11.59 WIB. Senin. Bulan Ketiga.
Selamat siang pemirsa!
Kembali lagi bersama saya Eca Sikuleuheu Siborangrang Simatupang disingkat Esa Sisisi yang akan menemani Anda selama tiga puluh menit ke depan dengan berita ter-HOT dan ter-BOOM, tentunya di acara berita Gosip Lover, Oke.
Baiklah sudah cukup basa-basinya, daripada Anda mual melihat wajah saya yang terlalu imut melebihi kucing anggora, saya akan langsung sampaikan berita terpanas minggu ini.
Sahabat Golok.
Siapa, sih, yang tak mengenal si pelantun merdu 'Syair Rinduku' yang lagi menjadi idola remaja tahun ini?
Ya, Re! Si penyanyi irit nama namun ganteng manis yang masih menginjak bangku SMA kelas akhir ini di awal debutnya sudah berhasil memikat banyak pasang mata. Berkat lagu karangannya sendiri ia berhasil menjadi penyanyi pendatang baru yang lagunya selalu menempati top-chart pertama tiap minggunya. Wah, keren banget, ya.
Walaupun menjadi penyanyi muda berbakat yang banyak dielukan, Re selalu bersikap ramah sama fans-nya. Ia tidak pelit senyum dan selalu berterima kasih sama semua orang yang udah nonton penampilannya. Uh, jadi pengen majang Re di rumah, deh. Kayaknya bakal anteng ngeliatin dia yang senyum—Tinut.
Warna gelap memenuhi layar TV.
Remote dalam genggaman langsung ia buang sembarang ke samping sofa yang ia duduki. Giginya terus ia keraskan sembari menatap jam tangan hitam yang terlingkar di lengan kirinya. Sudah sepuluh menit ia menunggu, batang hidung gadis itu belum juga muncul di penglihatannya.
"Woy! Lo nyari baju apa nyari jodoh, sih? Lama banget," gertaknya menggema ke seluruh penjuru kamar apartemen lantai lima miliknya yang terletak di Kota Bandung. Kaos putih melapisi tubuh bidangnya dengan jeans hitam sebagai pelengkap di kakinya.
Ia akan tampil di sebuah acara pembukaan Mall baru di Kota Kembang siang ini. Tapi sepertinya ia harus melewatkan acara tersebut karena mood-nya sungguh hancur berantakan akibat asisten pribadi yang tak kunjung kembali dari dalam kamarnya untuk mengambil sebuah kemeja.
"Maaf, Kak." Seorang gadis dengan cepolan rambut berlari tergopoh-gopoh dari dalam kamar sembari menenteng kemeja merah di tangannya, menghadap lelaki yang masih terduduk di atas sofa. "Bajunya ada di paling bawah tumpukan. Jadi tadi aku beresin dulu."
Kembalinya gadis ini alih-alih membuat mood-nya membaik justru bertambah buruk. Ia silangkan tangannya menatap malas gadis di hadapannya. "Gue bilang kemeja warna merah. Warna apa yang lo bawa?" ketusnya mengedikkan dagu pada kemeja yang dibawa gadis itu.
Kepalanya menoleh ragu pada kain yang sedang ditentengnya. "Ini, kan, merah?" jawabnya tak yakin.
Dihempaskannya napas kasar. Ia sudah tak bisa membendung kekesalannya. "Saat gue bilang merah, ya, merah! Bukannya merah tua kayak gitu!" sentaknya.
Warna gadis itu sudah memucat. "Tapi, Kak Re nggak punya warna merah selain warna merah ati ini," bela dirinya ketakutan.
Re terkekeh sinis. "Kalau gue nggak punya ...." Tatapannya menajam menatap kilat ketakutan gadis itu yang sama sekali tak berhasil merenyuhkan hatinya. "Ya, beli, dong!" tekannya. "Gitu aja harus dikasih tahu mulu, lo! Otak lo ditaroh di mana, sih?!" sentaknya, kesekian kali.
Bibir gadis itu pun bergetar saat Re merasakan napasnya tersengal dan juga tenggorokan yang jadi sakit teriak-teriak melulu. Ia kibaskan tangannya saat melihat pergerakan mulut gadis itu yang pasti mau mengucapkan kata maaf. Re sudah kenal betul bagaimana gelagat orang yang akan meminta maaf. Ia sudah sangat paham akibat terus melihat ekspresi yang sama tiap harinya.
