Bab 4

Minggu ujian sedang berlangsung.

Beruntungnya, Re sedang tidak banyak job jadi Alena bisa meluangkan waktu untuk belajar daripada harus melayani penyanyi menjengkelkan satu itu.

Tak ada yang berubah setelah satu minggu mereka bekerja bersama. Re masih saja membentak jika Alena tak mengerti apa yang Re ucapkan dan mengancam untuk memecatnya. Roda itu terus berputar tiap hari yang makin membuat Alena jemu.

Alena pikir, sikap Re bisa berubah jika ia berani melawan perkataan dan menolak menjalankan perintahnya. Namun, itu malah semakin membuat Re melunjak dan ia pikir Alena tak becus menjalankan pekerjaannya.

Alena tak mau Om Jun harus mencari asisten pribadi yang lain apalagi ia juga sangat membutuhkan pekerjaan ini. Gajinya dalam sehari sama dengan ketika ia bekerja selama dua minggu di cafe. Ini cara tercepat untuk mengumpulkan uang walaupun harus mengorbankan harga dirinya terinjak-injak oleh penyanyi songong itu.

Tapi Alena juga tak bisa membohongi perasaannya bahwa ia bahagia selalu bisa berbarengan sama Re.

Cinta memang aneh. Semua alasan rasional akan hilang jika kita sudah berurusan sama cinta.

Termasuk Alena. Mengapa ia menyukai cowok menyebalkan itu? Mengapa hatinya terus meminta Alena untuk memikirkan cowok itu bahkan ketika rentang waktu yang lama sudah terlampaui tanpa bertemu? Padahal banyak cowok yang lebih baik dari Re. Terlebih, yang menyukai Alena.

Andaikan Alena bisa memilih, ia juga tak mau menyukai orang galak yang senangnya membentak dan memerintah seperti Re. Tapi ini hati bukan tahu bulat yang bisa digoreng dadakan lima ratusan.

Nggak nyambung? Cinta emang gitu. Nggak jelas.

Tapi justru ketidakjelasan cinta itulah yang menjadi pertanyaan bagi tiap manusia untuk mencari jawabannya.

Ia sedang berada di sekolah memenuhi kewajiban sebagai seorang pelajar yang harus mengikuti Ujian Akhir Semester ganjil. Nomor satu beralih ke nomor lain ia kerjakan dengan teliti. Ini pelajaran sejarah. Ia cukup berhasil menghafal seluruh materi apalagi ditemani suara merdu Re yang selalu bersenandung tiap malam. Semakin masuk saja ke otak pelajaran yang sulit sekali pun.

Ia tersenyum mengenang hal itu. Berbagai tulisan yang tercetak di kertas ujian malah bergulir dan mengumpul hingga membentuk sebuah lukisan. Wajah Re. Bukan wajah songong yang ia benci tapi wajah penuh penghayatan saat ia bernyanyi dengan mata terpejam yang dapat dilihat Alena.

"Kenapa kamu nyebelin banget, sih? Kamu bener-bener lupa sama aku?" Tanpa ia sadari, ia telah menyuarakan suara hatinya hingga seluruh murid menghentikan aktivitas dan menoleh ke pojok kiri kelas sambil terkikik.

Bu Wiwin selaku pengawas ujian langsung melotot mendengar suara Alena yang tak bisa dikata kecil. Ia langsung menghampiri mejanya.

Sedangkan gadis itu masih menatap kertas ujiannya. "Kamu bener-bener lupa, ya?" tanyanya, masih belum sadar.

"Kamu yang lupa kalau sekarang lagi ujian, Alena Putri Wicaksono," geramnya yang membuat mata Alena mengerjap dan menatap Bu Wiwin dengan tatapan bloonnya.

Ia masih memproses apa yang terjadi sampai matanya pun melebar menemukan fakta bahwa untuk pertama kalinya murid terpintar di kelas telah melakukan sesuatu hal yang sangat bodoh dan memalukan.

