Sudah berapa lama ibunya menginap di sini. Ia tak pernah menghitungnya. Di ranjang putih, ibunya terbaring dengan tusukan jarum di tangan kiri beserta bantuan alat pernapasan yang menutup hidung dan mulutnya.
Alena terlelap di samping wanita cantik ini. Ikut terbaring dalam selimut yang sama menatap lamat wajah pucat ibunya yang terpejam erat dari samping.
Alena mengemas semua barang-barangnya yang dimasukkan dalam koper. Ia bertekad takkan kembali lagi ke rumah ayah. Selain karena jelas ia sudah diusir, ia juga ingin menyadarkan ayahnya agar bisa bangkit dari keterpurukan akibat ditipu oleh teman kerjanya sendiri hingga semua hutang pria itu ditanggung oleh Edwin.
Semua saham, sertifikat rumah, tanah, semuanya ditarik rentenir tanpa ada yang tersisa. Bahkan, Edwin pun hampir mau dimasukkan penjara karena semua hartanya masih tak cukup untuk membayar semua hutang itu. Sedangkan, orang yang dikata temannya sudah kabur keluar negeri membawa semua tabungan hasil bisnis travel milik Edwin.
Edwin pengusaha sukses yang merintis usahanya dari awal merasa kecewa berat. Karena dalam satu hitungan semua harta yang telah dikumpulkan bertahun-tahun lenyap tak tersisa. Ia tak percaya pada siapa pun lagi. Ia membenci semua orang hingga tak mau lagi bekerja. Ia merasa semua usahanya sia-sia. Dan ia ketakutan jika hal yang sama akan terulang lagi jika ia membangun usahanya kembali.
Alena tahu itu. Ia sangat mengerti. Semua sifat ayahnya sama persis seperti miliknya. Bila sudah dikecewakan, akan sangat sulit untuk bisa mengembalikan kepercayaan.
Tapi tetap saja hal yang dilakukan oleh ayahnya sebagai pelampiasan rasa kecewa itu salah besar. Menjadi pemabuk dan melupakan jati diri sebagai kepala keluarga? Alena tak bisa memaafkan itu. Ia sudah tidak peduli lagi pada ayahnya.
Yang ia punya sekarang, hanya ibu. Ibunya yang sakit darah tinggi hingga harus dirawat di rumah sakit ternama di Kota Bandung. Alena tak perlu khawatir dengan biaya perawatan karena semua ini telah ditanggung oleh mantan pacar ibunya.
Mereka bekerja dalam departemen yang sama dalam suatu perusahaan. Cinta yang pernah putus karena ikatan pernikahan akibat Amely lebih memilih Edwin daripada Dylon, ternyata belum hilang dari Dylon yang masih menjadi perjaka di usianya yang ke 36 tahun. Usia Amely hanya terpaut tiga tahun lebih tua darinya sekarang.
Kedengaran aneh memang, tapi tak bisa dipungkiri bahwa setiap jiwa pasti punya kisah cintanya masing-masing.
Alena malah jadi sering membayangkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Amely dulu memilih Dylon saja sebagai suaminya? Pasti sekarang menjadi keluarga bahagia.
Tapi pikiran itu langsung ditampik dengan tegas. Kalau begitu jadinya, Alena malah takkan pernah terlahir ke dunia. Dia kan buah cinta antar Edwin dan Amely. Hah, benar pikiran yang bodoh.
Alena merapatkan tubuhnya pada sang ibu dan menarik selimut hingga menutupi leher mereka. Pengaruh obat tidur pasti masih mempengaruhi Amely yang juga mengalami gejala insomnia. Padahal hari sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Biasanya, ibunya ini yang akan cerewet membangunkan Alena untuk menjalankan ibadah.
Tapi sekarang, bahkan bicara pun sudah sangat sulit. Telepon yang sempat tersambung pun, itu bisa terangkat karena bantuan dari Dylon. Sekarang pria itu sudah ada di rumahnya. Mungkin akan kembali ke sini selepas melakukan pekerjaannya sebagai direktur di sebuah perusahaan.
Alena hanya bisa memaklumi keadaan ibunya. Setidaknya, ia masih bisa melihat senyuman Amely. Itu, sudah lebih dari cukup dari apapun lagi.
*****
Lelaki ini tak bisa bebas keluar masuk rumah seperti yang dulu sering ia lakukan. Keluyuran, adalah salah lain dari hobinya.
