Lorelei Chronicles
“Ibu. Jangan khawatir, Ibu akan baik-baik saja. Aku janji, aku akan mengembalikan ingatan Ibu seperti dulu lagi.”
Itulah kalimat yang terlontar dari mulut laki-laki berkulit sawo matang pada seorang perempuan berambut putih dan berkulit keriput penuh garis. Laki-laki itu menggenggam tangannya, dingin, itulah sensasi pertama yang ia rasakan ketika menyentuhnya.
Sang Ibu hanya terdiam tanpa kata-kata dan gerakan sebagai respon. Matanya hanya berkedip beberapa menit sekali, terbuka lebar. Bibirnya juga kering seperti padang pasir berfatamorgana, kelembapan hampir nihil. Menyisakan napasnya yang masih berembus dari hidung dan mulut.
Berpasrah diri terbaring tak berdaya di atas bambu hijau kecokelatan muda. Kedua kakinya juga lemas, seperti tidak memiliki tenaga tersendiri. Sedangkan kondisi tubuhnya saat itu seperti kehilangan kendali pada tubuhnya, tidak dapat mengerahkan tenaga untuk bergerak dan bahkan berbicara sekalipun.
Ibunya telah mengalami sebuah penyakit langka yang menyebabkan dirinya lumpuh mulai dari otak hingga seluruh tubuh. Ingin sekali dia berbicara atau merespon menggunakan gestur tubuh, tetapi tidak bisa. Bukan hanya itu, tetapi juga seluruh ingatan telah sirna semua. Dia tidak dapat mengingat sang laki-laki yang telah merawatnya, bahkan namanya sekalipun.
Laki-laki berkulit sawo matang itu menggenggam tangan kanan ibunya secara erat. “Ibu, sakit, ya? Maafkan aku, Bu. Aku … belum mampu melakukan apapun dalam kondisi seperti ini.”
Melihat kondisi ibunya yang seperti patung bernapas sudah menyayat hati sang laki-laki berkulit sawo matang itu. Semakin dalam sayatan di dalam hatinya, tidak mampu pula dia menguasai dirinya agar tidak mengeluarkan air mata dan mulai terengah-engah dalam menarik napas.
Sayatan di dalam hatinya juga membuat pikiran dan tubuhnya bergetar. Gigi pun ikut bergemertak menahan tangis. Baginya, itu sudah lebih dari cukup mengingat akan kondisi ibunya.
Sebuah suara ketukan pintu sebanyak tiga kali seperti memukul pendengarannya. Kesedihan laki-laki bekulit sawo matang itu terhenti sejenak ketika dia alihkan pandangan pada pintu cokelat lapuk penuh garis irisan.
Sans mulai bangkit bangkit dari hadapan ibunya dan berbalik menghadap pintu. Melewati satu-satunya ruangan rumahnya yang penuh dengan kayu lapuk dan terkelupas, dirinya seperti malas untuk melangkah hanya untuk membuka pintu dan menerima seorang tamu.
Ia pun memutar knop pintu, kini tepat di hadapannya seorang perempuan berambut biru pendek dan bertubuh kurus sedikit berisi berdiri melihatnya dengan mata yang tenang. Ia mengenali perempuan itu sebagai tetangganya.
“Sans,” sapanya dengan nada yang cukup meyakinkan.
“Mery,” sahut Sans, “ada kabar baik kah?”
Sans memintanya untuk mencari informasi tentang penyakit yang di derita oleh ibunya tidak lama ini. Setelah berminggu-minggu menunggu kejelasan informasi yang benar dan terpercaya, ia mulai mengungkapkan kabar baik.
“Apa kamu yakin siap mendengarnya?” tanyanya dengan nada yang rendah.
“Tidak masalah,” Sans penuh tekad dalam menjawab, “mau apapun yang terjadi, bagaimanapun caranya, ibuku harus sembuh. Ibuku harus ingat. Ibuku harus seperti dulu lagi, ceria, penuh kasih sayang, dan berhasrat untuk melakukan pekerjaannya.”
Mery pun menarik napasnya. “Aku hanya mendapat informasi ini. Kamu dapat pergi ke sebuah akademi. Di sana, kamu akan mempelajari segalanya, termasuk untuk menyembuhkan ibumu”
“Akademi? Baiklah, aku akan ke sana—”
“Tetapi,” tepat sebelum itu, perkataan Sans terpotong dengan cepat, “akademi ini sangat jauh, bahkan harus melintasi lautan untuk mencapainya. Akademi itu berada di pulau yang berbeda. Tepatnya terletak di Benua Aiswalt.”
