Kakinya bergerak lincah menggiring bola melewati beberapa pemain yang mencoba untuk menghadangnya. Satu lawan dapat terlewati dengan mudah berlalu pada lawan berikutnya yang mencoba untuk merebut bola dari kakinya. Terpaksa ia harus terdiam di tengah lapang basket yang dialih fungsikan sebagai lapang futsal di sekolahnya.
"Ea! Fikran mencoba mempertahankan bolanya, Bung!" Komentator dari perwakilan anak OSIS itu menyemarakkan acara Porseni minggu ini khususnya pada pertandingan futsal antar kelas.
"Bola terus ia pertahankan dari musuhnya. Diputer-puter diputer-puter tuh bola di kakinya nggak mau dia lepasin. Nah, kalau kita sambungkan dengan kehidupan nyata, ternyata Fikran itu orangnya setia. Buktinya dia nggak mau ngoper bola itu ke tim-nya sebelum dia mengalahkan musuh yang ingin merebut pujaan hatinya, hahaha."
"Apaan, sih, lo, Nab!" pekik Lara yang merasa omongan Naba itu tidak jelas. Gadis itu terduduk sambil terus mengipas dirinya dengan kipas hello kitty di tepi lapang.
Naba sebagai komentator yang duduk di bangku sisi lapang sambil membawa mic tidak menggubris pekikkan itu. Ia masih memusatkan penglihatannya pada bola bertato yang masih dimainkan kaki Fikran.
Matanya pun terbelalak melihat Fikran yang memutar bolanya ke belakang dan ia lempar dengan tumitnya hingga bola melambung cukup tinggi hingga melewati musuh. Lawannya—adik kelas—itu hanya melongo melihat bolanya terbang di atas kepalanya dan saat ia berbalik Fikran sudah berlari lagi menyelamatkan bola menuju gawang.
"Woah!" heboh Naba disambut tepukan meriah seluruh anak Jayabakti yang duduk di sisi lapang maupun di koridor kelasnya masing-masing yang tercengang melihat aksi tersebut. Semua pasang mata yang berada di lantai satu dan di lantai dua yang mengelilingi lapangan, terfokus pada Fikran.
"Gila! Keren banget tuh jagoan futsal Jayabakti! Nggak salah dia pernah jadi ketua tim dan ngebawa Sekolah tercinta kita ke peringkat pertama di ajang pertandingan futsal tingkat SMA!" Riuh sorakan bangga pun memenuhi satu sekolahan.
"Tuh, Fany!" Orang berseragam olahraga yang dimaksud sedang duduk di tepi lapang membawa botol minum dan handuk kecil. Gadis itu langsung menengadah menatap bangku yang tepat berada di samping kanannya.
Sedangkan cowok yany memanggil namanya—Naba—harus menunduk untuk menatap tatapan cemas Fany masih dengan mic dalam genggamannya. "Lo masih betah mendem perasaan lo?!"
Blushing!
Tenggorokan gadis berambut hitam sebahu itu pun mengering. Ia tak mampu membalas apapun. Hanya wajah yang kian memerah dan memerah semakin membuatnya terlihat empuk untuk dibully satu sekolahan.
"Uhh ... Ciyeee ..."
"Jadian! Jadian! Jadian!"
Seluruh sekolah sudah tahu jika Fany suka sama Fikran padahal cewek itu berusaha keras untuk menyembunyikannya. Namun usahanya sia-sia hanya karena satu hari ada satu orang yang tak sengaja mengetahui hal itu dan berita itu pun langsung menjadi trending topic selama beberapa minggu hingga mudah untuk menyebar ke satu sekolahan. Siapa lagi kalau bukan Naba? Si penggosip kelas kakap.
Fany tidak bisa diam saja seperti ini atau ia akan semakin dijadikan bahan bulan-bulanan. Mungkin, ini memang waktu yang tepat untuk menyatakan perasaannya. Sekarang jamannya emansipasi wanita, kan?
"Tuh, lihat! Fikran itu udah baik, manis, jago futsal, setia lagi. Mau nyari—" Fany langsung berdiri dan merebut mic dari Naba yang menyunggingkan senyum kecil. Naba mempersilahkan gadis itu bicara saat pelototan tajam melayang ke arahnya.
