Bab 15

Kepulan uap panas dari cangkir kopi yang digenggam sama sekali tak mengganggu indra pengecapnya saat pria ini menyesap cairan yang baru saja disajikan tersebut. Bahkan ia langsung menghabiskan setengah cangkir kopi panas-panas karena pikirannya hanya fokus merasakan kesal, heran, dan tak percaya hingga otaknya melumpuhkan indra pengecapnya sendiri. Cangkir pun ia simpan dengan kasar di atas meja hingga suara benturan antar kaca dan keramik mengejutkan dua anak lelaki yang duduk di hadapannya dalam sofa ruang tamu.

"Jadi ... kamu mau mengajak Gara bermain di luar negeri selama liburan di saat ia harus mempersiapkan diri untuk Festival Nasional?" Satu alisnya terangkat saat ia berkata semakin membanjiri tubuh salah satu anak lelaki dengan keringat dinginnya.

Gara yang duduk di samping kanan sahabatnya itu menundukkan kepala pasrah melihat Re sudah berpeluh akan rasa tegang yang dirasakan tiap kali berhadapan dengan ayahnya. Rencana untuk membujuk ayahnya akan gagal. Pasti gagal. Rencana ini telah dikutuk. Gara memang sudah pesimis dari awal.

Re meneguk. Seharusnya, ia tak usah menampakkan diri untuk meminta izin pada ayah Gara agar cowok itu dibolehkan ke luar negeri bersamanya. Ini adalah hal ternekat yang pernah ia lakukan selama ia bersahabat dengan Gara. Re tak pernah bertatap muka dengan ayah Gara seperti ini. Aura kegelapan selalu dirasakan Re saat ia melihat mata ayah Gara seakan ada hal yang ingin Haris katakan padanya namun tertahan di tenggorokan.

Haris benci Re. Hanya itu yang dapat Re artikan dibalik tatapan mautnya.

Punggung tangan bergerak menyeka keringatnya di sekitar kening yang mengumpul akibat rasa gugupnya. Ia menarik senyum canggung menyembunyikan rasa ingin kabur sekarang juga dari sini.

"Sebenarnya, ini bukan hanya bermain di sana aja, Ayah Gara. Tapi di sana kebetulan Re juga akan dilatih sama guru vokal dari sana buat acara penyambutan tamu di salah satu hotel," jelasnya setenang mungkin.

"Jadi, Gara bisa sekalian melatih vokalnya bareng sama Re dan bisa menjernihkan pikirannya dulu biar entar dia nyanyinya enjoy."

Haris tak memasang ekspresi apapun. Terlukislah kernyitan di kening Re yang semakin membuatnya ingin bunuh diri saja jika harus berlama-lama di Rumah Gara seperti ini.

"Gara sudah punya guru yang cukup profesional. Ia tidak perlu belajar lagi, apalagi sampai jauh-jauh ke Itali." Penolakan yang halus namun tajam dan langsung tepat ke intinya.

Re dan Gara bertukar pandang. Gara masih memasang wajah pasrahnya yang dapat terbaca oleh Re sebagai ucapan menyerahlah. Re langsung berpaling dan kembali menatap Haris yang sedang melihat ke pintu rumah yang setengah terbuka. Re tidak akan menyerah.

"T-tapi—" Mata Haris kembali menatap tajam Re dalam satu hitungan. Namun jika Haris pikir Re akan mundur dengan mudah karena tatapan itu. Re akan katakan bahwa usahanya telah gagal. "Bukankah bernyanyi butuh ketenangan hati? Gara perlu refreshing sebelum benar-benar tampil di Festival. Dia nggak bisa terus terusan bernyanyi dalam studio yang gelap kayak gitu. Re cuma ingin membantu Gara agar dia dapat bernyanyi dengan maksimal di Festival nanti.

"Bahkan saat kita ujian pun ada waktu di mana kita harus nutup buku dan menenangkan diri ... ya, kan?" ucapnya tak yakin.

Re terus berdoa semoga ia berhasil meluluhkan hati batu ayahnya Gara ini. Mengapa Gara bisa betah di rumah bersama penghuninya yang menyeramkan seperti ini? Apabila Re jadi Gara pasti ia sudah kabur mogok pulang ke rumah sampai ayahnya mengubah sikap padanya.