Mendengar lokasi akademi tersebut sudah membuat semangat Sans cukup jeblok. Terlebih, kondisi dirinya, apalagi jika melihat di sekitar desa, tidak memadai untuk hidup cukup layak sekalipun, apalagi untuk pergi ke dunia luar.
“Kamu sendiri tahu, biaya untuk memasuki akademi itu, mengingat lokasinya di Aiswalt, benar-benar … mahal, bagi penghuni Baik untuk pergi melintasi lautan atau biaya lainnya juga … tidak murah,” ucapnya dengan yang meninggi pada akhir kata, “kita, penghuni Desa Highwind, tidak akan sanggup membayar biaya untuk kedua hal itu.”
Sans menyetujui dalam hati. Apa yang dikatakannya memang benar. Kondisi ekonomi di kampung halamannya tidak akan sanggup membuat kondisi desa lebih baik daripada keadaan yang sudah kumuh, kotor, dan penuh goresan pada setiap bangunannya. Bahkan untuk memasuki sebuah akademi di Aiswalt dan pergi melintasi lautan dari pulau ke pulau setiap penghuni desa Highwind tidak akan mampu untuk membayarnya.
Keraguan tertanam di dalam benak Sans. Dia berbalik sejenak menatap ibunya yang tidak berdaya terbaring di tempat tidur bambu. Sebuah keputusan harus dibuat, dia harus melakukan sesuatu untuk menyembuhkan ibunya.
Jika dia hanya tinggal di desanya tanpa melakukan apa-apa dan hanya menunggu informasi, kondisi ibunya tidak akan membaik. Jika ia ingin pergi ke sana untuk memasuki akademi, Sans memerlukan uang yang banyak. Terlebih, memasuki akademi adalah satu-satunya cara untuk dapat menyembuhkan ibunya.
Sans menepuk kepalanya ketika dia kesulitan untuk memilih keputusan. Begitu pusing dirinya dengan biaya yang tidak sedikit, melainkan cukup banyak bagi penghuni desa Highwind sekalipun, dia menggelengkan kepala.
“Sans.” Mery menatapnya dalam diam selagi Sans masih merenungi kabar yang baru saja ia dapatkan, “Maafkan aku, hanya itu informasi yang kudapat. Aku bahkan sempat mencari informasi untuk menyembuhkan penyakit ibumu, tapi—”
“Ini bukan salahmu.” Sans berbalik menatap perempuan itu, “Memang tidak ada cara lain. Informasi tentang penyakit itu … akan ada jika aku mempelajarinya di akademi itu. Aku … aku … tidak akan diam di sini saja, terus bersedih dan menatap ibuku yang tidak berdaya dengan penuh harap. Aku … akan belajar di akademi itu, aku akan menyembuhkan ibuku!”
“Ta-tapi kan … seperti yang kubilang sebelumnya, bagaimana dengan uangnya? Uang untuk pergi ke sana! Apalagi untuk menjadi murid di akademi—”
“Uangnya … aku akan melakukan sesuatu! Aku akan melakukan sesuatu untuk mendapatkannya!” jerit Sans dengan kencang sampai menginjakkan kaki pada lantai lapuk, membuatnya berlubang.
Mery bahkan di buat ternganga karena jeritan Sans dipenuhi tekad yang kuat. Semangat membara juga membakar wajahnya, meski harus penuh dengan air mata.
“Sans,” ucap perempuan berambut biru itu terdiam.
“Aku akan melakukan sesuatu … untuk mendapat uangnya, begitu aku tiba di dermaga, akan kulakukan apapun, semua pekerjaan akan kulakukan, demi mendapat uang yang cukup.”
“Baiklah.”
“Besok, aku akan berangkat. Tapi … sebelumnya, bagaimana dengan ibuku? Bagaimana kalau kondisinya semakin memburuk, lalu … tidak, saat aku berada di Aiswalt. Aku tidak akan tahu kondisi ibuku sebelum kembali ke sini setelah dari akademi.”
“Besok, fajar, sebelum kamu berangkat ke Aiswalt, aku akan menunjukkanmu suatu tempat. Tempat yang cukup untuk ibumu beristirahat dan menunggumu pulang. Jangan khawatir.”
“Fajar? Baiklah”
“Um … kurasa aku harus pergi sekarang. Nanti akan kujemput saat fajar.” Perempuan berambut biru itu pamit.