Fikran tersenyum kecil mendengar semua itu. Apa? Fany memendam perasaan untuknya? Ah, Fikran tahu itu. Dia kan orang terpeka sedunia. Tapi ia masih ragu untuk menembak gadis itu karena ada satu hal yang menciutkan nyalinya.
Meredam perasaan bahagianya, ia melanjutkan permainan sepak bola berusaha fokus untuk bermain karena tinggal beberapa langkah lagi ia hanya harus memberikan serangan pada kiper dan skor akan bertambah bagi kelasnya menjadi 5 : 1. Kakinya pun melayang pada bola menuju gawang yang dijaga oleh seorang kiper lengkap dengan kuda-kudanya.
"GUE SELALU NUNGGU LO!" teriak Fany dengan microphone hingga keheningan pun melanda satu sekolah yang tercengang berjamaah.
Kekuatan dari kaki Fikran pun meragu hingga kakinya hanya menendang dengan kekuatan biasa dan bola itu bergulir menuju sisi kiri kiper. Suara Fany seakan menghipnotis satu sekolah hingga semua orang mematung di tempat, mendengarkan.
"Gue selalu nunggu dan nunggu lo. Kita udah kenal karena pengajian deket rumah dan gue seneng ternyata pas kita masuk SMA, kita bisa satu sekolah bahkan satu kelas. Gue pikir lo nggak suka sama gue karena hubungan kita gitu-gitu aja nggak pernah ada kemajuan apapun."
Ia memberi jeda sejenak masih menatap Fikran yang mematung di tengah lapang dengan pandangan kosong.
"Lo tahu kan sebenarnya alasan gue selalu nungguin lo latihan futsal sampe orang-orang udah nggak ada gue masih nungguin elo. Gue tahu lo tahu, Fik. Tapi kenapa lo kayak yang pura-pura nggak tahu gitu? Dan kenapa lo nggak pernah nembak gue? Gue capek lonya nggak peka-peka, Fik."
Bola itu menggelinding dengan indahnya hingga masuk ke dalam gawang tanpa perlawanan.
"WUH!!!" Kehebohan kembali bergemuruh dengan tawa tak percaya dan sorakan seluruh warga sekolah. Mereka tak peduli dengan bola yang sudah bersarang manis di gawang lawan. Bahkan wasit pun malah meniupkan peluitnya untuk meramaikan suasana.
"Jadian! Jadian! Jadian!"
Entah bermula dari siapa dan semua anak pun bernyanyi serempak.
"Satu-satu ... Fany sayang Fikran. Dua-dua ... Fikran sayang Fany. Tiga-tiga ... udah saling sayang. Satu-dua-tiga, Buru dong traktiran!"
Naba tertawa puas di bangkunya. Ia merasa sudah jadi Cupid—Dewa Cinta dari Romawi—yang memanahkan panah asmara pada Fikran dan juga Fany.
Acara Porseni malah berubah jadi biro jodoh. Tapi siapa yang peduli? Yang penting acara murid masih berlangsung damai dan tenteram, yang pastinya tetap seru untuk dijalankan.
Tangannya bergerak untuk mengambil microphone dari tangan Fany. "Ekhem-ekhem ... Fikran? Gimana kabarnya di sana?" tanyanya yang tak disahut apapun. Ia pun tertawa.
"Ngapain lo bengong aja?! Woy! Cewek cakep, nih, gebetan lo mau dianggurin aja kayak gini? Tinggal nembak aja susah banget, sih, lo! Ntar kalo Fany direbut orang aja baru mewek, hahaha."
Fikran mengerjap dan mengedarkan pandangan pada sekelilingnya yang masih bersorak sorai entah menertawakannya atau justru mendukungnya lalu ia hentikan pandangan itu pada satu wajah yang menegang di tepi lapang sana. Tanpa ba-bi-bu, ia menyusul Fany hingga berhadapan dengannya.
Gadis itu terlihat menunggu apa yang akan Fikran ucapkan. Matanya tak berpaling sedikit pun dari binar mata miliknya. Fikran berdehem canggung dan saat ia membuka mulut, tangan Naba menjejali tangan kirinya dengan mic. Ia pun angkat microphone itu ke bawah bibirnya. Gadis ini sudah berani mengungkapkan perasaannya di depan semua mata. Fikran juga harus melakukan hal yang setimpal.
"Gue ... "
"Kelamaan!"
"Gue ..."
"Buruan napa, sih?!"
"Gu—"
"Alah banyak bacot!"
Fikran mengerang dan memutar kepalanya pada sumber suara dari sisi kanannya.
"GANDENG!" (Berisik) Orang itu pun mingkem dan mempersilahkan Fikran untuk bicara.
Cowok itu menghela napasnya panjang lalu kembali menatap Fany, gadis pujaannya.
"Gue ... nggak pernah nembak lo karena gue takut salah paham. Gue sadar apa maksud dibalik semua tindakan lo ke gue." Ia beralih menatap benda yang ada di sekitar kaki Fany, tersenyum kecil. "Handuk sama minuman yang lo bawa itu juga buat gue, kan? Ya, walaupun itu hal biasa yang dibawa cewek buat ngedukung tim futsal kelasnya, tapi yang lo bawa itu beda. Itu cuma buat gue dan isinya minuman favorit gue. Dan kenapa lo ngelakuin itu? Itu karena lo peduli sama gue. Karena lo ... sayang sama gue."
"Adeuy, ah!"
Kembali ia tatap Fany yang semakin menegang di hadapan Fikran yang hanya setinggi telinganya. "Sebenernya gue peka. Cuman asal lo tahu, peka sama kegeeran itu bisa jadi beda tipis dengan adanya baper."
"Gue udah baper sama lo, Fan. Gue takut kegeeran doang dan saat gue nembak lo, elonya nolak gue.
"Cowok yang ditolak itu nanggung malunya banyak. Ya malu sama diri sendiri, sama temen-temen, terutama sama ceweknya. Kalau udah gitu ya bawaannya jadi canggung. Gue nggak mau kayak gitu."
Semua anak terdiam mendengarkan seksama tiap kata yang terakit menjadi kalimat dari mulutnya Fikran. Mereka semua geregetan. Kapan Fikran meresmikan hubungan ini? Mereka semua masih sabar menunggu ending dari perjuangan kisah cinta Fikran dan Fany.
"Buruan, Kran! Gue mules, nih," desak salah seorang dari kerumunan lantai dua.
Fikran tak mengalihkan pandangan sekali pun. Ia memaku tatapannya pada dua buah bola mata berbinar cokelat pekat yang sangat indah nan terpasang di wajah manis bergigi gingsul dan berhidung mancung itu.
Semua cewek itu cantik. Tapi berbeda dengan cewek cantik yang satu ini. Yang ini spesial. Dan hal yang menjadikan cewek cantik satu ini spesial adalah karena hanya cewek ini yang milik Fikran berbeda dengan cewek lain yang milik orang.
Fikran tidak akan berani menyia-nyiakan perasaannya dan tidak berani menyakitinya. Ia akan berusaha sekeras mungkin menjaga perasaan ini hanya untuk cewek spesial miliknya.
"Makasih ya udah jujur duluan. Gue nggak perlu ngucapin kata-kata romantis juga, kan, biar lo nerima cinta gue. Lo udah sayang sama gue, gue juga udah lama sayang sama lo. Kalau gitu ... kita pacaran, ya?" izinnya.
Fany menghembuskan napas yang terasa berat dari paru-parunya. Ia mengangguk kecil. "Iya," gumamnya disusul dengan putaran bola matanya ke atas.
Kesadaran Fany pun lumpuh.
Fikran langsung terbelalak dan bergerak cepat menahan tubuh Fany yang hampir terjatuh ke tanah. Ia tepuk-tepuk pipi gadis itu untuk membuatnya tersadar.
"Fan ... Fan! FANY!"
Fikran menyesal terlalu lama meredam perasaan ini membiarkan Fany memaksakan diri untuk berani di saat gadis itu tahu ia tak biasa melakukannya.
******
"Dua jomblo terselamatkan."
Yusuf berucap dengan tangan menggenggam ponsel yang ia arahkan kamera belakangnya pada pertunjukan Fikran dan Fany yang saling menyatakan cintanya. Ia sedang merekam itu semua dari koridor yang tepat berhadapan dengan mereka untuk ditunjukkan pada sahabatnya yang lain agar tidak menyesal karena tidak menonton aksi ini.
Ponselnya bergerak mengikuti gerakan Fikran yang membopong Fany menuju UKS karena gadis itu pingsan. Pertunjukkan pun selesai. Yusuf putar arah kamera untuk menggunakan kamera depannya hingga wajah Yusuf terlihat di kotak kecil sudut kiri ponsel sedangkan orang yang diajak bicara memenuhi layarnya.
