Alena dan Gara berdiri di belakang kameramen, sutradara, dan kru tim yang sedang sibuk merekam Re yang duduk di tepi kolam air mancur andalan Italia yaitu Trevi Fountain. Pahatan khas romawi kuno menjadi latar belakang Re yang memangku gitar akustik.
Ia bernyanyi beriringan dengan sebuah kamera yang bergerak ke sana kemari merekamnya. Kru tim MV hanya memakai lahan di bagian tengah air mancur sehingga para wisatawan yang tiap tahun pasti memadati objek wisata satu ini masih bisa menikmati keindahan Trevi Fountain sekaligus menonton proses rekaman Re.
Alena selalu tersenyum melihat Re yang sudah berada di dunianya. Entah mengapa desiran halus selalu menyapa hati melihat Re yang sungguh menghayati apa yang sedang ia senandungkan.
Di tangannya sudah ada chips rasa cokelat dalam bungkusan milik Re yang sudah terbuka. Alena tak sungkan untuk memakannya, lagipula masih ada satu bungkusan lagi dalam tas hitam yang selalu bertengger di punggungnya. Ia sodorkan itu pada Gara di sampingnya yang ikut menikmati nyanyian sahabatnya.
"Gar, kamu mau?" tawarnya.
Gara tersenyum dan mengambil beberapa butir chips lalu memakannya.
"Gar ... apa kamu tahu siapa pacar Re?" Gara langsung tersedak dan terbatuk-batuk mendengarkannya. Chips itu pun melayang keluar lagi tak jadi masuk ke kerongkongan Gara.
"Eh, Gar!" Alena kelabakan dan memindahkan tasnya ke depan tubuh sekilat mungkin lalu mencari minuman dalam gelas dan menusukkan sedotannya sebelum ia sodorkan pada Gara.
Gara mengambil itu dan meminumnya. Saat ia sudah kembali dapat bernapas normal ia pandang Alena yang sepertinya masih penasaran akan jawaban Gara.
"Kamu tahu, kan?" Kilat mata khawatir akan siapa nama gadis yang diucapkan Gara terlihat jelas di mata cowok itu. "Harusnya, sih, kamu tahu. Kita berempat kan sahabatan dulu." Alena mulai melipat jemarinya satu persatu beriringan dengan nama yang ia sebut. "Anggara, Renggana, Alena, sama ... Raquel."
Air muka Gara memucat.
"Kamu tahu, kan, Gar? Kasih tahu, ya?"
Ia tahu. Sangat mengetahui siapa orang yang selalu ada di pikiran Re sampai saat ini. Tapi sepertinya, lebih baik bila Re saja yang mengatakannya secara langsung pada Alena. Gara tak punya hak apa-apa. Ia menggeleng dan gadis itu pun kecewa.
Alena tampik rasa kecewanya dengan senyuman lebar. "Gapapa, kok, Gar. Kamu nggak mau ngasih tahu karena nggak enak sama Re, kan?"
Bukan.
"Aku ngerti, kok. Harusnya aku tanyain langsung aja sama Re-nya."
"Nanya apa ke gue?"
Gara dan Alena terperanjat melihat Re sudah berdiri di hadapan mereka.
"Ngomong apaan, sih?" tanyanya dilanda penasaran berat.
Gara hanya menggeleng pelan yang disetujui dengan anggukan oleh Alena bahwa tidak ada apa-apa. Re menyipitkan mata curiga. "Apaan, sih? Jangan main rahasia-rahasiaan sama gue dong. Nyebelin banget, sih," gerutunya.
Alena pun menyodorkan chips yang dibawanya pada Re. Cowok itu mendengus kesal karena mengerti apa maksud gadis itu yang berarti Re tidak usah mempermasalahkannya lagi dan ia pun rampas bungkusan itu.
Sutradara sedang mengecek hasil video mempertimbangkan apakah mereka harus re-take atau tidak. Re hanya akan mempercayakan urusan itu pada Mas Jun yang sekarang ikut memerhatikan layar monitor bersama sutradara.
Re kembalikan bungkusan itu pada Alena dan merogoh sakunya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, ia tarik masing-masing tangan temannya untuk ia bagikan benda bulat pipih tersebut.
Koin.
Gara menerawang koin itu dan mengangkat dua alisnya pada Re seakan bertanya untuk apa. Namun tak digubris oleh Re karena memang ia tak mengerti isyarat apa itu. Sepertinya Gara harus belajar bahasa isyarat mulai hari ini.
"Simpen dulu tas lo, Aspri. Baru ikut gue," titahnya berlalu mengedikkan kepala pada Gara. "Ayo, Gar!" Re pun berbalik dan langkahnya diikuti Gara yang mengernyit heran. Alena buru -buru menyimpan bungkusan chips ke dalam tas dan menitipkan benda besar itu pada Juniar. Ia pun berlari mengejar Re dan Gara yang sudah sampai di tepi kolam di luar batas wilayah syuting.
"Kita mau ngapain?" tanya Alena antusias.
Re tersenyum. "Ayo kita lempar koin ini ke air mancur. Katanya, siapa pun yang ngelempar koin pas lagi munggungin kolam. Orang itu bakal bisa balik lagi ke Roma. Kita buktiin aja siapa tahu bener," jelasnya.
Gara dan Alena mengangguk antusias. Mereka bertiga pun membalikkan tubuh memunggungi kolam dan dalam hitungan ketiga yang diabakan oleh Re bersama-sama ia lempar koin itu melewati bahu mereka dan mereka berbalik cepat melihat ketiga koin itu tenggelam ke dasar kolam.
"Aku nggak percaya sama mitos tapi kalau buat seru-seruan, kenapa nggak?" sahut Alena.
"Gue juga. Kalau emang gue nggak bakal bisa balik lagi ke Roma pun ya berarti emang belom rejekinya aja," sambung Re.
Gara hanya bisa mengangguk untuk mengutarakan pendapatnya.
Re pun tertawa. "Aduh, Gar. Semangat lo!" Ia menabok punggung cowok itu hingga lototan tajam mengarah padanya.
Re tidak peduli dengan tatapan itu. "Nanti kita latihan habis gue beres ni syuting. Gue harus nyamain suara gue sama suara lo."
Lagi-lagi Gara mengangguk. Ia pun menepuk pundak Re dan memberi isyarat bahwa ia mau pergi sebentar dengan telunjuk menunjuk dirinya sendiri lalu menunjuk jalanan.
Re mengernyit. "Lo mau kemana?" Gara memutar bola matanya dan lagi-lagi menunjuk-nunjuk jalanan.
Sangat melelahkan membuat orang lain mengerti di saat kita tak mampu menjelaskannya dengan baik.
Re menggaruk tengkuknya. "Gue nggak ngerti lo mau kemana. Tapi, yaudah sih sono aja pergi. Asal jangan ngilang nanti ngerepotin gue, lu," ingatnya.
Gara mendecih tak suka dan berjalan menjauhi Re dan Alena menuju tempat yang ingin ia kunjungi.
Toilet.
*****
"Mas Jun."
"Oy?" sahut Juniar sembari memainkan ponsel.
"Mas Jun!" pekik Re sekali lagi karena ia malah diabaikan padahal ia sudah berada tepat di hadapan Juniar.
"Apaan, sih?" sewotnya masih belum berkutik dari layar ajaib.
Re mendengus. Ia pun menutup layar ponsel itu dengan telapaknya. Dengan pasrah, Juniar pun mengangkat kepala menatap Re yang mendengus lagi.
"Mas Juuuuuuuuuunn!!!" Re memekik lantang begitu memekakkan telinga siapa pun mendengar. Bahkan bule pun sampai celingukan mencari dari mana suara itu berasal. Juniar kelabakan. Dasar artis nggak tahu malu. Untung ini bukan di Indonesia jadi Re tidak harus menanggung mulut berbisa para paparazi yang menyaksikan kegilaan artisnya.
Pletak! "Auh!" Re langsung mengusap keningnya yang diberikan sentilan kasih sayang sama Juniar hingga keningnya memerah.
"Kunaon ai sia?! Meni ngerakeun pisan!" omelnya. (Kenapa kamu? Sangat memalukan)
Re hanya nyengir kuda. Ia tidak tahu mengapa ia berteriak seperti tadi di tengah kerumunan banyak orang masih di sekitar air mancur. Yang ia tahu, ia hanya butuh perhatian sepenuhnya dari Mas Jun karena ia ingin bicara padanya. Tapi tatapan malas itu malah diterimanya. Re, kan jadi kesel.
"Nggak ada apa-apa, sih. Tapi lo harusnya perhatiin gue kalau gue mau ngomong sama lo, Mas!" tukasnya.
"Dasar kuper, lo—kurang perhatian! Sana aja sama Nana kenapa, sih? Ngapain ganggu gue lagi," keluh Juniar memutar tubuh ke arah samping kiri melanjutkan bermain ponsel.
"Cih, ngapain bawa-bawa si Aspri!" balasnya yang tak direspon lagi oleh Juniar. "Yaudah gue nggak jadi ngasih berita besar ke elo!"
Juniar manggut-manggut tak peduli.
Re menggeram. Ia jadi mengerti mengapa Ardy suka rempong marah-marah ingin diperhatikan kalau dia lagi curhat. Ternyata seperti ini rasanya diabaikan oleh orang yang kita harapkan akan mendengar ucapan kita tapi hasilnya malah menunjukkan sikap sebaliknya. Re jadi tak berani lagi mengabaikan curhatan Ardy. Adik yang malang.
Re mengalihkan pandangan pada wanita dua puluh tiga tahunan yang tengah berbincang dengan salah satu kru. Wanita itu terlihat amat cantik dan wajahnya berbinar sangat cerah akibat pantulan sinar matahari.
"Kak!" panggilnya yang membuat wanita itu menoleh dan melambai pada Re. "Mas Junnya nggak mau ketemu sama kakak!" pekiknya.
Telinga Juniar bergerak-gerak berusaha mencerna perkataan dari Re beriringan dengan berputarnya kaki mengarahkan pandangan ikut melihat apa yang dipandang oleh Re.
"Malu katanya!" tambah Re.
Wanita menganggukkan kepala sedih dan melambai tanda, tak apa-apa bersamaan dengan pelototan mata Juniar yang tak percaya dengan apa yang ia lihat di depan matanya.
Ia menoleh perlahan menatap Re dan menutup setengah wajahnya "Gila, lo!" pekiknya tertahan.
Re pun terbahak dan menepuk bahu manajernya dua kali. "Makanya, orang ngomong tuh dengerin," tandasnya puas. Re pun berputar hendak pergi namun lengannya dicekal oleh Juniar.
Kerutan cemas yang terukir di dahi Juniar sangat terlihat di mata Re. "Kenapa lo, Mas?"
Juniar mengeraskan giginya. "Duit, dong," melasnya.
"Hah?" Re tak mengerti. "Lo bawa duit sendiri kali! Ngapain minta ke gue?!" sewotnya.
Juniar mengusap wajahnya frustrasi. "Gue nggak bawa uang cash! Burulah, lo nggak inget apa gue ngutang ke dia!"
Re menghembuskan napas pasrah dan merogoh saku celana untuk mengambil dompetnya. "Belom dituker duit gue. Emang lo minjem duit berapa, sih?" ucapnya tak ikhlas.
"Sejuta dua ratus mapuluh rebu," cicitnya.
Re memandang kosong Juniar. "Sumpah! Lo nginjem duit apa ngerampok, sih?!"
"Udah lah buruan! Pinjem duit, lo!" desaknya.
Re pun menyodorkan uang lima ratus ribu rupiah. Juniar langsung mendesaknya untuk memberi lebih. Re pun memberikan sebuah trik mendekati cewek pada manajernya yang Re pikir lelaki itu sudah lupa caranya mencari cinta.
Apabila Juniar langsung melunasi hutangnya hari ini juga, nanti tidak akan ada alasan lagi bagi Juniar untuk bertemu wanita itu. Semakin dicicil semakin dekat mereka nantinya.
Seraya berjalan Juniar merenungkan perkataan bocah itu yang ada benarnya juga. Ia pun menyimpan dua ratus ribu ke dalam kantongnya dan membiarkan tiga lembar lain di tangannya.
"Chyntia?" panggilnya berdiri di samping wanita itu hingga pemilik nama pun menghentikan percakapan dengan kru dan mengembangkan senyum manisnya pada Juniar.
"Kamu inget saya, kan?"
Chyntia mengangguk mantap dan menunjuk Juniar. "Jaguar, kan?" terkanya yakin.
Juniar terkekeh hambar. "Juniar, bukan Jaguar," benarnya.
Chyntia menepuk tangannya satu kali merasa malu. "Ah! Iya-iya. Juniar! Tadi saya lagi bercanda aja," kekehnya.
Juniar kembali terkekeh. "Kok kita bisa ketemu di sini? Jangan-jangan jodoh, ya?"
"Iya kali," balas Chyntia.
Juniar tahu bahwa Chyntia akan ke Trevi Fountain hari ini karena saat rapat di kamar apartemen 45, Direktur mengatakan akan ada Chyra, model sampo yang akan menjadi pasangan Re di MV kali ini. Jadi ia tak terkejut melihat kehadiran Chyntia.
Juniar malu-malu menyodorkan uang tiga ratus ribu pada Chyntia. Namun akhirnya, penglihatan wanita itu terjatuh pada uang yang disodorkan Juniar. Ia mengernyit penuh tanya.
"Ini, saya mau bayar uang yang pernah saya pinjam waktu itu. Tapi dompet saya ketinggalan jadi baru bisa bayar segini."
Chyntia mendengus geli dan bersedekap. "Nggak usah. Saya—ekhem." Ia merasa canggung harus menggunakan kata ganti saya-kamu. Ia tak terbiasa menggunakan kata sapaan itu. "Aku ikhlas kok waktu itu ngebantu kamu yang nggak sengaja nyenggol blender di festival dan ternyata lagi nggak bawa uang sepeser pun."
Juniar hanya bisa meringis. Ternyata Chyntia masih sangat ingat detail kesalahannya setelah sebulan waktu berlalu. Ia hembuskan napas pasrah. "Kalau saya memaksa, gimana?"
Chyntia mengerjap.
Ia tarik salah satu tangan Chyntia untuk menyimpan uang tiga ratus ribu itu.
"Sis-sis-ssanya," Ah, kenapa jadi kayak Aziz gagap, sih?
"nggak bakal saya bayar pakai uang. Kamu setuju atau nggak, saya nggak peduli karena hutang itu wajib dibayar. Saya pergi dulu." Juniar mengangguk sekilas dan memutar tubuh sekilat mungkin lalu melangkah cepat cepat meninggalkan Chyntia yang tersenyum kecil.
Ia turunkan kepala memandang uang tiga ratus ribu di tangannya. Ia mengernyit melihat ada sesuatu yang aneh di sana. Ditariknya selembar kertas dan ia terawang selembar uang yang mencurigakan. Ada coretan pulpen yang tercantum di bagian putih kertas uang ini. Chyntia kembali tertawa kecil.
089612345*** – Juniar
*****
Langkah kaki Gara begitu terburu di tengah kerumunan banyak orang. Ia ingin kembali bergabung bersama dua temannya selepas ia pergi ke toilet sehabis membuang ampas hasil metabolisme yang tidak diperlukan lagi di tubuhnya.
Kepala Gara tertunduk hanya fokus pada ponselnya yang dimainkan kedua tangan tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Ia gerakkan jarinya mencari kontak Alena untuk menanyakan mereka sedang berada di mana. Gara telah kehilangan arah.
Tepat saat pesan terkirim, ada yang menabrak kasar sebelah bahu Gara hingga lengannya yang membawa ponsel terpanting cukup jauh. Ponsel pun hilang dari genggamannya. Hanya kepala bagian belakang yang masih terlihat oleh Gara yang ia curigai sebagai pelaku penabraknya—seorang pria gundul plontos. Tapi Gara tak mau ambil pusing, ia lebih mementingkan untuk mencari benda pipih berharganya.
Kaki-kaki yang saling berlangkah itu mengaburkan pandangan Gara untuk mencari ponselnya di jalanan. Terlalu banyak orang di sini dan mungkin saja ponsel itu sudah diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab karena sejauh mata memandang ia sama sekali tak menemukan benda kotak elektronik di antara sepatu-sepatu bagus itu.
Seharusnya ponsel itu masih ada di sekitar sini. Gara yakin benda itu tak terlempar cukup jauh. Kepalanya terus celingukan memasang raut wajah cemas berusaha mencari dan melangkah beberapa kali ke jalanan yang berkemungkinan besar sebagai tempat berlandasnya ponsel itu.
"Hey, apa kau baik-baik saja?"
Tepukan halus bersamaan dengan suara lembut itu membalikkan tubuh Gara.
Gadis cantik berbinar mata zamrud dengan rambut kecokelatan yang ia kincir kuda di balik topi Baseballnya sudah ada di hadapan Gara yang mengerjap.
Gadis itu mengembungkan permen karet di mulutnya sampai meletus dan kembali mengunyahnya. "Ada yang bisa saya bantu?" ucap gadis itu dengan Bahasa Inggris yang fasih sembari melepaskan headset yang menyumpal dua telinganya.
Gara melambaikan tangannya berusaha mengatakan tidak apa-apa. Ia tidak payah dalam Bahasa Inggris tapi sepertinya perempuan itu yang payah dalam bahasa isyarat karena kernyitan langsung terukir jelas di dahi cerahnya.
"Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya gadis itu lagi.
Lagi-lagi Gara hanya melambaikan cepat tangannya dan mulai menunjuk-nunjuk jalanan bahwa ia harus segera pergi. Jika bukan karena pengobatan penyakit yang sedang dijalankannya, Gara pasti sudah berbincang dengan bule manis di hadapannya ini.
Gadis itu membulatkan mata dan menutup mulutnya seakan baru saja mendapatkan sesuatu yang mengejutkan. "Kau ... bisu?" tanyanya tidak percaya.
Gara pun menganga berlanjut menggaruk kepala frustrasi. Bukan itu. Sama sekali bukan. Gara langsung melipat tiga jari kecuali jempol dan kelingkingnya lalu menempelkan isyarat telepon itu ke depan telinganya.
"Kau mau meminjam ponselku?" terka gadis itu ragu. Gara menghembuskan napas panjang. Sebenarnya bukan itu tapi tak apalah, Gara menganggukkan kepalanya.
Gadis itu merogoh tas kecilnya yang tersampir di sebelah bahunya dan menyodorkan apa yang sudah ia dapatkan pada Gara.
Langsung Gara luncurkan aplikasi pesan dari ponsel gadis itu dan menuliskan sesuatu di sana sebelum ia tunjukkan pada gadis itu.
"Aku tidak bisu. Aku sedang dalam perawatan pita suaraku jadi aku dilarang berbicara."
Gadis itu terkekeh merasa malu akan tebakannya. "Oh, maafkan aku. Tapi apakah kau sedang mencari sesuatu? Apa yang sedang kau cari?"
Gara kembali mengetikkan apa yang ingin ia katakan menggunakan bahasa inggris.
"Aku mencari ponselku."
Gadis itu menganggukkan kepala mengerti. "Kau bisa coba meneleponnya dengan ponselku."
Gara mengerjapkan mata dan menggoyangkan ponsel di tangannya meyakinkan perkataan gadis itu. Senyuman terbit di wajah manis gadis itu beserta anggukan kepala.
Gara segera memasukkan nomornya dan menempelkan ponsel itu ke telinganya kanannya. Tubuhnya berputar dengan matanya yang memicing berusaha mencari ponselnya di atas jalan yang dipenuhi dengan langkahan kaki.
Dering teleponnya terdengar. Begitu jelas. Bahkan terlalu jelas hingga Gara mengernyitkan kening dan memutar tubuhnya menghadap gadis itu lagi. Dering ponsel itu masih sangat jelas terdengar dan saat Gara mematikan sambungan teleponnya, sesuatu yang terlihat menyala dari dalam tas kecil itu padam dan berhenti berdering.
Gadis itu terbelalak dan menutupi rapat tas kecilnya, mempercepat kunyahan permen karetnya.
Gara menatap curiga gadis itu dan menyambungkan lagi panggilannya. Pada dering ketiga, cowok berambut cokelat terang ini menghembuskan napas panjang dan menunjuk tas kecil gadis itu.
"Ponselku di situ," ketik Gara yang ditunjukkan pada gadis itu.
Gadis itu meringis dan membuka tasnya tak rela lalu mengambil ponsel yang langsung disambut baik dengan Gara.
"Ponsel itu tergeletak di jalanan dan aku bersumpah aku berniat mengembalikannya," cemas gadis itu mengangkat dua jari untuk bersumpah.
Gara hanya manggut-manggut dan mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.
"Tidak apa-apa. Justru aku yang berterima kasih karena kau yang telah menemukannya."
Gadis itu menyeringai kecil. "Yes! Gua berhasil dapetin nomor cowok ganteng," selorohnya yang sontak membelalakkan mata Gara dan menunjuk tak percaya gadis itu.
Gadis itu malah berjabat dengan telunjuk Gara. "Gua juga orang Indo kayak lo." Topi ia lepaskan dengan tangannya yang lain hingga rambut panjangnya langsung terurai dan jatuh begitu saja menghiasi wajah cantiknya. "Nama gua, Kaira Moldy."
Pertemuan tak disengaja memang hal yang menakutkan. Takkan pernah ada yang tahu bagaimana pertemuan ini akan berakhir. Apakah hanya akan berhenti di ujung jalan sana ataukah akan berlanjut hingga pertemuan akan berubah menjadi sebuah pertemanan.
Dan kesan pertama sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup pertemuan itu.
Gara membenarkan jabatan tangannya dan tersenyum ramah pada Kaira.
******
"Do ... Do ... Do ..." Re terus mencoba menaik turunkan nadanya dan mengubah karakter suaranya agar terkesan mirip dengan suara Gara.
Sedangkan Gara sendiri terus menggelengkan kepala karena tak ada satu pun suara yang mirip dengan suara miliknya. Rencana ini gagal. Pasti gagal. Rencana ini telah dikutuk. Gara selalu pesimis bahkan hingga hari ini.
Mereka terduduk di salah satu tepi jalanan kota Roma. Banyak orang yang berlalu lalang untuk menikmati bangunan kota Roma yang kental akan cirinya. Bayangan bangunan yang memanjang ini mampu meneduhkan Re, Gara, dan Alena yang duduk melingkar di bangku taman yang memang dibentuk bundar. Kebetulan, letak jalanan yang ramai akan pengunjung ini bertepatan dengan lokasi apartemen yang mereka tempati. Jadi daripada sumpek di dalam kamar apartemen bertemu dengan dinding dan dinding lagi, mereka memutuskan untuk mencari udara segar saja di luar.
"Do ..." Re masih berusaha namun jua ia tak berhasil menemukan nada yang pas.
"Gimana, Re? Bisa nggak?" tanya Alena yang duduk di tengah dua cowok dengan jarak cukup jauh antar ketiganya.
Re menggeleng sedih. "Aduh! Susah banget, sih, niru suara lo. Mana lo nggak bisa nyontohin dulu lagi sekarang." Ia jambak rambutnya gemas.
Gara yang bersedekap dan menyandar pada bangku, hanya mengedikkan bahunya.
Re memutar otak dan ia teringat sesuatu. "Aspri, hp gue!" Re langsung menengadahkan tangan membuat gestur meminta pada Alena.
Alena mendengus sambil merogoh tas kecil yang dibawanya. Re selalu menitipkan semua barang padanya bahkan setelah jam kerja bagi Alena sudah habis seperti saat ini. Dasar kebiasaan. Dengan sebal, ia sodorkan ponsel milik bosnya.
"Alena bukan Aspri," tuntutnya.
Re mengambil ponselnya. "Ah, iyalah ... Aspri," ulangnya sengaja. Alena berdecak kesal.
Re menyalakan musik dari ponselnya dan mencoba mendengarkan lagu itu dengan seksama sembari menajamkan pendengarannya. Tanpa ia sadari, Gara langsung terperangah mendengar suara yang keluar dari ponsel itu.
"Loh? Itu, bukannya suara Gara, ya?" tanya Alena. Walaupun Alena belum pernah mendengar lagi Gara bernyanyi setelah sepuluh tahun berlalu tapi nyanyian itu sungguh terdengar jelas karakternya persis seperti karakter suara Gara saat berbicara.
Re tersenyum kecil dan mengangkat kepala untuk menatap lurus Gara yang memasang wajah heran seakan bertanya mengapa Re bisa memiliki rekaman suara saat Gara dulu sering latihan bersamanya.
"Lo pasti penasaran kenapa gue punya ini?" Gara malas menjawab, karena sudah sangat jelas tergambar jawabannya dari raut wajah Gara.
Re terkekeh melihat wajah masam itu. "Gue selalu belajar dari nyanyian lo, Gar. Asal lo tahu itu. Kemampuan vokal lo selalu dipuji mulu sama Kak Andante, gue kan jadi ngiri. Yaudah gue rekam aja suara lo buat gue pelajarin tiap malem."
Gara masih tak percaya dengan ini. Re tak mungkin belajar darinya. Ia sudah berbakat dari lahir, Re tak pernah salah jika menempatkan suatu nada karena Re memiliki nada sempurna atau suatu kemampuan mengenali nada tanpa bantuan nada rujukan. Untuk apa Re belajar darinya? Di saat kemampuan istimewa itu hanya segelintir orang yang dapat memilikinya. Gara benar tidak mengerti.
Re kembali berucap, "Bagi gue, lo saingan terberat gue, Gar." Gara langsung memutar bola matanya membuat Re berdecih geli. "Lo nggak percayaan banget, sih, sama gue."
"Gar ... jangkauan vokal lo bisa sampe 3 oktaf di saat gue cuma bisa 2.5 itu pun hampir, masih belum sempurna sampe sekarang."
Pandangan mata Gara perlahan kembali menatap lurus orang yang bicara.
"Dunia lucu, ya? Gue selalu iri sama semua kemampuan lo dan ternyata orang yang gue iriin juga punya keirian yang besar sama kayak yang gue punya. Kita selalu iri sama bakat orang lain sampe kita lupa jati diri kita sendiri." Re tersenyum di akhir kalimatnya.
"Tapi ... karena gue selalu ngiri sama lo makanya gue bisa berkembang kayak sekarang, Gar."
Gara balas tersenyum geli dan mengetik sesuatu dalam ponselnya yang ia tunjukkan pada Re dan Alena.
"Saingan itu emang berharga, karena cuma dia yang bisa ngajarin kita untuk berkembang."
Alena langsung mengambil tangan kiri Re dan tangan kanan Gara untuk ia genggam. Dua cowok itu mengernyit tak mengerti. Alena menatap bergantian dua wajah itu, tersenyum lebar.
"Aku seneng bisa ada di antara dua orang berbakat kayak kalian. Jangan pernah berantem lagi, ya?" Gara mengangguk di saat Re terkekeh geli.
"Saingan emang penting. Tapi teman yang saling mendukung itu lebih penting dari pada apapun." Mereka berbagi senyum yang sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Revina Darajati
si Jun.. kenapa gk. bilang sm Alena waktu ada telpn dr kepolisian y
2023-09-14
0