"Halo, Brin?!" Alena harus memekik cukup kencang seraya menutup sebelah telinganya yang tak tersumpal telepon genggam. Ia sedang memunggungi Re yang baru saja turun dari panggung dan sedang disambut Juniar dan kawan-kawannya.
"Al, lo nggak ke sekolah lagi?" Terdengar suara Sabrina teman sekelas Alena yang tiba-tiba menghubungi larut malam begini. Alena sempat tersentak saat melihat layar ponselnya bergetar menuliskan nama Sabrina di sana.
"Gue lagi sibuk, Brin. Lagian minggu ujian kan udah beres. Masih ada jeda waktu seminggu sebelum pembagian rapot, paling diisi sama Porseni. Emang ada yang penting, ya? Sampe malem begini lo nelpon," Alena terkekeh kecil.
Terdengar suara Sabrina yang terkekeh canggung merasa bersalah menelepon Alena di jam 11 malam ini. "Maaf kalo ganggu. Gue cuma mau nyampein kalo nilai ulangan lo nggak ada yang di remedial, Al."
Alena menahan pekikkan gembiranya. "Oh, iya? Tahu dari mana?!"
"Gue kan anak kesiswaan. Jadi suka ngintipin aja nilai anak-anak. Dan nilai lo semuanya di atas 87. Gila banget, sih, lo!"
Alena hanya bisa terkekeh. "Yah, gila yang bagus, kan?"
"Iya, bagus banget. Makanya gue nggak sabar bilang ini ke elo."
"Thanks, ya!"
"Yes, urwell, jadi cepet sana daftar buat beasiswa ke Oxford University. Udah dibuka, tuh. Nanti kuotanya penuh, lagi."
"Okay, gue bakal daftar online besok pagi."
"Gue selalu bangga punya temen kayak lo, Al. Good night! Mau bocan!"
Belum sempat Alena membalasnya, nada sambungan terputus sudah terdengar. Ingin rasanya Alena memaki tapi rasa kesal dapat teredam dengan mudah karena pesan dari Sabrina sudah terlanjur membuatnya bahagia. Alena tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Deretan gigi langsung terlihat amat lebar.
Jalan untuk sampai ke Oxford University telah menemukan titik terang. Setidaknya, Alena sekarang percaya diri untuk mendaftar beasiswa ke sana. Ini merupakan cita-cita Alena sedari kecil. Makanya ia masuk sekolah swasta internasional yang berbiaya fantastis sebagai batu loncatan agar lebih mudah menuju Universitas Luar Negeri.
Edwin sangat yakin bahwa ia bisa membiayai pendidikan sepenuhnya, namun insiden penipuan itu malah menghancurkan semua rencana. Insiden yang menimpa Alena saat baru menginjak kelas sepuluh semester dua yang membuat Alena harus berjuang membiayai sekolahnya sendiri dengan bekerja paruh waktu setiap hari sabtu dan minggu.
Alena harap, cita-citanya dapat terwujud tanpa ada penghalang yang lain lagi. Ia harus belajar dengan giat sebagai persiapan ujian nasional dan persiapan ujian lewat jalur beasiswa. Alena tak boleh membuang-buang waktu.
******
Entah mengapa selepas manggung hari ini semuanya terasa berbeda. Hati Re lebih terasa plong dan ia merasa sangat puas dengan penampilannya. Saat ia turun dari panggung pun ia langsung disambut dengan senyum dari kedua sahabatnya. Poin catatan keinginan Re, kini tercentang salah satunya.
"Keren, lo, Re!" Fikran mengangkat dua tangannya memberikan tos cukup keras pada dua telapak Re yang tersenyum lebar.
Yusuf menampilkan senyum datarnya yang khas seraya mengangkat tangan kanannya untuk Re. Saat tos dengan Yusuf, cowok itu malah menarik tubuh Yusuf hingga mereka berbenturan bahu.