Cengiran tak bersalah pun terbit di wajahnya disusul tawa terbahak dari anak kelas lain. "Maaf, Bu."

Bu Wiwin hanya mendengus dan kembali ke mejanya meninggalkan Alena yang sekarang menunduk hingga menempelkan jidatnya pada meja.

"Ciyeee ... aku nggak bakal lupa, kok, sama kamu ...," sorakan serempak dari anak kelas semakin membakar dua pipi Alena.

"Jangan berisik! Cepat lanjutkan pekerjaannya!" titah Bu Wiwin, galak.

"Iya, Buuu." Anak kelas pun kembali pada posisinya dan melanjutkan mengerjakan soal dengan malas.

*****

Riuh kikikan dan bisikan dari luar kelas sangat mengganggu peserta ujian. Pengawas harus mengusir beberapa kali kerumunan remaja cewek yang malah keluar lebih dulu dari jadwal ujian. Bahkan pengawas sampai meminta bulldog sekolah—eh, maksudnya satpam galak sekolah untuk berjaga di luar kelas Re. Itu, cara yang cukup ampuh untuk mengusir kegaduhan.

Jangan salahkan Re yang sekarang sedang naik daun hingga anak sekolah langsung menjerit kesetanan bila hanya melihatnya saja.

Padahal dulu, orang-orang itu bahkan tak pernah menyapa bila berpapasan dengan Re. Tapi kini, hanya untuk menyapanya saja, cewek-cewek itu rela berdesakan. Ini semua hanya karena ia tampil di kotak ajaib dan lagunya selalu menjadi top-chart, barulah seseorang melihatnya dengan pandangan berbeda.

Di dunia ini, bohong bila ada yang berkata lebih menilai proses daripada hasil. Mereka semua hanya mempercayai apa yang dilihat oleh matanya. Proses? Bahkan mereka tak peduli dengan bagaimana cara Re bisa menjadi seterkenal sekarang, karena apa yang mereka lihat Re sudah terkenal. Padahal semua itu butuh proses. Yang acapkali proses itulah yang sering dianggap lelucon bagi banyak orang.

Termasuk Re, yang tak pernah mendapat dukungan dari sekolah jika ia menyanyi di cafe dan pernah kepergok lalu malah dianggap keluyuran nggak jelas tiap malam hingga ia mendapat hukuman dari sekolah.

Padahal, dari sanalah Re bisa melatih kemampuan bernyanyinya. Re hanya butuh wadah. Wadah yang bisa menampung bakatnya dan orang-orang yang mendukung apa yang selalu ia usahakan, yang tidak bisa ia dapatkan dari sekolahan.

Bel istirahat SMA Jayabakti berdering membangunkan tiap anak yang tertidur di atas kertas ujian.

Mereka benar-benar tertidur.

Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi tantangan hari ini. Untung, guru pelajaran ini sangat pengertian hingga memberikan kisi-kisi yang persis seperti soalnya. Ada jawabannya, pula. Jadi, murid hanya perlu menghabiskan waktu lima menit untuk mengerjakan dan dilanjut dengan tertidur untuk menghabiskan waktu ujian walau sesekali diomeli oleh pengawas. Hampir semuanya.

Pensil ia jatuhkan ke atas meja dan ia regangkan lengannya ke atas. Pengawas mulai berkeliling untuk mengambil kertas ujian berurutan abjad.

"Re!" Orang yang dimaksud sangat mengenal suara ini. Tapi ia ingin jual mahal sedikit untuk menjahilinya.

"Re!" panggilnya sedikit mengeras dari balik punggung.

"Woy, Rere Gombel! Kalau gue panggil, malik dong!"

Nah, kalau sudah seperti ini dan Re belum membalik juga, nyari mati namanya. Teman seperjuangan hidupnya ini, bisa membabi buta menggeplak kepala nanti. Re tidak mau itu terjadi, jadi ia berbalik dan tak lupa memasang wajah polosnya.

