Bab 7

Rasa masakan ibunya memang paling top dari makanan restoran berbintang sekalipun yang pernah Re makan. Ibun sudah memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakatnya. Katering. Pantas saja, banyak yang ketagihan sehingga promosi lewat bibir ke bibir para ibu semakin menaikkan popularitas Katering Alanaya milik ibunya.

Apalagi, ada beberapa kenalan ibunya yang sudah mengetahui bahwa anak Naya selaku CEO dari usaha katering adalah Re si penyanyi yang baru saja debut dan namanya masih hangat menjadi bahan perbincangan masyarakat.

Indra penciuman mengantarkan pesan pada otaknya untuk segera mencicipi masakan ibunya. Tapi, apa daya jika ia sudah mager di kasur. Kekasihnya ini belum mau Re tinggalkan dan membujuknya untuk kembali tertidur. Re sangat mencintai kasurnya.

Tapi, ia lebih mencintai ibunnya. Oleh karena itu, ia beringsut turun dari kasur dan mengucapkan selamat tinggal pada kekasihnya lalu berderap menuju kamar mandi yang terletak di antara kamarnya dan kamar adik semata wayangnya.

Re mengikuti bayangan aroma yang membawanya menuju dapur tempat kekuasaan ibun. Karena hari ini ada Re datang ke rumah, Naya tak berangkat menuju lokasi kateringnya yang hanya beda dua blok dari komplek perumahan ini di sebuah ruko dua lantai yang dialih fungsikan menjadi dapur produksi juga sebagai tempat penjualan. Tanpa kehadiran Naya, tetap saja bisnis itu berjalan dengan semestinya yang dijalankan anak buahnya.

Melihat kerudung panjang yang sampai menutupi punggung ibunya. Re langsung berlari kecil dan melingkarkan lengan di pinggang ibunya yang masih menumis masakan dengan spatula di tangan kanan dan botol kecap di tangan kiri.

Naya melotot. "Renggana," ucapnya seraya menggerakkan tubuh agar lingkaran tangan anaknya ini terlepas. "Ibun lagi masak, nih," omelnya.

Re malah semakin mengeratkan pelukannya gemas bagai ibunya adalah sebuah boneka Teddy Bear. Kepalanya pun ia simpan di puncak kepala ibunya.

"Kok tahu ini Renggana, sih?" cebiknya. Ia pikir ibunya bakal kaget karena dikira ada cowok mesum yang asal meluk orang.

Naya menyimpan botol kecap di atas meja samping kompor lalu menggantinya dengan serbet untuk memegang gagang katel.

"Cuma kamu yang suka meluk ibun dari belakang apalagi ini masih pagi, Si Ardy kan masih molor. Kenapa, sih, seneng banget meluk ibun?" tanyanya.

Re terpekur. "Ya, seneng aja. Daripada Re melukin anak orang. Emang ibun mau Re kayak gitu?"

Naya sontak melebarkan mata. "Eh, jangan dong."

Re terkekeh kecil mendengar ibunnya menjadi khawatir seperti ini. Re tidak akan melakukan apapun yang membuat Naya khawatir. Re telah berjanji untuk itu.

"Ibun jadi susah gerak ini," keluhnya. "Cepet lepasin," titah Naya.

"Ah, apasih," rengut Re. "Lagi kangen juga. Ibun mah bikin bete aja."

Naya hanya bisa menghela napas pasrah. Re sangat mirip dengan ayahnya yang sulit mengontrol emosi. Jika ada yang sudah menghancurkan mood-nya. Bahkan Naya pun tak tahu bagaimana cara mengembalikannya.

Jadi, kalau anaknya sudah bete, Naya hanya bisa membiarkannya saja melakukan apa yang ia mau. Karena kalau nanti marah, Naya juga yang kena imbasnya. Re bisa jadi sangat menakutkan.

Matanya terus ia kucek di ambang pintu dapur. Ia terpaksa terbangun dari tidur karena mendengar kejanggalan dalam rumah ini yang bersumber dari dapur. Tanpa membasuh wajah di kamar mandi ia langsung berlari dari kamarnya menuju tempat kejadian perkara. Dan apa yang ia lihat sungguh membuatnya tercengang.

"Astagfirullah! Mama pelukan sama siapa? Heh! Anda siapa peluk-peluk ibu saya?" pekik lantangnya.

Re sangat mengenali suara ini yang membuatnya menoleh dengan malas.

"Gue abang, lo, bego," tekannya kesal yang disusul aduhannya karena kepalanya diketok sama gagang spatula oleh Naya.

Re hanya nyengir melihat Naya melotot padanya karena ia telah berkata kasar. Ia pun kembali memeluk Teddy Bear mungil nan berhijab itu.

Ia lupa ini di rumah. Naya telah mengajarkannya agar selalu menjaga tiap perkataan pada orang lain yang Re iyakan dengan patuh. Tapi Re hanya memberlakukan ajaran itu di rumah apalagi kalau ada ibunya saja.

Sehingga Naya tidak tahu jika di luaran, ucapan Re bisa lebih kasar dari yang bego tadi. Apalagi pada siapa pun yang merusak suasana hatinya. Re tidak akan pandang bulu untuk berkata kasar.

Matanya langsung terbelalak dan ia merasa segar seketika. "Lo abang gue? Arsy Renggana yang nyebelinnya melebihi Firaun dan keturunan-keturunannya?" jahilnya yang berhasil membuat Re melepaskan dekapan pada ibun sehingga kakaknya itu melemparkan tutup botol kecap tepat ke jidat adiknya.

Pletak!

"Wadaw!" Ardy meringis mengelus keningnya.

"Mau jadi gembel atau ketika lo jadi artis pun lo tetep jahat sama gue."

Naya menggelengkan kepala sambil terkekeh merasa kehangatan dari keluarga kecil ini. Re pun hanya mendengus lalu ikut terkekeh geli juga karena kebiasaan lama ribut sama Ardy di pagi hari kembali dilakukan olehnya.

Ardy menarik kursi makan yang satu sisi mejanya ditempel ke tembok hingga hanya muat tiga kursi dalam satu meja. Ia pun duduk di sana dan mencomot perkedel kentang dari balik tudung saji.

"Kapan lo dateng, Bang? Kok gue nggak tahu." Ia pun menggigit makanan bulat itu.

Re ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan Ardy. "Semalem jam 10. Lo udah molor duluan kayak orang mati. Nggak tega gue bangunin."

Ardy hanya membulatkan mulutnya. "Gue kecapean latihan futsal dari pagi makanya tepar semalem. Sampe kapan di sini?" tanyanya.

Re menuangkan air putih dari teko ke gelasnya. "Cuma hari ini aja. Banyak kerjaan gue." Ia pun meminum air putihnya sampai habis satu gelas.

"Kenapa nggak tinggal di sini aja, sih? Rumah sepi banget nggak ada yang bisa diajak ribut. Gue kangen adu mulut sama elo, Bang," celoteh Ardy sama persis blak-blakkannya kayak Arsy.

Re juga rindu kebersamaan mereka tapi ini sudah menyangkut pekerjaan yang menuntut Re harus bertindak profesional. Ia tak bisa selalu rindu rumah dan mengatakan ingin pulang. Ikatan kerja yang terjalin menganggap itu sebagai sebuah kelemahan juga sebagai tindakan yang tidak profesional.

"Kejauhan. Gue harus pindah dari satu tempat ke tempat lain. Nanti boros bensin, tenaga, waktu, kalau bolak-balik Padalarang-Bandung. Ribet lah itungannya. Makanya gue disuruh tinggal di sana."

Ardy hanya mengangguk maklum. Walaupun sebenarnya berat hati berpisah dengan abang sekaligus sobat karibnya setelah tiap hari selalu menghabiskan waktu bersama. Apalagi usia mereka hanya terpaut dua tahun. Sehingga pemikiran mereka berdua tak terlalu jauh berbeda.

Sekarang, tinggal dia dan Naya saja yang mengisi rumah peninggalan ayahnya ini. Ya, ayah mereka sudah mati dalam masing-masing hati. Tapi tidak, dengan pria yang pernah meninggalkan kenangan dengan mereka bertiga.

Ia belum meninggal, masih hidup. Kehidupan yang tidak diakui oleh keluarga kecil ini. Hidup dengan wanita lain.

******

Hadiah ulang tahun yang ke dua belas berupa ruang gelap bawah tanah yang didesain sedemikian rupa hingga layak menjadi studio musik dalam rumahnya sendiri, kini malah bagaikan penjara baginya.

Orang luar tak dapat mendengar suara apapun dari sini. Ini membuatnya bebas untuk berteriak meluapkan rasa frustrasinya dan bahkan bisa menyembunyikan isakan tangisnya akan rasa kekesalan yang sudah tak dapat dibendung lagi.

Ruangan yang istimewa.

Tapi bukan karena keistimewaan itu ia datang ke ruangannya. Ia akan berlatih. Melatih suaranya yang entah mengapa kian memburuk dan sering kali kehilangan nada jika ia sudah menyanyi dalam nada yang tinggi.

Berlatih juga berarti membiarkan dirinya terkepung dalam penjara yang dibuatnya sendiri. Karena ia tidak akan berhenti sampai ia berhasil dengan sempurna meningkatkan jangkauan vokalnya.

Dentingan piano mulai mengisi penuh keheningan di ruangan khusus. Jemari sibuk menari di atas tuts mengiringi suara yang keluar dari bibirnya.

I will not make the same mistakes that you did

I will not let myself

Cause my heart so much misery

Tanpa ia sadari, ada kaki yang perlahan menuruni tangga bawah tanah. Mendekati dirinya. Mendengarkan suaranya.

I will not break the way you did

You fell so hard

I've learned the hard way

To never let it get that far

Sejauh ini ia dapat mengendalikan suaranya. Namun saat masuk ke reff lagu yang sangat memerlukan nada yang tinggi. Ia kehilangan kendali.

Because of—rgh.

Denting piano terhenti bersamaan dengan suaranya yang tertahan di tenggorokan. Ia mengerutkan kening.

Menyedihkan.

Ia bersihkan tenggorokannya dengan berdehem beberapa kali.

Kembali ia bersiap untuk masuk ke reff lagu. Jemarinya mulai menekan tuts dan ...

Bec—argh. Belum apa-apa ia sudah gagal mencapai nada itu.

Ia membuang napas kasar. Tangannya menekan asal tuts yang merupakan manifestasi dari kekesalannya.

Akhirnya ia pun menjatuhkan kening ke atas tuts, tapi anehnya bukan denting piano yang terdengar justru suara berat yang ia yakini pemiliknya sudah berada di ambang pintu dan berderap mendekatinya.

"Gagal lagi?" Pria paruh baya itu bersandar pada sisi grand piano putih milik anaknya, bersedekap.

Mau menjawab iya atau tidak. Itu sama-sama jawaban bunuh diri.

Percuma ia berbohong mengatakan tidak jika ayahnya sudah mendengar semuanya. Dan tambah percuma jika ia mengatakan iya, jika kenyataannya memang begitu. Cemoohan lebih buruk akan terdengar di telinga nantinya. Diam adalah hal yang terbaik.

"Kamu aib keluarga, Anggara! Masa menyanyikan satu lagu itu saja tidak bisa! Kamu selalu menjadi anak kelas bawah dibanding sahabat kamu itu."

Gara enggan menjawab atau mengubah posisi. Ia sudah mendengar hal itu ribuan kali. Ia sangat bosan mendengarnya.

Prak! Sampai pukulan rotan melukai lengan kirinya barulah Anggara menegakkan tubuh dan menatap ayahnya yang melempar kasar rotan itu ke lantai.

"Kamu merusak nama baik saya, Anggara. Mau ditaruh di mana wajah ayah di depan publik, bila anaknya bahkan tak lolos festival tingkat nasional?!" bentaknya hingga urat di wajahnya pun menegang.

Gara mengembalikan pandangannya pada tuts piano. Mengeraskan rahang mencoba untuk bersabar mendengar celotehan ayahnya yang selalu saja memojokkan dirinya dan memaksakan kehendaknya.

Gara tahu, tiap orang tua pasti punya harapan saat mereka memiliki anaknya. Tapi apakah mereka tak tahu jika memaksakan kehendak justru merusak mental anak dan malah menekan batinnya?

Gara tersiksa selalu dibandingkan dan diremehkan di keluarga pemusik ini. Ayahnya adalah seorang komposer, konduktor, dan dosen musik di salah satu Universitas Seni ternama. Sedangkan ibunya, adalah pianis handal yang sering menjuarai berbagai kompetensi di jamannya.

Adakala Gara bersyukur ia dapat memiliki bakat dari kedua orang tuanya. Tapi tidak dengan tekanan ini. Semua bakat ini tak ada guna, bila Gara pun tak dapat dengan nyaman menyalurkannya.

Ia suka musik. Ia mencintainya. Tapi target menjadi juara yang selalu ditekankan di keluarga membuatnya tersiksa. Apalagi ditambah dengan adanya dia. Gara takkan pernah bisa mengalahkannya.

Ia hembuskan napas panjang. "Gara akan berusaha sebaik mungkin untuk perlombaan bulan depan. Gara sudah lolos babak penyisihan tingkat provinsi. Gara tak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti tahun kemarin," ujarnya, tenang.

Haris mendengus. "Awas saja jika kamu masih gagal tahun ini. Saingan kamu sudah berkurang, Anggara. Tidak ada lagi Renggana yang menjadi saingan kamu."

Gara meneguk. Nama dia.

Bola matanya berputar mengalihkan pandangan dari putranya yang malah tak membalas tatapannya. Ia arahkan pada pajangan pigura foto di dinding yang dipunggungi Anggara.

"Kamu selalu di bawah dia," ucapnya mengarah pada anak lelaki yang membawa piagam juara satu sedang merangkul Gara yang membawa piagam juara dua dengan kembangan senyuman yang terpasang di wajah masing-masing.

"Tahun kemarin pun dia juaranya dan menendang kamu di urutan kedua. Mau sampai kapan kamu jadi ekor dia?!" Nadanya kembali meninggi di kalimat terakhir. Gara hanya bisa diam mematung.

Haris mendekati putranya dan mengangkat tangan kanannya. Merasakan pergerakan itu, Gara refleks memejamkan mata.

Haris tersenyum miris melihat putranya yang sekarang malah menganggapnya sebagai monster. Gara terlihat ketakutan dengan tangannya yang sekarang berkeringat.

Haris menjatuhkan tangannya pada puncak kepala itu, mengusap perlahan rambut coklat terang putra tunggalnya.

Gara terhenyak. Kelopak matanya terbuka perlahan membiarkan matanya melebar. Ia kira, akan ada tekanan kuat yang ia dapatkan di kepala seperti yang ia alami di lengan kirinya.

Ia sangat ingin melihat raut wajah ayahnya saat ini. Tapi jarak yang terbentang terlanjur menghalangi niatnya. Hanya kejuaraan nasional, yang bisa membuat ayahnya kembali seperti dahulu.

"Saya berharap banyak sama kamu." Tak ada tekanan dalam nada bicaranya.

Dan Gara, hanya bisa mengangguk lemah.

Terpopuler

Comments

Adimas purnama

Adimas purnama

aihhhh orang tua gara sumpah minta di bantaiiiii😠😠😠😠

2020-06-23

1

fadilah

fadilah

semangat thor..💪💪💪💪
bagus kok ceritany

2020-06-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!