Tindakan bodoh. Malah Re juga yang meringis sampai ia mengelus sebelah bahunya tapi tidak dengan Yusuf yang sepertinya baik-baik saja. Padahal suara gedebuk sangat jelas terdengar. Cowok lempeng itu hanya mengelus bahunya sekilas tanpa ada guratan kesakitan di wajahnya.
Dasar manusia robot.
Juniar langsung mengacak puncak kepala Re. Kebiasaan. Re pun mendengus kecil. Entah mengapa, mau kesal pun rasanya tak bisa karena bibirnya terus **** senyuman lebarnya.
Ia edarkan pandangannya. Mencari ... gadis itu? Re tak yakin mengapa ia mencari gadis itu. Mungkin ia hanya ingin berterima kasih karena bantuannya, Re bisa menenangkan hati dari permasalahan Gara sejenak.
Matanya menelusur dan dapat! Pandangannya terarah pada pojok ruangan di mana rambut lurus gadis itu terlihat di sana. Re pun menghampirinya dan mencolek bahu Alena yang baru saja menurunkan genggaman ponsel.
"Aspri!" panggil Re semangat. Gadis itu malah mengentakkan kakinya gembira. Cih, lucu.
Re langsung tarik sebelah bahu gadis itu agar menghadapnya. "Heh! Lo kenap—"
Mata Re melebar sempurna saat lengan gadis itu melingkar erat di tubuhnya.
Re dipeluk Alena.
"Dadah! Aku pulang, ya!" pekik gadis kecil itu sambil melambai pada Re yang baru beres membangun istana pasir di Taman Bermain Kenanga.
Re yang baru berusia tujuh tahun itu melipat tangan dan membuang wajahnya, memberengut. "Nggak boleh! Aku macih mau main cama kamu," cebiknya. Belum bisa ngomong S.
Gadis kecil itu sudah dijemput ayahnya. Tapi melihat Re yang cemberut seperti ini, ia kembali lagi berhadapan dengan Re. "Aku mau pulang dulu. Betsok lagi kita mainnya," jelas gadis itu.
Re menggeleng dua kali. "Nggak mau, jangan pulang dulu!" paksanya melotot. "Kamu mau aku cendilian di cini? Kamu nggak kacian apa? Kalau aku ditangkep cama gendeluwo gimana? Kalau aku diganggu cama cabe yang pahanya keliatan gimana? Kamu mah jahat cama aku. Aku—"
Napasnya seketika tercekat dengan mulut yang masih manyun karena vokal terakhir yang ia katakan adalah U.
"Belitsik," gumam gadis kecil itu yang sudah melingkarkan erat lengannya di leher Re, menghentikan cowok itu bicara.
Degupan jantung ini sama persis seperti saat itu. Hanya gadis kecil itu yang bisa membuat Re merasakan sensasi aneh ini. Matanya tak bisa ia kedipkan. Ia mematung membiarkan dentuman jantungnya berpacu di dalam sana. Re tak bisa mencegah ini terjadi, gerakan dadakan ini sangat-sangat tiba-tiba dan membingungkan Re. Sebenarnya, siapa gadis ini?
Alena menenggelamkan wajahnya menyembunyikan senyum lebarnya di tubuh seseorang. Ia mengerjap. Apa baru saja Alena berkata tubuh seseorang?
Ruhnya kembali pada dirinya. Tubuh kekar milik siapa yang telah Alena jadikan sebagai pelampiasan rasa senangnya? Perlahan ia regangkan lingkaran tangannya dan perlahan pula ia dongakkan kepalanya.
Oh, tidak. Bahunya melemas. Ini sangat buruk. "AH-Hmph!" Dengan cepat ia tutup mulutnya yang seketika menjerit. Menarik kepala Juniar, Yusuf, dan Fikran untuk melihat tempat kejadian perkara. Alena semakin kelabakan. Pipinya semakin bersemu merah dan ia sangat malu.
"Na? Kenapa?" khawatir Juniar menghampiri Alena yang menutup mulut dengan mata yang membulat berhadapan dengan Re yang mematung tanpa berkedip sekali pun.
