Hanya karena selembar kertas, semua anggota ekskul musik langsung pontang-panting frustrasi di ruangan musik.
Ruang musik ini berukuran cukup luas dengan satu sisi dinding dilapisi cermin penuh hingga seringkali ruangan ini malah berubah menjadi studio tari saat waktu istirahat sedang berlangsung.
Bukan anak tari yang datang untuk meminjam ruangan ini tapi yang menari justru anak musik sendiri karena mereka terlalu senang bisa melihat bayangan gerakan mereka sendiri.
Alat musik berupa drum, keyboard, gitar akustik, biola, microphone, stand partitur sheet musik, dan kawan-kawannya akan selalu ditempatkan dalam ruangan kecil yang berisi lemari khusus untuk menyimpan barang tersebut. Yang biasa anak musik sebut, brangkas.
Itu, adalah harta bagi mereka.
Oleh karenanya, brangkas tersebut selalu tergembok selepas kegiatan latihan telah berakhir. Takkan ada yang tahu apa yang akan terjadi, pencuri bisa saja muncul kapan pun di mana pun tak pandang lokasi yang padahal ini adalah sekolahan.
Di ruang musik yang dibangun di lantai dua SMA Jayabakti ini, semua anggota ekstrakurikuler berkumpul memasang raut wajah yang sama persis. Siratan kecemasan, ketakutan bercampur bimbang tak tahu mau berbuat apa sangat dapat terlihat jelas di mata.
Beberapa anak musik ada yang mengambil kursi untuk duduk melemaskan bahunya di sana dan sisanya, banyak yang lebih memilih untuk menghampar di lantai bahkan ada yang sampai berguling-guling saking frustrasinya.
Semua ini, hanya karena selembar kertas yang Gara bawa. Sedangkan Gara sendiri, lebih memilih untuk duduk di kursi berapit dengan Naba yang juga satu ekskul dengannya dan Ical salah satu anak bad boy tapi aktif dalam ekskul musik yang merupakan teman barunya.
Gara remas sedikit kertas yang sudah kembali ke tangannya setelah semua anak bergilir membaca tulisan yang tercetak di kertas putih tersebut.
Kertas hasil pemeriksaan dokter.
"Pelatih ... belom tahu, kan?" cemas Gara menatap cowok yang sedari tadi menjambak rambutnya. Jahitan di seragamnya menuliskan nama Damar, ketua ekskul musik tahun ini.
Damar membuang napas kasar berlalu menghadap Gara. "Ya, gila aja gue kasih tahu ke Kak Andante kalo lo bisa terancam didis dari festival," kesalnya. "Bisa-bisa, dia bakar juga, nih, markas kita," ujarnya mengedar pandangan pada langit-langit ruang musik.
Andante merupakan alumni sekolah ini yang menawarkan diri untuk menjadi pelatih ekskul musik. Dia pelatih yang hebat dibalik nada ketusnya yang khas dan emosi yang tak pernah bisa ia kendalikan.
Dia selalu bisa membawa anak yang dibimbingnya unggul dan dapat menjuarai perlombaan termasuk menjadi orang yang berperan penting dalam hidupnya Re hingga ia menjadi artis. Dan tentunya, juga pada semua anak musik.
Gara menghembuskan napas pasrah. Semua anak mengerti dengan ucapan Damar. Mereka tak mau mengecewakan Andante. SMA Jayabakti selalu mendapati juara pertama dalam Festival Seni yang diadakan tiap tahunnya. Karena Re sudah tidak bisa mengajukan diri lagi sebagai peserta karena kesibukannya, Gara lah yang maju dengan harapan bisa meraih juara pertama.
Tapi saat kesempatan itu datang, selembar kertas ini malah menghancurkan segalanya! Hanya karena selembar kertas yang ia dapatkan setelah ia mengecek kesehatannya pada dokter.
Mungkin, Gara memang tak pernah ditakdirkan untuk menjadi juara. Tinggal satu langkah lagi, ia hanya harus melaksanakan pertandingan terakhir pada ajang bergengsi di Festival tingkat Nasional seluruh Indonesia. Namun, langkahnya harus tersendat karena selembar kertas?! Menyedihkan.
"Jangan sampai berita ini nyebar ke telinga orang luar. Terutama, ayah gue." Gara edarkan pandangan pada semua kepala yang menatapnya. "Gue mohon sama kalian," pintanya.
Semua anak mengangguk mengerti kecuali Damar yang menggaruk lehernya.
Yah, Gara telat mengatakan itu. Damar sudah terlanjur membocorkannya pada Yusuf.
Ya, lagipula siapa yang tak akan tergiur dengan uang senilai dua juta rupiah yang ditawarkan Yusuf dengan cuma-cuma tanpa dipotong pajak?!