Tapi untungnya Gara memang lebih dewasa daripada Re hingga tidak memilih jalan itu dan justru karena kekejaman ayahnyalah rasa gigih Gara tumbuh untuk berjuang lebih keras dan lebih lagi dalam tiap perlombaan yang dijejakinya. Gara memang panutan hidup bagi Re.

Haris mengangkat lagi cangkir kopinya dan menggosokkan jari di sekitar mulut gelas. "Bagaimana menurut kamu? Apa kamu sendiri butuh refreshing?" Kepalanya menengadah menatap putranya yang juga membalas tatapannya. 

"Apa kamu mau membuang-buang waktu yang senilai dengan emas ini untuk refreshing daripada berlatih?" tekannya bersamaan dengan pandangan yang mengeras menatap Gara yang tak berkedip sekalipun menatapnya ayahnya.

Re terus melirikkan mata pada Gara. Dari ekor matanya, wajah Gara terlihat pucat dengan binar mata yang sangat redup. Ia terlihat lelah. Begitu lelah dengan semuanya. Apa yang dilihat oleh Re ini semakin membuatnya ketakutan. Apa yang ada dalam pikiran Gara? Bagaimana jika cowok itu berubah pikiran? Ekspresi pasrah tadi sangat tergambar jelas di pikirannya semakin membuat Re takut bahwa Gara akan menyerah dengan semuanya.

Satu sudut bibir itu terangkat. "Kalau kata ayah, gimana?"

Mata Re hampir keluar dari tempatnya mendengar ucapan Gara.

"Gara nggak tahu butuh refreshing atau nggak." Gara mengalihkan pandangan pada jalanan yang nampak dari setengah pintu yang terbuka. Angin sore yang berembus menyapa lembut wajahnya yang kelelahan hingga ia memejamkan mata sekilas. "Gara ... bakal ikut keputusan ayah aja," jawabnya lemah.

Haris mematung di tempat begitu pun dengan Re yang tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ingin rasanya Re jambak rambut sahabatnya ini dengan gemas. Mengapa ia malah mengatakan itu? Bukankah sudah jelas Haris tak mengizinkannya sejak awal? Ah, Gara menghancurkan semuanya. Usaha Re sia-sia. Ia harus segera mengemas barang-barangnya dan pulang ke rumah dengan tangan kosong.

Haris menyimpan perlahan cangkir itu. Re mengerutkan kening sudah tidak peduli lagi karena pasti rencana ini sudah gagal total. Tapi yang diucapkan dari bibir pucat yang hampir menghitam akibat terus menyesap kafein itu berhasil membuat bibir Re mengembang sempurna bersamaan dengan Gara yang menyunggingkan senyum kecil menatap punggung ayahnya yang berlalu begitu saja ke dalam rumah setelah ia mengatakan beberapa patah kata.

"Kali ini ... hanya kali ini saja."

*****

Re sibuk memainkan ponsel dengan badan yang ia tengkurapkan di atas kasur menghadap lemari yang ada tepat di hadapan kasurnya. Kakinya ia tekuk bergantian berulang kali mengiringi dua tangannya yang membawa ponsel terus bergerak ke kanan dan ke kiri. Lidahnya yang sedikit menjulur ia gigit di antara giginya. Ia berusaha untuk mengalahkan rekornya sendiri dalam permainan Angry Gran Run.

Nenek itu berlari sangat kencang dan karena Re telat untuk menggosokkan jempolnya ke atas, nenek pun menabrak badan truk.

"AH!" pekiknya kesal. Re berguling menghadap langit-langit lalu mengangkat dua kakinya ke atas berbentuk V dan merutuki ponselnya. "Gue benci lo! Dasar nenek-nenek nggak becus! Masa baru segitu lo udah nabrak! Argh!" teriaknya. Re mendengus kesal dan kembali berguling ke posisinya semula lalu kembali menekan Play Again.

Alena kicep di hadapan Re. Sejak awal ia sudah ada di dalam kamar cowok ini melipat pakaian Re yang dipilih dari dalam lemari untuk ia masukkan ke dalam koper untuk persiapan ke Italia dua hari lagi.

Ia baru sadar bahwa Re makin gila saja tiap harinya. Alena menggeleng prihatin melihat Re yang masih mengerahkan seluruh kefokusannya pada layar ponsel lagi-lagi dengan lidahnya yang tergigit seperti kebiasaan kucing. Ia terlihat imut dan sangat seperti anak kecil berusia lima tahun. Cukup menghibur hanya dengan melihat wajahnya saja. Alena terkekeh kecil dan melanjutkan pekerjaannya.

Terdengar jeritan korban yang ditabrak si nenek dalam permainan. Ah! Ah-ah! Ah! Buk!

"Aish!" Re garuk kasar kepalanya dengan satu tangan dan langsung membuang ponsel itu ke belakang tubuhnya hingga terbanting ke atas kasur. "Udahan, ah gue! Mati mulu, deh," gerutunya.

Re alihkan pandangan pada gadis di hadapannya yang terduduk di atas karpet sibuk melipat pakaiannya. Re langsung bertopang dagu memerhatikan puncak kepala Alena karena gadis itu tengah menunduk.

"Tumben lo diem aja, biasanya juga bawel," cibir Re.

Alena yang duduk melipat dua kakinya ke belakang hanya menghembuskan napas pasrah masih dengan tangan yang sibuk melipat kemeja Re. "Berisik salah, diem salah. Serba salah ya gue di mata lo," balasnya ketus.

Re mendecak malas. "Ya bukan gitu. Tapi lo kelihatannya lagi 5L, deh. Lemah letih lesu lurang lerhatian."

Alena mendengus geli mendengarnya. Re memang selalu punya cara untuk menarik perhatian orang lain. "Perasaan yang dua terakhir itu harusnya lunglai dan lelah, deh. Ngapa lo ganti?" tanyanya.

Re mengerutkan kening. "Ya terserah gue, lah. Emang lo kelihatannya kayak gitu, tahu!" tukasnya. Re pun membersihkan tenggorokannya. "Kenapa lo, ada masalah?" tanyanya bersimpatik.

Entah apa alasannya, tapi Alena tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. "Ciye, kepo."

Alena tak tahu bahwa jawaban seperti itu adalah kesalahan besar karena tangan Re langsung terjulur untuk mengangkat wajah Alena hingga berbelok 90 derajat agar menghadap wajah Re. Jempol dan keempat jari itu tersimpan di kedua pipi Alena penuh tekanan hingga mulut gadis itu pun manyun-manyun tidak jelas.

"Rue!" rengutnya kesulitan.

Re malah menggoyangkan gemas wajah Alena hingga bergerak ke kanan dan ke kiri dengan cepat.

"Gue nggak suka di ciye-in," tukasnya tegas. Re menggoyangkan lagi wajah Alena dalam genggamannya hingga gadis itu meringis dengan lucu. "Me-nger-ti?!" ejanya.

Alena merasa ada kunang-kunang di atas kepalanya. Rasanya pening Re putar-putar seperti itu kepalanya. "Iyua! Ngerti-ngerti!" rengeknya. "Pipi gue sakit, Rue! Buruan lepasuin!"

Re malah terkekeh melihat itu karena saat Alena yang masih manyun itu berbicara mulutnya persis seperti ikan yang megap-megap karena kesulitan napas. Re pun melepaskan tangannya disusul terangkatnya dua tangan Alena yang mengelus dua belah pipinya yang memerah.

"Dasar nyebelin!" rutuknya memicingkan mata pada Re yang masih terkekeh bahagia menjahili Alena.

"Ya makanya jangan ciye-ciyein gue! Tinggal jawab aja susah banget, sih, pake ngalihin segala. Lo kenapa?"

Re masih penasaran dengan alasan mengapa asisten pribadinya ini terlihat 5L dari pagi hari sampai sekarang saat matahari hendak terbenam. Binar mata gadis itu meredup seperti sedang ada masalah yang membebani pikirannya. Re pikir ini ada hubungannya dengan keluarga Alena.

Gadis itu menundukkan kepalanya kembali menatap pakaian Re yang masih ada dua stel lagi untuk dilipat agar muat ke dalam koper. Tangannya kembali bergerak dengan telaten.

"Nggak ada apa-apa. Gue cuma sakit kepala aja gara-gara belajar buat ujian semester depan. Maksain mata ngantuk buat melek itu bukannya seger malah jadi pusing. Makanya gue diem aja. Penat habis belajar," jelas Alena.

Re kembali bertopang dagu dan hanya mengangguk kecil mengerti. Re selalu melihat gadis itu membuka buku tebal sebagai persiapan ujian nasional yang padahal masih ada satu semester lagi atau setidaknya dua bulan lagi bagi kelas dua belas sebelum benar-benar melaksanakan ujian. Gadis itu pun belajar dari buku yang penuh dengan bahasa inggris yang tidak dimengerti Re itu buku apa.

Belajar, belajar, dan belajar. Gadis itu selalu belajar ketika ada waktu luang menyelingi kegiatannya bekerja sebagai asisten pribadi artis. Re tidak berani mengganggu jika melihat gadis itu sudah membuka bukunya dan memilih untuk menahan semua keinginannya dulu sampai buku itu tertutup kembali oleh Alena.

"Jangan berusaha terlalu keras, nanti lo malah kehabisan baterai di hari lo harus nunjukkin semua usaha lo. Kalau udah gitu, semua usaha lo malah ketiup angin gitu aja tanpa ada hasil yang bisa lo bawa pulang," ujar Re yang menyejukkan hati Alena.

Apa Re tidak tahu jika cowok itu sudah berbicara serius dan berbobot seperti ini kadar cinta di hati Alena bertambah beberapa mili? Andaikan Re bisa mengetahui itu.

Alena mengangguk setuju. "Gara ... pasti lupa sama satu hal ini sampai dia harus menanggung akibatnya sekarang."

Re tersenyum kecil. "Ya, dia pasti lupa saking gigihnya. Padahal harusnya tuh kayak gue aja selama perlombaan berlangsung, saat ada waktu buat main ya main sepuasnya dan waktunya latihan ya latihan.

"Asalkan selama latihan itu bener-bener maksimalin waktu nggak boleh setengah-setengah. Manajemen waktu harus dipakai sebaik mungkin biar tubuh juga nggak kecapekan sendiri.

"Kalau Gara itu ... waktu latihannya diselang-seling sama istirahat tapi rutin tiap hari. Kalau gue ... latihan cuma beberapa kali seminggu tapi di saat latihan ya full nggak berhenti-berhenti sehari penuh dan saat gue istirahat ya gue istirahat sepuasnya.

"Dari dua cara latihan itu emang nggak ada yang salah, dua-duanya boleh-boleh aja. Tapi salahnya Gara itu, dia nggak maksimalin waktu istirahatnya yang kadang malah dia tabrak juga buat latihan. Jadilah dia kehabisan baterai sekarang."

Alena masukkan pakaian yang sudah ia lipat ke dalam koper lalu ia resleting benda besar itu kemudian berlalu menatap Re yang posisi wajahnya sejajar dengan wajah Alena yang masih terduduk di atas karpet.

"Selama gue nge-fans sama lo, gue baru sadar alasan kenapa lo bisa jadi terkenal, Re."

Re merasa tertarik dengan pernyataan ini. Binar matanya pun mencerah menatap kemilau kelabu bola mata gadis itu. "Kenapa emang?" tanyanya penasaran.

"Karena lo ganteng." Napas Re tercekat.

Krik-krik.

Kok, baper?

Re pun membuang wajahnya pura-pura kesal. Ia bukan kesal karena ucapan gadis itu yang memang jauh dari apa yang ia harapkan. Tapi ia sedang berusaha menyembunyikan degup jantungnya dipuji sama asisten pribadi sendiri. Re sadar ia ganteng. Tapi mengapa jika gadis itu yang mengatakannya, Re jadi melayang seperti ini?

Alena terkekeh geli melihat reaksi Re yang seakan baper dengan ucapannya. "Cowok ganteng di mata cewek itu bukan yang ganteng dari lahir doang. Tapi saat cowok itu bisa menjaga waktu solatnya, bisa berusaha keras buat ngejar mimpinya, dan terakhir bisa jadi panutan buat si cewek."

Kepala Re tertarik perlahan kembali menatap gadis itu.

"Kayak yang tadi lo lakuin nyeramahin gue dan ngebagi kisah lo tentang manajemen waktu. Bermanfaat banget buat gue. Ternyata gue nggak salah ya ngengagumin elo."

Alena dan Re pun berbagi senyum yang sama.

"Pasutri!"

Dua anak remaja itu terperanjat dan bersamaan menoleh cepat ke ambang itu pada seseorang yang memekik dengan panggilan yang tidak sepatutnya ia katakan pada dua anak yang baru menginjak usia delapan belas tahun. Bahkan mereka belum lulus SMA tapi sudah dipanggil dengan sebutan Pasutri.

Orang itu bersedekap menyandar pada daun pintu menatap lurus masing-masing wajah lalu menggelengkan kepalanya prihatin. "Udah kayak pasutri aja kalian. Udah di dalem kamar, ya berduaan, senyam-senyum gitu sampe nggak nyadar kehadiran gue di sini. Udah sempurna, lah. Tinggal nunggu aja setan lewat," celotehnya yang sukses menjatuhkan rahang Re.

"Kampret, lo!" balasnya melotot.

Secepat kilat cowok itu bangkit dari tengkurapnya dan menarik bantal untuk ia lemparkan pada wajah manajernya yang tadi berbicara hal-hal yang tidak-tidak.

Buk! Juniar tidak sempat mengelak dari serangan itu dan hanya bisa meringis mengelus wajahnya.

"Sumpah, lo, Mas Jun! Ngomong apaan, sih?!" sewotnya menegakkan tubuh yang sudah duduk bersila di atas kasur.

"Lagian tuh pintu juga kebuka dan dari tadi lo udah ada di ruang tv ngerjain apaan sih tuh kertas-kertas yang nggak jelas—"

"Kontrak kerja," potong Juniar membenarkan.

Re mengibaskan tangannya. "Iya lah pokoknya gituan. Tapi lo malah ngawur aja ngomongnya. Nyebelin banget, sih, lo!" cerocosnya sekali napas hingga napasnya pun tersengal.

Juniar merasa perutnya tergelitik melihat Re sewot dan warna wajahnya kian memerah di sana.

"Alah, bilang aja lo malu gue jailin kayak gitu makanya marah-marah sekarang," terkanya seratus persen tepat sasaran. Re pun hanya bisa meringis. Yah, ketahuan.

"Orang Nananya juga biasa aja. Dia tahu ini, tuh, bercanda. Ya nggak, Na?"

Alena mengangkat kepalanya tanpa sadar melihat Juniar. "Amin," gumamnya.

Juniar menggembungkan pipi menahan tawa di saat Re tersentak dan menoleh cepat menatap heran Alena. "Lo ngomong apaan?"

"Hah?" balasnya oon.

"Tadi lo ngomong apaan?! Gue nggak denger," tuntutnya benar-benar tidak jelas mendengar. Bukannya karena ingin mendengar kata itu lagi.

Alena pun mengerjap dan perlahan kesadarannya kembali hingga matanya melebar sempurna. Ah, kebiasaan otaknya lumpuh seketika. "Gu-gue?" yakinnya.

"Iya, e-lo! Lo ngomong apaan?" tanya Re tegas sangat penasaran.

Mulut Alena bergerak mau bilang a tidak jadi. Mau bilang i tidak jadi maupun bilang u. Dan hanya ini yang terlintas dalam otaknya. "Amit," ucapnya.

"Hah?"

"Amit-amit."

Re mengerutkan kening tak suka dan menggaruk lehernya. "Perasaan tadi bukan kayak gitu nadanya." Ia masih kurang puas dengan jawaban itu.

"Udahlah, Re!" timpal Juniar berjalan mendekat dan duduk di tepi kasur. "Lagian, nih, ya kalaupun secara hipotesis ini beneran terjadi—"

"Hipotesis?" ulang Re.

Juniar mengangguk sekali. "Hipotesis. Nah, jika hipotesis mengatakan lo beneran nikah sama Nana juga yang ada itu ... elo yang beruntung dapetin dia bukan dia yang beruntung dapetin elo. Ngerti?"

Re hanya manggut-manggut. Mas Jun ngomong apaan, sih?

Juniar mendecak melihat pandangan kosong artisnya itu. Pasti dia tidak mau memproses apa yang baru saja didengarnya. Ia alihkan pandangan pada Alena yang masih melipat bibir menahan senyum bahagianya. Juniar tahu Alena suka Re, tanpa harus gadis itu katakan padanya. Semua sikapnya terlalu terlihat jelas menyiratkan hal itu hingga Juniar pun heran mengapa Re sampai tidak menyadarinya.

"Na, kamu udah ngambil baju di laundry?" tanyanya yang dibalas tatapan antusias dari Alena. Gadis itu menautkan dua alisnya dan menggeleng pelan lalu sigap berdiri dari duduknya.

"Nana ambil sekarang aja, ya, Om," ucapnya yang dibalas anggukan dari Juniar. Alena pun berjalan keluar menuju tempat laundry yang ada di lantai bawah apartemen.

Re merenggangkan otot lengannya ke atas dan bingkas dari kasur lalu berjalan mengambil handuk putih yang tergantung di balik pintu apartemen. Ia lingkarkan handuk itu di lehernya. "Gue mau mandi dulu." Tangannya merogoh saku celana santai dan saat ia mendapatkan barang yang dicari, ia lemparkan itu pada Juniar yang sigap menangkapnya di depan dada dengan kedua tangan.

"Hp Nana?" Juniar mengernyit.

"Jangan kasih ke dia. Gue nitip ke elo dulu." Baru Re hendak membalikkan tubuh, ia urungkan niatnya dan kembali menatap Juniar. "Awas aja kalo gue beres mandi hpnya udah ada tangan dia."

Juniar terkekeh meremehkan. "Emangnya kenapa? Emangnya lo bisa ngancem gue pake apa?" tantangnya.

Re mengeraskan rahangnya. Ia tidak dalam posisi yang bisa mengancam Juniar. Tapi Re tidak akan menyerah bila sudah ditantang begini ya pasti Re ambil tantangannya. Ia coba cari ide untuk mengancam orang yang dulunya asing tapi sekarang sudah ia anggap seperti kakak angkatnya.

Ia tersenyum evil. "Nanti gue laporin ke kakak ipar gue ... Chyntia!" dengusnya berasa menang meninggalkan Juniar yang menganga tak percaya. Ia berlari menuju kamar mandi sebelum perkataannya dimatikan oleh Juniar.

"Sialan, lo! Gue kenal sama dia aja belom!" pekiknya. Juniar masih dapat mendengar tawa terbahak evil dari Re sebagai balasan.

"Kutil," ringisnya yang tak lama berakhir dengan senyuman kecil mengingat kata kakak ipar yang disebutkan oleh Re. Berarti nanti dia sama Chyntia nik—

Drrrtt ... Drrrtt ...

Baru juga mengkhayal, tapi sudah dilarang.

Buktinya ponsel Nana yang bergetar membuyarkan pikiran Juniar. Ia perhatikan layar ponsel yang menyala dan melihat nama yang tertera di sana.

Ayahku is calling ....

Seharusnya Juniar tidak perlu menjawab panggilan dari orang lain. Ini bukan haknya. Tapi kalau ada apa-apa bagaimana? Nanti Juniar juga yang disalahkan karena tidak mengangkat panggilan ini.

Tanpa pikir panjang lagi ia menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel itu ke sebelah kanan telinganya. Juniar baru menarik napas untuk bicara namun sudah terdahulu dipotong dari seberang.

"Saya dari Kepolisian Daerah Buah Batu. Apakah benar ini wali Bapak Edwin?"

Terpopuler

Comments

fadilah

fadilah

wudiiihhh kenapa tuh...

2020-06-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!