Bab 10

"Kok kamu bisa ada di sini?" tanya Alena sembari berjalan menyusuri lorong Villa sebagai tempat pemotretan majalah Re.

Alena sedang tidak ada kerjaan, karena Re sedang sibuk melakukan pemotretan. Oleh karena itu, ia mengajak Gara untuk berjalan-jalan mengelilingi Villa karena tadi sore mereka bertemu di tepi danau. Ternyata Gara juga sedang melakukan perjalanan dengan mobil menuju Villa yang sama.

Gara meneguk minuman botolnya, berjalan di samping Alena. "Aku sama temen-temen udah nyewa duluan Villa ini buat tiga hari. Dan pihak majalah malah ngotot ikutan nyewa malam ini juga. Tawaran duitnya lebih gede, jadi pihak Villa ngizinin dan minta maaf atas ketidaknyamanannya," jelas Gara.

Tadi sore, Gara yang juga menghentikan mobil di tepi danau untuk mampir membeli makanan, melihat Alena terduduk di tepi danau. Tanpa ingin membohongi perasaannya, ia mendatangi gadis itu yang sedang cemberut sembari membereskan misting untuk membantunya. Ia tak menyangka bahwa mereka akan menuju tempat yang sama.

Ia dan teman-temannya hanya ingin melepas kepenatan selepas ujian akhir semester berlangsung. Seharusnya Gara tak boleh ada di sini. Ia harus latihan bernyanyi. Tapi ia tak bisa menolak ajakan teman barunya itu karena Gara tidak mau kehilangan mereka. Mencari teman ternyata lebih sulit dari apa kelihatannya. Gara baru menyadari hal itu.

Alena hanya manggut-manggut membulatkan mulutnya. Setelah itu, keheningan melanda. Gara tak berbicara apapun begitu pun Alena yang tak tahu mau berkata apa. Merasa canggung tak ada hal yang dibahas selanjutnya, Alena mencoba mencari topik pembicaraan.

"Kamu sekarang tinggi banget, sih," tukasnya tiba-tiba.

Alena langsung menghentikan langkah yang gerakkannya diikuti oleh Gara. Gadis itu berjinjit mencoba mengukur tingginya dengan telapak tangan yang membandingkan puncak kepalanya dengan puncak kepala Gara.

"Tuh, lihat!" pekik Alena.

Ia pun menurunkan tangannya dan mengukur tinggi puncak kepalanya dan ternyata hanya mencapai dagu cowok itu. "Aku cuma sedagu kamu," cebiknya.

Gara yang awalnya mengernyit heran melihat tingkah gadis itu yang kekanakan, sekarang hanya bisa terkekeh dan kembali melangkahkan kakinya.

"Makanya disiram biar tumbuh," candanya dengan nada datar yang khas.

"Ih, kok gitu?! Emangnya aku apaan disiram segala," balasnya mengikuti langkah panjang kaki Gara.

"Hubungan kamu sama Re—"

"Cuma kerjaan," potong Alena cepat. Ia tidak mau Gara malah salah paham akan hubungannya. Walaupun dalam hati, Alena selalu berharap jika hubungannya dengan Re bisa lebih dari ini.

"Aku jadi asisten pribadinya, Gar. Dia Bos aku," terangnya seakan tahu apa yang akan Gara tanyakan. "Nyebelin banget, ya? Dia nggak inget lagi sama aku," cerocosnya seraya melipat tangan.

Gara menaikkan satu alisnya. "Nggak inget?"

Alena mengangguk mantap. "Hm! Kamu aja yang sama-sama udah aku tinggalin sepuluh tahun masih inget, masa dia enggak?!" kesalnya.

Gara tatap wajah gadis itu dari samping. "Kita kan pernah ketemu pas liburan sekolah SMP di Jogja tiga tahun lalu. Makanya aku bisa inget sekarang," ujar Gara kemudian mengalihkan pandangan ke ubin lantai.

Gara dan Alena sama-sama mencoba mencari ingatan lampaunya dan muncullah bayangan saat Alena menghampiri Gara yang hendak naik ke bis pariwisata. Gadis itu menanyakan apakah ia Gara atau bukan dan saat gadis itu menanyakan apa Gara ingat padanya atau tidak. Gara menggelengkan kepala.

