Kini Sans hanya terfokus pada barisan teks dan gambar pada setiap halaman, meski masih membaca secara cepat sebelum mulai memahami lebih mendalam. Hanya membutuhkan beberapa menit untuknya menyingkap halaman baru.
Ketika mencapai pertengahan buku, ia mulai membuka mulut secara lebar dan otomatis, membiarkan udara dingin masuk ke dalam. Ditambah lagi, rasa kantuknya meningkat seiring otot-otot tubuh mulai menegang, menandakan kelelahan.
Namun ketika ia ingin merebahkan tubuhnya, tiba-tiba saja matanya melebar—tercengang dengan halaman baru dan berusaha membuat kesadarannya terjaga.
Sayangnya hal itu tidak bertahan lama hingga akhirnya kedua mata itu menutup perlahan dengan posisi tidurnya yang menyamping di atas meja. Tepat di dalam benaknya saat ini penuh penyesalan, tapi berkat buku pemberian Nacht itu berhasil mengalihkan perhatiannya dari kegagalan pahit.
Begitu Sans tertidur pulas, langit hitam mulai membangkitkan warna jingga, terlihat dari jendela bahwa fajar telah menyingsing.
***
Sebuah kedai roti kerap menjadi tempat sarapan dan bercengkrama bagi kebanyakan masyarakat kota dan murid Akademi Lorelei. Tidak heran gedung berbentuk bujur sangkar berwarna cokelat pucat dan bertenda hijau itu pun cukup penuh oleh pengunjung, baik yang memutuskan untuk makan di tempat atau membawa pulang roti pesanan masing-masing.
Beatrice dan Neu hanya menatap antrean sudah mulai memanjang hingga keluar pintu. Begitu pula dengan meja di halaman bangunan yang penuh dengan pengunjung menikmati roti dan secangkir teh pesanan masing-masing.
Beatrice mulai berbicara pada Neu, “Sans pasti begitu terluka setelah mengalami kegagalan itu. Benar-benar terluka”
“Beruntung kita membiarkan Sans menggunakan waktunya untuk menenangkan diri. Ketika ia siap untuk bicara, kita dengarkan”
“Aku juga melihat murid bermantel putih lainnya. Begitu malang, mereka juga begitu pesimis ketika mengetahui masa depan yang akan mereka hadapi di akademi pendek”
“Kurasa mereka masih terpaku pada stereotipe, terutama murid tingkat atas. Mereka bilang umumnya murid yang gagal dalam tes konon tidak akan bertahan lama, entah dikeluarkan atau keluar atas kemauan sendiri. Tidak heran mereka menggeneralisasi—”
“Ini rotinya!” Yudai kembali menemui Beatrice dan Neu sambil membawa sekantung empat buah baguette memanjang. “Aku meminta roti yang baru saja dipanggang, masih panas dan segar”
“Ah! Roti!” Beatrice langsung merebut salah satu baguette dari kantung tersebut.
“Sans pasti sangat kelelahan, sampai tidur di meja. Pasti berat baginya untuk menghadapi kenyataan.” Neu juga mengambil salah satu baguette.
Masih hangat di genggaman tangan, Beatrice meniup baguette-nya terlebih dahulu demi menurunkan suhu pada kulit ujung roti. Ketika roti tersebut masuk ke dalam mulut dan terpotong menggunakan gigi, sensasi kelembutan bagian dalam dan kerenyahan bagian luarnya dapat terasa dengan sempurna.
“Enak!” ucap Beatrice.
Neu melanjutkan ketika antrean di depan pintu kedai roti mulai memanjang dan berbelok, “Kurasa lebih baik kita biarkan Sans sendiri untuk beberapa saat ini. Ketika ia sudah siap, kita akan membantunya.”
Yudai menundukkan kepala. “Sans, ia teman pertamaku bahkan sebelum masuk ke Akademi Lorelei. Kita sudah berjuang bersama, bersusah payah mengumpulkan uang berkat pekerjaan di quest board. Sayang sekali, ia sama sekali tidak lolos. Mungkin aku yang tidak tepat mengajarinya dalam bertarung.”
