Bab 11

"Re?" panggil Alena yang tak kunjung digubris oleh Re.

Mereka sudah kembali ke apartemen setelah hari yang begitu melelahkan. Re sedang duduk di sofa menatap cerahnya pancaran sinar matahari yang membias kaca jendela dari samping kirinya.

Jadwal manggung hari ini dimulai pukul 1 siang sampai jam 2 subuh. Jadi Re bisa mengumpulkan energinya dari pagi hari.

"Re?" panggil gadis itu lagi yang berdiri di samping sofa.

"Re!"

"Apaan, sih?" sahut Re malas.

Ia masih kesal akan sikap asisten pribadinya ini yang tidak becus tadi malam. Dan hal yang lebih menjengkelkannya adalah Alena tak merasa bersalah sedikit pun setelah meninggalkan tugasnya dan malah berduaan sama Gara. Niat kerja, nggak, sih?!

Akhirnya Re menyahut perkataan Alena. Sudah lebih dari dua puluh kali Alena memanggil nama cowok itu namun seakan pendengarannya telah tertutup, Re tak kunjung menyahut ucapannya.

"Mau pilih baju yang mana?" tanya Alena yang telah menenteng dua suit warna kelabu dan warna hitam di tangan kanan kirinya.

"Gue udah nyiapin dua baju buat lo manggung nanti malem di acara Gebyar itu," sambungnya.

Re mendecak. "Nggak dua-duanya."

Alena mengeraskan giginya. "Lo lihat aja belom. Udah ditolak aja."

Re memutar bola matanya. Sangat berisik mendengar suara cempreng gadis itu, apalagi kalau udah ngomel. Telinga Re berasa ditusuk sama jarum.

"Gue bisa ngeliat pantulan bayangannya dari ini kaca, Ogeb," ucapnya mengedikkan dagu pada kaca jendela yang sedari tadi di pandangnya.

Alena meringis. Yah, malu, deh.

"Ya biasa aja kali, gausah ogeb-ogeban. Gue nggak bego," tukasnya kesal.

"Ha-ha."

Bunuh orang gila dosa nggak?

Alena membuang napas kasar lalu berjalan menghadap bosnya menutupi pandangan mata Re.

"Lo kenapa, sih, Re? Dari semalem kayaknya dendam banget sama gue?"

Re malas melihat wajah itu. Ia pun buang wajahnya menghadap televisi. "Pikir aja sendiri. Punya otak, kan? Atau perlu gue kasih dulu otak ayam biar muat di kepala lo?!" sarkasmenya.

Alena menggeram kesal dan berjalan ke hadapan Re lalu melipat dua kakinya ke belakang yang sukses membuat Re melotot.

"Ngapain, lo?!" sentak Re tak suka dengan tingkah Si Aspri.

Kepala Alena harus mendongak untuk melihat Re yang masih duduk di atas sofa. "Gue minta maaf sama lo. Gue sadar kemaren malah lupa sama kerjaan. Lo marah gara-gara itu, kan?" ujarnya lembut.

Re hanya diam tak berkutik. Ia tak percaya melihat gadis gila ini sampai mau berlutut di hadapannya.

"Gue serius mau kerja buat lo. Jadi tolong kerja samanya. Jangan bikin gue mati muda gara-gara naik darah ngelayanin artis seperti lo," ucapnya berusaha mati-matian menahan emosi.

Re seketika megap-megap bingung mau berkata apa. Alhasil ia hanya menggaruk lehernya dan membuang wajah ke tong sampah.

Ralat. Ke samping kiri. "Berdiri," titahnya.

Alena mengerti apa maksud titahan itu. Tapi ia tak mau bangkit dari duduknya. "Lo belom bilang maafin gue," gumam Alena.

Re langsung meloncat turun dari sofa dan duduk bersila di hadapan gadis itu. Alena hanya bisa mengerjapkan mata.

Re sangat tidak mengerti dengan sikap gadis ini. Semua sifatnya, kelakuannya tidak ada yang bisa Re mengerti. Itu membuat Re kesal sampai ia mengacak rambutnya frustrasi.

"Makhluk apa, sih, lo sebenernya? Lemot banget. Saat gue nyuruh lo berdiri ya berarti gue udah maafin elo karena gue nggak nyaman lo berlutut kayak gitu di depan gue. Emang semuanya harus jelas ya bagi lo?" tanyanya penuh tekanan.

Alena menurunkan pandangan ke tangan yang sudah saling terkait di atas pahanya. Alena bukan takut. Re sama sekali tidak menakutkan di matanya. Mau sekeras apapun bentakan yang Re keluarkan pun sudah tak lagi menakuti Alena.

Ia hanya tak mau merekam wajah penuh kekesalan Re dalam otaknya. Ia benci ekspresi wajah itu. Ia tak mau mengingatnya.

"Gue cuma takut salah ngartiin apa yang lo maksud. Banyak kesalahpahaman terjadi gara-gara kedua belah pihak itu beda persepsi. Yang satu maksudnya kemana yang satu nangkepnya ke yang lain. Gue cuma takut salah."

"Tapi akhirnya bener, kan?"

Alena tertegun. "Apa?" tanyanya perlahan mendongakkan kepala menatap binar coklat madu itu.

"Semua pemikiran lo tentang titahan gue, ujung-ujungnya bener juga, kan?" tanyanya menjelas.

Alena pun mengangguk.

"Biasain diri lo. Gue emang kayak gini," tukasnya.

Lagi-lagi Alena mengangguk.

Re langsung menunjuk Alena tepat di wajahnya sembari memicingkan mata. "Awas kalo lo masih nggak ngerti omongan gue! Gue pecat juga lo!" sentaknya garang namun malah terkesan imut di mata Alena.

Mata almond Re menyipit hanya segaris dan bibirnya jadi monyong-monyong nggak jelas kalau lagi ngambek.

Alena tak kuasa untuk menahan diri agar tidak tertawa kecil. Ia tidak sadar bahwa Re langsung mengernyitkan kening dan cowok itu pun semakin yakin bahwa Asprinya sudah gila.

Ting-nong!

Dua kepala menoleh bersamaan ke arah pintu. Juniar tidak pernah menekan bel jika mau masuk ke dalam. Karena ia tahu nomor pin kamar ini. Mereka pun saling pandang dengan tatapan penuh tanya yang sama. Re menggerakkan kepalanya menitah Alena untuk membuka pintu seraya ia berdiri dan kembali duduk ke sofa.

Alena pun berjalan menuju pintu. Pintu berderit dan ia disambut dengan dua wajah baru yang sama sekali tidak dikenalnya.

"Kalian ... siapa?" tanya Alena.

Dua cowok yang sudah berdiri di ambang pintu langsung terpesona pada sosok yang membuka pintu.

Gadis berambut panjang coklat gelap bermata kelabu itu bagaikan bidadari yang turun dari langit. Mata dua cowok itu pun baru bisa berkedip setelah gadis itu menampilkan senyum ramah pada mereka.

Sedangkan Alena menerawang perawakan dua makhluk adam ini.

Satu cowok yang lebih pendek tingginya mengenakan kaos sepak bola yang dilapisi jaket tipis warna hitam. Sedangkan cowok yang lebih tinggi dan lebih cerah dari cowok itu mengenakan kaos putih beserta coat abu-abu.

Dua cowok itu saling pandang. Apa mereka salah rumah?

Cowok yang hampir sepantar dengan Alena itu berdehem pelan. "Ini kamar apartemennya Renggana, kan?" tanyanya memastikan.

Alena mengangguk ragu.

"Terus kamu siapa di rumahnya Renggana?" tanya cowok itu lagi, karena sepertinya cowok yang lain sudah berubah jadi manekin.

Dia hanya diam saja. Hanya dada yang terus dikembang kempiskan menandakan bahwa ia masih bernapas.

"Harusnya aku yang nanya. Kalian siapa? Kalau nggak ada urusan mending aku tutup aja pintunya," ucap Alena tanpa basa-basi sembari mendorong pintu agar tertutup.

"Eh! Jangan-jangan!" pekik heboh cowok itu lalu menahan pintunya. Alena pun kembali membuka lebar.

"Terus di mana Re-nya?" penasaran cowok asing ini. "Kita berdua temennya."

Alena bersedekap menatap curiga masing-masing wajah.

Banyak orang yang mengaku teman Re padahal seorang wartawan yang ingin mengulik kehidupan artis itu dan membawa kamera tersembunyi. Juniar telah memberikan amanat padanya jangan mudah mempercayai orang asing. Oleh karena itu, Alena masih tak bisa percaya dengan mudah.

"Temen? Temen apa?" tanyanya menaikkan satu alis.

Cowok itu mengernyit merasa aneh dengan bentuk pertanyaannya.

"Temen ... ya temenlah. Emang ada temen yang bukan temen?" Omongannya nggak jelas semakin membuat Alena tidak yakin.

"Udah, ya, mending kalian pulang. Re-nya nggak ada di rumah. Dia lagi sibuk," tegasnya kembali mendorong pintu.

Cowok berkaos sepak bola itu terbelalak dan menabok lengan temannya yang sedari tadi hanya diam saja.

BUK!

"Aw," responnya datar, tak ada ekspresi kesakitan sama sekali.

"Cup! Bantuin gue, kek. Kita udah jauh-jauh kemari malah diusir. Lo malah lempeng-lempeng aja," sewot cowok itu yang masih dapat dilihat Alena dari celah pintu yang belum sepenuhnya merapat.

Orang yang dipanggil Cup tadi mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Namun karena Alena sudah terburu membukanya kembali, ketukan itu pun mendarat tepat di keningnya.

Cowok pendek langsung menggembungkan pipi menahan tawa di saat Alena mengelus keningnya meringis.

Mata cowok yang mengetuk sempat melebar namun kembali datar dan ia pun menurunkan tangan ke sisi tubuhnya.

"Maaf," ucapnya datar.

"I-iya gap—"

"Tapi ini salah lo," lanjut datarnya.

Alena mendengus dan membuang kasar tangan dari keningnya. Ia tak akan mau bersikap baik sama cowok ini.

"Ih, nyebelin banget, sih!" rengutnya.

Alena jadi kepancing emosi kalau gini caranya. Sebenarnya dia mau memaafkan cowok ganteng itu kalau saja cowok itu tidak menambahkan bahwa ini salah Alena.

"Re-nya nggak ada. Jadi kalian pulang aja." Ia mengibaskan tangannya untuk mengusir.

Dua cowok itu pun menghela napas pasrah. Sepertinya gadis ini memang mengatakan hal yang sebenarnya. Mereka pun berniat pergi. Tapi kaki tak dapat melangkah karena mereka mendengar suara dari dalam.

"Aspri! Bukain pintu aja lama banget, sih!"

Pekikkan dari dalam membuat telunjuk dari masing-masing tangan cowok itu terangkat menunjuk ke dalam rumah mengisyaratkan, itu-ada.

Alena memerah karena malu dan hanya terkekeh hambar menatap dua cowok itu yang sama-sama menaikkan satu alisnya.

"Siapa, sih, yang dateng?!" pekik Re yang sibuk bermain games di ponselnya.

Pintu masuk apartemen berada dalam lorong pendek sehingga Re yang duduk di sofa takkan dapat melihat tamu yang datang.

Alena memutar kepala dan ikut memekik, "Temen lo, katanya!"

"Oh ... "

Dua cowok itu sudah berharap bahwa mereka bisa menemui Re.

"Usir aja! Paling nipu doang!"

Mata cowok pendek langsung terbelalak dan mengeras.

"Kambing lo, Re! Ini gue Fikran sama Ucup, tetep mau lo usir juga?!" sentaknya membuat Alena dan Yusuf menutup sebelah telinga mereka.

Bukan jawaban yang terdengar justru deru langkah kaki dan bahkan sampai suara berdebum orang terjatuh ke lantai yang terdengar dari balik punggung Alena.

Re pun terlihat berlari seheboh mungkin. Kakinya jelimet sana sini dan kaos kaki yang entah berasal dari mana sudah menyangsang di atas kepalanya.

Ia pun sampai di ambang pintu dengan napas terengah-engah. Ia berdiri di samping Alena dan takut keseimbangannya goyah, ia menopang tubuhnya dengan lengan yang terlingkar di bahu gadis itu.

Alena pun baper.

Apa Re nggak tahu kalau ada setruman listrik yang langsung merambat dari tangan Re ke hati Alena?

Yah, Re pasti tidak akan sadar itu karena ia masih menatap tak percaya dua temannya di ambang pintu.

Ia lambaikan satu tangannya yang bebas. "Kok ... Hh ... kalian bisa di sini?" tanyanya seraya mengatur napas akibat berlari.

Tangan Alena bergerak ke atas untuk menarik kaos kaki di atas kepala Re. Karena itu terlihat memalukan. Re pun menggoyangkan kepala cepat seperti guguk guna merapikan rambutnya. Lalu menyengir.

*****

Alena kembali dari dapur membawa tiga kaleng minuman bersoda dan sepiring kue lapis legit yang masih tersisa tadi malam di kulkas. Setelah ia hangatkan di microwave, Alena suguhkan itu di atas meja bundar kecil di antara sofa dan televisi.

Lelaki yang duduk bersila di atas sofa putih membuka percakapan. "Bukannya ngomong kalau mau ke sini. Biar gue bisa nyiapin makanan dulu buat kalian," ujar Re merasa tak enak hati karena hanya bisa menyuguhkan makanan seadanya. Sisa, lagi.

Yusuf duduk di kursi rotan bundar yang menggantung di pojok kiri ruangan. "Ini dadakan. Gak usah repot-repot," sahutnya datar.

"Iya, Re. Kita dadakan kemari dan cuma untung-untungan aja bisa ketemu sama lo," sambung Fikran yang duduk di sofa bentuk donat warna merah sambil mencomot kue lapis legit yang dibawakan Alena. Mulutnya bergumam makasih pada Alena yang membalasnya dengan senyuman.

"Ada urusan apa emang sampe dadakan?" tanya Re.

Pandangannya tak terjatuh pada dua temannya, justru teralih pada Alena yang hanya berdiri mematung di samping meja selesai menyuguhkan makanan. Gadis itu masih memeluk nampan dan hendak beranjak pergi meninggalkan ruang TV, sampai Re menahannya.

"Mau kemana lo?" tanyanya yang membuat Fikran dan Yusuf ikut mengalihkan pandangan pada Alena.

Alena memutar kepalanya saja. "Dapur."

"Habis itu?" susul Re.

Alena mengernyit. "Ka-mar?" jawabnya tak yakin.

Ia tak mungkin ada di antara teman-teman Re. Ia tidak mengenal mereka dan semua sofa sudah penuh. Ya, kecuali satu yang diduduki Re masih muat untuk dua orang lagi. Tapi tidak mungkin, Re akan menawarkan sofa itu.

Alena tidak pernah duduk di sofa putih itu bersama Re. Oh, karena membicarakannya, Alena baru ingat bahwa ia tidak pernah duduk saat ada di apartemen ini. Kalau urusan urus mengurus bayi besarnya sudah beres. Alena pasti langsung rebahan di kamarnya. Capek.

"Sini aja, ngapain di kamar." Hati Alena menghangat mendengar hal ini. Berarti Alena masih diakui Re sebagai temannya. Sebelum Re menambahkan,

"Kayak pembantu beneran aja lo," cibirnya.

Sialan emang. Alena mendengus kesal dan mengembalikan wajah menghadap depan melengos ke dalam dapur meninggalkan Re yang menyandar ke tubuh sofa.

Saat Alena kembali, ia berharap Re akan memintanya untuk duduk. Tapi saat ia sudah sepenuhnya keluar dari dapur sambil membawa minum untuk dirinya sendiri, Re malah diam saja dan mengalihkan pandangan pada temannya. Tak melirik Alena sama sekali.

Mungkin, yang tadi hanya khayalan Alena semata.

Kakinya pun berbelok menuju pintu kamarnya. Saat ia menurunkan gagang pintunya, terdengar suara Re memekik kesal.

"ASPRI!" Semua tersentak. "Sini, nggak!"

Re melotot lucu. Tidak terlihat bahwa ia sedang serius tapi nada suaranya begitu mengancam saat Alena memutar kepalanya.

Ia pun menutup pintu kembali dan berjalan mendekati Re. Re langsung menepuk sofa sampingnya setelah ia menggeser pantatnya ke pinggir karena Re selalu menguasai sofa.

Alena pun duduk di samping Re.

Yusuf hanya berkedip dua kali melihat itu. Sedangkan Fikran langsung senyam-senyum sendiri.

Ia harus mendongak untuk menatap dua wajah di atas sofa. "Kenalin dong, Re. Siapa? Pacar lo? Tapi lo kasar sama dia, apa itu metode baru pacaran biar nggak putus-putus?" seloroh Fikran memajang senyum jahilnya.

Fikran maupun Yusuf sudah tahu mengenai Re si artis yang masih digandrungi oleh banyak remaja wanita ini punya asisten pribadi di rumahnya sendiri. Tapi, mereka tak pernah tahu jika itu adalah seorang gadis. Seumuran dengannya, pula.

Jadi mereka berdua meragukan gadis yang membuka pintu itu. Karena tak mungkin gadis secantik ini mau-maunya jadi asisten pribadi Re yang galaknya melebihi emak-emak rempong yang motornya belok kiri padahal lampu seinnya ke kanan.

"Re selalu kasar sama semua orang," timpal Yusuf yang mengalihkan semua pandangan mengarahnya. "Berarti bisa aja mereka pacaran," tandasnya.

Re mendecih tak suka. "Ngapain jadi jodoh-jodohin gue, sih?!" sewotnya. "Dia ini asisten pribadi gue. Namanya ... "

Nah, loh. Mata Re pun membulat. Re langsung gelagapan mencoba mengingat nama asisten pribadinya.

"Namanya ..."

Sejak awal pertemuan, gadis itu tak memperkenalkan dirinya. Dan Re benar-benar tidak peduli dengan siapa nama gadis gila ini.

Alena hanya tersenyum menyembunyikan rasa sakitnya. Re memang tak pernah mengenalnya.

Ia menoel bahu Alena. "Siapa nama lo?" tanya Re tak berdosa.

Alena memutar bola mata. "Katanya nggak butuh," ketusnya.

Fikran mendecak prihatin dan menabok kaki kiri Re hingga cowok itu meringis.

"Jahat banget, sih, lo! Masa orang yang selalu ada di sekelliling lo namanya aja nggak tahu, " omelnya.

Yusuf mengangguk. "Lo jahat," tambahnya, menatap Re dengan tatapan mengintimidasi.

Re meneguk. Apa benar sikapnya sangat buruk? Ia pun menjulurkan tangannya pada Alena.

"Ma—" Mulut Re masih menganga sampai Fikran meloncat dari sofa dan mengambil jabatan tangan dari Re yang mengernyit heran.

"Saya nikahkan." Re dan Alena melotot bersamaan.

"Arsy Renggana bin Atang dengan Alena binti Tan dengan segenap jiwa dan raga dibayar tunai," lantangnya.

Ia hentakkan tangan itu seperti penghulu betulan yang memberi tanda untuk calon mempelai mengulang ucapannya.

"Woy! Apaan, sih?!" Re menarik kasar tangan itu.

"Sah?" lanjut Fikran berpaling pada saksi pernikahan.

"Sah," jawab Yusuf datar.

Re langsung mengangkat kepalan tangannya sudah gatal untuk menjitak kepala Fikran. Tapi Fikran dapat menghindar tepat waktu saat ia terbahak menertawakan Re.

Alena hanya diam saja. Karena ia sibuk mengucapkan seribu kata Aamiin dalam hati.

"Kambing, lo!" rutuknya pada Fikran yang memeletkan lidah sebagai balasan sebelum cowok itu meloncat kembali ke sofanya.

"Kok kamu tahu nama aku?" tanya Alena terheran-heran pada Fikran. Padahal Alena tidak mengenal sama sekali cowok ini.

"Kamu?" Re berlagak mau muntah. Hanya itu yang menarik perhatiannya.

"Apaan, sih, lo, sirik aja!" sungut Fikran.

"Iya, sirik aja," tekan Alena ikut-ikutan.

Re memicingkan mata pada gadis itu. "Maksudnya?"

"Lo mau gue sapa pakai kamu juga?" tawar Alena baik-baik.

Re mendengus. "Ke Gara aja sono!" kesalnya. Ia tak tahu mengapa otaknya langsung memunculkan nama Gara. Kalau dipikir, mereka berdua memang tak pernah berbicara dengan lo-gue pasti pakai aku-kamu. Apa mereka?

"Ciyeee ada yang cemburu," kicau Fikran yang langsung dihadiahi kaki Re yang keluar dari lipatan sila ke depan wajahnya.

Untung Fikran seorang kiper futsal jadi ia selalu siap sama gerakan dadakan kayak gini. Kaki Re bisa ditahannya tepat waktu sebelum tepat menghantam wajahnya.

Ia lemparkan kaki itu ke samping dan terbahak puas melihat wajah Re memerah. Re paling nggak suka di ciye-in.

"Semua anak Jayabakti udah tahu nama kamu—"

"Pake lo-gue aja kali, geli gue dengernya."

Kok, Re yang sewot?

Fikran hanya mengangguk memaklumi. Temannya ini memang suka menitah semua orang. Kalau nggak diturutin, nanti Fikran diusir lagi.

"Iya, Kanjeng Mas Raden Renggana," ujar Fikran mencoba menahan emosinya.

Re pun tersenyum datar.

"Gue tahu nama lo, karena waktu itu lo yang jatoh kesandung, kan, di sekolahan kita."

Re langsung terkikik puas mengingat kebodohan Asprinya.

Alena yang sadar itu langsung mencubit pinggang Re gemas. Re pun mengaduh kesakitan dan mengelus pinggangnya. Mau bales, dia cewek. Jadi hanya tangan kiri yang terkepal ke udara menunjukkan rasa kesalnya.

Alena berdecih dan berpaling menatap Fikran. "Terus?"

"Yaudah, lo kan dipanggil sama Gara. A-le-na. Katanya gitu, jadi seluruh anak Jayabakti tahu nama lo. Sempet jadi gosip anget juga tuh kemaren-kemaren."

Alena hanya membulatkan mulutnya.

Re membuka kaleng minumannya. Tapi saat ia mau meminumnya, ekor matanya menangkap wajah Yusuf yang datar. Sukses merenyuhkan hati dan membuatnya ingin menanyakan kabar Yusuf.

"Ucup! Lo masih idup, kan?" Inilah menanyakan kabar versi Re yang tak pernah bisa disaring sebelum ngomong.

Yusuf biasanya selalu menimpali perkataan Fikran dengan nada datarnya yang mengesalkan. Tapi hari ini ia terlihat murung walau wajahnya memang selalu begitu.

"Shilla marah sama gue. Lara malah ngotot nggak mau diputusin," jawabnya to the point.

Shilla adalah nama pacarnya Yusuf yang baru menjalin hubungan selama empat bulan. Itu terbilang waktu yang lama bagi Yusuf. Ia selalu gonta-ganti cewek. Itu karena, cewek yang selalu nembak Yusuf duluan di saat Yusuf tidak punya perasaan apa-apa. Dan Shilla adalah satu-satunya cewek yang ditembak sama Yusuf.

Sedangkan Lara, adalah korban situasi yang harus dipermainkan menjadi pacarnya Yusuf karena insiden Re yang ngamuk di kantin sekolah tempo hari. Tapi gadis ganas itu malah ngambek juga saat Yusuf memutuskannya lewat sambungan telepon. Dan berkata bakal melakukan segala cara agar tidak diputuskan sama Yusuf.

Salah satunya yang telah dilakukan adalah mencuri ponsel Yusuf dan memarahi pacar Yusuf yang sebenarnya karena dikira selingkuhan Yusuf. Padahal mah kebalikannya.

"Yaudah cuekin aja si Larasa itu. Nanti juga capek sendiri," saran Re.

Yusuf mengerjap.

"Gue nggak biasa jahat sama orang."

Re menatap kosong Yusuf di saat Alena terkikik menertawakannya.

Re berdecih. "Emang gue sejahat apa, sih? Semua orang bilang gue jahat," cebiknya.

"Lagian nyuekin orang di saat lo emang nggak peduli sama dia. Bukannya itu hal yang baik, ya?

"Daripada lo baikin di saat lo sebenarnya pengen ngusir dia. Coba, mana yang lebih jahat?" ujar Re.

Semua orang termenung.

"Mendingan saling diam hingga dia mengerti. Daripada saling berpura hingga dia terluka," bijaknya menjentikkan jari.

"Sadis banget!" komen Fikran langsung bertepuk tangan pada Re yang membusungkan dadanya sombong.

"Dalem," sambung Alena.

"Iya, dong," sombongnya. "Bener nggak, Cup?" tanyanya.

Yusuf menghela napas pasrah. "Iya, setuju," jawab datarnya.

Re menarik dua sudut bibirnya ke atas lalu meminum minuman kalengnya.

Ia rindu kebersamaan ini bersama kedua sahabatnya. Ah, tidak, sebenarnya tiga.

Dulu, Gara pun bagian dari kelompok kecil ini. Sebelum Gara memilih untuk menjauhkan diri dan bergabung dengan kelompok anak brandal di mana Naba Si Penggosip tergabung di dalamnya dan tiga anak lain yang di cap bad boy sekolah.

Re tidak tahu cara mengembalikan Gara ke dirinya yang semula. Dan ia tidak mampu melakukannya. Mengingat Gara yang memang membencinya.

Semua hal baik akan terlihat buruk bila mata sudah terselimut rasa benci.

Semua prasangka akan langsung jatuh pada hal negatif tanpa mau melihat sisi yang positif.

Re tidak tahu bagaimana cara merekatkan kaca yang sudah pecah antara hubungan persahabatannya dengan Gara.

Apakah bisa ia gunakan lem permintaan maaf untuk menyelesaikannya?

Ataukah ia harus melelehkan kaca itu lalu membuat kaca yang baru dengan meminta kesempatan pada Gara untuk memperbaikinya?

Re tidak mengerti. Ia selalu merasa kebingungan. Lagipula, mengapa juga dalam permasalahan ini Gara seolah-olah korban di mana Re adalah satu-satunya pihak yang bersalah?

Re tidak pernah yakin apa kesalahannya. Tapi ia sangat merasa bersalah jika harus berhadapan dengan Gara lagi. Setelah ia mengetahui bahwa dirinyalah saingan Gara.

Re jadi merasa bahwa bakat ini adalah kutukan yang dapat menghancurkan tiap orang di sekitarnya. Yang lambat laun, menjadikannya seorang diri.

Getaran ponsel Yusuf terdengar. Ia rogoh saku pada coat-nya. Setelah ia mendapatkan ponsel, langsung ia geser tombol hijau tanpa melihat nomor kontak yang tertera.

"Ya?" ... "Apa?" ... "Oh." ... "Iya."

Sambungan pun ia tutup sepihak dan mata datarnya menampakkan binar sesuatu yang buruk telah terjadi.

"Kenapa? Dari siapa, tuh, teleponnya?" cecar Re tiba-tiba mendapatkan perasaan yang tidak enak.

"Dari ketua ekskul musik," jawabnya lempeng.

"Hah? Gimana jadinya? Gosipnya bener atau nggak?!" Fikran langsung berdiri dari duduknya. Memasang wajah cemas seakan ia sudah tahu apa yang akan Yusuf katakan.

Melihat itu, Re jadi panik sendiri. Ekskul musik berarti ada Gara juga di sana. Dan Re yakin ini berkaitan dengan Gara karena Yusuf takkan mau buang-buang duit untuk menyuap ketua ekskul itu hingga bisa membocorkan rahasia ekskulnya kalau tidak ada urusannya dengan Gara.

Mata Yusuf memerah. Mungkin ia terlihat tak berperasaan karena selalu memasang ekspresi yang sama dalam semua situasi. Tapi matanya bicara. Matanya yang terlihat berkilau mengumpulkan air mata itu tak bisa membohongi kesedihan yang ia rasakan.

"Gara ... terancam didiskualifikasi dari festival seni."

Setetes air mata pun meluncur ke pipinya.

****//

Terpopuler

Comments

fadilah

fadilah

yaaahhhh aku mau komen apa dong...🤔🤔🤔

2020-06-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!