Hanya orang bodoh yang akan menolak tawaran itu. Lagipula, Yusuf teman Gara juga, kan? Jadi hal ini bukanlah hal yang seratus persen buruk.
Damar pun berjanji bahwa ia tidak akan membocorkan rahasia apapun lagi. Damar hanya akan mau disuap jika ada yang berani menawarkan harga lebih tinggi dari itu.
"Sekarang, harus gimana, dong?" tanya Naba yang duduk berpangku kaki. "Tinggal tiga minggu lagi."
Gara melipat kertas itu empat kali lalu memasukkannya ke dalam saku seragam. "Gue bakal pikirin caranya. Gue nggak bakal nyerah. Gue harus ikut lomba itu," gigihnya dengan lemahnya suara yang terdengar.
Semuanya pun menunduk pasrah. Tapi tidak untuk gadis pemain biola yang masih menatap nanar Gara semenjak lelaki itu bicara.
"Kak Anggara ... " lirih Viola, adik kelasnya yang duduk bersila di atas lantai. Gara balas tatapan sayu gadis itu.
"Kalau suara kakak hilang selamanya, gimana?"
*****
Alena ikut kocar-kacir melihat Re yang terus mondar-mandir di ruang tunggu bagi artis yang akan mengisi acara di Gebyar malam ini.
Untungnya, ruangan ini hanya muat untuk satu orang artis dan timnya saja. Jadi Re tidak akan terlihat memalukan di depan artis lain.
Ini sudah pukul sepuluh malam dan waktu tampil bagi Re tinggal setengah jam lagi. Re sudah dirias oleh make-up artist yang disediakan khusus untuk acara ini. Rambutnya pun sudah ditata serapi mungkin dan kulitnya terlihat lebih cerah efek dari bedak dan cream yang dipoleskan ke wajahnya. Tubuh Re pun sudah terbalut kemeja putih dan celana setelan warna silver.
Alena masih menenteng setelan jas Re saat cowok itu terus menggigiti kuku. Ia sedang didera depresi akibat perkataan Yusuf di apartemennya saat tengah hari tadi.
"Argh!" Ia buang napas kasar. Tangannya pun terangkat untuk mengacak rambutnya sampai tangan Fikran menahan pergerakan tangan itu.
"Woy! Sadar, lo! Udah dirias cakep-cakep. Masa mau diacak-acak," omelnya.
Mata Alena sudah terbelalak. Ia ingin menahan tangan itu, tapi tangannya penuh dengan setelan jas yang sudah disetrika selicin mungkin. Alena tidak berani membuat kerutan sedikit pun pada setelan ini. Untung ada Fikran dan Yusuf yang disuruh ikut sama Re ke acara Gebyar saat ia sedang manggung kali ini.
Permintaan itu pun disetujui oleh Fikran dan Yusuf yang sama-sama bosan bila harus menghabiskan waktu di rumah.
Yusuf duduk di kursi rias mendorong pijakan lantai hingga kursi itu berputar-putar kecil. "Tenangin diri lo, Re. Kita semua juga panik," ujarnya datar, panik.
Napasnya tersengal. Ia turunkan tangan yang ditahan Fikran perlahan-lahan ke sisi tubuhnya. "Gara ... Nasib dia gimana, dong?! Gue nggak bisa diem aja kayak gini. Dia sahabat gue. Dia temen gue dari gue TK! Dia lagi kena masalah tapi gue sekarang malah manggung," keluhnya bersalah karena merasa bahwa ini merupakan penghinaan di atas penderitaan Gara. Ia pun mengerang frustrasi.
Melihat Re seperti itu, Alena menghembuskan napasnya perlahan. "Re," panggilnya yang membuat Re menoleh menatapnya. "Pisahin urusan pribadi kamu sama urusan kerjaan, ya?"
Dua alis Re malah terangkat. Ia tak mengerti apa maksud dari perkataan gadis itu. Sebelah kakinya pun bergetar dengan gelisah. "Hah? Maksud lo apa?! Lo mau bilang kalau gue harus ngelupain masalah Gara, gitu?!" sentaknya.
Alena menggeleng. "Bukan, gitu. Kamu harus tetep peduli sama Gara. Tapi kamu juga harus bisa ngendaliin perasaan kamu, Re. Kamu nggak boleh terlalu larut sama urusan pribadi kamu di saat urusan kerjaan ada di depan mata kamu.
"Semua orang di sini, udah nungguin kamu buat tampil. Kamu mau ngecewain mereka lagi? Jangan sampe kejadian di acara kemaren itu terulang lagi, Re.