"Eh, Kran Aer. Lo manggil gue?" cengirnya.

Fikran hanya memandang kosong teman sebangku yang saat ini dipisahkan karena peraturan ujian harus duduk berurutan abjad.

"Bego," dinginnya.

Ia pun membuang wajah malas membalas temannya ini yang lagi kumat penyakit menyebalkannya.

Re mendecih geli dan menjawil dagu Fikran hingga cowok itu mengusap kasar dagunya bagaikan jawilan dari Re adalah sebuah virus yang harus dibersihkan.

"Lebay banget, sih, lo!" kesal Re bercanda melihat reaksi Fikran.

Fikran mendengus. "Mau terkenal mau kagak, lo tetep demen sama gue, ya? Pake nyolek-nyolek gue," desisnya.

Re terbahak. "Peka banget, sih, Bang!"

"Oh, iya dong! Gue adalah orang super peka sedunia," akunya bangga.

Re malah berdecak prihatin. "Gunakanlah kepekaanmu pada tempatnya, Kran. Mending lo pake kekuatan super lo itu buat baca perasaannya Si Fany. Peka lo percuma kalau lo masih takut buat nembak dia."

Fikran langsung menciut sekecil-kecilnya di hadapan Re. Kenapa juga dia harus membahas kisah percintaannya? Kayak kisahnya Re udah bener aja sok-sokan nyeramahin orang.

Kadang, orang yang bisa memberi nasihat pada orang lain belum tentu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

"Gue tahu dia punya perasaan ke gue. Kalo nggak, ngapain dia nontonin gue yang lagi tanding futsal sampe penonton sepi banget pun dia masih ada di sana nungguin gue."

"Itu karena dia butuh tumpangan buat pulang, Kran. Gitu aja baper," tajamnya setajam silet.

Fikran menggeram kesal pada seseorang yang menyahut perkataannya. "Nyambung aja, lo!" kesalnya pada Yusuf yang kerap disapa Ucup sudah berdiri di sisi meja antara Fikran dan Re.

Dia mah nggak punya masalah percintaan. Tiap dia suka cewek, ceweknya pasti balik suka sama dia. Ganteng, adalah faktor utamanya.

Mukanya putih sama mulus udah mirip banget kayak keteknya artis-artis orang Korea. Kata Fikran, sih, gitu.

Biasa, orang iri. Ini kata Ucup.

Maka dari itu, jangan sekali-kali minta saran ke Ucup. Makan ati yang ada denger saran dari dia bukannya nyelesaiin masalah.

Melihat ada teman yang jarang hadir di sekolah, Yusuf langsung melambai singkat padanya. "Hai, Re," sapanya datar.

Re membalas ragu lambaiannya. "Oh? Hai."

Udah berapa tahun mereka temenan, Re masih aja canggung dekat-dekat sama Ucup. Wajahnya ganteng namun lempeng. Tiap ngomong nadanya do mulu tidak pernah naik ke tangga nada selanjutnya. Mau kaget, mau marah, mau sedih, dia konsisten di satu nada, do.

"Ayo ke kantin. Gue laper," ajak Yusuf persis kayak robot habis baterai. Lesu dan tidak ada gairah hidup. Ia pun melengos keluar kelas.

Seraya menyusul, Re dan Fikran saling pandang. Mereka malas ke kantin, apalagi Re. Nanti kalau dikerubungi gimana? Dia ke sini tanpa adanya Mas Jun ataupun bodyguard. Sebenarnya ini permintaan nekat dari Re pada Mas Jun yang sudah melarang keras agar Re harus dikawal.

Tapi, namanya juga Re si artis baru keras kepala. Dia bilang, dia nggak bakal kenapa-napa dan nggak mau disangka artis baru songong yang kemana-mana harus ada pengawal.

Dia bukan Presiden atau apapun itu, jadi tidak usah berlebihan. Re tidak suka itu. Lagipula, ia hanya mau ke sekolah mengerjakan ujian dan melepas kerinduan dengan teman sekelasnya.

