Bab 6

                Pose ke pose lain Re lakukan sesuai keinginan fotografer iklan yang juga kadang malah hasil improvisasi Re sendiri yang lebih menarik untuk dilihat.

Benda yang menjadi sorotan adalah sneakers yang sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan di kalangan kaula muda. Apabila diiklankan oleh seorang penyanyi yang juga sedang naik daun, jangan ditanya omzet yang akan diterima dalam penjualannya.

Pasti akan langsung meledak apalagi mereka menawarkan juga CD gratis dan poster Re setiap pembelian sepatu dalam edisi tertentu. Sudah pasti, banyak remaja yang akan tergiur untuk membelinya.

Alena yang juga sudah berganti pakaian dengan jeans hitam, kaos santai beserta cardigan putih, duduk manis di kursi yang sudah disediakan. Matanya tak berhenti terus memperhatikan Re yang sibuk bergaya di depan kamera karena memang tak ada hal lain yang lebih menarik daripada ini.

Sebagai asisten artis, tas gendong warna hitam berukuran besar selalu tersampir di bahunya. Tak ada hal spesial yang dibawanya, hanyalah kotak tisu, beberapa minuman botol, kadang roti isi, kaca, sisir, bedak, parfum, handuk kecil, payung, sandal, dan juga jaket tebalnya Re. Tapi semua benda itu terasa sangat berat di punggung Alena. Ia memang tidak terbiasa membawa barang untuk orang lain, makanya terasa berat.

Tepukan halus dari sisi membuat Alena menoleh dan mendapatkan wajah yang terlihat kelelahan. Alena sigap mengambil minuman botol dalam tasnya yang langsung ia sodorkan pada Om Jun yang sekarang ikut duduk di sampingnya.

"Udah lama pemotretannya?" tanyanya terengah-engah akibat berlarian dari tempat parkir menuju studio foto.

"Minum dulu, Om," titahnya lembut.

Juniar mengangguk dan meminum minuman itu lalu mengelap bibir dengan punggung tangannya. Ia merasa lebih baik. "Re gimana di sekolahannya? Baik-baik aja, kan?" tanyanya.

Alena mengangguk ragu. "Mungkin. Tapi kayaknya ada gesekan gitu deh sama temennya. Nana nggak ngerti. Terus dia bolos nggak ikut ujian kedua dan malah nyanyi di depan kelas biar nggak jadi dimarahin pengawas. Paling bisa, ya, Si Re?" ceritanya diakhiri senyuman kecil.

Juniar mengangkat satu alisnya. "Nggak pernah ada asisten pribadinya yang sampe senyum gitu pas nyeritain gimana hari-hari, Re. Pasti semua merengut dan malah jawab nggak tahu karena nggak peduli saking keselnya sama dia."

Penuturan itu membuat Alena mengernyit dalam. "Maksud, Om?"

Juniar terkekeh kecil dan mengacak puncak kepala Alena. "Nggak ada maksud apa-apa. Cuman yaa Om seneng aja, Re udah dapet asisten yang pengertian banget kayak kamu. Siapa tahu kamu juga bisa ngobatin Re."

"Ngo-batin? Dia sakit jiwa?" tanyanya tak percaya yang malah membuat Juniar terkekeh.

"Bukanlah, Na. Dia waras." Pernyataan ini membuat Alena lega sebelum, "kadang." Alena semakin mengerutkan kening dan refleks memukul lengan Juniar hingga lelaki itu meringis.

Apa Alena nggak tahu kalau kekuatan tangan dia itu udah kayak istrinya Hulk? Sangat perih rasanya. Juniar memberengut sambil memusuti bekas kebiadaban Alena.

"Om! Nyerita tuh yang bener, kali! Nana jadi kepikiran kalau nyeritainnya sepotong-sepotong kayak gini!" kesalnya.

"Om nggak punya hak buat ceritain masalah dia ke kamu. Tanya aja sendiri. Yang jelas ini ada kaitannya sama masa lalu dia."

Masa lalu? Alena merenung memikirkannya. Punya masalah apa Re di masa lalunya sampai harus diobati? Memang Re sakit apa? Memangnya Re benar tidak waras? Ah, Alena jadi frustrasi. Dasar Om Jun menyebalkan.

Kalau ia tidak bisa menceritakan seluruh ceritanya, buat apa dia memberikan prolog pada Alena? Jadi penasaran, kan, jadinya.

"Apa itu menyangkut juga alasan mengapa Re suka marah-marah ke asistennya?"

Juniar mengangguk kecil. "Ya, mungkin. Re memang begitu, sih, orangnya. Angkuh, otoriter, nggak mau kalah, manja. Apalagi kalau sama orang yang udah ngancurin mood-nya." Juniar bergidik. "Iblis aja takut sama dia. Tapi ... yang paling penting Re itu baik."

Mata Alena langsung melotot. Adakah kantung kresek? Sepertinya Alena mau muntah mendengar Re adalah orang yang baik.

"Hah? Baik? Baik banget sampai nginjek harga diri Nana, sih, iya!" sarkasmenya.

"Baik dari mananya, sih, Om? Coba Om jelasin ke Nana biar Nana me-nger-ti," tekannya.

Baru saja Juniar membuka mulut, orang yang dimaksud datang menghampiri mengatupkan rapat bibir Juniar kembali.

"Hei, Mas!" cerianya mengangkat tangan untuk hi-five yang langsung dibalas oleh Juniar semangat. "Udah lama sampe sini?"

"Barusan."

Re hanya membulatkan mulutnya. Pandangannya bergerak menelusuri dua orang yang duduk di hadapannya. Lalu ia edarkan pandangan ke sudut ruangan lain tapi ia juga tak menemukan kursi yang kosong.

Alena yang mengerti maksud pergerakan itu sekaligus ia sadar diri bahwa ia hanya seorang asisten pribadi, langsung mengangkat pantatnya dan berdiri di samping Re. Ia kedikkan dagu ke kursi pada Re yang mengernyit heran melihatnya.

"Ngapain lo berdiri?" tanya Re yang dibalas kedikkan dagu lagi dari Alena.

"Udah lo duduk aja," ucapnya tanpa ada tekanan dalam nada bicara.

Mata Alena pun membulat karena gerakan Re yang tak pernah terbayang akan dilakukan cowok itu. Dua tangannya bertopang pada bahu Alena dan Re menggesernya lalu mendorong Alena agar duduk kembali.

Alena harus melipat bibirnya untuk menyembunyikan senyuman bahagia mendapat perlakuan seperti ini dari Re. Sungguh bagaikan suatu mukjizat.

Re langsung mengibaskan tangannya berulang kali pada Mas Jun. "Mas! Minggir-minggir. Gue mau duduk," titahnya tanpa ada sopan santun sama sekali.

Juniar menghela napas berat. "Bocah gendeng," gerutunya yang hanya dibalas cengiran tak berdosa dari Re. Ia pun berdiri tak ikhlas dan kursinya langsung diambil alih sekilat mungkin.

"Yang sopan dikit napa? Gue tuh manajer lo, Re!" dengusnya bercanda.

Re melipat tangannya depan dada. "Pedekatein dulu sana kakak sekaligus manajer model iklan sampo kemaren. Baru gue bakal sopan ke elo, Mas."

Juniar tertegun dan wajahnya kian memerah. Seminggu yang lalu adalah waktu terakhir kali Juniar bertemu dengan Chyntia yang juga menjadi manajer publik figur. Mereka tak sengaja dipertemukan dalam sebuah acara festival di mana Re sedang manggung sedangkan adiknya Chyntia sedang mempromosikan sampo yang diiklankan olehnya.

Ada insiden kecil yang terjadi hingga Juniar harus berhutang uang pada Chyntia. Tapi sampai hari ini, ia belum berhasil menemukan gadis itu dan bodohnya dia malah kelepasan bilang suka sama Chyntia pada Re. Alhasil, ia harus menanggung akibatnya karena terus disindir sama bocah gendeng satu ini.

"Kutil," geramnya mengepalkan tangan. "Heh! Nggak ada hubungannya lo sopan ke gue sama gue yang berhasil pdkt sama dia."

Alena langsung menggembungkan pipi menahan tawa. Ternyata orang ganteng yang punya kerjaan jelas pun masih susah dapet jodoh. Sudah berapa tahun Juniar menjomblo dan fokus sama karirnya tapi belum juga mendapatkan pendamping hidup.

Kalau sudah seperti ini, Om Jun hanya harus memasrahkan urusannya pada Allah swt. Insyaallah semuanya dimudahkan dan Alena hanya bisa bantu mendoakan.

Re tergelak. "Ya ada, lah! Kalau lo berhasil, berarti lo bakal jadi panutan gue. Gue akan menghormati siapa pun yang menjadi panutan hidup gue." Re pun mengedip-ngedipkan matanya lucu biar Mas Jun yang sudah emosi nggak merusak dandanannya.

Tangannya sudah terkepal namun ia berhasil menahan godaan untuk tidak mengacak-ngacak muka artisnya. Akhirnya, Juniar hanya menggeleng maklum.

"Kumaha maneh we lah," desisnya. Ia pun berpaling pada Alena.

Ia memberi isyarat mata pada gadis itu agar mengingat kembali percakapan mereka sebelumnya. "Tuh, kan, baik," gerak bibirnya pada Alena yang mengingat bahwa Re malah mengusir Juniar dan membiarkan Alena tetap duduk di kursi. Alena mendengus geli sebagai balasannya.

"Re, gue ke direktur iklannya dulu, ya." Juniar pun melenggang pergi meninggalkan dua anak remaja yang sekarang duduk bersebelahan.

Re sedang beristirahat karena ada pergantian tema pemotretan. Properti mulai hilir mudik keluar masuk studio.

Tenggorokan Re mengering berlama-lama di ruang berpendingin ini. Ia pun meminta minum pada Alena yang dengan malas gadis itu ambilkan. Saat mengambil minuman, Re perhatikan wajah gadis itu sekilas lalu meminum cairan botolnya.

"Nih." Re menyodorkan botol minumnya pada Alena.

"Kenapa?" tanyanya tidak mengerti. Biasanya juga langsung disimpan sembarang tempat jika Re mau meminumnya lagi.

Re langsung mengambil tangan Alena agar menggenggam botol itu. "Cepet minum," titahnya datar.

Alena selalu dibuat kebingungan dengan sikap Re. Buat apa cowok itu menyuruh Alena untuk minum minuman dalam botol yang sama dengan Re apalagi yang habis kena bibirnya cowok itu?

Alena mengeratkan genggaman pada botol itu enggan untuk meminumnya. Nanti jadi ciuman tak langsung lagi.

"Kalau gue nggak mau?" tanya Alena ragu.

Re berdecak malas. "Tinggal minum aja susah banget, sih, lo."

"Ya, gue cuma takut aja lo udah masukin sesuatu yang aneh gitu ke ini minuman buat ngeracunin gue," kilah Alena yang padahal ia tahu dengan jelas bahwa Re tidak melakukan apapun.

Re berusaha menahan emosinya yang selalu saja meluap kala bersama dengan gadis aneh ini. Ia mengelus dadanya. "Astagfirullahaladzim, lo suudzon mulu sama gue. Emang tampang gue ini tampang penjahat apa sampe tega ngeracunin elo," tukasnya kesal.

"Iya, lo kan selalu jahat sama gue. Kenapa sekarang tiba-tiba ngasih minuman?" Botol itu ia angkat sekilas lalu Alena tatap lama lubang botolnya. "Bekas elo, lagi," cicitnya.

Re mengernyit. Selalu saja salah di mata gadis itu segala perbuatannya. Re jadi malas bersikap baik pada cewek ini. Kalau tidak dianggap negatif ya selalu dikritik. Maunya apa, sih?

"Gue tahu di tas minumannya udah abis dan di studio nggak disediain minuman. Lo pucet. Gue takut lo sakit." Napas Alena seketika tercekat.

Re membuang wajahnya kesal dan langsung menutup mata dengan lengan kiri kemudian melemaskan bahu hingga ia selonjor di kursi.

Ia tatap lagi botol minum dalam genggamannya. Apa? Re takut Alena sakit? Oh, jadi begini rasanya melayang, Alena baru pertama kali merasakannya. Deretan gigi langsung terlihat jelas tak bisa lagi ia rapatkan bibir karena perasaan ini terlalu indah untuk disembunyikan. Ia hentakkan kecil kakinya karena bisa disangka gila bila Alena sudah meloncat-loncat kegirangan. Re benar-benar punya kemampuan membuatnya menjadi gila.

"Jangan baper." Gubrak!

Sampai suara ini menjatuhkan Alena dalam sekali hitungan ke jurang paling dalam. Alena bisa merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Mengapa Re harus mengucapkan kalimat itu?

"Kalo lo mati saat kerja nanti gue juga yang tanggung jawab. Jaga kesehatan lo. Jangan ngerepotin gue. Cepet abisin minum g—Hallbs."

Re langsung menegakkan tubuh dan membuang ludah bersama kertas tisu yang dimasukkan ke dalam mulutnya. "Blweh! Blweh!"

Ia mengusap mulut dengan punggung tangan lalu menatap bengis asisten pribadinya yang sudah sangat menginginkan pemecatan. "Apa-apaan, sih, maksud lo?! Gue tahu lo yang masukin tisunya!"

Orang yang diajak bicara malah terus melirikkan mata dan mengedikkan kepala ke arah stage berfoto.

"Udah dipanggil, tuh," gumamnya membuat Re menoleh dan benar saja Mas Dika selaku fotografer sudah memintanya untuk kembali.

Ia mengalihkan lagi pandangan pada cewek menyebalkan ini lalu menekankan dua jari yang ia arahkan pada matanya lalu pada mata gadis itu. Re pun beranjak mendekati Mas Dika.

Alena berdecak prihatin menatap punggung Re yang semakin menjauh. "Bawel banget, sih, jadi cowok," gumam gadis itu lalu meneguk minumannya.

Tinggal berapa mililiter lagi barulah Alena melotot hingga ia tersedak dan terbatuk-batuk.

Oh, No! Ciuman tidak langsung!

*****

Tanah yang ia pijaki ini sama sekali belum berubah sedikit pun setelah lama ia tinggalkan demi pekerjaan. Kakinya mulai membuka dan menutup mendekati sebuah pintu yang biasanya menjadi pintu pertama yang ia datangi untuk berkeluh kesah. Tapi beberapa bulan terakhir ini, ia tidak bisa. Tidak diizinkan. Agar dekat dengan pusat kota menjadi alasannya.

Ketukan pintu dari tangannya terus berirama menggerakkan langkah kaki orang dalam untuk mendekatinya. Pintu pun terbuka saat kepalan tangannya masih menggantung di udara. Senyuman lebar langsung terpasang pada wanita paruh baya yang menjadi sosok pembuka pintu. Tangannya merentang membiarkan kepala putra kesayangannya menjatuhkan seluruh beban di pundak kanannya untuk ia dekap.

"Renggana? Kok nggak bilang kalau pulang? Ibun belum masak makanan kesukaan kamu," ujar Naya mengelus rambut putranya.

Re menggeleng masih menempelkan kening di pundak ibunya yang sudah lama ia rindukan padahal belum ada satu semester mereka berpisah. "Nggak papa. Semua masakan ibun enak," balasnya lemah.

Ia merasa kelelahan selepas melakukan pemotretan, ditambah sebelumnya ia harus melaksanakan ujian dan ada insiden di dalam sekolahnya yang menjadi faktor utama ia keletihan. Ia meminta izin pada agensinya untuk pulang ke rumah satu hari saja dan meminta mengosongkan jadwal dahulu.

Permintaan yang awalnya ditolak keras karena Re sedang banyak panggilan sana-sini, dapat diluluhkan oleh Mas Juniar selaku manajer dan kakak bagi Re. Ucapan terima kasih sebanyak apapun takkan cukup membayar jasa manajernya. Re sangat bersyukur.

Matanya terpejam, enggan mengubah posisi. Ia masih rindu tiap belaian dari ibun. Tapi sepertinya ibun lebih rindu untuk melihat wajah putranya karena sekarang dua tangan itu menangkup wajah Re hingga tampaklah raut wajah penuh emosi di depan mata Naya.

Naya harus mendongak melihat bayi kecilnya dulu yang sekarang sudah sangat tinggi melebihi dirinya. Ia hanya setinggi leher putranya. Ibu jari ia gerakkan mengelus wajah lelah itu.

"Kenapa? Ada masalah? Cerita, ya? Masalah itu jangan dipendem nanti malah jadi batu yang kalau udah mengeras bakal susah dicabutnya," ujarnya lembut.

Re menurunkan dua tangan itu dan menggeleng pelan. "Nanti, Bun. Nanti."

Naya mengangguk maklum dan mengajak anaknya untuk masuk ke dalam rumah yang melindungi satu keluarga ini dari dinginnya angin malam.

****

Tak ada kata rumah dalam kamus hidup Alena. Rumah yang berhasil membesarkannya menjadi gadis cantik baik yang dikenal banyak orang, sudah tiada. Hanya tersisa rumah kecil dua kamar yang selalu dalam kondisi berantakan. Walau sebelum bekerja dulu, setiap hari Alena membersihkannya.

Karena Re tak ada di apartemen, tak ada alasan bagi Alena untuk tinggal. Padahal, ia lebih betah tinggal di sana daripada di sini, bangunan kecil yang dikata rumah. Pintu yang selalu ditendang memberikan tapakan sepatu yang tebal di atasnya. Berbagai perabotan yang selalu berpindah posisi dari tempatnya semula sudah biasa di mata gadis ini.

Andaikan ia punya tempat pergi, ia tak mau menginjakkan kaki di rumah kecil milik ayahnya ini. Walaupun Alena tidak yakin, apakah benar ayah yang telah membeli rumahnya atau malah ini hanya hasil sumbangan orang lain. Segera ia rapikan kembali perabotan, menyapu lantai dan memasak nasi untuk ia dan ayahnya.

Sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya bagaimana kehidupan ayah tanpa dirinya. Ia sudah tidak peduli lagi. Yang ia pedulikan hanya ibu. Ibunya yang harus menderita karena kelakuan ayahnya.

Di dalam kamar yang hanya diisi dengan kasur tipis dan lemari plastik tanpa ada meja belajar apalagi meja rias. Ia sandarkan punggung pada dinding dengan dua lutut dalam dekapannya menatap selembar foto yang ia tempelkan di tembok.

Foto kenangan. Foto yang membuat ia ingin kembali ke masa lalu. Di dalam sana, ada Alena yang membawa permen kapas dalam ukuran besar ditemani oleh ayah dan ibu di sampingnya yang memasang senyum bahagia menatap kamera berlatarkan sebuah komedi putar yang ada dalam Taman Bermain Singapura.

Ia rindu masa itu. Ia harap, bisa kembali. Walaupun kata mustahil pasti merupakan balasan yang tepat untuk menjawab tiap harapannya.

Gedoran pintu terdengar sedikit membuatnya terkejut. Bukan gedoran dari tangan tapi dari kaki yang terus menendang pintu. Apa yang sibuk dilakukan tangannya sampai tidak bisa mengetuk pintu dengan benar? Alena tahu jawabannya, alkohol.

Saat ia buka pintu, pemandangan yang paling dibencinya tampak. Seorang pria paruh baya yang dulu selalu menjadi panutan dan motivasi dalam tiap belajarnya agar bisa sukses sepertinya, sirna. Tergantikan dengan pria berwajah kusam dengan kemeja yang tidak betul ia kancingkan dan satu tangan membawa botol minuman keras.

"Putri?" tanyanya dengan mata yang tidak bisa fokus satu titik. Kepalanya terlihat pening dan berdirinya pun tidak bisa tegap dengan badan yang sedikit condong ke depan guna menahan keseimbangan.

"Ayah, aku di sini," balas Alena mencoba untuk tenang.

"Ngapain kamu pulang?!" sentaknya, kemudian terkekeh. "Dari kemaren nggak pulang-pulang, juga! Kamu mau aku pecat jadi anak, hah?!" sambungnya berteriak lalu meminum cairan botol kaca itu.

Andaikan di dunia ini bisa memutuskan ikatan darah, pasti Alena sudah melakukan itu dari lama.

"Yah, masuk dulu," ujarnya yang malah mendapat toyoran kasar di pundak kanannya. Pria itu pun masuk melewati putrinya langsung menghampiri sofa lapuk dan berbaring di sana.

Apa ini yang disebut rumah? Alena sudah tak bisa merasakannya lagi. Ia berjalan hendak kembali ke kamar namun suara serak berat yang lantang berteriak menahannya.

"MANA DUIT?! Kamu nggak pulang-pulang, lagi jual diri, ya? Udah berapa banyak pelanggan, Put?" omongannya yang tak pernah bisa disaring.

"AYAH!" sentak Alena kemudian berjalan mendekati sofa. "Atau sekarang Putri panggil Edwin Orang Setres aja, sekalian." Perkataan ayahnya sungguh keterlaluan dan sangat menyakiti hatinya.

"SIALAN!" Prank! Botol kaca itu ia lemparkan tepat terarah pada tubuh Alena sampai gadis itu dapat menyingkir tepat waktu dan akhirnya botol itu menabrak dinding. Namun tetap saja, serpihan kaca itu menggores kulit putihnya. Di sekitar wajah dan lengan.

Edwin berdiri dan berjalan mendekati Alena. Di mata gadis itu bukan lagi ayah yang terlihat namun seorang pria dewasa yang semakin membuatnya ketakutan dan melangkah mundur dalam gentar. Matanya sudah berkaca tak tahu harus meminta tolong pada siapa.

"Anak nggak tahu diri!" Rambut Alena langsung dijambak dalam satu hitungan membuatnya meringis.

Air matanya langsung merebak. Ia bukan hanya menangisi sosok ayah yang sekarang menjelma menjadi pemabuk. Tapi ia juga menangisi semua hal buruk yang terjadi pada hidupnya dua tahun ini.

Rambut itu ia tarik hingga Alena harus berjalan mundur dan punggungnya menabrak dinding.

"Ah, sakit. Ayah, sakit," isak Alena.

Edwin dengan mata setengah tertutupnya sudah kehilangan rasa untuk memberikan perlindungan pada putrinya.

"Heh! Dasar anak nggak tahu diuntung. Cepetan mana duitnya?! Aku mau main lagi biar dapet duit."

Rambut Alena malah semakin diremas. Gadis itu merintih berusaha meronta untuk melepaskannya.

"Sakit, Yah," rintihnya.

Tangan besar itu pun terlepas bersamaan dengan oleng kakinya untuk berdiri. Ia harus melangkah beberapa kali untuk mengembalikan keseimbangannya.

"Harusnya ayah yang cari duit," ujar Alena. "Harusnya ayah yang membiayai hidup Putri sama Ibu!" Alena sangat kesal sudah tak tahan lagi untuk meluapkan semuanya.

"Ngomong apaan, sih?" gerutunya mengacak rambut.

"Mana sosok ayah yang harusnya Putri jadikan panutan? Kemana ayah Putri, Yah?" Tangisannya kembali mengalir. "Dia kemana?"

Alena tak tahu lagi apa yang sebenarnya ia lakukan. Ia bicara pada orang yang mabuk? Ia atau ayahnya yang gila?

"Yang ada sekarang malah seorang pemabuk yang kerjaannya main judi tiap hari! Harusnya ayah kerja lagi. Kalau ayah bangkrut, ayah bisa mulai usahanya dari awal lagi. Apa seberat itu bagi ayah?" tukasnya dengan bibir bergetar.

Edwin menggaruk kepalanya kasar dan berdiri sempoyongan menatap Alena. "Nggak usah sok ngerti masalahnya! Kamu tuh masih anak dungu! Nggak usah belaga ngajarin!"

"Putri sangat mengerti alasannya mengapa, Yah!" balasnya lantang. "Sikap ayah yang salah setelah bangkrut sampai buat kita terjebak di rumah kecil kayak gini. Bahkan karena sikap ayah, ibu jadi masuk rumah sakit!"

Edwin membuang napas kasar dan kembali berbaring di atas sofa walaupun sempat menabrak meja kayu kecil karena pandangannya sudah mengabur. "Keluar kamu! Nggak usah balik lagi," usirnya.

Alena mengusap kasar air matanya. "Putri nggak bakal pernah balik lagi!" Ia pun membanting pintu kamarnya.

"Bu? Putri mau ke ibu aja." Sambungan telepon pun ia matikan.

******

Terpopuler

Comments

fadilah

fadilah

nex

2020-06-20

0

Gloria VP

Gloria VP

lanjut baca

2020-06-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!