"Kamu harus bisa misahin dulu. Kamu redam permasalahan itu, bukan berarti kamu nggak peduli soal itu. Tinggal seperempat jam lagi, Re, kamu tampil." ujar Alena lembut.
Re diam mendengarkan. Matanya tak beralih sedikit pun dari binar mata gadis itu. Napasnya berangsur normal kembali. Suaranya, tatapannya dan perkataan tulus itu membuat Re jadi terbayang akan wajah ibunnya. Mengapa mereka terlihat begitu mirip? Sang Pembawa ketenangan hati.
Re menggeleng kepala cepat guna membuyarkan lamunan itu. "Okey ... Gue harus nyanyi. Gue harus nyanyi sebentar lagi. Banyak orang yang nungguin lo, Re. Lo nggak boleh ngerusak acara besar hari ini," ucapnya pada diri sendiri sembari mengatur pernapasannya.
Ia akhirnya bisa menarik senyum kecil sebagai tanda bahwa ia sudah bisa kembali tenang. Kepalanya menoleh pada Fikran juga Yusuf. "Nanti kita omongin lagi masalah ini, okey?" tanyanya yang dibalas anggukan mantap.
Re bisa mengontrol emosinya yang tadi membuncah. Ia jadi ingin cepat-cepat tampil saja bila sudah seperti ini. Perkataan gadis itu berhasil menenangkan dirinya. Alena ... ternyata moodboster yang cukup ampuh. Tapi, bukankah ada hal aneh yang gadis itu ucapkan?
Alena bergerak mendekati Re dan memasukkan tiap lengan cowok itu ke dalam lengan setelan yang tak dibantah oleh Re.
Alena tidak sadar dengan pandangan Fikran dan Yusuf yang sudah melongo menatap mereka. Iri.
Beruntung sekali, Re. Bisa diurus sama cewek cantik macam bidadari kayak Alena.
Mungkin, Yusuf bisa melakukan itu bersama Shilla. Nah, kalau Fikran yang jomblo? Gimana, coba? Fikran hanya bisa meringis mengingat fakta ini.
Alena bahkan mengancingkan setelan cowok itu karena Re malah melamun entah memikirkan apa bukannya bergerak cepat.
Re yang masih fokus pada pikirannya pun mengerjap dan amat terkejut melihat Alena sedang mengancingkan setelan jasnya. "Eh?! Gue bisa sendiri." Tangannya yang hendak mengusir tangan gadis itu langsung ditepis kasar oleh Alena.
"Tanggung, tinggal dua kancing lagi," balasnya.
Re mendengus kecil. Ia pun memicingkan matanya. "Tadi ... kenapa lo make kata ganti kamu?" tanya Re yang membuat Alena membatu dengan jari yang masih mengancingkan. Inilah hal aneh yang dimaksudkan Re. Tumben sekali gadis itu pakai aku-kamu. Re, kan jadi ingin mendengarnya terus.
Bukan karena perasaan suka atau apapun itu. Hanya saja, sapaan itu lebih enak didengar di telinga Re daripada lo-gue yang diteriakkan gadis itu yang paling bisa membuatnya sakit telinga.
"Hah? Ehm ... tadi ...." Ia lanjutkan mengancingkan setelan terakhir lalu bergerak menjauh dari tubuh Re, menatap wajahnya.
"Gue cuma lagi ngomong serius sama lo. Ya, itu alasannya," kilah Alena.
Ia juga tak tahu mengapa kata kamu yang keluar dari bibirnya. Walaupun, dari awal ia sebenarnya memang ingin menggunakan kata sapaan ini. Tapi melihat tingkah Re yang sangat tidak menghargai orang lain. Alena merasa tak pantas Re dipanggil dengan kamu.
"Oh ..." Re hanya membulatkan mulutnya.
Terdengar suara pintu terbuka yang menolehkan semua pandangan mengarahnya. Terlihatlah si pembuka pintu yaitu Juniar. Manajer itu memang suka keluyuran pada tiap acara apapun. Padahal seharusnya ia menemani artis melakukan persiapan.
Tapi ia sangat malas melakukan itu apalagi harus terkepung bersama Re artisnya yang selalu mengajak Juniar untuk berdebat. Daripada emosi meladeni perdebatan tak penting mendingan nyari jodoh di luar.
"Re! Ayo, keluar." Juniar mengedikkan kepalanya. "lima menit lagi lo harus stand by."
Re dan Juniar yang ditemani Panitia Acara pun berjalan menuju stage tempat diselenggarakannya acara. Re sudah berada di sisi panggung menunggu MC memanggil namanya untuk tampil.
Ia mengepal dan meregangkan kepalan tangannya berulang kali. Rasa gugup selalu melandanya saat tinggal beberapa menit lagi. Padahal sudah tak terhitung kali keberapa Re manggung di acara besar maupun sederhana selama tiga bulan terakhir ini. Tapi, ia masih merasakan demam panggung walau tidak separah saat pertama kali ia debut.
Juniar menepuk bahunya memberikan senyum kepercayaan diri. Re menganggukkan kepala dan membalasnya dengan senyuman sekilas.
MC sudah mempersilahkan Re untuk masuk ke panggung. Juniar langsung mendorong punggung Re dan penyanyi itu pun berjalan hati-hati tanpa terburu-buru maupun terlalu lambat.
Cahaya panggung yang tersorot dari atas langsung menyilaukan matanya. Sorakan heboh berikut tepuk tangan yang bergemuruh mampu menggetarkan hati dan mendebarkan jiwanya.
Re suka ini. Selalu.
Ia datang menghampiri kursi tinggi yang memang telah dimintanya pada pihak acara yang sudah disiapkan di tengah panggung. Re lebih suka bernyanyi dalam keadaan duduk tapi saat ia meminta itu pasti selalu dimarahi oleh Mas Jun karena Re akan terlihat monoton jika ia duduk terus. Re hanya mengiyakan dengan malas.
Ia genggam microphone yang masih terpasang pada stand-nya. Lagu yang yang akan Re bawakan untuk memeriahkan Gebyar kali ini adalah lagu Starving milik Hailee Steinfeld.
Suara piano mulai berdenting memberikan intro pada lagu. Dan pada saat yang tepat, Re pun menyanyikan lagu itu.
You know just what to say, things that scare me
(Kau paham apa yang harus di katakan, hal yang membuatku takut)
I should just walk away, but I can't move my feet
(Aku harusnya pergi, namun aku tak bisa gerakan kaki ku)
Re menggoyangkan kecil kepalanya dan bahkan memejamkan mata beberapa saat. Sangat terlihat ia menikmati nyanyian yang ia senandungkan.
Juniar tersenyum menikmati nyanyian Re dari sisi panggung. Penyaluran ekspresi yang baik dari wajahnya. Tak ada tekanan atau paksaan dari garis muka itu. Enjoy. Re selalu menikmati tiap suara yang dikeluarkan dari bibirnya.
Ia tak peduli dengan ribuan pasang mata yang hadir dalam Gebyar kali ini. Rasa gugupnya pasti sudah terbayarkan di atas panggung. Ia sama sekali tak terlihat gemetar ataupun menegang. Sangat natural, membuat siapapun yang melihat ikut merasakan kenyamanan yang ia rasakan.
The more that I know you, the more that I want to
(Semakin mengenalmu, semakin aku inginkan)
Something inside me's changed
(Sedikit berubah diriku)
I was so much younger yesterday
(Aku jauh lebih muda saat kemarin)
Terasa tepukan halus dari sisi, ternyata Alena dan teman-teman Re ikut menyusul ke sisi panggung. Alena tersenyum sangat lebar melihat wajah idolanya begitu menenangkan hati dari tengah panggung sana. Re sedang berada di dunia miliknya, Alena suka itu.
Yusuf tersenyum kecil di samping Fikran yang menepuk-nepukkan tangan seirama dengan lagu. Juniar perhatikan tiap wajah yang berada di samping kirinya sebelum kembali menatap Re. Ia senang Re mempunyai teman yang selalu mendukungnya. Tapi sayang, waktu Re harus tersita cukup banyak di masa ia semuda ini demi pekerjaan yang digelutinya. Juga demi cita-citanya menjadi musisi nomor satu.
I didn't know that I was starving till I tasted you
(Aku tak merasa kelaparan sampai aku mencicipimu)
Don't need no butterflies when you give me the whole damn zoo
(Tak harus ada kupu-kupu saat kau berikan aku seisi kebun binatang)
By the way, right away, you do things to my body
(Oh iya, segaralah kau lakukan sesuatu pada tubuhku)
I didn't know that I was starving till I tasted you
(Aku tak merasa kelaparan sampai aku mencicipimu)
Membuang waktu bermain memang harga yang harus Re bayar untuk mendapatkan karir yang gemilang.
Pencapaiannya kini tidak datang dengan mudah. Semuanya butuh pengorbanan.
Demi mencapai titik yang tinggi, ia harus menyisihkan hal yang tidak perlu.
Juniar tersenyum sendu. Kembali ia alihkan pandangan pada ketiga teman Re. Masing-masing sosok itu mulai menghilang satu per satu di penglihatannya. Dari Fikran, Yusuf, bahkan Alena hingga menyisakan Re seorang di puncak tertinggi kehidupannya.
Nomor satu. Memang selalu sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
fadilah
suka
2020-06-21
0