Bila ia berani melangkah satu senti saja dari rumah, Mas Jun akan tegas untuk memecatnya jadi artis.
Ancaman yang sangat sadis.
Juniar kata, ia sudah sangat bersusah payah membuat agensinya membiarkan Re libur satu hari. Ia takut bila Re keluyuran tanpa pengawasan malah terjadi sesuatu padanya hingga Re takkan bisa membayar jadwal yang sangat padat menantinya.
Re hanya bisa menghela napas pasrah. Ia kembali bertemu dengan sofa dan televisi lagi. Tapi ia malas untuk menonton tv karena tidak ada satu pun acara yang menayangkan dirinya.
Jadi, ia lebih memilih untuk menonton film dari CD bajakan kepunyaannya Si Ardy.
Ia mendumel saat memilih kaset yang sudah tersusun dalam kotak di atas pahanya, "Yang begini, nih, yang nggak menghargai karya orang lain. Udah bikin film susah-susah eh dibajak demi keuntungannya sendiri."
Setelah ia mendapatkan film yang diinginkan, ia pun menyalakannya di televisi. Dan, menontonnya.
Memang, ya, orang yang suka komentar itu suka nggak sadar diri kalau dirinya itu sama saja.
Saat sedang asyik menonton, decitan pintu kamar adiknya menginterupsi kepala untuk menoleh. Wow, Re langsung tercengang seketika.
Rambut sudah diberi gel hingga tak ada poni lagi yang menutupi keningnya. Ia kenakan kaos putih dibalut kemeja navy yang kancingnya dibiarkan terlepas beserta jeans hitam sebagai pelengkapnya.
Re mengernyit heran. "Mau kemana lo?" tanyanya tak percaya melihat si itik buruk rupa bisa berubah jadi angsa putih. Padahal tadi subuh, iler masih kemana-mana.
Ardy menaik turunkan alisnya kemudian mengangkat tangan kanannya ke belakang kepala mencoba bersikap keren di depan kakaknya.
"Gimana? Udah kece belum?" tanyanya meminta penilaian.
Re mendengus kecil. Bibirnya terkatup rapat untuk memuji. Berasa mubazir, Re mengatakan kata manis untuk adiknya.
"Masih kecean gue kemana-mana," balasnya yang mendapat decihan dari Ardy.
Ingin rasanya Ardy mengobati sikap gengsi kakaknya yang berlebihan itu. Karena Ardy tahu sebenarnya dia juga mengakui bahwa Ardy jadi lebih tampan dari sebelumnya.
Tatapan tak percaya dan tampang bete dari kakaknya itu sudah sangat cukup untuk menjawab semuanya. Dasar gengsian. Memuji saja bagaikan itu hal yang dapat membunuhnya.
Ardy langsung menengadahkan tangannya pada Re yang mengangkat dua alisnya melihat pergerakan itu.
"Duit," nelangsanya.
Bukannya prihatin pada adiknya, Re malah terbahak karena muka adiknya sudah tidak bisa dikontrol jika sedang memelas meminta uang.
"Aduh, muka lo. Sumpah! Orang bukannya kasihan tapi malah sakit perut ngeliat muka lo, hahaha."
Re sibuk tertawa terpingkal-pingkal sambil menahan perutnya yang terasa sakit.
Ardy hanya cengo melihat reaksi abangnya. Ia pun mencebik, "Bang! Buruan minta duit. Gue mau malmingan sama pacar gue," ujarnya.
Tarik napas dan ia hembuskan perlahan. "Lah? Hari ini bukannya kamis, ya?" tanya Re setelah mengatur napasnya.
Ardy mengerjap dua kali. "Yaudah, malem jumatan berarti," cengirnya penuh makna.
Re menggeleng prihatin. "Astajim, tobatlah kau, Nak."
Mereka pun tertawa lepas bersama merasa itu adalah hal yang konyol.
Suara bel pintu rumah menggantikan tawa Ardy dengan binar mata yang sangat cerah. Ia menoleh ke arah pintu dan berlari kecil untuk membukanya.
"Hai, Sweetheart. Kok kamu udah dateng, sih?" sapanya kayak orang bego kalau kata Re.
Gadis manis berambut pirang sebahu dengan bando hitam yang kontras di rambutnya itu langsung membalasnya dengan senyuman lebar. "Kan aku kangen kamu."
