"Jam 6 lo ada siaran di radio sampe jam 7 berarti jam 5 lo harus udah siap, terus lanjut sarapan di mobil sembari jalan ke acara meet and greet jam 9-12 dilanjut lo solat jumat bareng gue."
Re menggerakkan jemari mengancingkan satu persatu kancing kemejanya sembari mendengarkan Mas Jun mendongeng tentang schedule yang harus dilakukannya esok hari melalui ponsel yang sengaja ia loudspeaker di atas sofa.
Ia hanya mendengarkan tanpa mau mengingat apa yang sedang Mas Jun katakan. Kepalanya sakit menjejali jadwal kerja ke dalam otaknya yang sudah terlanjur penuh dengan lirik lagu. Mungkin persentasenya bisa sampai 90% di dalam otaknya hanya ada musik, musik, dan musik.
Suara itu belum berhenti mengoceh. Naya yang duduk di sofa pun merasa tercengang mendengar jadwal yang sangat padat harus dijalankan putranya bahkan ia tak mendengar kata istirahat dari jadwal yang telah dibuat itu. Apa ini? Apa mereka sedang memperbudak putranya? Pikiran negatif malah menghujam benak Naya.
"Di jam 1 ada meeting buat acara talkshow sampai jam 2an. Habis itu lo manggung di cafe cuma selagu. Jadi jam 5 udah siap di Bogor buat model majalah. Pemotretan sampai jam 10 malem. Terus ada sisa waktu, buat balik lagi ke Bandung, sekalian lo nanda-tanganin CD album lo buat iklan sepatu kemaren."
Re hanya manggut-manggut. "Iya, Mas. Tapi kapan gue makan? Masa cuma sarapan doang?" balas Re yang ngeh pada urusan makan memakan. Dari tadi ia hanya mencari kata makan di celotehan Mas Jun. Tapi ia tak menemukan kata itu disebut.
"Ya gampanglah kalau makan. Bisa disela-sela acara. Lo mau makan apaan? Biar Nana nyiapin dulu dari sekarang. Ntar lo bete, lagi, makanannya nggak sesuai sama selera lo."
Re termenung. Ia lirik ibunya yang sudah tersenyum dan menawarkan diri untuk ia yang menyiapkan makanan saja. Re menyetujui penawaran itu.
Ia pun mengambil jaket tebalnya yang tersampir di punggung sofa lalu ia masukan satu persatu lengan ke lengan jaketnya.
"Bilang aja ke dia kalau gue mau makan dari katering Alanaya punya ibu gue. Nanti gue kasih nomer-nya biar dia bisa calling-calling sama Ibun," jawabnya.
"Oh, yaudah kalo gitu. Lo udah siap, kan? Gue udah mau nyampe rumah lo, nih."
Re tidak terkejut sama sekali. Sudah tak heran baginya jika Mas Jun bisa dengan ajaib tiba-tiba muncul kayak tuyul di manapun Re berada. Tapi mendengar itu ia jadi kesal sendiri.
"Perasaan belom jam 12 lo udah jemput gue aja," rengut Re sebelum membanting diri ke atas sofa. "Kan perjanjiannya sehari."
Ia masih belum puas menghabiskan diri di rumah. Ia bahkan tak sempat untuk berkeluh kesah pada Ibun tentang Gara. Padahal niat pertama Re hanya untuk menceritakan hal itu sampai ia datang ke sini.
Rencana tinggal rencana karena waktu tak mendukung Re bisa berkomunikasi dengan ibunnya. Katering sedang rame-ramenya hingga Naya terpaksa harus mengontrol pekerjaan di sana dan baru kembali pukul delapan malam tadi.
"Yaelah. Emang lo Cinderella harus jam 12. Ini udah jam 10, Re, belom balik ke apartemen lo dulu. Langsung keluar, lo. Maaf gue nggak bisa pamit dulu ke ibu lo. Maaf sedalam-dalamnya dari dasar hati gue."
Re mendecih. "Lebay!" hardiknya.
Naya hanya terkekeh mendengar hal itu dan mengambil alih sambungan telepon. "Iya, dimaafin, kok, Nak Jun."