"Yah, sayang banget gue nggak ada di sana. Padahal gue bisa ngiringin mereka biar kayak di sinetron-sinetron gitu. Gue bakal bawain lagu Janji Suci buat mereka, haha. Biar langsung sah aja di tempat."
Yusuf tersenyum datar. "Iya harusnya lo di sini, Re. Pasti tambah gila suasananya. Lo nggak mau ngikutin jejaknya Fikran yang mencari cinta juga?" tanyanya.
Re mendengus kesal menatap figur Yusuf yang terpampang di ponselnya. Ia belum ada job dan karena ini masih pagi jadi Re masih berselimut di ranjangnya menunggu sarapan matang dibuat.
"Gue. Punya. Pacar. Ngerti, lo?" ketusnya.
Yusuf menghembuskan napas. "Udah dapet kabarnya?"
Re menggeleng lesu dan membuang wajahnya. "Nggak. Maksud gue, belom. Pasti dia balik lagi. Dia pacar gue, masa ninggalin diri gue kayak gini. Dan saat gue udah buka hati buat dia, dia mutusin gue gitu aja dan menghilang?"
Luapan emosi itu kembali naik ke permukaan. Re merasakan hatinya terimpit oleh benda besar yang entah berasal dari mana. Sakit. Rasa sakit selalu menyelubunginya mengingat gadis itu. Kembali ia hadapkan wajahnya menatap Yusuf.
"Gue nggak mau putus dari dia sampai gue bisa ngeliat muka dia lagi buat jelasin semuanya. Kalau dia sayang sama gue, dia pasti bakal balik lagi dan dia bisa menghentikan perasaan yang menyiksa batin gue ini," ujarnya dengan kerutan di kening yang sangat menggambarkan kepedihan hatinya saat ini.
"Maaf. Gue nggak maksud ngingetin lo. Tapi ini udah setahun, Re. Sampe kapan lo mau nutup diri dari kenyataan kalau cewek itu nggak bakal balik?"
Tangan Alena yang terkepal masih menggantung di depan pintu kamar Re. Tangan kirinya terangkat membawa nampan berisi bubur ayam pesanan Re karena cowok itu mengatakan ia sedikit tidak enak badan.
Suara percakapan dari dalam membekukan dirinya. Ia tidak bermaksud untuk menguping namun suara itu yang justru menahan dirinya untuk tetap berdiam seakan mengatakan pada Alena untuk mendengarkannya saja.
"DIA PASTI BALIK LAGI!" Alena terperangah dan tubuhnya menegang mendengar sentakan Re yang sangat tegas dan terselip keyakinan yang besar akan perkataannya.
"Karena gue yakin dia pasti balik lagi, jadi gue selalu nungguin dia. Gue butuh penjelasan dari dia. Gue nggak pernah bisa lari dari masalah ini sampai dia dateng ke hadapan gue."
Yusuf tidak tahu mau berkata apa. Jelas-jelas Re sudah diputuskan oleh gadis itu. Namun Re juga yang bersikeras tak mau diputuskan karena tak ada kejelasan apapun mengapa gadis itu memutuskan Re. Yusuf sudah lelah membujuk temannya ini untuk menyerah.
Sulit untuk menghancurkan kepercayaan orang jika kepercayaan itu sudah terlanjur mengakar kuat di hatinya. Hal yang mampu menghancurkannya hanya dirinya sendiri.
"Kalau menurut lo menunggu adalah yang terbaik, ya gue dukung lo aja. Lo berangkat hari ini?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Re mengangguk. Mood-nya selalu hancur jika sudah membicarakan gadis itu. Rasa sakit dan kesal itu menggerogoti kesenangannya hingga ia lupa caranya tersenyum. Mukanya sangat masam terlihat di layar ponsel Yusuf.
"Gue tutup. Baterai gue abis," ujarnya, bohong. Ia tidak nyaman lagi berbincang dengan cowok itu karena jika berlama lagi itu akan semakin mengganggu Re yang sekarang sudah terlarut dalam berbagai emosi yang melandanya. Yusuf menyesal telah mengungkit permasalahan itu.
"Iye," balas Re malas. Panggilan pun ditutup oleh Yusuf menyisakan layar lockscreen di ponsel Re. Re buang ponsel itu sembarang hingga meloncat kecil beberapa kali sebelum tergeletak di atas ranjangnya. Kemudian ia rekatkan selimutnya hingga menutupi perut saat ia bersandar di atas ranjang.