Melihat ini siapa yang tak akan curiga pada si cowok? Juniar mulai menganalisis situasi. Gadis itu tampak terkejut dan menutup mulutnya saat berhadapan dengan Re dengan jarak yang tak bisa dikata wajar. Mungkin hanya berjarak setengah ubin lantai. Berbagai kemungkinan hadir dalam pikiran Juniar, namun hanya satu kemungkinan yang paling-paling-paling-bisa terjadi antara seorang gadis dan seorang lelaki.
Kissi—Plak!
Juniar langsung menggeplak kepalanya sendiri. Aduh, pikiran jones mah terlalu nganu, batinnya meringis.
Re tidak mungkin juga melakukan itu, kalau tidak mau dipecat jadi anaknya Naya.
Fikran pun menepuk pundak Re yang membuat cowok itu tersentak. "Hwa!" kejutnya disusul napas terengah-engah seperti baru saja ia dikagetkan hantu. "Woy, napa lo?!" tanya Fikran.
Re mengerjap dan menurunkan pandangannya pada Alena yang masih ada di hadapannya. "Hei—"
Belum selesai Re berucap, gadis itu langsung mengatup wajahnya dan menyenggol Re dan Fikran untuk membuka jalan. Ia pun lari terbirit-birit sembari terus menggeleng-gelengkan kepala meninggalkan keempat cowok yang cengo di tempat.
"Lo ... ngapain dia?" datarnya menatap jalur hilang gadis itu.
Re berdehem dan merapikan setelan jasnya ikut menatap apa yang ditatap Yusuf. Ia bergumam. Gumaman yang langsung dihadiahi dengan tatapan tak percaya dari tiap kepala yang ada di sekitarnya.
"Dia yang ngapain gue."
*****
Rambutnya ia jambak sendiri di dalam kamar mandi. Pantulan dirinya di cermin yang seharusnya ia lihat justru berubah menjadi sosok yang baru saja dipeluknya di belakang panggung. Wajah yang tercengang dan tak percaya itu masih sangat jelas teringat dalam memori Alena.
"Ah! Lo bodoh banget, sih! Kebiasaan-kebiasaan-kebiasaan asal meluk orang kalau lagi seneng," rutuknya seraya memukul kepalanya sendiri berulang-ulang.
Ia simpan tangannya di atas wastafel dan menatap pasrah pantulan dirinya. "Kalau lo dipecat, gimana?"
Alena tidak bisa menebak apapun yang akan dilakukan cowok itu setelah ini. Dia Re! Artis baru songong yang suka semena-mena. Bagaimana kalau Re marah Alena peluk seperti tadi? Cowok itu kan tidak ingat bahwa Alena adalah teman semasa kecilnya. Statusnya sekarang pun hanya seorang asisten pribadi. Punya hak apa seorang Aspri untuk memeluk Artisnya sendiri?
Alena harap, kejadian ia joget di lampu merah takkan terulang lagi. Ia takkan mau melakukan hal bodoh untuk kedua kalinya demi mendapatkan kata maaf dari mulut Re.
Ia tatap kedua telapak tangannya. Alena tak percaya ia telah melakukan itu. Alena masih bisa merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuhnya Re ke seluruh tubuhnya.
Alena sentuh dada kirinya. Masih terasa nyeri. Tadi hatinya langsung tersayat halus saat Alena sadar bahwa yang ia peluk itu adalah orang yang disayanginya. Bibir gadis itu langsung mengembang sempurna. Ia bahagia.
Alena ambil sisir di atas wastafel lalu menyisir rambutnya yang sudah mengembang akibat jambakannya sendiri. Ia pasti sudah dicemaskan Om Jun, karena sudah lebih dari setengah jam Alena sembunyi di sini. Rasa malunya tadi sudah sampai puncak. Ia merasa benar-benar telah melakukan hal yang gila.
Ia rapikan sedikit riasan naturalnya. Sedikit memakai bedak dan melapisi ulang bibirnya dengan lip-tint mate. Bagaimana pun ia adalah wanita yang harus selalu menjaga penampilannya.
Alena pun menarik pintu kamar mandi dan matanya langsung menangkap kehadiran cowok yang sudah bersandar memejamkan mata pada dinding luar kamar mandi wanita.
Mungkin, ini pacar dari wanita yang baru saja memasuki kamar mandi. Alena tidak peduli tentang itu. Ia pun membelokkan kakinya ke kiri menyusuri lorong kembali menuju ruang ganti Re.
Saat ia buka pintu, ruang ganti sudah bersih dan kosong. Kemana semua orang? Alena pun menutup pintu lalu membalikkan tubuhnya.
"Hwa, lo ngagetin gue, aja!" refleks Alena yang terkejut melihat seorang cowok sudah berdiri di hadapannya. Cowok yang tadi ia lihat di luar kamar mandi.
"Siapa yang ngagetin?" kesalnya merasa disalahkan. "Heh, apa lo nggak ngeliat apa gue di depan WC nungguin lo," geramnya.
Ternyata cowok yang barusan Alena lihat adalah Re yang sudah berganti pakaian kasual. Pantas saja Alena tidak mengenalinya. Apalagi, Alena memang tak biasa untuk peduli pada makhluk yang namanya cowok. Sekali lihat tidak kenal, ya mana mau Alena sapa.
Alena menggaruk lehernya canggung. "Ya ... gue nggak tahu itu lo."
Re berdecih dan mengibaskan lengannya. "Yaudahlah, tadi juga gue sekalian lewat terus denger suara lo yang teriak-teriak nggak jelas. Makanya gue nungguin lo," ujarnya.
Alena memerah. Teriak-teriak? Apa berarti Re mendengar semuanya?
"Yang lo denger apaan?" kepo Alena memasang wajah sangat penasaran.
Re mengernyit. Ia tidak mendengar apapun. Kan sudah Re katakan teriakkannya tidak jelas.
"Emang, apaan yang lo mau gue denger?" ucapnya memutar balikkan pertanyaan.
Alena berdehem. "Nggak ada. Nggak ada apa-apa."
Re menatap curiga gadis itu. "Terus kenapa lo meluk gue?" tanyanya lancar tanpa beban apapun. Padahal jantungnya malah berdebar sendiri menanyakan hal beginian.
"Oh?" Alena gelagapan. "Cuman ... gue seneng ..."
"Seneng?"
"Itu ... gue ..." Alena hanya perlu berkata jujur. Tapi mengapa ia sangat malu bila harus mengatakan itu. Ia tak bisa mengatakannya. Takkan pernah bisa.
Re malah menyejajarkan wajahnya ke wajah Alena sembari memicingkan mata curiga. Tubuhnya sedikit membungkuk saat ia melakukan itu.
Binar coklat madu yang sudah sejajar dengan tinggi Alena membuat napas gadis itu tercekat. "Ngapain, lo?" risih Alena.
Apa jangan-jangan Re jadi curiga kalau Alena menyukainya? Itu memang hal yang bagus jika Re akhirnya menyadari itu. Tapi, bagaimana jika Re malah menjauh setelah mengetahui itu? Alena belum siap untuk menjauh dari Re.
Atau jangan-jangan Re ingat bahwa Alena adalah teman semasa kecilnya? Binar harapan pun terbit membalas tatapan curiga cowok itu.
"Lo fans gue, ya?" Pertanyaan yang tidak terduga.
Alena mendorong kasar bahu Re agar kepala itu tak lagi condong ke depan. "Nggak! Bukan sama sekali. Kan udah gue bilang gue bukan fans elo," sanggahnya. Entah mengapa Alena malah menjadi kesal seperti ini. Ck, Re menyebalkan.
"Pembohong," tukas Re yakin seraya bersedekap.
"Ih, tahu dari mana lo gue bohong?"
"Tuh, kan, ngaku."