Re bisa membayangkan wajah Juniar yang memerah di seberang sana. Juniar pasti gelagapan dan langsung menurunkan ponselnya lalu mendumel tak percaya.
"Dasar Reog Ponorogo. Bukannya bilang kalo ibunya denger," gumamnya tapi masih dapat terdengar jelas di telinga Re.
Juniar pasti salah menutup lubang speaker dari ponsel seperti kebiasaannya.
"Eh? Iya, maaf ya Ibunnya Re. Titahan dari atasan sebelum jam 12 dia harus udah balik ke apartemen biar bisa istirahat dulu. Makanya saya nggak bisa pamit."
"Iya, gapapa. Jagain anak ibun, ya."
"Siap, ibunnya Re."
Re membuat gestur mau muntah mendengar suara Juniar jadi lembut seperti itu. Sangat berbeda dengan ketika ia berbicara pada Re yang sepertinya selalu menyimpan dendam kesumat pada tiap perkataannya.
"Idih. Ke ibu gue aja sok imut, lo! Geli gue dengernya," komennya.
"Bawel, lu, ah! Buruan keluar, Siput!"
Suara klakson mobil pun terdengar menginterupsi Re untuk bingkas dari sofa dan menyalimi tangan ibunnya.
Ditatapnya pintu rumah cukup lama. Tapi hatinya masih belum plong seperti masih ada hal yang belum beres. Ia tidak bisa keluar dari rumah ini.
Ia pun mampir dulu ke kamar Ardy. Cowok itu sudah bobo ganteng di atas kasur dengan wajah dan seluruh tubuhnya yang tertimbun selimut. Jam tidur adiknya memang tak pernah lebih dari jam 9 malam.
Re ingin berpamitan karena mungkin ia takkan kembali dalam waktu yang lama mengingat liburan sekolah akhir semester akan datang dan jadwal kian memadat.
Deru klakson kembali terdengar. Namun bukan Re namanya jika ia akan patuh dengan cuma-cuma. Ia malah berjalan memasuki kamar Ardy dan menarik kasar selimut itu hingga Ardy mengerang tak suka dan tangannya bergerak meraba-raba kasur untuk mencari selimut walau matanya masih terpejam.
"Hei, Dy!" panggil Re kemudian menekuk lutut menyejajarkan tingginya dengan tinggi kasur.
Kesadarannya mulai pulih dan Ardy pun membuka paksa matanya. Walau hanya segaris, ia dapat melihat wajah abang di hadapannya. "Apa?" lenguhnya sebelum menguap lebar yang ia tutup dengan punggung tangan.
"Gue balik ke sana nggak tahu sampe kapan. Jagain ibun. Jangan ngurung di kamar aja, temenin dia. Kan nggak ada lagi gue sama ayah."
Ardy mengangguk namun masih tak sanggup untuk membuka mata lebih lebar dari ini. "Gue yang bakal ke sana nanti," balasnya yang membuat Re terkekeh.
Re mengacak pelan rambut adiknya. "Udah tidur lagi sana," ujarnya dilanjut berdiri dan mengembalikan selimut yang tadi ia buang dulu ke lantai.
Saat tubuhnya menggapai ambang pintu, suara Ardy menghentikannya.
"Duit."
Rasanya pengen nabok orang.
Tapi sayangnya bukan itu yang Ardy katakan. Re hanya berharap bahwa lebih baik Re mendengar kata itu dari mulut adiknya. Ardy malah mengatakan hal yang lebih menjengkelkan daripada itu.
"Kak A-ra," ucapnya lemah.
Re hanya mematung di ambang pintu menahan sakit yang tiba-tiba menguar di dadanya.
"Lupain. Dia—"
"Bacot!" potong Re keras. "Diem ato gue bunuh lo."
Baru saja Re menjadi sosok yang lembut tapi dalam sekejap ia bisa berubah lagi menjadi sosok yang kejam.
Mendengar keseriusan dari nada bicara itu, Ardy tak jadi menyelesaikan kalimatnya.
Dan dengan itu Re membanting pintu kamar meninggalkan rumah dengan kesesakan di dada.
*****
Alena tidak tahu apa yang telah terjadi pada Re. Dari awal jadwal sampai ia menyanyi di cafe. Ia hanya diam seribu bahasa.