Makin berbunga saja hati Ardy melihat pacarnya dari kelas delapan SMP yang masih awet sampai ia menginjakkan kaki di SMA.
Cowok itu mengajak masuk pacarnya yang berpakaian dress putih selutut. Sangat terlihat amat manis di tubuhnya yang mungil. Mereka berjalan menuju ruang televisi yang ada di balik lemari penyekat.
Mata gadis itu langsung melebar tak percaya mendapatkan Re yang sedang membalikkan tubuhnya dari sofa karena penasaran dengan siapa tamu yang memasuki rumah ini. Saat mata mereka bertemu, Re langsung tersenyum ramah dan melambai padanya.
"R-re? Kak Re penyanyi yang lagi booming itu?!" tanyanya tak percaya yang mendapatkan anggukan pelan dari Re.
Keheningan pun melanda cukup lama masih dengan tatapan tak percaya gadis itu pada Re yang kini mengerling pada Ardy menanyakan apa yang terjadi dengan pacarnya yang dibalas kedikkan bahu cowok itu.
"AAAHH!" Dua anak adam langsung tersentak mendengar gadis itu menjerit, bumi pun gonjang-ganjing.
"AH—Hmph!" Akhirnya Ardy membekap pekikkan pacarnya ini yang berhasil membuat kepalanya pening.
"Kamu kok, heboh gitu, sih, Cha? Perasaan kalau liat aku juga biasa aja," cebiknya, cemburu.
Acha menggeleng dan menurunkan bekapan pacarnya. "Ya, bukan gitu. Aku nge-fans banget sama Kak Re makanya aku heboh. Tapi kok dia ada di rumah kamu, sih?"
Sudah tak terhitung berapa kali Acha main ke rumah Ardy. Tapi ia tidak tahu tentang penghuni yang satu ini. Ia pikir, Ardy adalah anak tunggal melihat tingkahnya suka meraja di rumahnya sendiri. Ia tak menemukan fakta bahwa Ardy ternyata punya saudara terlebih Acha tak pernah melihat satu pun foto keluarga yang terpajang di rumah ini.
"Dia abang aku," datarnya.
"Kok kamu nggak cerita, sih?!" rengut Acha.
Ardy mengedikkan bahu tak acuh. "Nggak nanya."
Acha mendecak kesal. "Tapi kok aku nggak pernah ngeliat dia di rumah kamu?" tanyanya masih penasaran.
Ardy jadi jengkel sendiri karena yang terus menerus dibahas selalu saja Re. Ini adalah salah satu alasan ia malas menceritakan pada semua orang kalau ia adalah adiknya seorang artis.
Bisa-bisa nanti orang yang mendekatinya hanya menjadikan dia sebagai perantara saja untuk mengantarkan kotak hadiah dan surat cinta untuk Re. Ardy tak sudi bila itu benar terjadi padanya.
"Dia mah kayak gembel jarang pulang ke rumah. Mainnya di Bandung mul—Adaw!" ringisnya karena berhasil mendapatkan serangan bantal yang tepat menghantam kepalanya.
"Apaan, sih, lo, Bang?!" sungutnya pada Re.
Lelaki itu mendengus kecil. "Jangan buka aib gue yang pernah jadi gembel, dong."
Acha hanya bisa melipat bibir menahan tawa. Ia pun berjalan mendekati Re. "Kak, boleh minta foto sama tanda tangannya, nggak?" izinnya, mengimutkan diri.
Ardy menggeram kesal. Kok, jadi gini? Terus maljumnya gimana?
Re merasa kasihan sama adiknya yang malah dianggurin sama pacarnya sendiri. Tak ada hal yang lebih menyakitkan daripada itu. Re sangat mengerti perasaan macam itu.
"Boleh, tapi izin dulu sana sama pacar kamu. Kasihan, tuh, udah lumutan dicuekin," ujarnya.
Acha menoleh pada Ardy dan mereka pun bicara tanpa suara. Acha mengerutkan kening dan menukik tajam bibirnya ke bawah namun dibalas dengan angkatan satu alis dari Ardy.
Kemudian Acha mencebikkan bibirnya dan bersedekap enggan melihat Ardy lagi, barulah mata Ardy melebar dan ia mengangguk paksa yang berhasil melebarkan senyum di bibir Acha.
Berasa nonton pantomim.
"Tuh, udah boleh, kak. Ayo foto," ajak Acha semangat.
Re masih merasa tak enak hati. "Beneran, Dy?" tanyanya memastikan melihat adiknya itu terus mengepalkan tangannya dan tatapannya kian mengeras seiring waktu.
Siapa pun yang melihat pasti akan merasa tak tega juga melihat seorang cowok yang pacarnya berasa direbut sama orang lain.
Ardy mengibaskan tangannya. "Iya buruan sono." Tak ada keikhlasan dari nada bicaranya.
Acha dan Re pun berdiri menghadap tukang foto alias Ardy yang sudah siaga mengangkat ponselnya Acha ke depan wajahnya.
Foto pertama telah diambil tapi Acha masih belum puas dan meminta untuk mengambil foto lagi. Tangan Re refleks merangkul pundak Acha sebagai pose yang wajar jika ia foto sama fans-nya. Tapi tidak bagi Ardy! Cowok itu langsung melotot.
"Singkirin nggak tangan lo," geramnya.
Re mendumel, "Iye-iye. Galak banget, sih." Re bukannya takut, hanya cari aman saja daripada Ardy malah kelepasan terus berubah jadi banteng terbang yang seruduk sana-sini.
Baru saja mau ditarik, tangan Acha malah menahannya agar tetap berada di bahu gadis itu. Hanya ada satu hal yang terbesit dalam pikiran Re saat melihat kelakuan pacarnya Ardy ini.
Nyari mati ini bocah.
"Didy! Apaan, sih? Cuma gini aja kamu cemburu," balasnya dengan suara yang melengking dan gembungan pipi yang terbentuk.
Ardy menggertakkan gigi dan menghempaskan kasar ponsel dalam genggaman ke samping tubuhnya.
"Ya emangnya kenapa kalau aku cemburu? Salah? Kamu aja nggak pernah kayak gitu ke aku," sewotnya lantas membuang wajah.
Acha menghela napas pasrah beriringan dengan tangan Re yang melayang menjauhi pundaknya Acha.
Yah, kok jadi gini? Re nggak mau jadi perusak hubungan orang. Dia menyatukan dua tangannya di depan tubuh enggan untuk ikut campur.
"Nggak pernah apanya, sih? Kita kan foto udah bejibun sampe memori aku penuh isinya kita berdua doang.
"Lagian aku sayangnya sama kamu, bukan sama Kak Re. Kamu cemburu buta tahu nggak!" balasnya ikut terbawa emosi.
Ardy mendengus kesal. "Ya ngapain, juga, sih, centil banget foto sama abang aku. Buat apa?
"Buat pamer ke temen kamu? Buat sombong, gitu? Bukan Acha banget, tahu nggak!" kesalnya membuat bibir Acha bergetar.
Re harus segera memadamkan api ini sebelum merembet ke urusan yang lain.
"Dy, udahlah jangan diperpanjang. Masalah kecil aja digedein, yang lain kek yang digedein."
"Pahala misalnya," imbuhnya ketinggalan.
Ardy langsung memicingkan mata pada Re. "Diem lo, Jomblo!" tekannya.
Ia sudah tak dapat berpikir jernih. Menyebalkan sekali Acha. Apakah tindak kecemburuannya itu salah? Padahal kan yang salah Acha pakai menahan tahan Re segala biar tetep di bahunya. Dan Ardy tambah kesal jika sedang marah malah ada orang yang ikut campur dan melerai. Berasa jadi anak kecil bego yang ngurusin hal yang nggak jelas.
Masalah kecil dibiasain. Nggak ada hal besar yang nggak diawali dari hal kecil dulu.
Dikit-dikit jadi bukit dan Ardy takut nanti Acha kebiasaan.
"Apa?" Re melotot. Ardy tidak tahu apa kalau kata itu adalah kata yang paling dibenci sama Re.
"Sumpah lo kampret banget! Gue nggak jomblo! Gue udah punya pacar, Dasar Pendek!" sentaknya ikut membawa-bawa hal yang paling dibenci adiknya.
Acha yang merasakan degup jantungnya terpacu karena rasa takut, langsung meringkuk dan menyingkir perlahan-lahan. Sentakkan Re lebih menyeramkan daripada milik Ardy.
"Pendek?" Ardy terkekeh sinis. Ia sadar bahwa ia baru setinggi telinga kakaknya. Tapi tidak usah Re jadikan kata itu sebagai sindiran juga.
"Gue nggak pendek! Liat aja lo tahun depan! Gue bakal lebih tinggi dari lo, Jomblo!"
Re mengeraskan rahang. Ia sangat sensitif bila sudah membahas urusan percintaannya. Ia tidak jomblo. Ia sudah mempunyai pacar. Pacar betulan bukan kasur.
"GUE BILANG, GUE BUKAN JOMBLO!" sentaknya.
Ardy mengejar, "TERUS MANA PACAR LO?!"
Skakmat.
Napas Re tercekat.
"ARDY!" Suara wanita paruh baya yang berasal dari dapur menginterupsi semua kepala untuk menoleh.
Naya baru keluar dari pintu dapur. Ia sibuk berperang dengan sabun dan pakaian di ember besar karena mesin cuci malah rusak dadakan di kamar mandi. Sayup-sayup suara pertengkaran—serius—malah terdengar di telinganya yang membuat ia segera berlari ke ruang tv setelah membasuh dua tangannya.
Ia berjalan mendekati Ardy dan membisikkan sesuatu, "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Defangga. Cepet minta maaf," tuntut Naya.
Ardy mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Ia sadar bahwa ia telah mengatakan hal yang tidak sepatutnya ia katakan.
Namanya juga emosi. Semua kata yang tertahan bisa langsung tersembur tanpa basa-basi.
Ardy pun menjulurkan perlahan tangannya pada Re. "Maaf. Gue emang berlebihan," canggungnya.
Re masih mematung dan bahkan tak berkedip sekali pun. Pertanyaan itu sangat menohok di hatinya. Tak ada yang tahu luka apa yang sebenarnya Re pendam selama ini. Hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu.
Ia mengerjap mengembalikan kesadaran dan membalas jabatan tangan itu. "Gue juga."
Naya bisa tersenyum lagi melihat dua saudara ini telah saling memaafkan. Pandangannya pun teralih pada tubuh mungil berselimut dress yang terdiam di dekat lemari penyekat yang mematung memasang ekspresi wajah ketakutannya yang amat lucu. Giginya mengeras, matanya membulat, dua jemari terkait jadi satu di depan mulutnya.
"Acha?" Gadis yang dimaksud menoleh dan saat melihat wajah cerah dari ibu pacarnya, ketakutan pun luntur seketika.
"Kok nggak bilang-bilang, sih, kalau ke sini?" sapa Naya mendatangi gadis itu.
Acha menyalimi tangan Naya dan tersenyum ramah. "Iya, Tante. Kirain Didynya udah bilang ke Tante." Mereka berbagi senyum yang sama.
"O iya, kenapa tante nggak pernah cerita kalau Ardy punya kakak. Udah jadi artis, lagi," tanyanya.
Naya mengangkat dua alisnya dan mengedikkan bahu. "Nggak nanya."
Acha menggeleng kecil. Ternyata ibu sama anak sama saja. Ia pun pamit pada Naya untuk menghampiri Ardy yang masih terlihat kesal padanya.
"Dy? Kamu masih marah?" tanya lembutnya yang tak dibalas apapun. "Jadi, kan, perginya? Aku udah pagi-pagi ke sini, Dy," rengutnya tersirat penyesalan sambil memilin ujung kain dressnya.
Ardy malah bersedekap. Ia hanya menangkap nada penyesalan dari perkataan Acha.
"Kenapa? Mubazir gitu buang-buang air buat mandi? Mubazir buang tenaga buat kamu ke rumah aku? Katanya kangen," ketusnya.
Acha mengerut samar. "Ih, kok gitu, sih? Kamu sensi banget, deh."
Naya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anak baru gede lagi pacaran.
Hal yang seharusnya tak jadi masalah malah dipermasalahkan. Kalau seperti itu terus, mana ada waktu untuk saling mengasihi satu sama lain. Karena waktu malah habis untuk menyelesaikan pertengkaran.
"Udahlah, Defangga. Kamu yang dewasa, dong. Mengalah bukan berarti kalah. Justru orang itulah yang telah menunjukkan sisi kedewasaannya," ceramah Naya sebelum beranjak menuju lokasi perangnya kembali.
"Tuh, dengerin ibu kamu," ingat Acha.
"Aku mau jadi dewasa, ah. Berarti aku harus minta maaf duluan," gumamnya kayak anak kecil sebelum mengambil tangan Ardy untuk berjabat.
"Dy, maafin aku. Aku emang nyebelin tadi. Kamu maafin aku, kan?" tanya Acha penuh harap.
Ardy masih termenung memikirkan perkataan ibunya. Ia juga tidak mau terus menerus menyimpan kemarahan ini di hatinya. Acha adalah seseorang yang berharga baginya. Orang yang tidak akan datang berulang kali. Dan saat Tuhan telah mendatangkannya, masa Ardy sia-siakan begitu saja. Ia pun hela napasnya panjang.
"Yaudah, tapi ini dulu baru aku maafin." Ia menunjuk-nunjuk pipinya memberi kode pada Acha yang langsung tersenyum geli.
Re sudah muak berada di antara mereka. Tidak tahu apa jika ada yang iri melihat kebersamaan mereka.
Seraya meloncat kembali ke sofa ia berteriak, "Bun! Adeknya baong, nih, Bun! Malah minta cium ke Acha, nih, Bun!" adunya yang membuat Ardy melotot.
"Ardy!" pekikkan khawatir dari ibunya terdengar membuat perut Re tergelitik dan Ardy gelagapan.
"Eh! Enggak! Abangnya aja yang tukang ngibul, Ma!" balasnya memekik.
"Awas kamu! Mama sita uang jajan sebulan nanti!"
Ardy hanya bisa meringis. Memang sangat kampret abangnya ini.
"Ah, elu mah ngerusak kesenangan gue aja," gerutunya pada Re yang sibuk tertawa bahagia.
Ardy sudah jemu mendengar tawa Re yang belum selesai juga.
"Daripada lo ngetawain gue, mending sumbangin deh, Bang, duit elo. Sumpah, gue bokek hari ini."
Kini Re mengerutkan keningnya. "Mumpung gue lagi baik. Sini, lo." Ia menekuk jemarinya meminta Ardy untuk mendekatinya.
Ardy sumringah dan berlari kecil mendekatkan kepalanya pada kepala abangnya. "Kenapa, Bang?" bisiknya.
Re lirik sekilas Acha yang terdiam memainkan kakinya di belakang punggung Ardy. "Lo bisa suap pacar, lo, kan?" Ia mengangguk mantap. "Jangan sampe ada gosip aneh-aneh yang nyebar. Awas kalau gue sampe denger," tuntutnya.
Ardy mengacungkan tanda OK tanpa berpikir. "Gampang, bisa diatur."
Melihat keyakinan dari Ardy, Re bisa menghembuskan napas lega. Ia pun rogoh saku celananya untuk mengambil dompet dan mengambil beberapa lembar uang kertas warna merah. "Nih."
Ardy langsung menggerakkan tangannya untuk mengambil uang yang malah dijauhkan lagi sama abangnya. Kampret! Ia berdecak kesal.
"Beliin gue martabak juga pas pulang. Gue ngidam."
Ardy mengangguk malas. Re pun menyodorkan uang itu kembali yang langsung dihitung oleh Ardy.
Matanya berbinar melihat ada dua belas lembar kertas seratus ribuan. Ini sungguh lebih dari apa yang ia bayangkan. Ia pikir hanya satu lembar yang akan ia dapat. Mengingat abangnya ini sangat pelit untuk urusan duit.
Memang, ya, abang Re itu kalau lagi baik, baik banget. Tapi kalau lagi jahat, ya jahatnya naudzubillah.
"Emang juara, nih, abang gue." Uang itu pun langsung berpindah tempat tinggal masuk ke dompet Ardy.
Acha langsung dirangkulnya dan Ardy pun melambai pada Re. "Bye! Gue mau happy-happy dulu."
Re malah mengibaskan tangannya. "Udah sono! Sekarang Acha yang lumutan nungguin elo."
Mereka pun pergi meninggalkan Re sendiri. Re masih bisa melihat bayangan Ardy yang mengacak puncak kepala Acha hingga gadis itu merengut dengan lucu.
Ia terkekeh tanpa sadar. Kebersamaan yang indah padahal baru saja mereka bertengkar tapi sudah bisa akur kembali seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Ia sandarkan punggung ke tubuh sofa lalu memejamkan matanya rapat.
Mana pacar lo? Pertanyaan itu berhasil terekam sangat jelas dalam pikirannya yang kembali mengembalikan rasa yang sudah teredam cukup lama hingga naik ke permukaan hatinya.
Kamu di mana? Kita belum putus, kan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
fadilah
belum bang re, kita belum putus...😊😊😊
2020-06-20
0