"Pas waktu itu kita ketemu, aku juga lupa, kan," ujarnya. "Nggak inget sama sekali."

Alena memberengut. Benar juga apa kata Gara. Mungkin, apabila Alena tak pernah mencoba mengingatkan dirinya pada Gara, cowok ini pun takkan pernah ingat padanya.

"Apa aku bener-bener berubah, ya?" gumamnya.

Gara mengangguk cepat. "Ya. Sangat. Dulu kamu cantik."

Alena merasa hatinya tercubit perasaan bahagia. Sudah lama Alena tak dipuji sama yang namanya cowok. Alena lupa kapan waktu terakhir kali.Ia selalu cuek sama orang yang tak dikenalnya. Mau di sekolah maupun di lingkungan rumah, Alena hanya bisa tegur sapa dengan senyuman. Itupun malah terlihat tidak ikhlas karena Alena selalu merasa risih disapa oleh cowok. 

Banyak cowok yang malah menghindari Alena saking cueknya. Otaknya yang encer di kelas pun menjadi faktor banyak cowok yang minder duluan mendekati Alena. Jadi, hati Alena sedikit menghangat dipuji seperti ini. Apalagi sama orang ganteng. 

"Kalau sekarang?" penasarannya.

"Jangan ditanya," balas Gara menjaga sikap kerennya.

"Apaan, tambah cantik?" Mata Alena sudah berbinar.

"Beuh. Saking cantiknya sampai nggak kelihatan mana mukanya."

Gara terbahak puas melihat siratan kebingungan yang tertera di wajah gadis itu.

"Ih, Gara!" Alena langsung menabok lengan kiri cowok itu hingga meringis. Ia tidak mengerti apa ucapan cowok itu.

"Muji apa menghina, sih?" rengut Alena yang masih kebingungan atas jawaban Gara.

"Muji yang menghina," jawabnya sambil meringis.

Gara memusuti lengan kirinya yang kembali menguarkan rasa sakit dari pukulan rotan yang selalu hinggap di sana. Kalau ia ingat bahwa gadis ini suka menabok lengan orang. Gara pasti akan memutar posisinya dahulu.

"Ih, nyebelin." Alena hendak memberikan pukulan ekstra pada cowok itu biar tahu rasa, tapi ia urungkan niatnya karena melihat ekspresi kesakitan di wajah Gara yang benar-benar nyata. Tak tersirat sedikit pun kepura-puraan. Apalagi, ditambah Alena dapat melihat darah yang menembus kaos putih lengan panjang yang Gara kenakan.

"Gar! Kamu berdarah!" panik Alena. Ia pandang ketakutan telapak tangannya yang kini memerah. "Aduh emang tabokan tangan aku ini super banget, ya? Sampe kamu berdarah begini?"

Ini adalah kasus pertama dalam hidup Alena yang kena tabok dari tangannya sampai berdarah seperti ini. Ia sangat merasa bersalah. Ia tidak mau menabok orang lagi kalau seperti ini jadinya. Ya, tapi tetap tergantung situasi. 

Keningnya berkerut dalam akan rasa penyesalan. "Maafin aku, Gar. Maafin." Alena terus menggosokkan dua tangan di atas kepalanya.

Gara menggelengkan kepala. "Nggak papa. Ini bukan salah kam—ah." Ia merasakan luka yang baru saja tertutup di sekitar lengannya sudah terbuka lagi dan terasa makin robek.

"Sini, aku obatin."

Alena langsung menuntun cowok itu untuk duduk di salah satu kursi taman yang ada di depan mata mereka. Taman yang berada di bagian tengah Villa ini cukup memiliki penerangan yang baik dari bola lampu yang terpajang di tiap sudut taman.

Setelah Gara duduk di atas pahatan pohon yang dibuat sedemikian rupa hingga terlihat seperti kursi, Alena segera berlari mencari kotak P3K yang pasti selalu disediakan di dalam Villa. Itu merupakan salah satu peralatan wajib yang ada di tiap rumah, selain tabung APAR kebakaran.