Beatrice membalas setelah menelan potongan roti menuju tenggorokan, “Ti-tidak, ini bukan salahmu, Yudai. Justru aku yang membiarkannya selama tes berlangsung. Kalau saja aku tidak terpisah dengan Sans saat dikejar beruang di hutan, kalau saja aku tidak terpisah dari kalian di kastil saat itu—”
Neu memotong, “Sudahlah, yang berlalu biarlah berlalu. Ini bukan salah kalian, aku mengerti. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa lagi tentang Sans. Pokoknya kita hadapi saja masa sekarang.”
“Ba-baik. Tentu aku tidak mau Sans keluar atau dikeluarkan dari akademi,” balas Beatrice lagi.
Neu bertanya sekali lagi, “Selama libur tiga hari, aku akan pergi ke toko mantra. Mungkin saja ada scroll yang bisa kupelajari dengan mudah. Begitu selesai, aku akan ke perpustakaan di akademi.”
Beatrice melanjutkan, “A-aku juga mau ke perpustakaan begitu Neu selesai membeli sebuah gulungan. Aku juga harus membaca banyak tentang song mage. Benar-benar berat ketika lulus dua aptitude test, jadi job-ku lebih tinggi daripada yang lain.”
Yudai menggesekkan kaki kiri pada jalan batu-bata. “Aku mungkin akan mengambil pekerjaan di quest board, setelah kembali ke asrama dan memberi roti pada Sans. Saat Sans bangun, dia bisa makan.”
Mendengar kata “Sans” terlontar, ketiga kembali menundukkan kepala, menghela napas sebagai pelampiasan penat memikirkan kegagalan temannya yang berharga.
***
Sans pun perlahan mulai tersadar, matanya mulai terbuka. Setelah itu, ia mendongak menyaksikan langit biru cerah bersamaan pantulan sinar matahari yang muncul dari jendela. Ketika bangkit, leher, badan, lengan, dan kaki terasa seperti ditarik oleh tangan kosong bertenaga. Tubuhnya cukup nyeri akibat tidur dalam posisi duduk dan kepala bersandar di atas buku di meja.
Ia pun mengosok kedua mata sejenak menggunakan punggung tangan kanan ketika rasa lelah masih belum cukup berkurang setelah tidur. Setidaknya, ia bisa terlelap setelah berlarut dalam kesedihan saat tengah malam.
Setelah itu menoleh ke arah sekantong satu buah baguette panjang di bagian kanan meja dekatnya. Di samping kiri kantong tersebut, terdapat pula secarik kertas bertuliskan tinta biru.
Sans menatap tulisan tersebut begitu teralihkan dari tempat tidur Yudai. Dia tidak melihat Yudai di sekitar kamar tersebut, maka dia membaca sebuah pesan.
Pasti semalam benar-benar berat bagimu. Jangan lupa makan. Kubelikan baguette yang diambil langsung dari pemanggangan.
Dengan refleks ia meraih baguette panjang tersebut lalu mengambilnya. Pandangannya pun terpana ketika menyaksikan kulit baguette terlihat keras berwarna cokelat merata.
Tekstur luarnya yang kering dengan aroma pagi hari membuatnya dapat tersenyum kecil, tidak setelah kelembutan bagian dalamnya menyerbak di seluruh bagian lidah. Rasa manis, hangat, dan tekstur lembutnya itu berhasil membuatnya kembali semangat.
Sambil memakan baguette tersebut, ia memutarbalikkan halaman buku. Kembali menuju halaman pertama dan membacanya dari awal, itulah yang ia putuskan untuk memperdalam pemahamannya akan alkemis.
Ketika kembali ke halaman pertama, Sans mengambil Daun Ars menggunakan tangan kiri, mengangkatnya, dan memperhatikannya. Daun tersebut sama sekali tidak berubah secara tekstur, tidak robek dan tidak kusut meski berada di dalam tumpukan kertas halaman buku begitu lama.