Tanpa Re tahu, sekolah adalah tempat paling mengerikan bagi para artis. Tiap langkah yang ia ambil pasti langsung dikerubungi dengan penggemar cewek dari kelas satu sampai tiga yang menghadangnya untuk meminta foto ataupun tanda tangan. Re tidak bisa menolak ataupun marah pada penggemarnya.

Karena tanpa pengakuan dari mereka, Re bukanlah siapa-siapa.

Ia selalu menampakkan senyuman manis sampai-sampai mulutnya pun merasakan ngilu karena sedari tadi belum tertutup juga. Sikap ini bukan demi pencitraan atau apapun yang sejenis seperti yang gadis itu pikirkan padanya. Muka dua. Ia sama sekali tak memaksakan diri untuk selalu tersenyum dan bersikap ramah pada penggemarnya. Ia memang senang melakukan ini, ia hanya tidak ingin mengecewakan para penggemarnya, tulus dari dasar hati.

Mengingat perkataan asisten pribadi di hari pertama bekerjanya sedikit menyesakkan dada. Re sama sekali bukan orang seperti itu. Ia hanya tak bisa mengendalikan sifat otoriternya pada orang-orang terdekat. Ia bukan orang bermuka dua. Memang begitulah sifat Re yang bisa menunjukkan sifat berbeda-beda pada setiap orang tergantung sikap lawan bicaranya. Re jadi kesal sendiri mengingat hal itu.

Dasar Aspri menyebalkan.

******

Teh botol, ia bagikan pada tiap orang di atas meja. Satu untuk Fikran, satu untuk dirinya, satu untuk Re, dan satu lagi untuk Si Penggosip kelas kakap yang duduk di hadapannya.

Naba, cowok berambut merah yang selalu kena BK karena dikira telah menyemir rambutnya itu langsung menyeruput teh botol yang dibelikan oleh Yusuf.

"Gila! Ngapain Si Re balik lagi ke sekolah? Dia kan udah terkenal banget. Di mana-mana gue denger lagunya diaaa mulu yang diputer, bosen gue," celotehnya mendapat putaran bola mata dari Fikran dan Yusuf.

Mereka tidak menyukai cowok ini. Tak ada badai tak ada guntur, dengan ajaibnya Naba langsung menghampiri meja kekuasaan Re. Pasti ada maksud terselubung dari kehadiran dia di sini.

"Peduli amat lo bosen atau nggak. Siapa elo?" sahut Yusuf dengan nada do-nya.

"Heh, Nababan tubles! Ngapain, sih, lo nyamperin meja kita? Biasanya juga lo gaul sama cewek. Ngapain lo ke sini?" sewot Fikran yang duduk di samping Naba.

"Weits, kalem aja, dong. Gue juga nggak bakal bawa kesialan bagi kalian. Gue cuma mau temu kangen sama idola gue," ucapnya melirik pada Re yang masih sibuk dikerubungi cewek di pintu masuk kantin.

"Katanya bosen," gumam Yusuf sebelum memakan mie baksonya.

"Katanya bosen dalam kurung dua," sambung Fikran sebelum melahap mi ayam dengan sadisnya.

Akhirnya setelah menghabiskan banyak waktu hanya untuk meladeni penggemarnya, Re bisa duduk di samping Yusuf menghadap Fikran dan bersilangan dengan Naba. Ia langsung menyeruput minumannya.

Buliran keringat memenuhi dahi dan mengucur ke pelipis. Ternyata, sangat melelahkan dari apa yang ia pikir sebelumnya. Ia ambil tisu makan dan mengusapnya perlahan ke dahi kemudian berlalu ke pipi kanan yang mendapatkan cap bibir bergincu dari entah siapa yang nekat melakukannya.

Re sempat bernada ketus pada cewek pelaku karena ia tidak menyukai hal itu. Cewek itu pun meminta maaf padanya, walau di luar kerumunan cewek itu tetap menjerit kegirangan.

"Apes banget, deh, gue," keluh Re dilanjut melahap mie bakso yang sudah mendingin.

"Ngapa emang? Jarang-jarang lo bisa dikecup sama cewek cakep," sahut Fikran sebelum menambahkan, "Eh, bentar. Cakep nggak?" selidiknya.

Re yang menganga baru mau memasukkan sesendok bakso ke mulut, menjatuhkan lagi sendok itu ke mangkuknya. "Cakep, sih. Bule, gitu. Kelas sepuluh kali. Gue baru ngeliat mukanya." Ia pun melahap makanannya.

"Alhamdulillah, cakep," datar Yusuf persis kayak robot.

"Ya, alhamdulillah," sahut Re santai.

"Oh, ternyata Re Si Penyanyi terkenal nggak suka kalau digemari sama cewek yang jelek. Okey, bakal gue catet." Naba sekilat mungkin mengetik di note dalam ponsel dengan dua tangan.

Melihat itu, Fikran langsung merebut ponsel Naba hingga cowok itu langsung memekik heboh. "Eh-eh! Balikin-balikin!" cemasnya sembari menjulurkan lengan guna mengambil ponsel yang juga dijauhkan oleh Fikran.

Ia langsung oper ponsel itu pada Re yang sigap menangkap di atas kepalanya. Melihat itu, Naba semakin cemas. "Ah! Jangan buka! Jangan lo buka! Please, gue mohon sama lo," mohonnya menggosokkan dua tangan. "Please."

Re perhatikan reaksi cowok ini sangat berlebihan, berarti ia sedang menyembunyikan sesuatu.

"Buka aja, Re! Kita lihat apa yang udah dia tulis tentang lo!" titah Fikran.

Naba langsung melotot padanya dan menjulurkan lengan pada Re tapi lengan itu kalah cepat dengan gerakan Fikran yang langsung menarik dan menguncinya ke belakang punggung Naba. Naba hanya bisa meronta.

Re langsung melihat isi ponsel yang masih berada dalam note ikut pula dilirik oleh Yusuf. Matanya menelusuri tulisan itu dan kian melotot tiap membaca paragraf yang terketik tentangnya.

"Sialan," komen Yusuf datar namun menyimpan berjuta kekesalan di dalamnya.

"Kampret banget," celetuk Re mengeraskan rahangnya.

Re langsung menajamkan tatapannya pada Naba yang sudah pasrah di sisi lain meja. "Apa-apaan maksud lo nulis beginian?"

"Gue nggak bakal tulis itu di blog. Udah sini balikin ponsel gue," pintanya sewot.

Re terkekeh sinis. "Balikin? Setelah yang akan lewat berikut ini."

Ia berdehem keras hingga cukup bisa menarik mata anak-anak yang masih mengumpul di kantin. Mayoritas cewek. Ia pun membaca tulisan itu.

"RE CUMA ARTIS YANG INGIN MENYOMBONGKAN KEPOPULERANNYA HINGGA IA DATANG KE SEKOLAH PAGI INI."

Re sengaja membaca tulisan itu dengan keras bahkan hampir berteriak lantang yang semakin membuat Naba malu dan mendapatkan tatapan tak percaya dari kaum hawa yang mendengarnya.

"Re bukan orang kayak gitu," seru salah satu cewek yang disetujui oleh banyaknya anggukan yang lain. "Minggu ini, kan minggu ujian, yaiyalah Re dateng ke sekolah."

Re hanya tersenyum sabar. Ia lanjut membaca paragraf kedua yang semakin meremas jantungnya. "RE ORANG YANG LICIK. MENTANG-MENTANG DIA ARTIS, DIA PUNYA SEMUA KUNCI JAWABAN UJIAN BIAR NILAINYA NGGAK JEBLOK DAN MALU-MALUIN KEARTISANNYA."

Naba tak bisa berkutik. Tatapan tajam Re mengunci dirinya.

"Gue berani sumpah, gue nggak punya kunjaw apapun. Kalaupun lo mikir gue pasti punya duit buat nyuap guru, sorry gue nggak mau kayak gitu. Ibu gue nggak pernah ngajarin hal buruk seperti itu. Gue nggak mau jadi anak yang malu-maluin orang tuanya, yang mengecewakan orang tuanya," balas Re, berkaca. "Asal lo tahu itu."

Tepukan tangan langsung menggemuruh di penjuru kantin.

"Keren lo, Kak!"

"Tuh baru idola gue!"

"Apa-apaan, sih, nih, sampah banget isinya. Lo sirik, Nab!"

"Naba! Semakin lo ngejelekin orang, semakin orang tahu seberapa jeleknya diri lo!"

"Huuuuu..." Sorakan mengejek semakin menundukan kepala Naba dan ia meronta untuk melepaskan cekalan tangan Fikran yang masih menahan tangannya.

"Gue nggak maksud jelekkin lo. Gue cuma mau nyadarin diri lo," ingat Re pada Naba. Ia alihkan pandangan pada ponsel dan membaca satu paragraf terakhir.

"KEHADIRAN RE DI SEKOLAH CUMA MAU MANAS-MANASIN SAINGANNYA YANG SELALU BERJUANG IKUT AUDISI SANA-SINI TAPI NGGAK PERNAH LOLOS. DIA CUMA MAU NUNJUKKIN BAHWA KEBERUNTUNGAN DI ATAS SEGALANYA DARIPADA KEMAMPUAN DAN TERTAWA DI ATAS PERJUANGAN SAINGANNYA."

Untuk yang satu ini Re sudah tak bisa menahan emosi. Ia langsung berdiri sambil menggenggam botol kaca dari teh botol. Dan tanpa berpikir, langsung ia banting sembarang ke lantai hingga botol itu pecah berkeping-keping. Semua cewek langsung menjerit ketakutan dan melompat dari kursinya untuk mengumpul di pojok kantin.

Fikran yang terbelalak melepaskan lengan Naba. "Yah, siluman ekor sembilannya keluar, deh," keluhnya.

"Wow," datar Yusuf, terkejut.

Mata Re sudah memerah saking kesalnya. Ia tarik satu sudut bibirnya. "Otak lo di mana, sih, Nab?! Lo nggak perlu buat artikel sampah kayak gini buat ngehancurin karir gue! Apalagi bawa-bawa Gara! Urusan gue dan Gara ya urusan gue sama Gara, lo nggak usah ikut campur!" bentaknya.

Karena tak ada orang yang mengikuti artis Re datang ke sekolah, kayaknya Si Peka satu ini memang peka terhadap keadaan. Fikran langsung berlari ke kerumunan para cewek dan ibu-ibu kantin yang malah mengangkat ponselnya untuk merekam. Fikran nggak tahu apa ini bakal menjadi skandal atau apapun itu. Tapi yang ia mengerti, bisa bahaya jika rekaman ini masuk ke media.

Makanya ia sibuk di belakang buat minta tolong pada para cewek agar jangan merekam Re yang sedang ngamuk. Namun usahanya sia-sia, dia malah diusir dan didorong kasar hingga jatuh dan punggungnya menabrak kursi kantin.

Tanpa berusaha berdiri, ia berteriak pada kerumunan cewek. "Woy! Nggak usah direkam juga kali! Kampungan banget, sih!" sewotnya yang langsung mendapat tatapan membunuh serempak.

Apa Fikran salah ngomong?

"ELO YANG KAMPUNGAN!" hardik mereka serempak kemudian kembali merekam. Fikran sudah tak berdaya untuk bangkit mengusir mereka.

Naba terkekeh hambar. "Gue nggak iri sama lo. Tapi gue cuma mau ngebantu Gara yang semakin dibandingin sama lo di ekskul musik!" balasnya tak kalah keras.

Ekskul musik? Re melemaskan pandangannya dan mengerutkan kening.

Naba langsung mengentak meja dan berdiri menatap tajam Re. "Lo tahu rasanya dibandingin, kan?! Di saat orang lain berusaha sekeras mungkin tapi lo malah seenaknya nyantai-nyantai karena lo udah terkenal. Nggak adil tahu, nggak, Re! Nggak pernah adil buat Gara yang selalu latihan lebih keras daripada lo!" sentaknya.

Mulut Re berkatup rapat.

Keheningan melanda semakin membuat perut Fikran mulas. Ia benci suasana bersitegang seperti ini. Saat ia alihkan pandangan pada para cewek, ponsel-ponsel itu masih menyala untuk merekam semuanya. Fikran sebagai orang yang peka tak bisa berdiam diri seperti ini apalagi ia tahu pasti bakal terjadi hal yang buruk apabila rekaman itu sampai di telinga orang luar.

Sepasang sepatu terlihat menghampiri Fikran, ia pun dongakkan kepala menatap wajah yang menjulang itu.

Ucup?

Batin Fikran bertanya-tanya, apa yang mau ia lakukan? Eh, Yusuf malah membisikkan sesuatu di telinga gadis tergalak yang berhasil menumbangkan Fikran hingga tergolek ke lantai. Pipi gadis itu bersemu merah dan ia menganggukkan kepala pada Yusuf yang sudah menjauhkan diri dan memasang senyum menawannya.

Gadis itu langsung berbalik dan merebut semua ponsel di tangan anak-anak dengan kasar. Saat ada yang enggan melakukannya, gadis itu langsung melotot hingga gadis itu pun berhasil mengumpulkan semua ponsel yang dipakai untuk merekam. Ia kumpulkan di atas meja dan bersama dengan Yusuf, ia menekan berbagai tombol di sana.

Fikran yang penasaran, perlahan-lahan bangkit dari lantai. Ia meringis merasakan kesakitan di tulang ekornya. Ia berharap jangan sampai tulang ekornya retak. Ia tidak mau membebani keluarga dengan biaya pengobatan.

Ia akhirnya sampai untuk duduk di salah satu kursi dan menoleh ke arah Yusuf.

"Lo ngapain?" tanyanya.

"Hapus video," balasnya datar.

"Kok bisa segampang itu, sih?! Gue aja sampe terluka begini."

Gadis yang bernama Lara langsung menyahut, "Berisik, lo, Anak kampung! Mending bantuin gue ngehapus semua videonya." Tangan Lara gesit berpindah dari ponsel ke ponsel lain.

Fikran mendecih tak suka. "Siapa, elo?"

Lara melotot pada Fikran yang refleks menutup matanya dalam takut. Punya mata belo terus melotot. Kebayang, menyeramkannya.

"Gue? Cewek baiknya Yusuf."

Perlahan tangan itu ia turunkan. "Ceweknya?" Ia mengernyit. Ia langsung melotot pada Yusuf. "Ucup! Lo kan udah punya pac—"

Gubrak!

"Anjir, pantat gue," ringis Fikran kembali jatuh ke lantai.

Fikran memang tidak bisa diajak kompromi. Untung Lara tidak mendengar jelas apa yang cowok itu katakan karena terburu terjatuh akibat kaki kursi yang diduduki Fikran ditarik sama ujung kakinya Yusuf.

Bisa gagal misi menghapus video untuk Re, kalau Lara tahu sebenarnya Yusuf sudah punya pacar. Tadi, kan, Yusuf menembak Lara biar cewek itu mau menuruti apa katanya.

Kelemahan wanita, kegantengan Yusuf.

*****

Terpopuler

Comments

fadilah

fadilah

acieeee bang ucupp

2020-06-20

0

Fitria Wisnu

Fitria Wisnu

pinter

2020-03-23

0

park hyung sik

park hyung sik

jahat benar kau bg usuf😂

2019-10-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!