Bab 14

"Gimana?"

"Gila! Nggak bakal bisa, lah!"

"Gue ragu ... tapi layak buat dicoba, kan?"

"Ide gila yang sangat gila," sahut datarnya membuat semua kepala menoleh menatapnya penuh tanda tanya.

"Jadi lo setuju sama idenya Aspri?" tanya Re tidak mengerti dengan apa maksud perkataan Ucup yang duduk di hadapannya.

Yusuf mengedarkan pandangannya pada tiap wajah. Gadis cantik yang duduk di sebelahnya juga pada pemain futsal yang ada di seberangnya dalam meja kayu yang ada di salah satu cafe 24 jam. Lalu berlalu pada wajah yang sedari tadi menuntut jawaban.

"Kalau cuma itu caranya biar bisa nolong Gara. Gue setuju," jawabnya.

Re langsung mengerang frustrasi dan menjedukkan keningnya ke meja kayu. Ia lakukan itu berulang-ulang beriringan dengan ucapannya.

Duk! "Gila!" Duk! "Gila!" Duk! "Gila!"

Semua benda di atasnya pun meloncat kecil. Fikran harus menahan semua gelas di atas meja agar tidak tumpah begitu pun dengan Yusuf yang mengangkat semua benda elektronik dari atas meja.

Duk! "Gila!" Duk! "Gila!" Puk! "Gila?"

Re jadi bertanya.

Kening Re tidak bersentuhan lagi dengan benda padat. Tapi ia malah merasakan benda empuk yang hangat sebagai alas jedukkannya. Re pun mengerjapkan mata untuk melihat benda apa itu. Dan ternyata itu telapak tangan Alena yang terjulur. Melindungi kening Re dari kerasnya meja kayu itu.

"Udah gilanya?" tanya gadis itu. Alena teliti daerah kening cowok itu yang sekarang sudah memerah tepat di bagian tengahnya. Dasar serampangan. Nanti kalau keningnya benjol bakal ditutupi pakai apa?

Re meringis. "Ya belom, lah! Lagian lo punya ide, ada-ada aja. Ini Festival tingkat Nasional. Gue udah dua kali ada di sana dan orang-orangnya nggak gampang ditipu. Masa iya gue harus pura-pura jadi Gara?!" pekiknya.

Jam dinding sudah memisahkan jarum panjang ke arah dua belas dengan jarum pendeknya ke angka dua. Jam kerja bagi Re sudah berakhir dan karena pagi hari pukul enam ia harus stand by di radio juga Yusuf dan Fikran yang harus pulang ke rumahnya daripada diusir sama emak mereka, rapat tentang Gara terpaksa mereka laksanakan subuh ini di sebuah cafe yang tak ramai pengunjungnya.

Hanya tersisa segelintir anak remaja yang terlihat masih segar menongkrong bersama teman-temannya. Bahkan sempat ada yang memotret diam-diam Re sampai Mas Jun mendatangi mereka dan meminta tolong untuk menghapus foto itu. Mas Jun pun malah berjaga di meja pojok sana sembari mengobrol bersama mereka juga bersama Mang Ayus yang numpang tidur di sana.

Re memulai rapat tanpa basa-basi dan langsung meminta pendapat dari tiap orang. Fikran punya ide yaitu Gara mengundurkan diri saja dari Festival. Re dan Alena langsung melotot pada Fikran. Itu mustahil mengingat kegigihan Gara dan kekejaman ayahnya. Coret.

Yusuf pun punya ide bahwa Gara hanya harus memilih lagu yang tidak bernada tinggi. Re dan Fikran memutar bola matanya. Mana ada di sebuah ajang Festival tidak bersaing dengan jangkauan vokal yang tinggi? Walaupun bukan hanya itu saja penilaiannya tapi itu sangat berperan penting sebagai penambah poin. Memangnya ini Festival Ucup yang pemenangnya adalah siapa yang paling betah menggunakan nada do dalam situasi apapun. Coret.

Saat giliran Re. Ia hanya menggeleng dan berkilah ia sangat frustrasi dan depresi. Ia juga kelelahan selepas bernyanyi jadi ia tidak dapat berpikir dengan jernih. Yusuf mendecih di saat Fikran mendecak bersamaan dengan Alena yang mendengus kesal. Dan Re hanya nyengir lebar. Coret.

Alena pun angkat bicara. Ia mengatakan ini benar ide gila, namun kemungkinan hal ini akan berhasil lebih tinggi dari pada apapun. Ia berkata bahwa Gara dan Re memiliki postur tubuh yang sama persis. Tinggi mereka pun sama. Dan Re punya kemampuan meniru suara orang lain.

Jadi, bagaimana jika Re menggantikan Gara dulu sebagai peserta Festival. Ini pertandingan akhir Gara dan namanya tidak boleh sampai dicoret. Hanya dengan kejuaraan ini, ia bisa membuktikan pada ayahnya bahwa Gara bisa menjadi juara pertama. Bahwa Gara bukan ekor Re lagi.

Jelas sekali ide ini ditolak mentah-mentah oleh Re. Mana bisa? Tapi bagian meniru suara orang lain? Ya, Re memang bisa melakukannya. Ia sering berpura-pura bernyanyi meniru penyanyi terkenal di kelasnya dulu. Semua anak cewek langsung heboh mengira idolanya ada di sekitar mereka padahal itu suara Re yang bernyanyi dari kolong bangku.

Re melipat tangannya di atas meja kayu bersamaan dengan Fikran dan Yusuf yang mengembalikan benda yang tadi mereka jaga ke tempatnya semula.

"Kalau gitu caranya ... gue dong yang jadi juara bukannya Gara? Sama aja boong dia latihan tiap minggu. Tapi saat dia harus menunjukkan kemampuannya, malah gue rebut juga tempatnya," ujar Re teriris.

Hatinya kembali merasakan perasaan berkecamuk. "Itu terlalu jahat bagi Gara. Gue nggak mau kayak gitu. Walaupun semua orang nanti melihat juaranya adalah Gara.

"Tapi gimana sama Gara sendiri? Apa dia juga bakal bisa ngeliat dirinya sebagai juara? Nggak, kan, Al. Nggak akan pernah."

Mata Re yang memerah terfokus pada binar kelabu Alena yang juga dapat merasakan sakit yang Re rasakan. Bibir Alena bergetar karenanya.

"Gue mau bantu dia tapi bukan kayak gini caranya." Ia menggeleng lemah. "Apapun yang terjadi dia harus bisa ikut lomba itu tapi jangan sampai ngebahayain suaranya. Gara ... udah banyak ngelewatin waktu yang sulit. Gue nggak mau bantuan dari gue, malah semakin nyiksa dia."

Alena menghapus air matanya yang tak bisa ia tahan untuk mengalir. Ikut ia lipat tangannya di atas meja. Menatap Re.

"Pertandingannya kan dibagi jadi tiga tahap, Re. Lo cuma ambil dua aja dan bawa Gara ke tahap akhir. Itu rencana gue."

Re masih memproses perkataan itu.

"Pita suara Gara udah dalam keadaan akut. Kalau dia paksa nyanyi dalam tiga sesi. Suara dia bakal hilang selamanya. Kalau pun disembuhin sama operasi, bakal sangat lama pemulihannya dan kemungkinan terburuk, dia nggak bakal bisa nyanyi lagi, Re. Kita nggak boleh ngebiarin itu terjadi."

Semua kepala menunduk merasa kacau melihat sahabat mereka harus dipertemukan dengan kenyataan pahit seperti ini.

Ini sebenarnya penyakit biasa yang diderita oleh semua orang jika terus-menerus menggunakan pita suaranya dengan nada tinggi dan teknik yang salah. Awalnya hanya sakit saat berbicara. Lama kelamaan suara akan parau dan hilang selamanya.

Dalam dunia kesehatan, kondisi ini disebut singer's nodule. Gejala yang sering dikeluhkan penyanyi biasanya tidak dapat mencapai nada tinggi atau nada yang panjang. Penyanyi yang terkenal pun pernah mengalami ini seperti Ariana Grande atau Adele.

Tapi masalahnya adalah mengapa dari semua waktu yang ada, harus pada saat Festival Seni pita suara Gara rusak.

"Masih ada waktu tiga minggu buat dia nyembuhin pita suara itu. Seenggaknya Gara bisa beristirahat dulu buat latihan dan cuma fokus untuk tahap akhir aja. Itu bisa ngurangin kemungkinan besar hilangnya suara Gara, Re," jelas Alena.

Fikran menganggukkan kepalanya setuju. "Iya, Re. Sekarang gue tambah yakin. Kita harus ngejalanin rencana ini."

Yusuf tersenyum samar. "Tiga lawan satu. Lo kalah."

Re menatap tak percaya tiap wajah di sekelilingnya. Ia bukannya tidak mau tapi ini benar-benar keputusan sulit. Bayangan kegagalan terus menyelubungi pikiran Re. Gara dan Re mungkin akan dijebloskan ke penjara karena telah melakukan penipuan dan harus membayar denda senilai puluhan juta rupiah bila ketahuan nanti.

Tapi, apa bisa Re berdiam diri melihat Gara yang sudah berada di ambang pintu kematiannya sendiri. Re tidak akan memaafkan dirinya kalau suara Gara benar-benar hilang selamanya. Re takkan pernah bisa memaafkan diri.

Ia raup udara sebanyak-banyaknya dan ia hembuskan perlahan lewat mulutnya. "Okey, kapan kita bisa ketemu Gara?"

Ucapan Re langsung dibalas senyum mengembang dari tiap wajah.    

*****

Lelaki ini tak tahu mengapa ia repot-repot datang ke Taman Bermain Kenanga. Hanya sebuah pesan singkat yang ia dapat, namun kakinya langsung buru-buru menapaki jalanan basah yang selang beberapa menit lalu masih terbasuh rintikan hujan.

Kepalan tangannya ia sembunyikan dalam kantung jaket tebal yang ia kenakan. Cuaca di Bandung sedang tak menentu. Kemarin panas besoknya hujan deras. Tadi siang begitu terik tapi sekarang begitu menggigil.

Terdengar sepasang sepatu menapaki pasir dari balik punggungnya. Mungkin, ini adalah orang yang ditunggu. Namun saat ia berbalik bayangan rupa wajah manis dan rambut panjangnya yang menjuntai sama sekali tak nampak di penglihatan. Ini berbeda.

Dia bukan Alena.

Gara menaikkan satu alis menatap lelaki yang juga mengenakan jaket tebal warna hijau tentara dan sebuah topi hitam yang diturunkan hampir menutupi seluruh matanya. "Renggana?"

"Hai, Gar," sapa balik Re canggung. Tangannya bergerak memasukkan ponsel Alena ke dalam saku jaketnya. Ia pikir, ini tidak akan berhasil untuk membuat Gara datang kemari.

"Mana Alena?" tanya malas Gara. Enggan untuk berbasa-basi. Ia pikir, gadis itu sedang kesulitan karena pesan yang diterimanya mengatakan bahwa Gara harus cepat-cepat menghampirinya. Ternyata, mereka bersekongkol.

"Maaf. Tadi gue yang kirim pesan itu. Lo pasti nggak bakal mau nemuin gue kalau gue jujur di awal. Ada yang mau gue omongin sama lo, Gar," ujarnya hati-hati.

Re tak pernah berbicara lagi dengan Gara semenjak festival tahun lalu. Dan juga setelah Gara yang bertahap menjauh dan mendiamkan Re untuk beberapa waktu yang lama. Re yang sudah terlanjur kesal diacuhkan seperti itu, memilih untuk melakukan hal yang sama dengan Gara. Tapi sayangnya, itu malah semakin membuat hubungan mereka bertambah buruk.

Gara hanya memutar bola matanya. "Ngomong apa?" ketusnya.

"Ikut gue," pinta Re memutar langkahnya menjauh.

Bukannya Gara tidak mengerti titahan itu tapi Gara malas untuk mengikuti Re Si Artis tersohor tahun ini. Gara putar kakinya ke arah berlawanan.

Re yang menyadari itu langsung berbalik dan berlari menyusul langkah panjang kaki Gara kemudian mencekal lengan kiri lelaki itu.

"Lepas," gertaknya pelan. Ia tidak bisa berteriak sesuai keinginan lagi bila tak ingin memperparah kondisi pita suaranya.

"Ikut. Gue," tekan Re tegas.

Gara hentakkan tangan itu namun sialnya cengkeraman Re malah makin kuat.

"LEPA-argh!" Tenggorokannya terasa sangat sakit saat ia mencoba untuk menyentak Re.

Lengannya pun dilepaskan oleh Re dan Gara gunakan tangan itu untuk menyentuh sekitar lehernya yang terasa amat nyeri.

"Lo nggak boleh teriak-teriak, Gar. Lo harus jaga suara lo," suara Re mengeraskan rahang Gara.

"Apa—sebenernya mau lo?" tanyanya menghadap Re.

Re menurunkan pandangannya. "Gue tahu semua masalah lo dan gue tahu alasan lo ngejauhin gue selama ini."

Gara mendengus. "Gue tahu, lo nguping," tukasnya.

Mata Re melebar sempurna. Apa? Gara sudah mengetahuinya? Pantas saja Re selalu ketahuan pertama kali jika sedang bermain petak umpet. Kemampuan bersembunyinya memang sangat payah.

Re garuk puncak kepalanya dan terkekeh hambar. "Maka dari itu, gue mau bantuin lo, Gar. Dan gue minta maaf sama semua kesalahan gue yang diperbuat sengaja ataupun nggak."

Gara kembali mengusap tenggorokannya. "Emang lo salah apa? Kenapa lo minta maaf ke gue?" tanyanya masih dengan nada yang tidak bersahabat.

Re sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Ini sangat bukan gaya Re harus menundukkan kepala dan berbicara dengan nada hati-hati. Re pun angkat kepalanya menatap Gara tepat di mata.

"Karena gue selalu ngerasa bersalah di deket lo!" sentaknya. "Gue nggak pernah tahu kesalahan gue apa tapi gue selalu ngerasa bersalah di deket lo, Gar!" jelasnya membuat napas Re terengah-engah.

"Jadi tolong, gue cuma mau bantuin lo. Gue cuma mau bantuin sahabat gue yang lagi dilanda masalah. Ijinin gue buat ngebantu lo," ujarnya lirih.

Gara buang wajahnya. "Lo mau tahu kesalahan terbesar lo itu apa?"

Re mengerjap di saat Gara menyunggingkan senyum miring dengan pandangan yang jatuh di atas pasir taman bermain.

"Udah jadi sahabat gue, Re. Itu kesalahan terbesar lo," lanjutnya dengan napas yang tercekik.

"Apa?!" sahut Re tak mengerti. Bukankah karena Re menjadi saingan adalah alasan Gara membencinya. Mengapa menjadi sahabatnya pun menjadi hal yang salah di mata Gara?

Gara kembali memutar langkah dan menjauhi taman bermain.

"Gara!" pekik Re lantang namun tak berhasil menghentikan langkah kaki lelaki itu. "Gue nggak ngerti apa maksud lo! Tapi yang gue tahu, lo udah ngebohongin diri lo sendiri!"

Gara mengerutkan kening pura-pura tidak mendengarnya sembari terus berjalan.

"Ini cuma alasan lo doang, kan, buat lo ngebunuh gue sebagai sahabat lo!"

Napas Gara tercekat. Ia geleng kecil kepala dan ia sembunyikan dua tangannya ke saku jaket mencari kehangatan dalam dinginnya Kota Bandung yang baru saja terguyur hujan bersamaan dengan menghembuskan kembali napasnya.

"Argh! Lo orang terbego yang pernah gue temuin, Gar!" Re masih memekik lantang menatap punggung sahabatnya yang makin terlihat mengecil.

Gara terus menggelengkan kepala enggan untuk menghentikan langkah. Usahanya untuk membuang sahabat, memang hal terbodoh yang saat ini Gara lakukan.

Ia hanya ingin membuat ayahnya yakin bahwa Gara sudah tak berhubungan dengan musuhnya lagi. Karena Haris pikir, Gara selalu bermain saja jika sedang bersama Re. Padahal, mereka selalu latihan bersama.