Ia menyusup ke dalam Villa tanpa peduli tatapan heran dari teman-teman Gara yang berkumpul di ruang televisi Villa ini. Karena Alena tak menemukannya dan tidak berani untuk menerobos tiap kamar yang ada di Villa, Alena pun bertanya pada salah seorang cowok yang duduk di atas sofa. Cowok yang pernah ia lihat di sekolahan Re--Naba. 

Semua mata yang melihat kehadiran gadis yang tiba-tiba menyelonong masuk ke daerah teritorial mereka, langsung berisyarat satu sama lain. Sasaran empuk.

Mereka ingin menahan gadis itu di sini dulu. Tapi melihat raut gelisah gadis itu, Naba dan kawan-kawan tak jadi menjahilinya. Mereka tak tega. Naba pun memberitahukan bahwa kotak P3K ada di laci nakas samping televisi. Alena berterima kasih banyak pada cowok itu dan segera berlari kembali menghampiri Gara.   

Alena pun hadir dalam penglihatan Gara. Gadis itu memaksa Gara yang sudah mengatakan padanya, bahwa ia tidak mau diobati. Gara bisa mengobati luka ini sendirian. Tapi gadis itu bersikeras memaksanya hingga Gara pun menyerah. Ia hanya bisa pasrah dengan reaksi gadis itu melihat bekas lukanya.

Alena menganga tanpa ada kata yang bisa keluar dari bibirnya setelah melihat Gara yang telah melepas kaosnya hingga ia shirtless di depan gadis itu.

Bukan karena otot perut Gara yang jelas terlihat, tapi mata Alena lebih terpana pada luka di lengan kirinya yang sangat dalam dan terlihat membiru. Banyak bekas goresan tebal memenuhi lengan kiri Gara. Bahkan banyak yang sudah sampai robek hingga mengeluarkan darah.

"Gar? K-kenapa?" tanya Alena iba yang duduk di samping kiri cowok itu. 

Gara hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Ia sangat malas untuk menjelaskan alasannya makanya ia tidak mau diobati. Tapi melihat binar mata gadis itu yang menampakkan rasa peduli, sepertinya Gara bisa mempercayakan rahasia ini padanya.

"Katanya mau ngobatin," tagih Gara. Alena langsung gelagapan dan mengobrak-abrik kotak P3K. Ia malah lupa apa yang mau ia lakukan. "Sambil kamu ngobatin, aku cerita."

Alena pun mengangguk dan mulai memberikan pengobatan.

*****

Lokasi pemotretan menggunakan taman belakang Villa dan satu ruangan yang dimodifikasi hingga bernuansa vintage sesuai tema yang diinginkan fotografer. Re melakukan pemotretan yang sudah menghabiskan waktu empat jam dari pukul 5 sore. Termasuk waktu untuk merias wajahnya. 

Ia dapat melakukannya dengan baik karena mood-nya berangsur pulih. Re tidak yakin dari kedua hal ini yang manakah sebenarnya yang bisa mengembalikan mood-nya.

Masakan Ibunnya yang lezat ... atau ... kehadiran gadis itu di sampingnya?

Re tidak tahu yang mana.

Setelah instruksi dari fotografer untuk beristirahat berkumandang, Re mengangguk mengerti dan menghampiri salah satu kursi.

Re mendengus kesal di kursinya. Kemana gadis itu? Saat ia kelelahan seperti ini, gadis itu malah tak stand-by di tempatnya.

Karena ia sudah sangat kehausan, terpaksa ia ambil minumnya sendiri di dalam tas yang ditinggalkan begitu saja oleh Asprinya.

Tadi terakhir terlihat, ia bersama Gara yang ternyata menginap juga di Villa ini. Melihat kedekatan mereka saat di sekolah pun, sepertinya mereka sudah mengenal lama.

Tapi sejak kapan Gara punya teman perempuan? Semenjak berteman dengannya, Gara tidak pernah mengatakan apapun jika ia punya teman perempuan. Karena semua teman Gara, pasti teman Re juga. Setidaknya sampai satu tahun yang lalu.

Apa jangan-jangan mereka pacaran yang kenalnya lewat role-player?

Pikiran ini semakin mendidihkan darah Re. Awas saja jika mereka benar pacaran. Re tak akan peduli lagi dan akan memecat Aspri itu saat ini juga. Enak saja ia bermalas-malasan seperti ini.

"Pacaran ya pacaran. Kerja ya kerja. Jangan pacaran sambil kerja, dong," gerutunya.

Re yang kesal, bingkas dari duduknya dan bertekad untuk menemukan gadis itu. Gadis itu tak mungkin jauh-jauh dan pasti masih ada di dalam Villa. Karena Re tahu, Aspri itu pasti tak punya ongkos untuk balik lagi ke Bandung.

Ia hentakkan kasar kakinya menyusuri lorong masih dengan blue coat bermerek yang belum ia ganti. Rambutnya pun masih klimis sisa dandanan pemotretan.

Saat ia melewati lorong kedua, ia mendengar sayup-sayup suara yang dikenali. Ia pun melangkah mundur perlahan dan merapatkan tubuhnya ke dinding lalu menyembulkan setengah wajahnya.

Ketemu!

Gadis itu duduk di samping Gara yang shirtless?! Mata Re langsung melotot sempurna. Apa-apaan mereka? Berasa di rumah kali, ya, mau kerokan?

Tapi saat ia tajamkan penglihatannya, gadis itu sedang menempelkan plester di lengan kiri Gara di saat cowok itu mengatupkan mulut selesai bercerita. Bekas goresan luka itu dapat terlihat jelas oleh Re dari jarak lima meter ini.

Gar, lo kenapa? batin Re yang belum mengerti akan situasinya.

Alena duduk tegak dan menitah Gara untuk memakai pakaiannya kembali. Semilir angin malam yang berhembus bisa membuat Gara masuk angin. 

Gara pun menurut dan berhati-hati saat memakai pakaiannya. Rasa perihnya luka masih sangat terasa. 

"Jadi, kamu harus jadi juara satu di festival tahun ini?" ulang Alena setelah mendengarkan saksama cerita Gara.

Gara mengangguk kecil. "Iya, biar pukulan rotan itu bisa berhenti bersarang di lengan kiri aku." Ia terkekeh miris.

Re meneguk salivanya yang terasa tersangkut di tenggorokan. Ia tidak pernah tahu jika Gara selalu dipukul rotan di rumahnya. Gara memang pernah mengeluh kesakitan di lengan kiri tapi saat Re menanyakan kenapa, Gara selalu menjawab bahwa semuanya baik-baik saja.

Oleh karenanya, Re tak pernah mencoba menggali lebih dalam tentang keanehan itu. Re hanya percaya dengan ucapan sahabatnya.

Bukankah sahabat adalah orang yang tak pernah menyembunyikan apapun? Ataukah hanya Re saja yang naif mempercayai hal itu?

"Kamu pasti bisa, Gar!" Alena mengepalkan dua tangannya ke udara memberikan semangat pada Gara. "Aku yakin, kamu pasti bisa."

Gara tersenyum kecut. "Kenapa? Karena udah nggak ada Re? Nggak ada saingan buat aku lagi?"

Perkataan Gara membuat napas Re tercekat. Apa? Saingan? Re baru mengetahui jika dia adalah saingan untuk sahabatnya sendiri. Ia pikir, hanya orang lain saja yang menganggapnya begitu tapi ternyata bagi Gara, Re pun adalah saingannya.

Alena menggeleng. "Bukan, lah."

"Aku emang bukan siapa-siapa dibandingin sama dia. Semakin aku kejar kemampuan dia, semakin naik juga kemampuan miliknya.

"Aku nggak bakal pernah bisa ngejar dia karena saat dia noleh ke belakang, aku nggak ada di sana. Sama kayak aku yang terus melihat ke depan, Re juga nggak pernah ada di sana saking jauhnya jarak antar kemampuan kita."

"Gar ..." lirih Alena, mengisyaratkan cowok itu untuk berhenti.

Gara terkekeh miris. "Melawan orang berbakat itu, sama aja kayak menghancurkan paku pakai tangan telanjang. Semakin kamu cengkeram erat malah semakin terluka tangan kamu. "

Dan dalam kasus ini, Gara akan semakin hancur bila bersaing dengan Re. Alena membuang wajah menyembunyikan matanya yang memerah.

"Tapi ... aku masih yakin bahwa kamu bisa, Gar," ujar Alena menahan air matanya.

"Kenapa? Kenapa kamu bisa seyakin itu di saat aku sendiri kehilangan kepercayaan diri," ujarnya menundukkan kepala.

Ia merasa payah dalam segala hal. Ia takkan pernah bisa menggapai apapun. Kejuaraan yang selalu dijejakinya hanya meninggalkan jejak prestasi di urutan nomor dua. Ia tak pernah menjadi yang pertama, satu kali pun.

Dan ia baru sadar saat ayahnya menyadarkan dirinya bahwa Gara bukanlah apa-apa. Gara hanyalah ekor Re yang takkan pernah bisa tumbuh. Ia akan selalu di belakang mengekori tuannya. Ayahnya yang mengatakan bahwa sahabatnya sendiri lah musuhnya. Bahwa sahabatnya sendiri lah yang menyebabkan dia selalu menempati juara ke dua.

Barulah ia sadar, bahwa Gara harus menghancurkan Re agar ia bisa menempati juara pertama. Langkah awal yang Gara ambil, ia menjaga jarak dengan Re. Setelah itu, Re akan melangkah ke jalur yang lain yang tidak sama dengan jalur yang Gara pilih. Itu sudah terwujud. Gara tidak pernah berbincang dengan Re setahun penuh dan sekarang Re sudah menjadi artis terkenal yang tidak akan mengganggu kejuaraan Gara lagi.

Ia pikir, semua akan berjalan mulus untuk menghancurkan Re. Namun kenyataannya, itu teramat sulit. Gara yang malah semakin hancur dan kemampuannya terasa terkikis akan tekanan batinnya yang terus berkata bahwa ia bisa mengalahkan Re, di saat realitanya takkan pernah bisa.

"Kenapa kamu yakin?" ulang Gara.

Alena tergugu. Semua kata tiba-tiba tertahan di ujung lidah. Namun segera ia tampik dengan senyuman tipis. Ia kembalikan pandangannya pada Gara.

"Karena kamu adalah Gara."

Jawaban itu mampu membuat Gara membalas tatapannya penuh tanya.

"Karena kamu Gara Si Pekerja Keras yang nggak kenal lelah buat latihan."

Re hanya bisa mendengarkan tanpa ada keberanian menghampiri. Hubungan mereka memang sudah meretak setahun belakangan, yang baru Re ketahui bahwa menjadi sainganlah alasan Gara menjauhinya.

"Karena kamu Gara yang kuat yang tahan banting selalu dibandingin."

Gara mulai menarik senyum tipis dan menelengkan kepala memperhatikan gadis itu bicara.

"Karena kamu Gara yang hebat bisa bertahan dari tekanan di rumah kamu sendiri."

Tanpa ia sadari, matanya terasa memanas. Ia pun balikkan tubuh untuk menyandar pada dinding. Ia tidak sanggup lagi mendengar ini dan memilih untuk membawa kakinya menjauhi mereka.

"Dan karena kamu adalah Gara yang aku kenal. Makanya kamu pantas jadi juara festival itu."

Gara langsung menampilkan deretan giginya dan mengacak puncak kepala gadis itu. "Pinter ngomong, ya," ujarnya yang dibalas senyuman bangga.

Ya, semua perkataan gadis itu benar. Dan karena Gara menerima semua perkataan itu, hatinya terasa lebih lapang. Ia telah membongkar rahasianya pada orang yang tepat.

Teman semasa kecilnya ini belum berubah untuk selalu memotivasi siapa pun yang sedang berada dalam titik terendah kehidupannya. Gara dapat merasa bahwa Alena juga pernah berada di posisi yang sama sehingga semua perkataan gadis itu dapat dengan mudah diterima oleh dirinya.