Alena mati kutu. Ingin rasanya ia menggali kuburannya sendiri sekarang. Mengapa ia selalu bertingkah bodoh di depan Re? Padahal ia selalu bisa menjaga sikapnya di depan orang lain.
Cinta memang selalu bisa melumpuhkan otak saat bersama dengan orang yang dicinta.
Re langsung terbahak penuh kemenangan melihat Alena tak dapat mengelak lagi. Ia pun rogoh saku jaket tebalnya dan mengangkat ponsel itu tinggi-tinggi.
"Dari sini gue tahu lo bohong." Alena terbelalak melihat ponselnya sudah ada di tangan Re.
Ia tunjuk ponsel itu. "Kok hp gue ada di elo?" tanyanya tak percaya.
Bukannya menjawab, Re malah membuka aplikasi musik di ponselnya Alena dan menggosok jempolnya di layar hingga semua lagunya bergulir dari bawah ke atas.
"Semua lagu di sini isinya lagu gue semua. Bahkan foto gue juga lo pasang jadi lockscreen," cetusnya.
Alen makin meringis. Ah, ia ingin membuang wajahnya sejauh mungkin sekarang juga. Apa yang lebih memalukan daripada ini?!
"Lo jatohin ini pas lagi meluk gue. Lo terlalu seneng, ya, ngeliat penampilan gue dari deket sampe meluk gue kayak gitu?" terkanya sok tahu.
Alena hanya mengangguk ragu. "I-ya," pasrahnya. "Iya kayak gitu, deh," jawabnya tak ikhlas.
Re berdecih dan memasukkan ponsel itu ke dalam sakunya. Alena menatap heran pergerakan itu. Sebelum mendengar suara berisik gadis ini, Re sudah memotongnya duluan.
"Gue sita hp lo! Sebagai hukuman lo ninggalin kerjaan setengah jam sampe Yusuf sama Fikran yang malah bantuin gue dan Mas Jun beresin barang-barang ke mobil," omelnya.
Alena hanya bisa menghela napas pasrah. "Sampe kapan?"
"Ya terserah gue, lah. Gue bosnya," sombongnya.
"Ih, nyebelin," rutuknya. "Kalau ada telepon atau pesan apapun kasih tahu ke gue dan jangan sampe lo baca pesannya! Gue laporin juga lo melanggar privasi orang lain," ancamnya.
Re memutar bola matanya. Ia tahu itu. Ia juga tidak mau sembarang mengotak-atik hp orang. Re hanya mengecek lagu dan membuka galeri foto gadis itu saja. Ia tidak berani untuk membuka pesan atau bahkan riwayat panggilan di ponsel gadis itu. Karena itu sangat tidak sopan.
"Enggeh, Nyaiii," balas Re penuh tekanan diakhir dan menggunakan bahasa Jawa yang artinya ya. Re akan melakukan permintaan gadis itu.
Mereka pun berjalan ke parkiran di mana Juniar telah menunggu mereka. Alena bisa menghembuskan napas lega karena Re tidak marah sudah ia peluk seperti itu. Sedangkan Re yang berjalan di samping Alena, terus melirik bergantian jalan dan puncak kepala gadis itu yang hanya setinggi dagunya.
Bukan menjadi penggemar yang Re pikirkan dalam otaknya setelah ia dipeluk erat gadis itu. Ia hanya mengatakan itu karena pikiran yang terbesit akan siapa sebenarnya gadis ini pasti mustahil.
Sensasi aneh itu, degupan jantung yang berdetak amat cepat sampai Re bisa merasakan hatinya tersayat akan perasaan terkejut dan bahagia, bisa Re rasakan kembali saat bersama gadis ini.
Hanya dia yang bisa membuat Re seperti ini. Hanya gadis kecil dalam ingatannya satu dekade yang lalu yang bisa melakukan itu.
Tapi mengapa Re merasa bahwa asisten pribadinya ini adalah teman semasa kecilnya?
Pikiran itu langsung ditepis kuat. Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis ini adalah dia. Itu tidak mungkin terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
fadilah
nex
2020-06-21
0