Gara hanya harus menjaga jarak dari Re hingga Festival Seni itu terlampaui olehnya. Agar Gara tidak goyah dan fokus pada latihan. Dan ketika ia berhasil menjadi juara pertama, semuanya akan kembali normal. Ayahnya, Renggana, dan juga teman-temannya yang selalu membandingkannya akan kembali normal seperti dulu.

"GUE TAHU LO TERANCAM DIDIS DARI FESTIVAL!!!"

Deg! Gara terhenti mendadak sampai badannya condong ke depan akibat Hukum Newton I yang terjadi antara.

Ia tak percaya dengan apa yang telah ditangkap indra pendengarannya. Kakinya membeku dan pandangannya berubah tak fokus dengan napasnya yang tersengal.

Re mengangkat kakinya berlari sekencang mungkin menyusul Gara yang mematung di luar daerah taman. Saat ia sudah sampai di hadapan sahabatnya Re langsung topangkan dua tangan pada bahu Gara, menyadarkannya.

"Gue tahu, Gar ... gue udah tahu masalah itu," ujarnya perlahan. Pandangan Re yang terengah sudah bisa melemas menatap sahabatnya.

Perlahan bola mata itu digerakkan menatap binar coklat madu di hadapannya. "Dari-mana?" tanyanya.

"Nggak penting gue tahu dari mana. Karena yang terpenting, gue tahu caranya ngebantu lo, Gar."

Gara masih menatap tak percaya Re yang sekarang menampilkan senyum tipis meyakinkanya.

*****

Re membawa Gara untuk masuk ke dalam mobilnya di jok penumpang, mengusir Alena yang sekarang duduk di samping singgasananya Mang Ayus.

Re berniat mengatakan semua rencana yang telah disusunnya pada Gara. Tapi baru mendengar inti dari rencana ini pun Gara sudah membuang muka menolaknya mentah-mentah.

"Gila," gumamnya kesal.

Re tak membantah itu sama sekali. Ia malah menjentikkan jarinya setuju. "Ya! Gila banget, kan?!"

Re langsung menunjuk-nunjuk Alena yang memutar kepala ikut bergabung dalam pembicaraan. "Tuh! Salahin aja dia, tuh! Ini 100% ide dia bukan ide gue," adunya, cari aman.

Alena menggeram. "Kok jadi mojokin gue, sih?!" rengutnya. Alena memicingkan matanya pada Re yang mengangkat bahu tak acuh. Alena pun beralih menatap Gara yang masih membuang wajahnya.

"Gar ... aku tahu ini ide gila. Tapi cuma ini caranya biar suara kamu nggak hilang selamanya. Re bakal bantuin kamu di dua tahap dan di tahap akhir kamu yang maju. Seenggaknya, itu bisa mengurangi beban di pita suara kamu, Gar," jelas Alena.

Gara tak berkutik, Re geram.

Re tarik kasar sebelah bahu Gara agar menghadapnya. Tatapan nyalang langsung Re terima tepat di matanya yang bersumber dari wajah dingin itu. Re membuang napas panjang.

"Gar ... gausah niru-niru gue yang keras kepala, deh. Lo bukan orang kayak gitu. Selagi pintu keluar terbuka, lo harus lewat sana. Jangan biarin diri lo tertangkap basah karena terus bersembunyi.

"Ini jalan keluar lo. Jangan keras kepala buat maksain diri di saat kondisi lo nggak mendukung. Gue nggak bakal maafin diri gue sendiri kalau sampai pita suara lo diangkat, Gar," geram Re. Berusaha meyakinkan Gara.

Tatapan mata Gara kian melemas mengikuti tiap kata yang dilontarkan sahabatnya sampai ia menundukkan pandangan, mendengarkan.

Ini sungguhan ide gila. Tapi hanya ide gila ini satu-satunya pilihan untuk Gara menyelamatkan dirinya.

"Ayah berharap banyak sama kamu."

Ingatan itu semakin meremas jantungnya. Gara tak mau mengundurkan diri dari ajang Festival. Ayah telah menunggunya di sana. Ia tidak bisa mengecewakan ayahnya yang selalu mengharapkan putranya bisa menjadi juara satu dalam sebuah kejuaraan. Gara tidak bisa membuang kesempatan ini. Hanya satu langkah lagi yang harus Gara tempuh untuk membuktikan pada ayahnya bahwa Gara bisa menjadi anak kebanggaan keluarga pemusik. Satu langkah lagi.

Dan demi satu langkah itu, Gara menaikkan kepalanya membalas tatapan sayu yang terpasang di wajah sahabatnya. Sikap keras kepala memang menyusahkan.

"Terus ... gimana kesibukan lo?" ucapnya yang langsung dibalas cengiran bahagia dari Re dan Alena. Secara tidak langsung, Gara telah menyetujui rencana ini.

Re menepuk pundak Gara. "Lo udah bikin keputusan yang tepat."

Alena mengaitkan dua tangannya di depan dada. "Thanks, Gar! Selama kita percaya pada Yang Maha Kuasa, aku yakin rencana ini bakal berjalan dengan lancar."

Gara menyunggingkan senyum kecil saat membalas tatapan gadis itu. "Awas aja kalau gagal," balasnya.

Alena yang masih tersenyum lebar menggelengkan kepala cepat. "Aku bakal botakin rambut kalau rencana ini sampai gagal. Janji," tukasnya.

Re menoleh cepat pada Alena dengan mata berbinar. Ia pun tunjuk wajah Alena. "Janji lo, ya! Gue bakal catet janji lo!" timpal Re yang dibalas dengusan kecil gadis itu.

"Ngapa jadi lo yang ribet?!" ketus Alena.

"Ya suka-suka gue, lah!" sungutnya.

Gara hanya menggelengkan kepala. Sudah satu dekade berlalu, ternyata tak ada yang berubah antar mereka berdua. Pertengkaran dan adu mulut pasti selalu menyelingi tiap kebersamaan mereka walau akan berakhir dengan senyum dan tawa hangat dari keduanya. Gara rindu kebersamaan ini.

"Jadi gimana sama kesibukan lo? Bukannya lo bakal sibuk banget selama liburan sekolah," ujar Gara yang mendapat tatapan tak percaya dari Re.

"Tahu dari mana lo gue bakal sibuk?" selidiknya. Re merasa ini hal yang janggal. Gara kan sudah tidak peduli lagi padanya setelah setahun berselang. Mengapa cowok itu bisa mengetahui kabar terbaru dari Re?

Tanpa mau memandang wajah artis itu Gara membalas perkataannya, "Tipi," gumamnya malu.

Re langsung terbahak puas. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Wajah Gara pun kian memerah karenanya. "Hahaha. Gue baru tahu lo suka ngikutin keseharian gue di tayangan gosip, Gar." Re melanjut tawanya.

Alena mengernyit heran. Ia merasa prihatin dengan Gara yang ditertawakan seperti itu. Ia pun mencoba untuk menghentikan tawa Re dengan menempelkan telunjuk di depan bibirnya. Namun, Re sama sekali tak meliriknya.

Gara menggeram. Ia telah salah bicara. "Nggak sengaja ketonton," tekannya mengeraskan gigi. Re malah semakin terbahak puas.

Gara tahu bohong itu dosa. Tapi lebih baik berbohong menjaga image daripada nanti gendok terus diejek sama sahabat sendiri yang takkan pernah bisa berhenti untuk mengungkit masalah yang sama ke depannya hanya untuk dijadikan sebuah lelucon.

Sahabat memang orang terjujur dan yang paling juara untuk mengejek habis-habisan. Tapi jika kita sudah kesulitan, sahabat pulalah orang yang paling cepat mengulurkan tangannya.

Re mulai mengatur pernapasan setelah tadi tertawa terlalu puas. Ternyata, tak ada yang namanya mantan sahabat. Karena sudah terbukti mau seberapa jauh pun jarak memisahkan suatu persahabatan. Sikap kepedulian itu tetap berada di sana. Tidak akan pernah pergi kemana pun.

"Nah!" pekiknya menarik pandangan Gara dan Alena untuk menatapnya. Re fokuskan pandangan pada Gara. "Karena gue ada syuting MV selama liburan dan gue nggak bakal bisa ngebatalin jadwal itu demi latihan bareng lo. Jadi solusinya adalah lo harus ikut sama gue," tandasnya.

Dahinya mengerut dalam. "Kemana?

Re tersenyum. "Roma, Italia."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!