Sans akhirnya menghela napas, lega telah mendengar sebuah cara untuk menyembuhkan ibunya, meski dia ragu entah dia mampu mendapat uang yang jumlahnya cukup banyak untuk pergi ke Aiswalt dan menjadi murid di akademi.
Setelah menutup pintu dengan rapat, Sans berbalik menemui ibunya. Digenggamnya tangan dinginnya, dia menghela napas sebelum mengutarakan semuanya.
“Bu, aku akan menyembuhkan penyakit Ibu, Meskipun tempatnya berada di luar Desa Highwind, bahkan jika aku harus ke luar benua Grindeir. Apapun yang terjadi aku harus pergi ke sana.”
Untuk beberapa saat itu dalam hatinya yang dipenuhi oleh perasaan gelisah dan penuh kekhawatiran akan kondisi sang ibu, Sans tanpa sadar menitikan air mata, setelah itu mengusapnya dengan cepat.
“Besok, aku akan berangkat ke sana, aku akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan uangnya. Jangan khawatir, Bu, aku akan baik-baik saja.”
Kini ia pun membungkus tangan ibunya dengan kedua telapak tangannya sendiri. Sensasi dingin dari permukaan kulit ibunya yang keriput dan pucat sama sekali tidak membuatnya menyerah begitu saja.
“Aku janji, suatu saat nanti aku akan menyembuhkanmu, Bu.”
***
“Sans?”
Suara Mery beserta ketukan pintu yang begitu keras menjadi hal pertama memukul pendengarannya. Dia telah terbangun dari lelapnya mimpi menuju dunia nyata karena kedua hal yang membangunkannya itu.
Sans telah tidur di lantai dekat tempat tidur bambu ibunya untuk mengawasi dan memastikan tidak ada yang terjadi. Dia secara perlahan mendorong tubuhnya menuju posisi duduk untuk mengumpulkan tenaga sebelum berdiri.
Sans secara perlahan mendekati pintu dan membukanya. Tepat di hadapannya Mery berdiri dengan wajah yang menandakan sesuatu yang baik akan terjadi.
“Oke, kamu siap?”
“Iya. Sebentar.”
Sans berbalik sejenak mendekati ibunya yang masih terlelap dalam mimpi panjangnya, lemas dan tidak berdaya. Dia menyentuh kedua pundak ibunya untuk mengubah posisi berbaring menjadi posisi duduk.
“Hati-hati, Sans,” bujuk Mery.
Kini Sans dengan hati-hati mulai menggendong ibunya.
“Apa kamu butuh bantuan yang lain?” tanyanya.
“Tidak usah, aku bisa. Ayo.”
Sans mulai melangkah perlahan membawa ibunya keluar melalui pintu rumahnya. Udara fajar pun mulai berembus melewati tubuhnya ketika langit biru kehitaman di atas dan oranye kehitaman di bagian bawah sudah terlihat pada pandangan, fajar. Langit hitam silih berganti memancarkan warnanya.
Melewati setiap bangunan di desa yang lapuk dan kumuh dengan tanah yang sedikit berlumpur, tidak ada kegiatan apa-apa di luar selama fajar. Belum ada aktivitas apapun, bahkan memulai menjajakan hasil bumi segar dari kebun atau hutan sebagai praktik jual beli. Tidak ada satu pun penghuni yang berjalan di sekitar desa selain Sans dan perempuan berambut biru.
Mery pun mendahului langkah Sans untuk menunjukkan jalan menuju tempat yang dijanjikan. Begitu mereka sampai di perbatasan desa menuju hutan, dia berbelok mengitari pepohonan lebat mengikuti aliran sungai di sekitarnya.
***
“Ini tempatnya?” tunjuk Sans.
Mery mengangguk menunjuk mulut sebuah gua, yakni pintu masuk. Gua itu terletak di dalam sebuah bukit bebatuan mengikuti aliran sungai di sekitar lebatnya pepohonan.
Mereka melangkah melewati bebatuan mengikuti aliran sungai menuju mulut gua tersebut. Akan tetapi, Sans terhenti sejenak akibat berat ibunya yang telah membebani punggungnya.
“Sans,” panggil Mery yang ikut terhenti.
Sans menarik napas berkali-kali sambil memandang langit telah berubah menjadi biru bercampur oranye, berarti fajar telah berakhir menuju pagi. Matahari telah terangkat dari bawah langit secara perlahan.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya lagi.
“Aku baik-baik saja. Ayo.”
Mereka berdua kembali melangkah, kali ini memasuki gua tersebut. Meninggalkan terangnya pagi hari menuju gelapnya di dalam gua tersebut. Cahaya berwarna biru bening pun terpancar dari aliran sungai ketika memasuki gua.