Ketukan pintu pun terdengar dan ia memperbolehkan seseorang itu masuk. Terlihatlah seorang gadis membawa nampan dengan dua tangan yang berisi sarapan untuknya. Gadis itu langsung menghampiri nakas samping kasur dan menyimpan satu mangkuk berisi bubur dan satu gelas susu segar.
Re sama sekali tak tertarik melihat makanan itu. Padahal tadi pagi ia yang merengek hanya akan mau memakan bubur dan jika tidak ada, Re tidak akan memakan apapun.
Alena berdiri di samping ranjangnya memeluk nampan. "Lo nggak jadi makan buburnya?" tanyanya.
Re menggeleng. "Males."
"Itu, kan bubur jadi nggak usah dikunyah kalau dimakan. Gue udah capek-capek bikinin buat elo, tapi dilirik pun enggak sama sekali," gumamnya.
Re mengusap wajahnya penuh tekanan mencoba untuk bersabar. "Iye, ah, bawel. Nanti gue makan," ketusnya tanpa melihat wajah gadis itu sama sekali. Pantulan bayangannya sendiri dari pintu lemari yang terlapisi kaca itu lebih baik untuk dipandang saat ini.
Alena tak suka melihat Re yang lagi-lagi menjadi orang yang ketus saat bicara. Ia ingin mengembalikan mood cowok itu tapi ia tak dapat memikirkan apapun. Pikirannya terlanjur jatuh terlalu dalam memikirkan siapa gadis yang Re maksud dalam percakapannya dengan Yusuf. Ia coba untuk mengira-ngira siapa gadis itu namun usahanya gagal. Ia tak berhasil menemukan satu pun nama.
Apa permasalahan ini yang dimaksud Om Jun saat pertama kali Alena melihat Re yang begitu tersiksa batinnya? Alena pikir begitu. Ia ingin bertanya sekarang juga pada Re tapi ia tahu itu malah akan semakin memperburuk mood cowok itu. Lebih baik Alena mengalihkan pikiran Re saja dulu.
"Re?" panggil Alena.
"Apa?" Walaupun nada malas yang ditangkap telinga Alena tapi gadis itu tetap senang karena setidaknya Re tidak mengabaikannya.
"Hp gue, ada sms atau telepon yang masuk, nggak?" pancingnya.
Sebenarnya Alena tahu takkan ada pula seseorang yang akan mencarinya. Ia tidak aktif di kelas dan juga tidak tergabung dalam ekskul mana pun. Siapa yang akan mencarinya?
Re mendengus. "Mana gue tahu," balasnya menaikkan oktaf.
Alena memberengut. "Ih, gue cuma nanya. Sewot banget, sih."
Re membelokkan pandangannya dan menatap tajam Alena. Dasar lemot! Re bertanya seperti itu berarti ia tidak mau mengecek ponsel Alena. Gadis itu malah balik marah padanya. Ck, menyebalkan.
"Ambilin, tuh! Di dalem laci." Mengarah pada laci pertama di nakas samping kasur Re.
Alena pun menyimpan nampan di atas kasur dan berlanjut menarik laci hingga tampaklah benda yang dicarinya. Tapi di samping benda pipih itu ia melihat buku diary kecil warna cokelat gelap yang terkunci dengan gembok putar 3 pin. Putaran itu harus berurut sesuai angka yang telah ditetapkan pemilik gembok sebelum menguncinya.
Bukan keanehan bahwa seorang lelaki bisa memiliki buku diary yang hadir dalam benak Alena. Ia terperangah tak percaya, karena gadis itu sudah sangat mengenal buku diary ini. Ia sangat ingat, buku ini adalah buku yang ia hadiahkan pada Re saat berusia tujuh tahun dan ternyata benda ini masih tersimpan dengan baik. Hati Alena kembali tersayat kecil merasa bahagia dan sakit bersamaan. Tanpa sadar, ia tersenyum getir melihatnya.
"Buruan siniin hp lo. Lo belom boleh ngotak-ngotak hp itu," titahnya.
Alena menggeleng perlahan dan mengambil ponselnya lalu menjulurkannya pada Re yang langsung menyambut ponsel itu.
Alena hanya bisa menunduk memperhatikan jemarinya yang saling bertaut. Re masih menyimpan kenangan bersamanya, tapi mengapa justru gadis itu yang mengisi relung hati Re? Alena masih belum bisa menerima kenyataan ini hingga senyuman getirlah yang menggambarkan perasaannya.
Re menekan tombol daya yang berada di samping kanan ponsel dan saat layarnya menyala, Re tidak menemukan apapun. Sepi, tidak ada notif sama sekali. Ia coba cek riwayat panggilan pun tak berhasil menemukan panggilan masuk.
"Nggak ada apa-apa, tuh." Ia simpan ponsel itu ke samping tubuhnya. "Lagian sok penting banget sih, lo, pake dicariin segala."
Alena mencebik dan mengangkat kepalanya. Ia akan mencoba bersikap sebiasa mungkin sampai ia bisa mengetahui siapa gadis itu.
"Ya, biarin aja. Siapa tahu gue menang undian berhadiah gitu." Berhasil menangin hati lo, imbuhnya dalam hati.
Re memutar bola matanya. "Lo emang berbakat jadi orang yang ngeselin."
Ia pun menengadahkan dua tangannya pada Alena yang mengernyit heran melihat itu.
"Makan," pintanya.
Alena menghembuskan napas pasrah. "Astagfirullah, Re. Tinggal ngambil aja susah banget, sih. Dasar bayi!" kesalnya.
Re merengut dan merentangkan lurus tangan kirinya ke samping mencoba meraih mangkuk bubur itu. "Lo nggak lihat jarak gue jauh banget dari sini. Lihat, tuh! Nggak nyampe," rengeknya menggoyangkan kasar rentangan tangannya.
Alena menyerah. Memang sulit berdebat dengan Re yang sifat manjanya belum juga meluruh seiring bertambahnya usia. Padahal tangan itu bisa saja sampai jika Re mau menurunkan sedikit tubuhnya ke samping. Dasar manja.
Ia pun mengalah dan mengambilkan mangkuk bubur itu pada Re yang matanya sudah bisa kembali berbinar memandang mangkuk di tangan Alena. Ia bisa menyantap makanan itu dengan khidmat tanpa ada hal yang membebani pikirannya lagi.
Re tersenyum kecil menikmati gurihnya bubur buatan Alena yang ia tahu bahwa gadis itu telah meminta resepnya dahulu pada ibunnya. Karena Re yang telah meminta hal itu. Walaupun rasanya tak sama dan hanya mirip sekilas, bubur ini tetap dapat mengingatkan Re pada masakan ibunnya.
Gadis itu menampakkan punggungnya dan berjalan menjauh menuju pintu kamar. Re terus perhatikan rambut lurus kecokelatan itu sampai terhalangi oleh daun pintu berwarna putih yang baru menutup setengah.
"Lo!" pekiknya menahan pergerakan gadis itu hingga kepalanya pun tertarik ke belakang sedikit hingga tampaklah batang hidung dengan sebagian belahan wajahnya.
Re telah menyadari sesuatu. Hal yang sangat sulit untuk diakui bagi seorang cowok moody seperti Re akhirnya Re menyadarinya. Re selalu mencari moodbooster yang akan selalu bisa menghidupkan kembali suasana hatinya saat terlanjur padam kala memikirkan gadis itu.
Ia terus mencari dan berpikir mungkin dengan permainan di ponselnya Re bisa mengembalikan suasana hatinya. Namun saat moodnya hancur dan ia memainkan permainan tersebut, moodnya tidak kembali pulih dan ia malah semakin jengkel. Ia terus berusaha mencari cara agar ia bisa mengendalikan perasaan kalutnya hingga takkan lagi mengganggu pekerjaan.
Dan saat ini, akhirnya ia menemukannya. Ini bukan soal makanan yang bisa mengembalikan suasana hatinya seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Tapi karena kehadiran gadis itu di sampingnya.
Ya, karena gadis itu mengajaknya bicara saat ia sedang kalut. Karena gadis itu selalu berhasil mengalihkan perhatian Re dari apa yang sedang merasuki pikirannya. Karena Alena punya kemampuan yang sama seperti gadis dalam ingatannya satu dekade yang lalu.
"Moodbooster gue," cetusnya yang tanpa dirinya tahu telah berhasil menghentikan detak jantung Alena sesaat lalu tergantikan dengan degupan jantung yang berpacu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments