Alena menyingkap tirai yang menutupi jendela di sebuah pesawat yang ia tumpangi bersama Re di sebelahnya dan Gara setelahnya dalam kursi deret tiga. Tatapan kagum kontan terbit di wajah begitu melihat keindahan alam semesta dari atas langit yang menggurat warna oranye kemerah-merahan beralaskan hamparan gumpalan busa putih yang memberikan kesan menenangkan pada senja kali ini.
Senja terindah yang pernah ia lihat. Namun hanya dapat ia nikmati sesaat.
Alena tak mau sosok terindah bagi hidupnya dianalogi sebagai senja. Dia yang paling indah namun hanya datang sementara kala piringan matahari telah tenggelam dalam cakrawala dan hanya akan memeluk erat siapa pun yang menunggunya sebagai tanda perpisahan karena setelahnya dia hanya ketiadaan dan hanya bisa dirindukan dalam naungan malam.
Alena bukan sosok tegar yang dapat terus menunggu dan menunggu kehadiran senja hanya untuk berpamitan. Ia tidak sekuat itu dan ia harap Re bukanlah senjanya. Alena lebih senang jika menganalogikan Re sebagai udaranya.
Udara takkan pernah hilang dari bumi dan akan selalu ada di mana pun Alena berada. Udara yang mampu memberikan kekuatan pada Alena agar dapat bertahan di situasi sepahit apapun.
Tiap udara yang ia raup demi kelangsungan hidup pun terasa begitu berharga bagi Alena yang membuatnya semakin bersyukur pada Sang Maha Pencipta mengingat orang yang ia cintai sedang berada di sampingnya.
Terpejam dengan headphone yang menyumpal dua telinganya serta dua tangan yang menggenggam ponsel dalam keadaan mati di atas pahanya. Ia terlihat mengantuk dan ini kesempatan Alena untuk memerhatikan tiap lekuk wajah rupawan itu yang terlihat begitu natural saat ini. Tak ada perasaan apapun yang menggeluti pikirannya hingga tak ada pula siratan ekspresi yang terlihat. Tanpa sadar, Alena memaku pandangannya pada ciptaan Tuhan ini lamat-lamat.
"Kedip," titahnya.
Suara itu menelusup masuk begitu saja ke pendengaran Alena yang sudah tak dapat berpikir sampai ia tak sadar bahwa dari bibir orang yang ia perhatikanlah suara itu berasal. "Hah?" sahutnya.
"Nggak panas apa mata lo melek mulu," cibir Re perlahan menaikkan kelopak matanya lalu menolehkan kepala menghadap wajah Alena.
Suhu tubuh Alena melonjak drastis dan matanya ikut melebar karena sudah tertangkap basah memerhatikan bosnya. "L-lo? Nggak tidur?" tanyanya gelagapan.
Re terkekeh kecil entah apa alasannya. "Kata siapa gue tidur? Orang gue lagi merhatiin lo," balasnya santai.
Napas Alena tercekat namun ia bingung harus baper atau nggak karena pasti ada sesuatu yang tak Alena sadari hingga ia sama sekali tak bisa menangkap apa maksud dari perkataan Re. "Maksud lo? Orang lo lagi merem, gimana caranya merhatiin gue?" herannya.
Re mengangkat benda yang sedari tadi ia genggam dan layar ponsel gelapnya ia tunjukkan pada gadis itu. "Nih! Dari sini! Gue bisa liat pantulan bayangan lo dari nih hp. Ya gue perhatiin aja, eh ternyata lo ngeliatin guenya gitu banget. Sumpah, muka lo nggak dikontrol."
Re terkekeh kecil karena bisa diomeli sama penumpang yang lain kalau dia sampai terbahak puas.
Ya Allah, jagalah diri hamba ini biar nggak nyium tuh pipi. Sumpah lucu banget, batinnya.
Alena merosot ke jurang paling dalam. Ah, ia sudah tak mau menghitung berapa kali ia melakukan hal bodoh di depan Re. Pasti sudah sangat tak terhitung jumlahnya. Ia pun kibaskan lengannya seraya berpaling menghadap remangnya malam yang menghiasi langit. Skakmat. Alena tak tahu caranya mengelak.
Masih terdengar tawa yang berusaha sekeras mungkin Re tahan di telinga Alena. "Yaudah, sih, lupain aja! Jangan ngetawain gue," bisiknya penuh tekanan.
Re menahan perutnya yang sakit. "Aduh, sumpah. Kalo gue jadi lo, gue pasti udah terjun dari pesawat, haha," bisiknya hingga hanya desahan napas yang keluar saat ia tertawa.
Alena semakin memerah memandang langit. "Ih, tahu, ah. Berisik lo, Re! Lo ketawa tapi kayak yang kesakitan tahu nggak," balasnya berbisik.
Re mengusap wajahnya seraya mengatur napas. Astagfirullah. Lo punya pacar, Re. Lo punya pacar. Ingatnya.
Tapi, kan, lo udah nggak diaku lagi jadi pacarnya orang lo udah diputusin. Re meringis sendiri memikirkan hal ini ribuan kali dalam benaknya.
Ia alihkan pandangan pada rambut lurus yang memunggunginya. Sosok gadis yang sekarang bertopang dagu lebih memilih untuk memandang gelapnya langit.
Apa ini saatnya menutup buku lama?
*******
Pukul delapan pagi, Alena, Gara, Re, dan Juniar berjalan menuju kamar apartemen yang telah dipesan sebelumnya setelah mereka keluar dari dalam taksi. Digeretnya masing-masing koper ke dalam apartemen dengan mata yang sembab karena kantuk melawan waktu sekitar dua belas jam setelah mereka transit dulu ke Singapore Airlines.
Di kamar apartemen nomor 37 pun Juniar langsung masuk ke salah satu kamar bersama Gara karena di dalamnya ada Twin Bed dengan ukuran ranjang normal untuk satu orangnya. Re pun masuk ke salah satu kamar yang pintunya bersebelahan dengan kamar itu. Di dalamnya hanya ada satu ranjang berukuran cukup besar dengan televisi di hadapannya dan lemari pakaian yang menempel dinding di samping kasur dan tepat saat Re memasuki kamar, pandangannya langsung terjatuh pada jendela besar yang cahayanya memecah keheningan kamar apartemen ini.
Sedangkan Alena masuk ke dalam kamar yang pintunya berhadapan dengan Re. Di dalamnya tak jauh berbeda dengan kamar tidur lelaki itu namun bedanya ukuran ranjangnya lebih minimalis yang hanya muat satu orang saja.
Mereka semua membanting tubuh ke atas kasur dan memejamkan matanya guna menghilangkan gejala Jet Lag yang mereka rasakan akibat perjalanan jauh serta melintasi beberapa zona waktu.
Hari pertama di kota Roma hanya dihabiskan untuk memulihkan tenaga.
*****
Alena dan Juniar menyusuri lorong menuju kamar apartemen. Mereka baru saja kembali dari toko makanan terdekat untuk membeli makanan ringan sebagai sarapan di pagi hari. Alena masih tak mau berjalan-jalan sendirian. Ia takut tersasar karena ini pertama kalinya ia datang ke Roma. Walau Juniar pun begitu tapi setidaknya ada orang yang lebih dewasa bersamanya hingga kekhawatiran pun dapat teratasi.
Masih di ambang pintu saat kaki Alena sudah melangkah masuk, ia putar kepalanya merasakan Juniar malah berdiam diri. "Kenapa, Om?" tanyanya melihat Juniar baru saja menurunkan ponsel dari telinga.
Juniar langsung memberikan kantung plastik yang tadi dibawanya pada Alena. "Ada panggilan dari atasan. Om mau ke kamar 45 dulu, ya, Na." Alena mengangguk mengerti.
Ia pun berjalan menuju ruang tamu dengan tiga sofa yang mengelilingi satu meja bundar berlatarkan jendela yang memenuhi dinding berornamen khas Romawi. Di sana sudah ada Gara, Re, dan juga dokter dari Indonesia yang memang dibawa oleh Re untuk memeriksa keadaan Gara.
Ia hampiri ketiga orang itu seraya menyimpan kantung plastik di atas meja dan ia ambil tiga buah sandwich untuk ia berikan pada penghuni apartemen.
"Re? Nih, makan dulu." Alena menyodorkan sandwich itu namun tak dihiraukan sama sekali.
Sandwich pun dijejali paksa di tangannya namun tak berhasil membuat lelaki itu mengalihkan pandangan dari Gara yang sedang diperiksa oleh dokter wanita berambut hitam pendek sebahu. Dokter itu menekuk lututnya di hadapan Gara yang menganga sedang mengecek keadaan pita suaranya dengan senter kecil.
Alena mengambil piring dari dapur untuk menyimpan sisa Sandwich yang dibawanya. Ia pun kembali dan ikut terduduk di sofa yang bersebelahan dengan Gara berhadapan dengan Re.
"Gimana, Dok?" serbu Re melihat Dr. Kyla mematikan senter dan membiarkan Gara menutup mulutnya kembali.
Kyla masukkan dua tangannya ke dalam saku jas dokter seraya berdiri lalu menatap orang yang bertanya. "Kondisinya terlalu parah. Jadi kita harus coba dulu untuk meminimalkan penggunaan pita suaranya."
Gara mendongak menatap Kyla. "Caranya?" tanyanya setengah berbisik. Ia sangat berhati-hati untuk mengeluarkan suara karena terasa amat sakit jika ia berikan tenaga pada pita suaranya.
Kyla tersenyum dan menepuk pundak Gara. "Kamu harus puasa bicara. Kita coba dulu tiga hari. Nanti kita lihat perkembangannya."
"Puasa?" Alena mengernyit. "Jadi Gara nggak boleh ngomong apapun selama tiga hari, Dok?" tanya Alena memastikan.
Kyla mengangguk. "Iya. Gampang kan, Gar? Jadi mohon bantuannya ya teman Gara jangan sampai godain dia buat ngeluarin suara," peringatnya.
Gara kontan merasakan aura negatif menyeruak dari tubuh seseorang yang sedari tadi memperhatikannya. Ia pun menoleh pada Re yang sudah memasang seringai menyebalkannya. "Kayaknya bakal sulit, Dok. Sangat sulit."
Kyla dan Alena hanya terkekeh kecil sangat mengerti apa yang dimaksudkan Gara. Dokter itu pun pamit ke hotelnya yang sudah ia pesan. Bersamaan dengan pintu yang ia buka, Juniar ternyata hendak masuk juga ke kamar. Ia tersenyum sopan pada dokter itu lalu menutup pintunya kembali. Juniar pun memekik keras seraya berjalan mendekati tiga makhluk yang duduk di sofa.
"RE! AYO CARI JOD-DUIT!" Matanya melebar. Hampir saja ia keceplosan mau bilang nyari jodoh. Juniar baru saja mendapatkan kabar gembira
"Ngapain, sih, lo dateng-dateng heboh!" sahut Re menangkap figur Mas Jun sudah berdiri di antara mereka sambil cengar-cengir nggak jelas.
"Lo lagi bahagia, ya, Mas?" terkanya yang tak dibantah oleh Juniar yang malah menganggukkan kepala.
"Idih, udah tua juga lo!" cibirnya melunturkan warna Juniar dalam sekejap.
"YA EMANGNYA KENAPA KALAU GUE TUA?! GUE NGGAK BERHAK BAHAGIA?!" teriaknya melampiaskan seluruh emosi.
"YA BUKAN GITU MAKSUD GUE!" balas Re tak mau kalah. "BERARTI LO UDAH ADA DI UMUR YANG MATANG AJA BUAT BAHAGIA!" kilahnya melantur.
Alena langsung menutup dua telinganya. Kebiasaan tiap pagi pasti teriak-teriak kalau lagi berantem. Alena ingin menghentikannya mengingat sekarang mereka sedang tidak berada di Indonesia. Mereka memang memalukan.
"OH GITU MAKSUD LO! NGEMENG DONG DARI AWAL!" tekannya masih memekik.
"IYA GITU MAKSUD GUE!" balasnya.
Tatapan laser itu masih terpantri di dua wajah abang dan adek tak kandung ini sampai Re berdehem dan memutuskan kontak mata itu kemudian beralih pada Gara yang hanya diam saja turut menonton aksi debat pagi antara Juniar dan Re.
Sebersit ide melesat dalam pikiran Re menumbuhkan seringai jahil di bibirnya. "Ngapain, sih, lo teriak-teriak?" tanyanya pada Juniar namun matanya melirik Gara yang mengernyit samar mulai terpancing akan kodenya.
"Lo mau nyindir Gara, ya, yang sekarang lagi nggak boleh ngomong!" sindirnya secara tak langsung.
Juniar terkejut. "Beneran, Gar? Lo harus puasa ngomong?" tanyanya yang dibalas anggukan malas tanpa menatap Juniar karena tatapannya fokus pada anak setan yang duduk di hadapannya.
Re terbahak puas semakin membuat kepala Gara mengepul dengan asap. Tatapan kesal itu melayang tepat pada Re namun sangat tak mempan untuk membuat Re berhenti tergelak.
Re mengangkat dua kepalan tangannya ke atas. "Horey! Gue berasa merdeka hari ini buat jailin lo, Gar! Ah, gue kangen banget jailin lo dan akhirnya kesempatan itu datang," celotehnya bertepuk tangan gembira yang hanya dibalas dengusan dari Gara.
Melihat itu Re semakin bersemangat untuk mengusili Gara Si Cowok Kalem ini. "Gar, lo tahu nggak? Lo tuh tambah ... cantik!"
Mata Gara langsung melotot disusul kikikan tawa dari Alena dan Juniar.
"—tiap hari semakin gue perhatiin lo tuh tambah cantik dan semakin cantik, Gar!"
Ucapannya semakin mengeraskan gigi Gara dan sukses membuat cowok itu dongkol sedongkol dongkolnya.
"Hai, Cantik!" Re melambai pada Gara bermaksud menyapa.
Ini sudah keterlaluan! Cowok tulen mana yang tidak akan marah jika dikatakan ia cantik. Mulut Gara pun menganga hendak menyentak namun secepat kilat telunjuk Re menahannya.
Ia goyangkan jari telunjuk itu bersama dengan goyangan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "Eits! Nggak boleh ngomong. Nggak boleh ngomong," nyanyinya.
"Re ... udah dong," bujuk Alena tapi ia malah ikut tertawa pula melihat Gara yang sengsara.
Ia merasa sangat familiar dengan situasi ini di mana Re terus membuat Gara kesal namun Gara hanya membalasnya dengan putaran bola mata. Alena pasti akan berpihak pada Re bila sudah seperti itu, melihat raut wajah dingin Gara yang menegang menahan amarah memang takkan bisa tertandingi keimutannya dari pada apapun.
"Lo lagi puasa bicara, Gar! Inget kata dokter!" cetusnya menaik turunkan alis.
Gara mengatup bibirnya yang tadi menganga dalam satu hitungan hingga pipinya menggembung tanpa sengaja. Ia hembuskan udaranya perlahan mengempiskan kedua pipinya lalu mencoba merelaksasikan diri bersikap tenang.
Ia harus bisa memulihkan keadaannya bila ia ingin menjadi juara Festival Seni. Ia tidak boleh banyak bicara agar ia bisa bernyanyi dengan nada yang tinggi seperti kelebihannya. Ia harus bersabar untuk menggapai semua itu.
Namun Gara tetap tak bisa dikalahkan seperti ini. Masih ada cara untuk membalas penghinaan itu tanpa harus membalas argumen dari Re.
Gara berdecih kasar dan mengacungkan jari tengahnya pada Re.
Alena terperangah kemudian tertawa. Gara memang selalu punya cara untuk mengekspresikan kekesalannya walau tidak dengan cara yang sama dengan Re. Balas dendam versi Gara, stay calm aja.
"Anjir," komennya tak percaya Gara bisa mengeluarkan senjata itu. Re tidak akan membalasnya karena ia hanya berani mengacungkan jari itu pada orang yang dibencinya saja. Biarlah Gara yang menang kali ini. Lagipula, Re sudah cukup puas menjahilinya. "Kampret, lo!" sentaknya yang dibalas juluran lidah dari Gara.
Mereka pun tertawa lepas walau Gara tak bisa mengeluarkan suaranya.
Juniar ikut tersenyum melihat dua sahabat ini bisa kembali akur. Ia bawa tangannya untuk menepuk bahu Re yang membuatnya menoleh menatapnya. "Buruan Re, lo harus siap-siap ke Trevi. Buat syuting MV lagu baru lo itu."
Re menepis kasar tangan Mas Jun dari bahunya. "Ah, apaan, sih?! Gue males, Mas!" rengutnya menggerakkan seluruh tubuhnya. "Nggak mau!" rengeknya.
Juniar kicep.
Plak! Re langsung mengelus belakang kepalanya yang sukses digeplak sama tangan besarnya Mas Jun.
"Lo. Di sini. Kerja. Bukan liburan," tegasnya sudah seperti seorang ayah bagi Re.
Re mengangkat kepalanya menatap wajah Mas Jun yang berdiri dari bawah. "Iye-iye! Gue mandi sekarang."
Bila Juniar sudah mengeluarkan nada tegas seperti itu, Re juga takkan bisa membantahnya. Ini demi karirnya. Demi cita-citanya menjadi musisi nomor satu dan dikenal oleh semua orang. Re harus menurut.
Ia pun beringsut turun dengan malas dari sofa dan berjalan gontai menuju kamarnya. Saat ia turunkan pandangan pada tangan kiri, ia terkejut. Lah? Sandwich dari mana?
Tanpa memikirkan alasan itu ia pun berikan gigitan pada roti isi seraya memasuki kamarnya.
Juniar mengalihkan pandangan pada Gara. "Gar, lo juga harus ikut daripada bosen di sini," ujarnya yang dibalas senyuman dari Gara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments