NovelToon NovelToon

Because You Were There

Prolog

10.09 WIB. Selasa. Bulan Ketiga.

Gedoran pintu dari kepalan tangan mungil itu terus berdebum menghasilkan musik di pagi hari yang sangat dapat merusak gendang telinga. Terutama bagi orang yang ada di balik pintu kamar mandi. "Re! Ini udah jam berapa?! Lo inget, kan hari ini manggung di Plaza!" pekikkan dari pemilik suara mezzo-sopran yang menggema ke seluruh ruangan. "Lo mandi apa mati, sih?!"

Tangannya tak berhenti menggedor pintu. Ia sangat khawatir. Ini sudah setengah jam cowok itu di dalam kamar mandi. Apa jangan-jangan Re kepeleset terus kepalanya kejedot lantai sampai darahnya ngucur?

Gadis itu bergidik ngeri memikirkannya. Pikiran Alena, kan, jadi liar kalau cowok itu nggak keluar-keluar terus. "Re! Ini udah jam sepuluh! Lo manggung jam sebelas. Gue nggak punya pintu kemana aja, lo harus naik mobil ke sana. Belom jalanan macet, Re!" pekikkan gadis itu yang lagi-lagi tak mendapatkan sahutan apapun. "Re!" sentaknya sekali lagi.

"GANDENG AI SIA!" (Berisik lo!)

Akhirnya suara cowok itu terdengar juga di telinga Alena yang kini bisa menghembuskan napas lega. Kebiasaannya tak kunjung berubah, Re memang begitu kalau emosinya sudah sampai puncak, pasti Bahasa Sunda kasar yang muncrat dari bibirnya. Tangannya pun ia turunkan ke sisi tubuh masih menatap pintu kamar mandi.

"Yaudah buruan kel—"

Pintu yang berderit perlahan sukses membuat mata Alena membulat sempurna. Ia pun mengangkat dua tangannya sekilat mungkin guna menutup mata. "AAAH! Gue bukan cewek murahan, ya. Maksud gue ada di sini bukan untuk beginian," celotehnya terus menggeleng-gelengkan kepala.

Kernyitan terukir jelas di dahi Re begitu melihat reaksi gadis itu yang sangat berlebihan menurutnya. "Apaan, sih maksud, lo?!" sewotnya.

"Handuk lo merosot tuh!"

Pandangan ia turunkan dan matanya terbelalak karena ucapan gadis itu benar. Untung, gadis itu sudah menutup matanya sedari tadi. Hampir aja gadis itu mel—ya, gitulah. Re segera melilit handuknya dengan benar kali ini menutupi pusar sampai lutut dan kembali memasang wajah dinginnya seraya melipat tangan di depan dada. "Nggak usah munafik! Gue tahu lo ngintip dari celah jari lo," tudingnya.

Alena meringis. Yah ketahuan, deh. "Enak aja lo!" sanggahnya.

Alena memang mengintip tapi bukan di saat handuknya Re merosot. Alena tak mau mata suci ini ternodai oleh hal-hal yang tak sepatutnya ia lihat. Jemarinya masih menempel di atas mata yang sekarang ia regangkan lagi sedikit. Yang kayak gini, nih, yang namanya dilihat dosa tapi nggak dilihat sayang. Jarang-jarang, Alena bisa lihat Re hanya memakai handuk putih saja hingga menampilkan otot perutnya yang jelas terbentuk.

"Udah puas mandangin gue?" tanya Re ketus yang membuat Alena gelagapan. Ia pun membalikkan tubuhnya cepat.

"Ge-er banget, sih, lo!" tukasnya. "Udah sana buruan ganti baju. Lo udah telat."

Re menggeram, "Salah siapa gue bangun telat kayak gini?! Dasar Aspri nggak becus," ucapnya serius. "Lo mau gue pecat, hah?!"

Alena mendengkus sebal. Kalau bukan karena lembaran kertas berharga yang ia butuhkan, Alena bakal mikir dua kali jadi asisten pribadi Re alias penyanyi muda yang lagi booming tahun ini. Selain karena suara emasnya yang memang merdu dan menenangkan hati siapapun yang mendengar, wajah tampannya pun semakin menaikkan pamor keartisannya. Ia benar-benar idola remaja tahun ini.

"Lo nggak bakal bisa mecat gue," balas Alena tak mau kalah.

"Kenapa gitu? Lo nggak ada di situasi yang bisa ngancem gue," timpal Re menatap rambut lurus gadis itu yang masih memunggunginya.

"Lo lupa? Manajer lo—Om gue. Dan dia yang udah nyeret gue jadi asisten pribadi lo. Jadi gue cuma mau keluar kalau Om Jun yang mecat gue."

Alena tahu bahwa Re sangat menghargai Om Jun dan tidak berani mengecewakan pemuda itu karena jasanyalah Re bisa terkenal seperti sekarang. Jadi, tak mungkin Re bisa melawan ketetapan Om Jun.

Cowok itu membuang napas kasar. Re tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis yang seumuran dengannya ini. Sudah diusir berulang kali, tetep aja ngotot buat stay. Re sangat membencinya. Re benci orang yang selalu melawan tiap perkataannya, yang tidak mematuhi perintahnya, yang sangat lancang ikut marah kalau Re lagi marah. Otoriter, itulah sifat Re.

"Kalau gue nggak bisa mecat elo. Gue bakal buat lo menderita sampai surat pengunduran diri lo ada di tangan gue," ancamnya menyeringai.

Alena meneguk. "Siapa takut?" tantangnya yang diterima Re dengan senang hati.

Bab 1

11.59 WIB. Senin. Bulan Ketiga.

Selamat siang pemirsa!

Kembali lagi bersama saya Eca Sikuleuheu Siborangrang Simatupang disingkat Esa Sisisi yang akan menemani Anda selama tiga puluh menit ke depan dengan berita ter-HOT dan ter-BOOM, tentunya di acara berita Gosip Lover, Oke.

Baiklah sudah cukup basa-basinya, daripada Anda mual melihat wajah saya yang terlalu imut melebihi kucing anggora, saya akan langsung sampaikan berita terpanas minggu ini.

Sahabat Golok.

Siapa, sih, yang tak mengenal si pelantun merdu 'Syair Rinduku' yang lagi menjadi idola remaja tahun ini?

Ya, Re! Si penyanyi irit nama namun ganteng manis yang masih menginjak bangku SMA kelas akhir ini di awal debutnya sudah berhasil memikat banyak pasang mata. Berkat lagu karangannya sendiri ia berhasil menjadi penyanyi pendatang baru yang lagunya selalu menempati top-chart pertama tiap minggunya. Wah, keren banget, ya.

Walaupun menjadi penyanyi muda berbakat yang banyak dielukan, Re selalu bersikap ramah sama fans-nya. Ia tidak pelit senyum dan selalu berterima kasih sama semua orang yang udah nonton penampilannya. Uh, jadi pengen majang Re di rumah, deh. Kayaknya bakal anteng ngeliatin dia yang senyum—Tinut.

Warna gelap memenuhi layar TV.

Remote dalam genggaman langsung ia buang sembarang ke samping sofa yang ia duduki. Giginya terus ia keraskan sembari menatap jam tangan hitam yang terlingkar di lengan kirinya. Sudah sepuluh menit ia menunggu, batang hidung gadis itu belum juga muncul di penglihatannya.

"Woy! Lo nyari baju apa nyari jodoh, sih? Lama banget," gertaknya menggema ke seluruh penjuru kamar apartemen lantai lima miliknya yang terletak di Kota Bandung. Kaos putih melapisi tubuh bidangnya dengan jeans hitam sebagai pelengkap di kakinya.

Ia akan tampil di sebuah acara pembukaan Mall baru di Kota Kembang siang ini. Tapi sepertinya ia harus melewatkan acara tersebut karena mood-nya sungguh hancur berantakan akibat asisten pribadi yang tak kunjung kembali dari dalam kamarnya untuk mengambil sebuah kemeja.

"Maaf, Kak." Seorang gadis dengan cepolan rambut berlari tergopoh-gopoh dari dalam kamar sembari menenteng kemeja merah di tangannya, menghadap lelaki yang masih terduduk di atas sofa. "Bajunya ada di paling bawah tumpukan. Jadi tadi aku beresin dulu."

Kembalinya gadis ini alih-alih membuat mood-nya membaik justru bertambah buruk. Ia silangkan tangannya menatap malas gadis di hadapannya. "Gue bilang kemeja warna merah. Warna apa yang lo bawa?" ketusnya mengedikkan dagu pada kemeja yang dibawa gadis itu.

Kepalanya menoleh ragu pada kain yang sedang ditentengnya. "Ini, kan, merah?" jawabnya tak yakin.

Dihempaskannya napas kasar. Ia sudah tak bisa membendung kekesalannya. "Saat gue bilang merah, ya, merah! Bukannya merah tua kayak gitu!" sentaknya.

Warna gadis itu sudah memucat. "Tapi, Kak Re nggak punya warna merah selain warna merah ati ini," bela dirinya ketakutan.

Re terkekeh sinis. "Kalau gue nggak punya ...." Tatapannya menajam menatap kilat ketakutan gadis itu yang sama sekali tak berhasil merenyuhkan hatinya. "Ya, beli, dong!" tekannya. "Gitu aja harus dikasih tahu mulu, lo! Otak lo ditaroh di mana, sih?!" sentaknya, kesekian kali.

Bibir gadis itu pun bergetar saat Re merasakan napasnya tersengal dan juga tenggorokan yang jadi sakit teriak-teriak melulu. Ia kibaskan tangannya saat melihat pergerakan mulut gadis itu yang pasti mau mengucapkan kata maaf. Re sudah kenal betul bagaimana gelagat orang yang akan meminta maaf. Ia sudah sangat paham akibat terus melihat ekspresi yang sama tiap harinya.

"Gue nggak butuh maaf dari lo. Yang gue butuhin sekarang, lo pergi dari sini," tuntutnya.

Gadis itu kebingungan memilih kata yang tepat untuk mengatasi situasi ini. Namun, cowok di hadapannya sudah tak mau repot-repot mendengar pembelaannya.

"Lo! Gue pecat!" deklarasinya.

Mata gadis itu terbelalak. "Ta-tapi, Kak—"

Lengan kanannya terjulur tegas ke arah pintu masuk menginterupsi gadis itu untuk berhenti berkata.

"Ke-lu-ar," tekannya.

Bila sudah seperti ini, gadis itu tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia pun berjalan pasrah membuka pintu apartemen setelah menyimpan kemeja merah di punggung sofa yang diduduki oleh Re. Bersamaan dengan pintu yang terbuka, seorang lelaki memasuki kamar apartemen dan melihat mata gadis yang sudah memerah. Ia menepuk sekilas pundak gadis itu bersimpatik lalu berjalan menghampiri Re.

Lelaki itu mengelus dadanya menatap kusutnya wajah seorang cowok di atas sofa lantas mengangkat dua tangannya tampak berdoa. "Ya Tuhan, ampunilah dosa manusia yang senangnya memecat asisten pribadinya ini." Re mengernyit di kursinya. "Jangan azab dia sekarang, Ya Tuhan. Nanti aja kalau saya udah pulang biar nggak repot."

"MAS JUN!" sewot Re membuat Juniar terkekeh.

Lelaki berusia dua puluh lima tahun ini adalah manajer dari penyanyi terkenal di hadapannya. Ia mengajak Re untuk melakukan debut pertama kali karena ia terpana melihat kemampuan bernyanyi dari benih berbakat saat ia mengunjungi salah satu cafe. Sekali lihat pun sudah kelihatan, bahwa cowok ini akan mudah diterima masyarakat dan karyanya akan melejit di pasaran. Perkiraan Juniar tidak meleset sedikit pun dan ia berhasil membawa nama baik bagi Entertainment-nya, berkat Re.

Oleh karena itu, Juniar sangat sayang pada penyanyi satu ini walaupun tingkah artis baru ini sangat menyebalkan melebihi artis cewek manapun, tapi Juniar akan selalu sabar menanggapi segala permintaannya. Apalagi, Re sangat mirip dengan adiknya yang meninggal karena gagal ginjal tiga tahun lalu. Bersama dengan Re, bisa mengobati rasa rindu akan sosok mendiang adiknya.

"Malah ketawa lagi," desis Re mendengar sisa tawa manajernya.

Tangan Juniar gatal untuk mengacak rambut cokelat kehitaman yang sudah ditata sekeren mungkin di atas kepala yang langsung mengerang frustrasi. "Argh! Mas Jun! Sumpah! Lo nyebelin banget," ringis Re meratapi rambutnya yang jadi berantakan.

Pantatnya pun ia dudukkan di samping kanan sofa. Juniar tidak peduli dengan tampilan artisnya yang sekarang berantakan. Kalau sudah melihat aksi pecat memecat, Re pasti nggak bakal mau buat manggung. Terpaksa, duit tak jadi masuk kantong dari *Mall *baru itu. "Lo mecat asisten pribadi lo, lagi?" Yang ditanya mengangguk malas. "Yang barusan itu udah yang ke-tiga puluh delapan, Re!" geramnya.

"Lo kira mereka pembalut apa yang harus diganti tiap hari. Ini baru dua bulan, Re. Dua bulan," cecar Juniar mengacungkan dua jari dengan dramatis.

Re menaikkan kakinya dan bersila di atas sofa. "Ya salah elo-lah, Mas. Ngapain bawa orang yang gampang banget ngehancurin mood gue. Bawa orang yang pinter dikit, kek, yang ngerti omongan gue kemana," balasnya tak mau kalah.

Juniar menghela napas pasrah. "Bawain orang pinter? Oke, gue siap."

"Yang cantik juga," cicit Re.

Juniar menghela napas berat. Kemauannya memang nggak kira-kira. Mana ada cewek cantik yang mau jadi asisten pribadi artis? Harus cari di mana coba? Juniar memutar otaknya mencari kenalan atau siapa pun yang bisa diajak kerja sama.

Ditepuknya tangan satu kali. Akhirnya ia berhasil menemukan satu nama dalam pikiran Juniar. "Okey, siap! Gue bakal bawain lo cewek pinter dan cantik banget. Awas kalo lo masih mecat dia," tukasnya yang dibalas kedikkan bahu tak acuh dari Re.

****

Gemuruh ketikan keyboard memenuhi ruangan yang hening ini. Ruangan yang mungkin tak pernah mempunyai masalah bagi kalangan banyak orang tapi tidak bagi seorang gadis yang telah dipanggil puluhan kali ke dalam ruangan ini. Semua staf sudah bosan melihat wajah gadis yang selalu saja menjadi pemandangan tiap harinya.

Begitupun dengan gadis itu, Alena, ia sangat bosan harus bertemu dengan Bu Armata lagi, lagi, dan lagi. Karena alasan yang itu-itu lagi.

Armata menggeleng prihatin pada seorang gadis berseragam yang sibuk meremas gulungan buku di hadapan mejanya. "Alena-Alena-Alena. Kenapa kamu harus jadi orang yang pertama tiap kali saya sedang menghitung biaya administrasi sekolah. Kamu nggak malu apa? Biaya pendidikan kamu itu hasil tanggungan dari temen-temen kamu yang udah bayar.

"Mana tanggung jawab kamu sebagai pelajar di sini? Inget! Ini Sekolah Swasta bukan Negeri," tegasnya sudah tak peduli lagi dengan kehadiran seluruh Staf Tata Usaha yang menghentikan aktivitas sekedar untuk menatap prihatin orang yang diajak bicara Armata.

Alena hanya bisa menunduk malu. "Maaf, Bu."

Tangannya ia hentakkan ke meja berulang kali mencoba mencari perhatian dari Alena atau mungkin sedang membuang rasa kesalnya.

"Saya bicara sama kamu. Tatap mata saya, dong!" titahnya membuat Alena mau tak mau harus menurut hingga mata mereka bertemu.

"Saya selalu beri kamu tenggang waktu dan kamu selalu bilang kamu bakal ngusahain. Mana? Mana sampe sekarang tunggakan kamu, tuh, nggak berkurang, Al. Saya juga yang kena marah Kepala Sekolah karena kelakuan kamu yang selalu telat bayar."

"Maaf, Bu." Hanya kata itu yang bisa diucapkan gadis ini. Kata yang dapat meredam emosi sebenarnya agar tak menyembur keluar.

Ini bukan salahnya. Ini bukan kemauannya tak mampu untuk membayar. Kalau Alena tahu ujungnya akan berakhir seperti ini, lebih baik ia memilih Sekolah Negeri dan mengajukan beasiswa tidak mampu saja. Tapi semuanya sudah terlambat, percuma berandai-andai bila nyatanya takkan pernah bisa digapai. Hanya buang-buang waktu.

"Alena pasti akan membayar semua kekurangan. Tapi nggak bisa dalam waktu yang singkat, Bu. Dimohon keringanannya," ucapnya sayu.

Armata menghela napas panjang. "Saya nggak janji kalau Ujian Akhir Semester seminggu lagi, kartu kamu bakal turun. Seenggaknya ada pemasukan dulu baru ibu bisa bantu," tuturnya.

Alena menarik senyum tipis. "Makasih, Bu. Makasih banyak."

Ia pun menyalimi tangan Madam Tata Usaha yang paling disegani di sekolahnya ini sebelum berderap ke pintu keluar.

Tangannya menggapai gagang dan pintu kayu pun digeser sepenuhnya. Lorong kosong yang seharusnya ia lihat, justru dihalangi oleh sosok lelaki lengkap dengan senyuman ramah dan lambaian tangannya. Mata Alena terpaku pada wajah itu. Mengapa bisa dia ada di sini? Apa itu berarti lelaki ini menyaksikan semuanya?

Alena malu.

*****

Bibirnya sibuk menyeruput minuman dingin yang digenggam dengan dua tangan. Setelah puas, ia simpan Cup Plastic di atas meja menyisakan senyuman gembira di wajahnya.

"Makasih, Om Jun. Udah jarang aku main ke Starbucks kayak gini," celotehnya sambil terkekeh.

Juniar yang duduk di hadapannya hanya membalas dengan senyuman. "Padahal kalau kamu mau main tinggal panggil aja nama Om tiga kali. Om pasti dateng, kok."

Gadis itu malah menelengkan kepala menganalisis wajah di hadapannya. "Iya, udah mirip kok, Om," balas Alena.

"Mirip?" Juniar mengernyit. "Mirip apaan?"

"Mirip Setan." Alena langsung terbahak pada candaan garingnya.

Juniar menatap kosong gadis itu. "Tuh, kan, kamu mah! Om baikin malah ngeledek. Om pergi, nih." Juniar langsung mengangkat pantatnya dari kursi.

Niatnya mau pura-pura ngambek, biar nanti ditahan jangan pergi gitu. Tapi ini bakal ditahan nggak, ya? Kalau nggak, nanti Juniar malu sendiri. Ia sangat khawatir.

"Eh? Jangan pergi, dong. Gitu aja ngambek." Tangan Alena terjulur menarik lengan Juniar agar duduk kembali.

Juniar segera menyeruput minuman di atas meja untuk menyembunyikan senyuman leganya karena ia tidak jadi menanggung malu. Dasar childish.

"Om mau ngomong apaan?" tanya Alena.

Setelah menaruh kembali minumannya, lipatan tangan langsung disimpan di atas meja dan raut wajahnya berubah serius. "Gini, Na. Maaf kalau Om memang nggak sopan mencampuri urusan pribadi kamu. Tapi, kalau Om lihat dari situasi kamu sekarang, kayaknya Om bisa bantu kamu, deh."

Alena terhenyak. Dugaannya benar, Juniar pasti telah menyaksikan semuanya. Ia ingin marah karena lelaki ini tak sepatutnya melihat itu. Ia malu dengan keadaannya sekarang yang sampai harus jadi langganan ruang TU dibandingkan dengan kehidupan Juniar yang baik-baik saja bahkan bisa disebut mapan. Alena ingin menyembunyikan semua hal menyangkut keuangan keluarganya dari semua orang. Sayang, Allah tak mengizinkan itu dan malah memberikan kesempatan bagi Juniar untuk melihatnya.

"Maksud Om Jun, gimana? Kalau Om tadi lihat aku yang lagi dimarahin sama TU. Ya, aku memang lagi butuh banget uang biar aku bisa ikut ujian nanti," jawabnya.

Hati Juniar terasa lega dan sakit di saat bersamaan. Leganya, ia telah mendapatkan sosok yang tepat untuk artisnya karena dalam keadaan seperti ini, tak mungkin Alena menolak tawarannya. Tapi ia juga sakit karena sanak saudara alias keponakannya dari cucunya adiknya nenek sedang dilanda kesulitan tapi ia pun tak bisa membantu banyak karena keluarga Alena cukup tertutup hingga keluarga besar pun tak tahu sebenarnya masalah apa yang sedang melanda keluarga Alena.

"Kamu udah punya kerjaan?" tanyanya berharap Alena jangan sampai punya.

Alena menggeleng lesu. "Aku juga nggak punya kemampuan apapun. Kalau kerja di pom bensin atau kerja part-time di cafe, kayaknya dalam waktu dua minggu pas liburan sekolah cuma cukup buat bayar SPP sebulan. Alena juga bingung harus gimana," keluhnya.

Juniar mengembang senyum dan menjentikkan jarinya. "Om punya solusi buat kamu dan Om harap kamu juga bakal bantuin Om."

Alena langsung memasang wajah antusias. "Om punya kerjaan buat Nana? Apaan, tuh?" penasarannya.

Ditawari kerjaan sama seorang manajer artis. Siapa, sih yang nggak tertarik? Artis aja yang cuma nongol beberapa menit di layar bayarannya bisa selangit.

Pertarungan antara hati dan otak Alena pun terjadi. Berbagai harapan yang ketinggian pun hadir dalam benaknya walaupun langsung ditepis oleh pikiran akalnya. Nggak mungkinlah, Al. Nggak mungkin. Tapi gimana kalau bener? Ia terus berdebat sambil menunggu jawaban dari Juniar. Apa Om Jun bakal nawarin dia main film?

Pepatah mengatakan, janganlah berharap terlalu tinggi. Semakin tinggi kamu berharap, semakin sakit juga kamu jatuhnya. Dan, tepat seperti itulah yang dirasakan oleh Alena saat mendengar jawaban dari Juniar yang tak pernah terbesit dalam pikirannya.

"Jadi asisten pribadi artis, gimana?" tanyanya kelewat bahagia. Juniar menampakkan binar mata pengharapan seperti kucing yang lagi minta makanan. Lucu. Tapi ngeselin.

"Apa?!" pekik Alena tak percaya. Langsung ia buang wajahnya sembari bersedekap. "Nggak mau, ah. Itu sama aja jadi pembantu! Nana nggak mau," tolaknya mentah-mentah.

Tuh, kan, apa Juniar kata. Minta cewek cantik mah susah.

"Eh? Bentar dulu, Na! Percaya, deh, sama Om. Kerjaannya gampang, kok. Cuma nyiapin kostum sama palingan yaaa nurutin apa kata artisnya aja dan terutama jangan sampe mood artis itu turun. Udah, gitu doang, kok," bujuknya.

Alena menggeleng tegas. "Mending kerja di SPBU, deh, kalo gini caranya. Om tahu, kan, Nana tuh paling nggak bisa disuruh-suruh sama orang."

"Kamu kerja, kan, disuruh atasan juga, Na. Apa bedanya?" cibir Juniar.

Alena mati kutu. "Ya—bedalah," sanggahnya tak mau kalah. Kembali ia tatap Juniar. "Lagian artis Om juga udah tua kali. Masa iya asistennya anak SMA kayak Nana."

Barulah Juniar mengerjap. Udah tua? Siapa yang Alena maksud? Matanya melebar mengingat seseorang yang pasti ada dalam pikiran gadis itu.

"Yaelah, Na. Om udah ganti. Nggak manajerin dia lagi!" cetusnya bangga.

Kalau bukan Kiwil, terus siapa?

Mengetahui kegelisahan Alena yang terpampang jelas di wajahnya, Juniar pun mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu dan membisikkan hal yang sangat ingin diketahui Alena.

"APA?!" Alena menjerit lebih keras dari sebelumnya hingga Juniar tersentak mundur dan punggungnya menabrak sofa. Juniar langsung menempelkan telunjuk pada bibirnya menginterupsi Alena untuk diam. Tepatnya, untuk jangan malu-maluin.

Alena yang menangkap kode Juniar pun mengangguk canggung dan memberikan senyuman manis pada pengunjung lain yang menatap sinis ke arahnya karena ikut tersentak kaget mendengar jeritan heboh milik Alena.

Digigitnya bibir bawah tak tahu mau berkata apa. Ini nggak mimpi, kan? Alena masih ada di dunia nyata, kan? Juniar mengatakan hal yang sama sekali tak pernah ada dalam pikirannya.

Menjadi asisten pribadi Re Si Penyanyi yang sedang naik daun itu? Ah, siapa seorang penggemar yang nggak bakal nerima tawaran ini? Hal seperti inilah yang sering disebut dengan keajaiban oleh banyak orang. Hal kecil yang tak pernah terbayangkan akan terjadi pada kehidupan kita. Kenyataan tapi bagai sebuah mimpi.

Melihat reaksi Alena, Juniar jadi santai. "Jadi, gimana? Kamu mau, kan?" tanyanya memastikan.

Alena bukan hanya sekedar penggemar Re di saat ia terkenal seperti sekarang. Ia sudah menggemari Re saat cowok itu masih bukan siapa-siapa. Saat cowok itu masih berlari di taman bersamanya dengan bedak putih yang sangat tebal setelah ia mandi sore. Saat cowok itu, pernah menjadi teman baiknya.

Satu dekade yang lalu.

Alena mengangguk tanpa sadar. "Iya."

Kalau hubungannya sudah sama Re, otaknya jadi penuh sama bunga-bunga yang bermekaran. Nggak ada ruang lagi buat mikir. Sekarang aja bibirnya udah senyum-senyum nggak jelas kayak orang dongo. Ia hiraukan sipitan mata Juniar yang seakan mengerti reaksi Alena seperti ini. Lelaki itu tersenyum penuh makna.

Juniar telah memilih orang yang tepat.

******

Bab 2

Kebanggaan paling tinggi yang ia punyai adalah berhasil membelikan dua mobil katering untuk ibunya. Tangisan haru yang mengalir dari mata Sang Ibu selalu menenangkan hati Re kala mengingatnya dan selalu bisa menjadi motivasi dirinya untuk terus berkarya dalam dunia musik yang memang ia gemari. Catatan keinginan selanjutnya yang harus ia lakukan adalah menaik-hajikan ibunya. Semoga Allah mengizinkan keinginannya itu. Aamiin.

Sudah hampir sepuluh tahun ia berkecimpung dalam dunia permusikan. Ia bisa memainkan berbagai alat musik, piano, gitar, biola, drum, dan kawan-kawannya setelah ikut les secara rutin, ikut ekskul musik di sekolah dan juga tergabung dalam perkumpulan pemain musik di lingkungan rumahnya.

Namun, kesempatan emas baru hadir tepat tiga bulan yang lalu saat tahun baru 2017. Sebelumnya, ia hanya senang menyanyi dari cafe ke cafe demi membayar hobi. Tapi sekarang, ia serius ingin benar-benar sukses dalam dunia ini. Menjadi musisi terkenal.

Juniar yang akrab disapa Mas Jun oleh Re, adalah teman, kakak, ayah, sekaligus manajer Re yang sangat perhatian. Bahkan, permintaan Re yang memang ia sadari sendiri termasuk permintaan tak masuk akal, Mas Jun bisa mengabulkannya. Seperti saat ini, ia benar-benar berhasil membawa gadis cantik yang kelihatan pintar di hadapannya.

"Re, gimana? Kerja gue bagus banget, kan?" sombongnya. Tangan Juniar yang merangkul Alena bisa merasakan getaran hebat dari pundak gadis itu. Ia pun menatapnya dan memberikan senyuman agar Alena bisa tenang dari kegugupannya.

Gadis itu berpakaian simpel. Hanya kaos belang lengan panjang disertai overall warna hitam. Rambut coklat gelapnya yang lurus ia biarkan terurai menghiasi punggungnya.

Re yang duduk bersila di atas sofa mengangguk-anggukan kepalanya.

"Ya, boljug," jawabnya sembari mempelajari gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Cewek tulen seumuran dengannya adalah syarat utama agar bisa menjadi asisten pribadi Re. Re nggak mau punya asisten pribadi cowok. Nggak enak dilihat. Apalagi yang anunya nggak jelas. Dibilang cewek nggak bisa. Dibilang cowok bukan. Maunya kemana sih, tuh, anu? Re nggak suka yang nggak jelas kayak gitu.

Juniar mengembalikan pandangan pada Alena. "Na, kamu udah bisa kerja mulai hari ini. Seminggu lagi, kan, ujian, kamu belajar aja di sini. Laporin sama Om, kalau Re sampe ngelarang kamu buat belajar."

Ia lirik sekilas artisnya sebelum kembali menatap Alena. "Kalau bisa, sih, ajarin dia juga sekalian biar nggak jadi artis yang dicap bego," ucapnya sengaja dikeraskan biar Re dengar.

"Mas! Ngajak ribut, lo!" timpal Re mengerutkan keningnya. "Cuma gegara nilai ulangan Kimia gue kemarin dapet telinga monyet bukan berarti gue bego, kali," sambungnya.

Juniar mengangguk maklum. "Iya-iya. Orang pemes mah bebas," sindirnya yang dibalas putaran bola mata Re.

Ia tepuk pundak Alena. "Om duluan, ya. Tiati." Gadis itu mengangguk. Sembari berjalan meninggalkan Re, ia berseru, "Baek-baek lo sama keponakan manis gue! Awas sampe lecet." Tangannya terlambai pada dua makhluk di dalam kamar apartemen saat ia berada di mulut pintu.

"Heeh!" sahut Re sembari melambaikan tangan kanannya.

Pintu pun tertutup.

Deg-deg-deg. Detakan jantung Alena sudah tak bisa dikontrol lagi. Saking kencangnya, Alena jadi takut kalau Re sampai mendengar suara degup jantungnya.

Alena pengen teriak sekencang-kencangnya sekarang. Artis yang ia elu-elukan namanya sudah duduk manis di hadapan. Nggak ada yang ganggu, lagi. Biasanya banyak bodyguard yang dengan menyebalkannya menghalangi para penggemar buat bisa melihat lebih dekat dengan sang artis. Tapi kini, nggak ada pembatas apapun dan cuma ada dia dan Re saja dalam satu ruangan ini.

Nggak ada yang bisa nandingin rasa bahagianya Alena saat ini. Bisa nggak, sih, Alena pingsan dulu biar dramatis. Karena jujur, kaki Alena sudah lemas sejak awal memasuki kamar yang menjadi tempat tinggal Re.

Sosok penyanyi top yang selalu terlihat keren di layar kaca ternyata begini dia terlihat di belakang layar. Rambutnya acak-acakkan, cuma pakai kaos tumblr sama celana santai selutut. Alena kira, cowok ini bakal selalu dandan walaupun tidak tertangkap kamera.

"Lo ... bukan fans gue, kan?" Re mengawali percakapan.

Alena membasahi tenggorokannya. Re ngajak ngomong gue! Re ngajak ngomong gue! batinnya malah kegirangan duluan.

Ia hela napasnya panjang. "Bukan, kok," bohongnya.

Ia sudah diperingati oleh Om Jun agar mengaku saja sebagai bukan penggemarnya Re. Karena Re tidak mau yang jadi asisten pribadinya adalah penggemarnya sendiri. Bisa-bisa malah anteng ngeliatin Re alih-alih bekerja.

"Lo udah baca kontraknya, kan?" ingat Re tak melepas pandangan dari mata gadis itu yang unik menurutnya. Berbinar kelabu.

Alena mengangguk. "Ya. Apapun yang terjadi selama bekerja dan setelah habis masa kontraknya, asisten pribadi dilarang keras untuk membongkar keburukan artis pada siapapun dan pada media manapun. Jika melanggar, asisten pribadi harus membayar denda senilai yang telah ditetapkan," tuturnya dalam satu helaan napas membuat Re tercengang.

"Oh? Oh iya, kayak gitu isinya," balasnya oon, masih tercengang.

Re pun mengerjap dan mengambil remote TV yang ada di samping kakinya yang bersila. Ia julurkan remote itu tapi ia takkan bisa menonton bila seperti ini.

"Minggir, dong," titah pertamanya, lembut.

Alena masih belum paham apa maksudnya. "Hah?" sahut sekenanya.

Baru pertama kerja udah bikin Re naik darah. "Ming-gir," ulangnya penuh tekanan. Alena telah melakukan kesalahan yang besar karena tidak mengerti apa yang baru saja Re ucapkan.

Matanya terarah pada tangan Re yang terjulur membawa remote. Oh, barulah ia mengerti apa yang sebenarnya Re inginkan. Ternyata dia mau nonton TV tapi posisi Alena tepat menutupi seluruh badan kotak ajaib itu. Kakinya pun ia langkahkan menjauh ke sisi kanan TV. Ia mematung di sana.

TV segera dinyalakan dan jarinya sibuk menekan satu tombol pada remote untuk menggonta-ganti channel. Saat Re melakukan itu, ia sangat merasa risih.

"Ngapain lo di situ?" ketusnya tanpa mengalihkan pandangan dari TV.

Alena menggaruk lehernya canggung. "Aku ... nggak tahu harus ngapain," gumamnya takut salah.

Re menghela napas berat. "Ya ngapain aja, kek. Asal jangan diem di situ. Ganggu mata gue, tahu nggak," balasnya malas.

Alena mengerjap. Apa ia tak salah mendengar? Apa penyanyi yang ia gemari ini memang selalu mengeluarkan nada ketus saat bicara? Sosok hangat dan ramah dari Re yang selalu terlihat di layar kaca berbanding terbalik dengan apa yang ia lihat saat ini. Mengapa Re seperti ini? Jauh dari apa yang ia bayangkan.

Deheman kasar dari Re membuat Alena membuyarkan pikirannya. Kali ini, malah tatapan tajam yang ia dapatkan dari mata lembut idolanya itu.

"Gue bilang jangan diem di situ! Lo punya telinga nggak, sih?!" sentaknya karena gadis itu masih saja mematung di sana bukannya menyingkir seperti apa yang ia inginkan.

Alena tertegun tak percaya. Apa-apaan, nih?! Baru saja dia disentak oleh idolanya secara live? Uh, Alena paling nggak bisa diginiin. Baru jadi artis seumuran jagung aja belagu. Alena tak jadi mau menjaga image agar terlihat lembut dan feminim di depan idola kalau caranya kayak gini.

Dia baik, gue baik. Dia jahat. Gue lebih jahat. Itulah prinsip hidup Alena yang diajarkan oleh ayahnya.

"Heh, artis belagu!" sentaknya balik sukses membuat Re melotot menatapnya. "Lo songong banget, ya, jadi orang. Perlu gue ajarin sopan santun biar lo ngerti?" kesalnya.

Re terkekeh hambar. "Siapa elo nyentak-nyentak gue! Lo tuh asisten pribadi gue, nurut aja sama bos-nya napasih?! Gue nyuruh lo jangan berdiri di situ dan gue marah karena lo nggak ngelakuin apa yang gue suruh. Apa gue salah?" tekan Re semakin mendidihkan darah Alena.

"Cara lo yang salah! Elo nggak bisa sortir pemilihan kata lo apa? Gue di sini itu manusia, ya pasti punya telinga lah. Dan tiap manusia juga punya perasaan. Lo nggak bisa ngehargain itu," tukasnya tak kalah emosi.

"Gue cuma nanya, apa lo punya telinga? Gue cuma ngeyakinin diri siapa tahu gue salah lihat yang ada di kepala lo itu bukan telinga tapi tempelan stiker doang.

"Gue yang bego kalau ngomong sama orang yang nggak punya telinga, tapi untungnya lo bisa jawab pertanyaan gue. Berarti elo yang bego."

Alena mengipasi dirinya dengan telapak tangan merasa gerah berdebat dengan anak jagung yang selalu bisa menimpali perkataannya. Kemana Re yang dulu? Kemana sosok ramah yang selalu ia dambakan suaranya? Kemana orang itu? Apa ia telah salah mengidolakan seseorang?

Tapi dalam lubuk hati, Alena yakin ia tidak salah orang. Cowok di hadapannya ini memang benar teman lelaki semasa kecilnya. Memang benar pemilik suara merdu yang selalu ia dengarkan lagunya tiap malam. Memang benar teman lelakinya yang menyebalkan tapi tidak semenyebalkan sekarang.

Alena jadi paham maksud pembuatan kontrak kerja itu. Ternyata ini alasannya.

"Muka dua banget lo, ya. Di depan aja manis tapi di belakang busuk," cibirnya menusuk.

Re menaikkan satu alisnya. "Di depan? Di TV maksud lo?" geramnya. Tangan Re terkepal kuat menunjukkan rasa kesalnya.

Mas Jun mungut ini anak di mana, sih? Belom ada setengah jam di sini, dia udah menghina, nyentak, marah nggak jelas, dan sok menggurui.

"Sumpah! Lo Aspri paling nyebelin tahu nggak. Nggak usah dateng ke sini lagi, lo! Lo, gue pecat!" tukasnya.

Alena memutar bola mata. "Dikit-dikit pecat. Dikit-dikit pecat. Kalau lo kayak gini terus, mau sampe ratusan cewek yang jadi asisten pribadi lo juga nggak bakal ada yang betah, otak ayam."

Re mengerang kesal dan ia lemparkan ke lantai sekeras mungkin remote TV hingga benda itu pecah belah dan baterainya pun loncat ke segala arah.

Tangan Alena terpukul salah satu baterai, ia usap perlahan tangannya yang memerah. Ia jadi takut juga lama-lama bareng Re yang udah persis banget kayak anak dajjal.

"Dasar cewek nggak waras. Otak lo, tuh, otak udang! Lo nggak punya malu apa? Lo udah gue pecat. Sana pergi!" Ia kibaskan tangannya berulang kali bagaikan Alena adalah lalat yang harus dibasmi.

Alena bersedekap dan membuang wajahnya. "Gue nggak mau pergi dari sini dan lo nggak bakal bisa mecat gue."

Re menggeram. Bisa nggak, sih, Re terjunin aja ni anak dari balkon?

"Walaupun lo benci sama gue begitupun gue sebaliknya ke elo sekarang, gue bakal tetep stay di sini," ujarnya serius.

"Beneran nggak waras ini cewek," gumam Re yang masih terdengar jelas di telinga Alena.

"Demi Om Jun." Tiga kata itu berhasil menarik lagi kepala Re untuk menatap Alena yang balik juga membalas tatapannya.

"Lo nggak tahu, sih, dia udah kewalahan buat nyari asisten pribadi buat elo. Dan dia yang ngebujuk gue biar bisa kerja untuk lo. Gue nggak mau ngecewain dia dan gue harap lo ngelakuin hal yang sama. Demi Om Jun, bukan Demi Elo."

Re tergugu. Mulutnya terbuka untuk bicara, tapi tak ada satu pun kata yang dapat keluar. Ia langsung beranjak dari sofa menuju kamarnya yang berada tak jauh dari ruang TV. Tubuhnya sudah melintasi pintu dengan tangan masih menggenggam gagangnya.

Tanpa berbalik ia berkata, "Kamar lo di situ." Mengarah pada pintu yang ada di samping kamar tidur Re.

"Tidur sana udah malem." Pintu pun tertutup meninggalkan senyuman kecil di bibir Alena.

******

Kamar tidur yang ia tempati ini sangat nyaman. Ranjang tidur berukuran besar walaupun bukan king size ini terasa terlalu besar baginya yang bersembunyi dibalik selimut sendirian. Lemari pakaian yang tepat berada di hadapan sungguh terkesan mewah, sangat berbeda dengan miliknya yang hanya terbuat dari bahan plastik. Saat menoleh ke samping kiri, sudah ada lampu meja memberikan penerangan minim di ruangan ini. Lampu utama sudah dimatikan, remang-remang suasana pun menyelimuti kamar Alena.

Ia sandarkan tubuh pada sisi ranjang dengan selimut yang menutupi perut. Ia tidak bisa tidur sesuai perintah atasan. Padahal, dua jarum sudah menyatu ke angka dua belas. Tapi itu tak berhasil membuatnya mengantuk.

Pikirannya masih sangat aktif dan belum merasa kelelahan. Ia edarkan pandangan sekali lagi pada penjuru kamar. Tatapan kagum itu lagi-lagi menyergapi wajahnya.

Kamar asisten pribadi saja sudah mewah seperti ini. Apalagi kamar artisnya? Ia kira, karena sifat Re yang pemarah dan terkesan memandang rendah bawahannya, ia akan ditendang biar tidur di luar apartemen lalu disuruh bangun tenda sendiri.

Tapi ternyata, Re masih punya hati dan membiarkan Alena tidur di kamar lain apartemen ini.

Dihempaskan napasnya panjang. Alena setuju untuk melakukan pekerjaan yang sebelumnya ditolak mentah-mentah olehnya ini, karena Re. Karena ia rindu teman semasa kecilnya.

Cinta pertamanya.

Alena baru sadar itu kala ia menginjak usia 15 tahun. Ia selalu merindukan Re semenjak kepindahannya ke Jakarta sepuluh tahun yang lalu. Kerinduan itu terus hadir dalam benaknya hingga mampu membuat air matanya mengalir.

Apakah wajar itu disebut rindu semata? Ia pun menyadari bahwa sebenarnya kerinduan itu telah tumbuh subur di hatinya menjadi pohon cinta yang berbuah namanya.

Alena tak bisa berpaling ke lain hati selama ia meninggalkan Re. Ia selalu merasa bahwa Re sedang menunggunya sama seperti Alena yang juga menunggu kapan waktu yang tepat bagi mereka untuk bertemu.

Ia pikir, Re akan langsung mengenali wajahnya dalam sekali lihat. Karena wajah cowok itu pun tidak banyak berubah. Tetap imut dan semakin tampan karena garis wajahnya semakin terlihat tegas.

Apa mungkin karena Alena berhasil melewati masa pubertasnya jadi Re benar-benar pangling? Ya, lagipula Alena juga merasa dirinya banyak berubah. Kulitnya menjadi lebih putih dan kelopak matanya semakin melebar. Giginya juga semakin rapi karena ia sempatkan untuk menggunakan behel selama setahun. Tapi, apa benar-benar Alena terlihat seperti orang yang berbeda? Atau Re memang tidak pernah mengenali wajahnya sedari dulu?

Kini, Alena hanya bisa memaklumi keadaan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ia harus benar-benar menerima bahwa Re sudah lupa dengan dirinya. Walaupun besar keinginan, ia ingin membuat cowok itu mengingat lagi kenangan mereka. Tapi ia pikir itu akan sulit melihat sikap cowok ini yang makin menyebalkan.

Makin beranjak usia, bukannya makin saleh malah makin parah saja sifat buruknya.

Alena akan mengubah rencana. Lebih baik, Alena perbaiki sikap cowok itu dulu daripada Re malah menjauh jika ia mengungkit masa lalu mereka.

Udara dingin menyelinap masuk lewat celah pintu. Alena merekatkan kembali selimutnya. Apa Re sudah tidur? Ia sangat penasaran. Lampu utama semua ruangan sudah mati, termasuk yang ada dalam kamar Re. Apa itu berarti Re sudah benar-benar tertidur?

Pertanyaan yang menghujam benak Alena, berhasil mendapatkan jawaban. Apa Re sudah tidur? Jawabannya adalah belum. Karena telinga Alena berhasil menangkap suara indah yang mengalun lembut dari balik kamar ini.

Suara itu bersenandung membuat intro untuk ia bernyanyi dan setelah mencapai nada yang sesuai, lantunan lembut pun terdengar.

Tidurlah ... Selamat Malam.

Jangan kau lupakan aku.

Kening Alena mengerut samar. Re mengubah liriknya.

Namun, suara yang sangat lembut itu terlanjur menghangatkan hati Alena yang membuatnya enggan untuk berpikir. Ia terlalu larut dalam suara itu.

Pantas saja Re bisa terkenal, karena setiap ia bernyanyi bukan hanya mulut yang bicara tapi hatinya ikut menyampaikan rasa. Siapapun yang mendengar, dapat hanyut dalam perasaannya.

Alena memejamkan mata membiarkan suara ini terekam dalam memori yang akan ia putar setiap malam. Ia tidak perlu membayar untuk menikmati suara idolanya ini. Sungguh, Alena merasa sangat beruntung.

Mimpilah dalam tidurmu.

Bersama bintang.

Hanya penggalan lagu yang terdengar namun mampu membuat Alena merasakan kantuk. Ia benarkan posisinya untuk terlelap dan merapatkan selimut hingga menutupi lehernya.

"Selamat tidur, Arsy Renggana," bisiknya menurunkan kelopak mata untuk merapat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!