Semua acara dilaluinya dengan senyum tipis dan perkataan seadanya. Pikirannya kosong entah mengabur kemana. Para fans yang harusnya mendapat keramahan dan kepuasan di hati telah bertemu idolanya di acara meet and greet, tidak menemukan itu.
Mereka malah kebingungan dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi pada idolanya yang duduk menghadap mereka dengan tatapan kosong dengan bola mata yang terus bergerak ke segala arah. Acara tanya jawab pun harus terlewati dengan canggung. Penggemar justru jadi takut bertanya. Nanti malah menyinggung perasaan artisnya.
MC yang terus berusaha mencairkan suasana akhirnya kewalahan karena jika Re tidak suka dengan pertanyaannya, ia hanya diam dan terus diam lalu menampakkan senyum tipis miliknya.
Raganya di sini tapi tidak dengan pikirannya.
Ia lebih terlihat seperti mayat hidup.
Dan Re lebih menyeramkan diam seperti ini di mata Alena. Gadis itu hanya bisa ikut diam duduk di samping Re dalam mobil yang sedang melaju menuju Kota Bogor.
Re belum melahap sesuap nasi pun dari pagi. Ia bahkan tidak tidur tadi malam karena saat Alena mengetuk pintu untuk membangunkannya, Re langsung membuka pintunya dan berjalan keluar sendiri menuju kamar mandi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Juniar yang duduk di jok samping kemudi, menolehkan kepalanya ke belakang melihat sosok itu yang hanya terus menunduk melihat ponsel yang layarnya mati. Tanpa memfokuskan pikiran pada benda itu.
Lalu melirik Alena dan menggerakkan tangannya seperti sedang menyuapi makanan ke mulut lalu menunjuk-nunjuk Re.
Alena menghembuskan napas pasrah dan mengibaskan tangannya pada Juniar agar menghadap lagi ke depan.
"Re?" panggilnya.
Tak ada sahutan.
"Lo belum makan. Ibun elo udah nitip makanan tuh di misting tinggal lo makan. Makan, ya?" bujuk Alena.
Re mengangkat wajah menatap sekilas Alena lalu berlalu mengalihkan pandangan ke samping jendela kirinya.
Apa yang sedang ada dalam pikirannya? Bukankah Re baru saja bertemu dengan keluarganya? Mengapa kepulangan dari rumah itu malah membuat Re menjadi seperti ini? Alena memang tak pernah mengenal Re lebih dalam.
"Nanti lo sakit, Re," ucap Alena.
Re menggerakkan bibirnya dan mengatakan sesuatu yang terdengar seperti bisikan. "Emang itu yang gue mau."
"Lho? Kok gitu?" kejut Alena.
Kini Juniar pun ikut terkejut dan melotot mendengar pernyataan Re. "Re? Lo nggak bisa kayak gini terus. Mending lo marah-marah, deh, daripada jadi mayat idup gini," sambung Juniar menatap Re lewat kaca spion depan.
"Berisik," ucap Re datar.
Semua diam.
Alena dan Juniar pikir, suara mereka telah mengganggu Re. Oleh karena itu mereka hanya bisa diam.
"Berisik," ucap Re, lagi.
Namun mengapa cowok itu masih mengatakan berisik? Padahal tak ada suara apapun lagi di dalam mobil. Apakah suara desah napas pun masih mengganggu Re?
"Hah?" Alena mengernyit. "Radio juga mati, Re. Apa yang berisik?"
Re memejamkan matanya rapat. "Suara di otak gue ... berisik," lirihnya kembali membuka mata.
Tatapan Re tidak lagi kosong. Ia mengerutkan keningnya dan raut wajahnya berubah penuh kesakitan. Tangan kanannya terangkat guna mencengkeram kepalanya menahan sakit.
"Re! Lo kenapa?" Alena seketika panik melihat bosnya tidak berdaya seperti ini.
Gadis itu sigap menusukkan sedotan pada air mineral dalam gelas untuk ia sodorkan pada Re. "Coba minum dulu."
Re tidak bisa mengendalikan perasaannya. Ia merasa sedih namun ia kesal akan rasa sedih yang ia rasakan.
Sodoran minum itu langsung ditepisnya hingga terlempar menabrak kaca jendela belakang.
"Re!" sentak Alena. "Kalau lo punya masalah, cerita! Jangan lo pendem sendirian. Gue tahu akar masalah ini ada di hati lo.
"Lo nggak sakit. Tapi hati lo yang terluka menyebar lukanya juga ke tubuh elo. Makanya lo tersiksa kayak gini."
Alena menoleh pada supir. "Mang Yus, ke pinggir," titahnya.
******
Re terduduk di tepi danau dengan satu kaki yang tertekuk dan kaki lainnya dibiarkan lurus. Dadanya naik turun mengikuti napasnya yang tersengal.
Perasaannya sudah tak terkendali. Perasaan itu menguasai seluruh organ tubuhnya dan membuatnya merasakan sakit yang mendalam.
"Om? Apa Re sering kayak gini?" tanya Alena dari kejauhan memperhatikan Re.
Juniar mengangguk. "Kadang."
"Masalahnya apa?"
Kali ini Juniar tak mau angkat bicara dan hanya mengedikkan bahu.
Itu urusan pribadi walaupun Juniar sebenarnya sudah mengetahui lewat Bu Naya yang sudah mewanti-wanti pada Juniar jika Re tiba-tiba berubah 180 derajat dari biasanya, pasti ada masalah itu yang telah merasuki dirinya. Biarkan Re menenangkan diri dulu, baru tanyakan masalahnya mengapa.
"Coba tenangin sana. Kamu kan cewek jadi bisa lebih lembut. Kalau sama Om, nanti Om juga malah kebawa emosi."
"Gimana caranya?" Alena mengernyit dan coba memutar otak apa yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan mood si cowok moody satu itu.
Ia punya satu ide cemerlang.
Alena kembali ke mobil menghiraukan pekikkan Juniar yang menanyakan apa yang akan gadis itu lakukan. Setelah kembali, Juniar melihat misting makanan sudah tegantung di tangan gadis itu.
"Makanan?" tanya Juniar.
Alena mengangguk.
Gadis itu pun berlari kecil mendekati Re. Tinggal tersisa beberapa langkah, kakinya terasa sulit untuk digerakkan. Keraguan menyelimuti niatnya.
Re terlihat sangat tersiksa dan mencoba sebisa mungkin mengusir perasaan yang menggerogoti hatinya itu. Erangan kecil terus keluar dari bibir pucat itu.
Kepalan tangannya terbentuk mencoba mencari kekuatan. Melihat Re begitu lemah seperti ini, Alena tak bisa berdiam diri. Ia tarik dan hembuskan perlahan napasnya. Dengan itu, ia pun mendatangi Re dan melipat kakinya ke belakang duduk di samping kiri cowok itu.
Re melirikkan mata dan membuang napas kasar mengetahui asisten pribadi malah mendekatinya. Ia hanya mau sendirian. Ia bisa mengatasi masalahnya sendiri. Ia tidak butuh gadis itu.
"Re? Makan, yuk."
Re terlalu lemah untuk mengomeli gadis aneh di sampingnya.
"Kalau lo nggak mau makan makanan ini, gue aja yang ngabisin," ancam gadis itu sembari mengeluarkan misting tiga tumpuk itu satu per satu.
Alena tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Ia hanya berharap, Re terpancing untuk mengomelinya dan bisa melupakan apa yang melanda hatinya.
Alena mulai mengambil sendok makan dan menerawang berbagai macam masakan yang sangat menggiurkan selera sudah ada di depan matanya.
Ada lebih dari lima macam masakan yang ada dalam misting yang diberi sekatan di dalamnya dan satu misting berisi penuh nasi putih. Ia layangkan sendok itu pada ayam suwir sebagai makanan pertama yang ingin ia cicipi.
Saat ia melakukan itu, tangan Re mencekal lengannya membuat kepala Alena menoleh menatap wajah pucat itu.
"Itu ... makanan gue," ucapnya bersusah payah melawan kesesakan di dadanya.
Alena ingin sekali tertawa namun ia harus menjaga mood si bos. Dan hal ini telah menunjukkan bahwa usahanya berhasil. Re mulai terpancing.
"Ya lagian lo nya nggak mau makan. Mending buat gue aja."
Alena melepaskan cekalan tangan Re. Dan melayangkan sendok itu ke depan mulutnya yang sudah menganga namun malah Re gerakkan tangan itu sehingga berputar dan sendok pun masuk ke dalam mulut Re.
Ia kunyah makanan itu sebisa mungkin. Walau yang ia rasakan malah rasa pahit yang dominan dari mulutnya sendiri.
Re tidak suka barang miliknya diambil orang lain. Lagipula, ibunya ini sudah susah payah membuatkan makanan untuknya. Masa Re tidak sempat mencicipinya. Ia merasa jadi anak durhaka.
"Tuh, gue makan!" kesal Re namun raut wajah kesakitan itu masih tergambar jelas di wajahnya.
Alena menarik senyum tipis. Sendoknya mencoba untuk mengambil makanan yang lain dan ia arahkan pada mulutnya Re.
Setelah makanan itu tertelan, Re bisa merasakan tubuhnya berangsur membaik. Mungkin, kelaparan juga menjadi faktor rasa sakit yang ia rasakan.
Matanya memandang sendok yang sudah menyimpan nasi dan sejumput tumis kangkung di depan mulutnya. Sendok itu digoyangkan lagi oleh gadis itu.
Re juga belum melihat asistennya ini makan. Acara hari ini sangat padat dan bahkan Re tidak ada jadwal untuk istirahat. Gadis itu tak pernah memulai untuk makan jika belum melihat dirinya makan. Padahal, Mas Jun sudah menawarkannya makanan tadi siang. Mengapa gadis ini tidak menerimanya? Benar tindakan bodoh apabila itu merupakan tindakan loyalitas.
Re langsung gerakkan tangan itu menuju mulut Alena yang membulatkan mata tidak mengerti.
"Kamu juga makan," ujarnya pelan yang diangguki tak sadar oleh gadis itu.
Alena pun melahap makanan itu tanpa berkedip sekali pun.
Re melihat mulut gadis itu yang mengunyah dalam gerakan lambat. Tatapan gadis itu berubah kosong. Apa yang sedang ia pikirkan? Re menggosokkan jari di pelipis kanannya tapi tak menemukan jawaban atas pertanyaannya itu.
Alena masih tercengang tak percaya. Bukan hanya karena tindakan Re barusan saja yang membuatnya menjadi patung seperti ini. Tapi karena kata ganti kamu yang Re pakai untuk mengganti namanya yang semakin menumbuhkan bunga cinta di hati Alena.
Kemana sapaan Aspri? Kenapa Re tidak pakai kata lo saja seperti biasanya? Apakah ini typo? Ah, tidak mungkin. Re benar-benar mengatakan itu, untuk dirinya.
Meninggalkan Alena yang sibuk memikirkan sapaan Re padanya yang berbeda. Re malah menggenggam tangan Alena yang membawa sendok lalu menggerakkannya untuk mengambil makanan yang ia inginkan dan ia makan makanan itu. Sendoknya hanya ada satu. Dan ia malas merebut sendok dari tangan gadis itu.
Indra pengecapnya kembali berfungsi dengan baik dan ia bisa merasakan cita rasa dari masakan ibunya yang tidak tertandingi. Perasaan menyesakkan itu berhasil ia kendalikan dan sekarang ia bisa meredamnya hingga tergantikan dengan senyuman kecil di bibir. Ia suapi lagi dirinya sendiri dengan tangan milik gadis itu.
"Gimana masakannya?" tanya Re sudah bisa bersikap seperti biasa.
Alena mengangguk perlahan namun sekilat mungkin ia rubah menjadi anggukan cepat. Bisa gagal misi mengembalikan mood artis ini jika Alena sampai tak menanggapi ucapannya.
"Enak! Enak banget!" bohongnya yang padahal tadi indra pengecapnya seketika lumpuh karena sapaan dari Re.
"Iya, lah! Masakan Ibun," bangganya.
Ia arahkan sendok itu lagi pada bibir Alena. "Nih, makan lagi."
Kok, berasa disuapin?
Perasaan ini tangan Alena sendiri yang bergerak-gerak, tapi mengapa ia merasa bahwa Re sedang menyuapinya? Dan fakta yang terjadi semakin meronakan pipi Alena. Ia berbagi sendok yang sama dengan Re! Ah, ciuman tidak langsung itu kembali terjadi.
Alena pun buka mulutnya membiarkan tangan Re mendorong sendok di tangannya yang membawa makanan untuk masuk ke indra pengecap Alena.
Re terkekeh melihat itu dan mengambil lagi makanan dengan tangannya Alena untuk ia masukkan ke dalam mulutnya.
Alena masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Lo ... ketawa?" tanyanya.
Re yang masih mengunyah mengangkat dua alisnya. "Kenapa?"
"Elo yang kenapa?!" tuntut Alena semakin melebarkan matanya. "Kenapa lo ketawa? Lo tadi heheh gitu." Alena memperagakan ulang Re yang terkekeh.
Re langsung tertawa lebih keras dari sebelumnya yang membuat Alena menunjuk-nunjuk mukanya.
"Tuh, kan, lo ketawa! Emang ada yang lucu, ya?"
"Elo."
Alena mengerjap. "Apa?" tanyanya tidak mengerti.
"Elo yang lucu."
Alena berdehem canggung dan membuang wajahnya. "Apaan, sih!" rengutnya mencoba menyembunyikan pipi yang semakin terbakar hingga rona merah pun semakin terlihat.
Alena dapat melihat tangan itu terjulur untuk mengerakkan dagunya perlahan agar kembali menatap Re. Kertas tisu langsung melayang ke sekitar bibirnya yang semakin membuat mata Alena membulat.
"Pantesan lo ngurus guenya nggak becus, makan aja lo berlepotan," ucapnya sembari membersihkan bumbu saus yang menempel di sekitar bibir atas gadis itu.
Ia pun buang sembarang kertas tisu itu lalu menyuapi dirinya lagi masih dengan tangan Alena. Nafsu makannya sudah kembali pulih dan ia merasakan kelaparan.
Jantung Alena langsung berdisko di dalam sana. Dan ia hanya bisa menunduk mengerutkan keningnya malu karena di cap sebagai cewek teledor di mata Re.
Re adalah makhluk teraneh yang ada di dunia. Bila ada manusia yang termasuk dalam spesies langka, mungkin Re adalah salah satunya. Alena tidak pernah mengerti dengan jalan pikiran cowok itu.
Apa memang semua cowok itu seperti ini? Sulit ditebak, berlaku seenaknya, buat cewek nyaman, terus habis itu kembali galak, pergi menjauh, dan kayak orang yang nggak pernah kenal. Apa semua cowok itu seperti itu? Alena benar tidak paham.
Re menjatuhkan tangan gadis itu yang masih membawa sendok di depan mulutnya. Pikiran yang bisa kembali mengalir dengan lancar mengingatkan sesuatu padanya.
"Ayo, ah! Balik ke mobil. Mas Jun nanti kena amuk agensi lagi," cemasnya.
Ia baru menyadari banyak kesalahan yang telah ia perbuat seharian penuh ini. Pasti pihak penyelenggara acara akan komplain pada agensi karena sikap Re yang sangat menghancurkan acara. Dan lagi-lagi, Re harus berhutang pada Mas Jun karena pasti lelaki itu yang akan menjadi tameng bagi Re.
Cowok itu langsung berdiri dan meninggalkan Alena yang masih terduduk di atas rerumputan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan raya.
Alena mendecak kesal sembari membereskan misting yang menyebar.
Tuh, kan, dia berubah nggak pedul—
Ada uluran tangan yang terjulur di depan wajahnya. Alena pun mendongak dan mendapatkan wajah yang tersenyum tipis padanya.
Tanpa mereka sadari, ada yang sedang memperhatikan mereka dari kejauhan dan mengepal tangannya kuat-kuat tanpa bisa datang menghampiri karena terburu dipanggil untuk masuk ke dalam mobil.
"Gara?!" tanya Alena tak percaya.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
fadilah
lanjuuttt
2020-06-20
0
you nita
suka baget sama tiap karya thor
2019-10-29
1