"Gue nggak butuh maaf dari lo. Yang gue butuhin sekarang, lo pergi dari sini," tuntutnya.
Gadis itu kebingungan memilih kata yang tepat untuk mengatasi situasi ini. Namun, cowok di hadapannya sudah tak mau repot-repot mendengar pembelaannya.
"Lo! Gue pecat!" deklarasinya.
Mata gadis itu terbelalak. "Ta-tapi, Kak—"
Lengan kanannya terjulur tegas ke arah pintu masuk menginterupsi gadis itu untuk berhenti berkata.
"Ke-lu-ar," tekannya.
Bila sudah seperti ini, gadis itu tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia pun berjalan pasrah membuka pintu apartemen setelah menyimpan kemeja merah di punggung sofa yang diduduki oleh Re. Bersamaan dengan pintu yang terbuka, seorang lelaki memasuki kamar apartemen dan melihat mata gadis yang sudah memerah. Ia menepuk sekilas pundak gadis itu bersimpatik lalu berjalan menghampiri Re.
Lelaki itu mengelus dadanya menatap kusutnya wajah seorang cowok di atas sofa lantas mengangkat dua tangannya tampak berdoa. "Ya Tuhan, ampunilah dosa manusia yang senangnya memecat asisten pribadinya ini." Re mengernyit di kursinya. "Jangan azab dia sekarang, Ya Tuhan. Nanti aja kalau saya udah pulang biar nggak repot."
"MAS JUN!" sewot Re membuat Juniar terkekeh.
Lelaki berusia dua puluh lima tahun ini adalah manajer dari penyanyi terkenal di hadapannya. Ia mengajak Re untuk melakukan debut pertama kali karena ia terpana melihat kemampuan bernyanyi dari benih berbakat saat ia mengunjungi salah satu cafe. Sekali lihat pun sudah kelihatan, bahwa cowok ini akan mudah diterima masyarakat dan karyanya akan melejit di pasaran. Perkiraan Juniar tidak meleset sedikit pun dan ia berhasil membawa nama baik bagi Entertainment-nya, berkat Re.
Oleh karena itu, Juniar sangat sayang pada penyanyi satu ini walaupun tingkah artis baru ini sangat menyebalkan melebihi artis cewek manapun, tapi Juniar akan selalu sabar menanggapi segala permintaannya. Apalagi, Re sangat mirip dengan adiknya yang meninggal karena gagal ginjal tiga tahun lalu. Bersama dengan Re, bisa mengobati rasa rindu akan sosok mendiang adiknya.
"Malah ketawa lagi," desis Re mendengar sisa tawa manajernya.
Tangan Juniar gatal untuk mengacak rambut cokelat kehitaman yang sudah ditata sekeren mungkin di atas kepala yang langsung mengerang frustrasi. "Argh! Mas Jun! Sumpah! Lo nyebelin banget," ringis Re meratapi rambutnya yang jadi berantakan.
Pantatnya pun ia dudukkan di samping kanan sofa. Juniar tidak peduli dengan tampilan artisnya yang sekarang berantakan. Kalau sudah melihat aksi pecat memecat, Re pasti nggak bakal mau buat manggung. Terpaksa, duit tak jadi masuk kantong dari *Mall *baru itu. "Lo mecat asisten pribadi lo, lagi?" Yang ditanya mengangguk malas. "Yang barusan itu udah yang ke-tiga puluh delapan, Re!" geramnya.
"Lo kira mereka pembalut apa yang harus diganti tiap hari. Ini baru dua bulan, Re. Dua bulan," cecar Juniar mengacungkan dua jari dengan dramatis.
Re menaikkan kakinya dan bersila di atas sofa. "Ya salah elo-lah, Mas. Ngapain bawa orang yang gampang banget ngehancurin mood gue. Bawa orang yang pinter dikit, kek, yang ngerti omongan gue kemana," balasnya tak mau kalah.
Juniar menghela napas pasrah. "Bawain orang pinter? Oke, gue siap."
"Yang cantik juga," cicit Re.
Juniar menghela napas berat. Kemauannya memang nggak kira-kira. Mana ada cewek cantik yang mau jadi asisten pribadi artis? Harus cari di mana coba? Juniar memutar otaknya mencari kenalan atau siapa pun yang bisa diajak kerja sama.
Ditepuknya tangan satu kali. Akhirnya ia berhasil menemukan satu nama dalam pikiran Juniar. "Okey, siap! Gue bakal bawain lo cewek pinter dan cantik banget. Awas kalo lo masih mecat dia," tukasnya yang dibalas kedikkan bahu tak acuh dari Re.
****
Gemuruh ketikan keyboard memenuhi ruangan yang hening ini. Ruangan yang mungkin tak pernah mempunyai masalah bagi kalangan banyak orang tapi tidak bagi seorang gadis yang telah dipanggil puluhan kali ke dalam ruangan ini. Semua staf sudah bosan melihat wajah gadis yang selalu saja menjadi pemandangan tiap harinya.
Begitupun dengan gadis itu, Alena, ia sangat bosan harus bertemu dengan Bu Armata lagi, lagi, dan lagi. Karena alasan yang itu-itu lagi.
Armata menggeleng prihatin pada seorang gadis berseragam yang sibuk meremas gulungan buku di hadapan mejanya. "Alena-Alena-Alena. Kenapa kamu harus jadi orang yang pertama tiap kali saya sedang menghitung biaya administrasi sekolah. Kamu nggak malu apa? Biaya pendidikan kamu itu hasil tanggungan dari temen-temen kamu yang udah bayar.
"Mana tanggung jawab kamu sebagai pelajar di sini? Inget! Ini Sekolah Swasta bukan Negeri," tegasnya sudah tak peduli lagi dengan kehadiran seluruh Staf Tata Usaha yang menghentikan aktivitas sekedar untuk menatap prihatin orang yang diajak bicara Armata.
Alena hanya bisa menunduk malu. "Maaf, Bu."
Tangannya ia hentakkan ke meja berulang kali mencoba mencari perhatian dari Alena atau mungkin sedang membuang rasa kesalnya.
"Saya bicara sama kamu. Tatap mata saya, dong!" titahnya membuat Alena mau tak mau harus menurut hingga mata mereka bertemu.
"Saya selalu beri kamu tenggang waktu dan kamu selalu bilang kamu bakal ngusahain. Mana? Mana sampe sekarang tunggakan kamu, tuh, nggak berkurang, Al. Saya juga yang kena marah Kepala Sekolah karena kelakuan kamu yang selalu telat bayar."
"Maaf, Bu." Hanya kata itu yang bisa diucapkan gadis ini. Kata yang dapat meredam emosi sebenarnya agar tak menyembur keluar.
Ini bukan salahnya. Ini bukan kemauannya tak mampu untuk membayar. Kalau Alena tahu ujungnya akan berakhir seperti ini, lebih baik ia memilih Sekolah Negeri dan mengajukan beasiswa tidak mampu saja. Tapi semuanya sudah terlambat, percuma berandai-andai bila nyatanya takkan pernah bisa digapai. Hanya buang-buang waktu.
"Alena pasti akan membayar semua kekurangan. Tapi nggak bisa dalam waktu yang singkat, Bu. Dimohon keringanannya," ucapnya sayu.
Armata menghela napas panjang. "Saya nggak janji kalau Ujian Akhir Semester seminggu lagi, kartu kamu bakal turun. Seenggaknya ada pemasukan dulu baru ibu bisa bantu," tuturnya.
Alena menarik senyum tipis. "Makasih, Bu. Makasih banyak."
Ia pun menyalimi tangan Madam Tata Usaha yang paling disegani di sekolahnya ini sebelum berderap ke pintu keluar.
Tangannya menggapai gagang dan pintu kayu pun digeser sepenuhnya. Lorong kosong yang seharusnya ia lihat, justru dihalangi oleh sosok lelaki lengkap dengan senyuman ramah dan lambaian tangannya. Mata Alena terpaku pada wajah itu. Mengapa bisa dia ada di sini? Apa itu berarti lelaki ini menyaksikan semuanya?
Alena malu.
*****
Bibirnya sibuk menyeruput minuman dingin yang digenggam dengan dua tangan. Setelah puas, ia simpan Cup Plastic di atas meja menyisakan senyuman gembira di wajahnya.
"Makasih, Om Jun. Udah jarang aku main ke Starbucks kayak gini," celotehnya sambil terkekeh.
Juniar yang duduk di hadapannya hanya membalas dengan senyuman. "Padahal kalau kamu mau main tinggal panggil aja nama Om tiga kali. Om pasti dateng, kok."
Gadis itu malah menelengkan kepala menganalisis wajah di hadapannya. "Iya, udah mirip kok, Om," balas Alena.
"Mirip?" Juniar mengernyit. "Mirip apaan?"
"Mirip Setan." Alena langsung terbahak pada candaan garingnya.
Juniar menatap kosong gadis itu. "Tuh, kan, kamu mah! Om baikin malah ngeledek. Om pergi, nih." Juniar langsung mengangkat pantatnya dari kursi.
Niatnya mau pura-pura ngambek, biar nanti ditahan jangan pergi gitu. Tapi ini bakal ditahan nggak, ya? Kalau nggak, nanti Juniar malu sendiri. Ia sangat khawatir.
"Eh? Jangan pergi, dong. Gitu aja ngambek." Tangan Alena terjulur menarik lengan Juniar agar duduk kembali.
Juniar segera menyeruput minuman di atas meja untuk menyembunyikan senyuman leganya karena ia tidak jadi menanggung malu. Dasar childish.
"Om mau ngomong apaan?" tanya Alena.
Setelah menaruh kembali minumannya, lipatan tangan langsung disimpan di atas meja dan raut wajahnya berubah serius. "Gini, Na. Maaf kalau Om memang nggak sopan mencampuri urusan pribadi kamu. Tapi, kalau Om lihat dari situasi kamu sekarang, kayaknya Om bisa bantu kamu, deh."
Alena terhenyak. Dugaannya benar, Juniar pasti telah menyaksikan semuanya. Ia ingin marah karena lelaki ini tak sepatutnya melihat itu. Ia malu dengan keadaannya sekarang yang sampai harus jadi langganan ruang TU dibandingkan dengan kehidupan Juniar yang baik-baik saja bahkan bisa disebut mapan. Alena ingin menyembunyikan semua hal menyangkut keuangan keluarganya dari semua orang. Sayang, Allah tak mengizinkan itu dan malah memberikan kesempatan bagi Juniar untuk melihatnya.
"Maksud Om Jun, gimana? Kalau Om tadi lihat aku yang lagi dimarahin sama TU. Ya, aku memang lagi butuh banget uang biar aku bisa ikut ujian nanti," jawabnya.
Hati Juniar terasa lega dan sakit di saat bersamaan. Leganya, ia telah mendapatkan sosok yang tepat untuk artisnya karena dalam keadaan seperti ini, tak mungkin Alena menolak tawarannya. Tapi ia juga sakit karena sanak saudara alias keponakannya dari cucunya adiknya nenek sedang dilanda kesulitan tapi ia pun tak bisa membantu banyak karena keluarga Alena cukup tertutup hingga keluarga besar pun tak tahu sebenarnya masalah apa yang sedang melanda keluarga Alena.
"Kamu udah punya kerjaan?" tanyanya berharap Alena jangan sampai punya.
Alena menggeleng lesu. "Aku juga nggak punya kemampuan apapun. Kalau kerja di pom bensin atau kerja part-time di cafe, kayaknya dalam waktu dua minggu pas liburan sekolah cuma cukup buat bayar SPP sebulan. Alena juga bingung harus gimana," keluhnya.
Juniar mengembang senyum dan menjentikkan jarinya. "Om punya solusi buat kamu dan Om harap kamu juga bakal bantuin Om."
Alena langsung memasang wajah antusias. "Om punya kerjaan buat Nana? Apaan, tuh?" penasarannya.
Ditawari kerjaan sama seorang manajer artis. Siapa, sih yang nggak tertarik? Artis aja yang cuma nongol beberapa menit di layar bayarannya bisa selangit.
Pertarungan antara hati dan otak Alena pun terjadi. Berbagai harapan yang ketinggian pun hadir dalam benaknya walaupun langsung ditepis oleh pikiran akalnya. Nggak mungkinlah, Al. Nggak mungkin. Tapi gimana kalau bener? Ia terus berdebat sambil menunggu jawaban dari Juniar. Apa Om Jun bakal nawarin dia main film?
Pepatah mengatakan, janganlah berharap terlalu tinggi. Semakin tinggi kamu berharap, semakin sakit juga kamu jatuhnya. Dan, tepat seperti itulah yang dirasakan oleh Alena saat mendengar jawaban dari Juniar yang tak pernah terbesit dalam pikirannya.
"Jadi asisten pribadi artis, gimana?" tanyanya kelewat bahagia. Juniar menampakkan binar mata pengharapan seperti kucing yang lagi minta makanan. Lucu. Tapi ngeselin.
"Apa?!" pekik Alena tak percaya. Langsung ia buang wajahnya sembari bersedekap. "Nggak mau, ah. Itu sama aja jadi pembantu! Nana nggak mau," tolaknya mentah-mentah.
Tuh, kan, apa Juniar kata. Minta cewek cantik mah susah.
"Eh? Bentar dulu, Na! Percaya, deh, sama Om. Kerjaannya gampang, kok. Cuma nyiapin kostum sama palingan yaaa nurutin apa kata artisnya aja dan terutama jangan sampe mood artis itu turun. Udah, gitu doang, kok," bujuknya.
Alena menggeleng tegas. "Mending kerja di SPBU, deh, kalo gini caranya. Om tahu, kan, Nana tuh paling nggak bisa disuruh-suruh sama orang."
"Kamu kerja, kan, disuruh atasan juga, Na. Apa bedanya?" cibir Juniar.
Alena mati kutu. "Ya—bedalah," sanggahnya tak mau kalah. Kembali ia tatap Juniar. "Lagian artis Om juga udah tua kali. Masa iya asistennya anak SMA kayak Nana."
Barulah Juniar mengerjap. Udah tua? Siapa yang Alena maksud? Matanya melebar mengingat seseorang yang pasti ada dalam pikiran gadis itu.
"Yaelah, Na. Om udah ganti. Nggak manajerin dia lagi!" cetusnya bangga.
Kalau bukan Kiwil, terus siapa?
Mengetahui kegelisahan Alena yang terpampang jelas di wajahnya, Juniar pun mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu dan membisikkan hal yang sangat ingin diketahui Alena.
"APA?!" Alena menjerit lebih keras dari sebelumnya hingga Juniar tersentak mundur dan punggungnya menabrak sofa. Juniar langsung menempelkan telunjuk pada bibirnya menginterupsi Alena untuk diam. Tepatnya, untuk jangan malu-maluin.
Alena yang menangkap kode Juniar pun mengangguk canggung dan memberikan senyuman manis pada pengunjung lain yang menatap sinis ke arahnya karena ikut tersentak kaget mendengar jeritan heboh milik Alena.
Digigitnya bibir bawah tak tahu mau berkata apa. Ini nggak mimpi, kan? Alena masih ada di dunia nyata, kan? Juniar mengatakan hal yang sama sekali tak pernah ada dalam pikirannya.
Menjadi asisten pribadi Re Si Penyanyi yang sedang naik daun itu? Ah, siapa seorang penggemar yang nggak bakal nerima tawaran ini? Hal seperti inilah yang sering disebut dengan keajaiban oleh banyak orang. Hal kecil yang tak pernah terbayangkan akan terjadi pada kehidupan kita. Kenyataan tapi bagai sebuah mimpi.
Melihat reaksi Alena, Juniar jadi santai. "Jadi, gimana? Kamu mau, kan?" tanyanya memastikan.
Alena bukan hanya sekedar penggemar Re di saat ia terkenal seperti sekarang. Ia sudah menggemari Re saat cowok itu masih bukan siapa-siapa. Saat cowok itu masih berlari di taman bersamanya dengan bedak putih yang sangat tebal setelah ia mandi sore. Saat cowok itu, pernah menjadi teman baiknya.
Satu dekade yang lalu.
Alena mengangguk tanpa sadar. "Iya."
Kalau hubungannya sudah sama Re, otaknya jadi penuh sama bunga-bunga yang bermekaran. Nggak ada ruang lagi buat mikir. Sekarang aja bibirnya udah senyum-senyum nggak jelas kayak orang dongo. Ia hiraukan sipitan mata Juniar yang seakan mengerti reaksi Alena seperti ini. Lelaki itu tersenyum penuh makna.
Juniar telah memilih orang yang tepat.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Zean Dirgantara
jiahhh seruuuuu
2020-06-23
0
Gloria VP
lanjuttt thor...
2020-06-18
0
Ratna0789
lanjut kak...dan mapir jg ke novel saya ya kak...
judulnya 1.hujan
2.Janda vs duda
2020-04-17
0