"Put?" Alena langsung memicingkan mata pada Gara yang langsung menyengir paksa. "Alena," revisinya.

Alena mendengus. "Jangan panggil aku Putri, lagi. Nama itu udah mati udah aku tinggalin semenjak kebangkrutan ayah aku."

Gara hanya bisa mengangguk maklum. Ia sudah mengetahui bahwa keluarga Alena bangkrut tapi ia tak mengetahui apa yang terjadi setelahnya. Dan ia tidak mau mengorek kehidupan orang lain lebih dalam. Gadis ini tidak mudah untuk membeberkan hal yang berkaitan dengan keluarganya.

"Gara-gara kamu, sekarang musuh aku udah tahu kelemahan aku," ujar Gara lesu sebelum ia merasa ada yang telah berbeda dari dirinya.

Mengapa ia jadi banyak bicara? Gara hanya bisa jadi bawel jika sudah bersama dengan orang yang bisa membuatnya nyaman saja. Biasanya Gara hanya mengucapkan kata-kata yang diperlukan. Tapi kini, bahkan hal yang tak penting pun ikut ia bahas. Ia merasa aneh hal ini bisa terjadi padanya.

"Maksudnya?" tanya Alena tidak mengerti.

"Tadi bos kamu nyamperin ke sini ... nguping," sahutnya datar bagaikan hal itu adalah hal yang biasa terjadi.

"Apa?!" Alena terbelalak dan kepalanya langsung celingukan ke segala arah. "Dia di mana? Kamu bukannya bilang."

Saat ia sibuk celingukan, "Eh, tapi." Barulah Alena ngeh bahwa ada hal yang ganjil di sini.

"Kok bisa tahu kalau Re nguping?" tanyanya.

Gara menghembuskan napas pasrah. "Re mah emang bego. Dia sembunyi tapi setengah badan kelihatan. Gimana nggak ketahuan, coba?" tanya baliknya yang disambut gelakkan tawa Alena.

"Aduh, kebegoan bosku." Alena masih menyambung tawanya. "Eh, Gar? Tapi kamu gapapa kalau Re jadi tahu masalah kamu?" tanyanya merasa tak enak hati.

Kalau Alena jadi Gara pasti Alena sudah kalang kabut memikirkan cara agar tidak malu lagi berhadapan dengan musuhnya. Apalagi, Gara sudah curhat juga tentang apa yang sebenarnya ia rasakan selama ini bersaing dengan Re. Alena pasti akan malu berat.

Gara malah menggelengkan kepala dan menarik senyum tipis. "Justru bagus, jadi aku nggak usah repot-repot jelasin masalahnya ke dia," ujarnya begitu tenang dan tanpa beban.

"Karena sampe sekarang, sebenarnya aku bingung gimana cara ngasih tahunya," sambungnya yang melegakan hati Alena.

Gara memang berbeda dengan kebanyakan orang. Ia selalu berbicara tenang namun kadang malah terkesan jutek dan dingin. Tapi, bila orang itu bisa mengenal lebih dalam sosok Gara, mereka akan dapat merasakan kehangatan dari cowok ini. Yang dapat Alena rasakan saat ini kala bersamanya. Alena tidak perlu khawatir dengan teman kecilnya satu ini.

Mengingat kewajibannya untuk bekerja. Alena langsung bangkit dari kursi taman. Ia harus segera kembali pada Re. Ia takut nanti ditinggal pulang sama Re Si Kejam itu.

"Gar, aku susul bos aku yang bego dulu, ya!" izinnya yang dibalas anggukan kepala dari Gara yang terkekeh.

Alena pun melambai pada Gara yang langsung beranjak pergi meninggalkan dirinya dan berlari kecil menuju tempat di mana Re berada. 

Untaian rambut cokelat itu sudah hilang dari pandangan Gara. Ia pun menarik senyum kecil. "Makasih, Mput."

"Dan ... maaf," imbuhnya getir.

Terpopuler

Comments

Gloria VP

Gloria VP

udah tengah malam...saya masih penasaran

2020-06-19

1

Hesti Ariani

Hesti Ariani

cerita yg mengalir ...enak dibacanya

2020-04-06

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!