Rintikan air dari langit-langit gua pun berjatuhan menimbulkan bunyi seperti gesekan pada tanah. Begitu keras semakin Sans dan perempuan berambut biru menuju dalam gua dengan melangkah banyak secara berliku-liku dan semakin menuju bawah tanah.
“Hebat. Bahkan airnya membuat guanya terang,” celetuk Sans kagum.
“Itulah kehebatan air kehidupan di gua ini. Benar-benar penuh keajaiban. Itu yang kebanyakan orang bilang tentang air kehidupan. Juga, air kehidupan dapat menjadi tempat istirahat orang yang sedang sakit parah tanpa perlu khawatir akan kondisi memburuk, ibumu akan baik-baik saja di sini”
“Hebat”
“Nah, kita sudah sampai di pusatnya.” Mery pun menghentikan langkahnya.
Sebuah genangan air kehidupan berbentuk lingkaran berdiameter besar layaknya kolam telah di depan mata. Cahaya biru bening dari air kehidupan juga terpancar menuju dinding gua penuh bebatuan putih bercampur abu-abu. Air terjun pun mengalir deras menuju genangan air kehidupan itu.
Sans secara perlahan berjongkok dan membaringkan kembali ibunya di lantai bebatuan. Ditatapnya sang ibu yang telah membuka mata lebar tanpa berkata-kata, hanya embusan napas terasa dari hidung dan mulut.
“Bu, ini akan jadi tempat sementara untuk beristirahat. Selagi aku ke akademi di Aiswalt, Ibu bisa tenang beristirahat di sini.”
Sekali lagi Sans membungkus tangan kanan ibunya menggunakan dua kepalan tangannya. Diarahkannya tangan ibunya pada wajah, dia mencium bagian pergelangan tangan ibunya dengan erat.
“Katakan, apa yang harus kulakukan?”
Mery pun menjawab, “Tenggelamkan ibumu di dalam genangan air ini.”
Mendengar kata tenggelamkan, Sans langsung melongo. Dia tentu tidak mau menggelamkan ibunya sendiri sampai mati.
“Jangan khawatir. Ibumu akan baik-baik saja. Ia akan tetap hidup di dalam air kehidupan. Kondisinya akan sama seperti sekarang.”
Sans menghela napas setelah mendengar penjelasan tambahan perempuan berambut biru. Penuh tekad tertanam di dalam otaknya, dia mengangkat ibunya menggunakan kedua tangan pada punggung.
“Bagaimana kamu bisa menemukan tempat ini?”
“Aku hanya kebetulan menemukannya saja,” sahutnya dengan wajah lega.
“Begitu saja?”
Namun Mery hanya menggeleng pelan, “Ketika aku terjatuh dari pohon saat ingin memetik beberapa buah, aku tidak tahu harus ke mana karena saat itu telah gelap. Aku pun memutuskan untuk pergi ke gua ini karena para penduduk tidak pernah melarang kita untuk memasukinya ... seterusnya, mungkin kamu tahu, ‘kan?”
Sans pun mengangguk pelan menandakan ia paham penjelasan perempuan itu.
Perlahan dia melangkah mendekati genangan air berbentuk lingkaran besar tersebut. Ditemani oleh suara rintikan air dan aliran air terjun, secara perlahan dia berlutut dan memasukkan tubuh ibunya ke dalam genangan air tersebut.
“Bu, beristirahatlah dengan tenang. Aku akan kembali setelah menemukan obat untuk penyakit Ibu. Ibu bisa tenang sekarang. Aku pergi dulu.”
Sans mendorong tubuh ibunya dan mulai menggelamkannya secara perlahan. Kepedihan juga menggetarkan tubuh dan jiwanya hingga mengeluarkan air mata, seakan tidak tega untuk menggelamkan ibunya sendiri.
“Maafkan aku, Bu …. Maafkan.”
Begitu ibunya sudah tidak terlihat di permukaan genangan air, Sans mulai meledakkan tangisannya. Inilah perpisahan dirinya dari sang ibu yang telah memberi kasih sayang selama kehidupannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
John Singgih
semuanya demi ibu, aku merantau demi mencari obat untuk kesembuhannya
2021-03-19
0
Muma
menarik Thor
aku lanjutlaaahh
2020-08-22
0
Aniest.nisya
bagus thor... imajinasiku jadi bertmbah ke fantasy... biasanya sring ke romance🤗🤗
semagatt thorrr...
2020-08-17
1