karena itu, mereka berdua masih sering cekcok mulut dalam melaksanakan pekerjaannya.

******

Terpopuler

Comments

fadilah

fadilah

nex...

2020-06-20

0

Gloria VP

Gloria VP

lanjut baca thor...semangat nulis ya

2020-06-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!