Begitu meletakkan kembali Daun Ars pada halaman pertama buku tersebut, Sans mulai memutar balik beberapa halaman pertama sambil menikmati baguette di genggaman tangan kanan. Beberapa halaman pertama berisi kata pengantar dari sang penulis yang begitu panjang, kalimat mendayu-dayu dan susah tercerna menuju otak menjadi distraksi.
Sans beralih pada bab pertama, yaitu pengenalan alkemis. Benar, menurut buku tersebut, alkemis dapat dijadikan sebuah alternatif dalam sistem job yang berlaku di kebanyakan daerah, terutama di Akademi Lorelei.
Berbagai pendapat dari orang lain turut menghiasi dan saling melengkapi penjelasan menjadi kesatuan harmoni pada bab pertama mengenai alkemis, ditambah lagi pemaparan penulis buku itu ditulis sedemikian kompleks dan membuat pembaca seperti Sans untuk mencari inti pokok. Bahkan, Sans sampai berpikir lebih dalam hingga harus membaca setiap paragraf, kalimat, dan frasa beberapa kali demi memahaminya.
Berputar-putar untuk membaca penjelasan dari teks tersebut membuat Sans telah menghabiskan baguette-nya. Begitu selesai membaca bab pertama beberapa kali, ia kerap memutar kembali untuk menemukan inti dari pengenalan alkemis.
Ketika Sans kembali menuju halaman terakhir, meski masih tersesat di dalam kebingungan, setidaknya sebuah simplifikasi sudah didapat. Ia membayangkan alkemis sebagai seseorang yang dapat memanipulasi berbagai materi secara sempurna, terutama benda logam, menjadi sebuah material baru termasuk ramuan.
Ketika memperhatikan kata ramuan pada teks, ia kembali menatap kantung berisi lima botol ramuan cairan hijau. Masih saja tidak mengetahui fungsi dari ramuan tersebut, berharap agar fungsi setiap ramuan juga ikut dijelaskan di dalam buku dasar alkemis.
Terlebih, mengingat daun ars yang menjadi “pemberian” dari Nacht, Sans juga menambah rasa penasaran terhadap fungsi daun tersebut. Sebuah misteri kegunaan daun yang akan berguna pada nanti, bahkan melebihi ekspektasinya.
Sans bangkit menatap melalui jendela bahwa matahari mulai meluncur ke bawah dari puncak langit. Masih ada banyak waktu untuk menghabiskan liburan selama tiga hari, terutama hari pertama.
Ia tentu merasa telah membuat keputusan tepat sehari setelah mendapat mantel putih, mantel yang merepresentasikan kegagalan di Akademi Lorelei bagi kebanyakan orang. Menjadi seorang alkemis bukan merupakan ide buruk.
Begitu lelah dalam pikiran setelah membaca bab pertama dari buku dasar alkemis, ia memutuskan untuk beristirahat. Menutup buku lalu bangkit beranjak dari kursi menuju ranjangnya.
Berkat kelelahan yang mendalam dan rasa kantuk yang ia rasakan, tubuhnya perlahan jatuh ke arah gravitasi ranjang, dan berakhir dengan wajah yang menghadap ke bawah. Sensasi empuk dan sejuk dari bagian atasnya kembali membuat lelaki itu menguap.
Tidak lama kemudian Sans memperbaiki posisinya— berbalik melentangkan diri sambil meluruhkan kakinya. Membiarkan kelelahan menguasai diri, pandangan Sans menghitam dan membiarkan kesadaran hilang sejenak.
Saat Sans kembali membuka mata dan mendapat kembali kesadaran, langit jingga dan matahari mulai terbenam terlihat melalui jendela. Tubuhnya telah pulih berkat waktu istirahat tambahan. Rasa sakit pada bagian tubuh berangsur berkurang.
Ditatapnya setiap sudut kamar asrama, pintu masih tertutup rapat, tempat tidur di sebelahnya masih terlihat rapi tak kusut. Sans menyimpulkan Yudai belum kembali sama sekali.
Memandang kantong di bawah meja lebar tersebut, ia pun bangkit dan langsung membuka kantong tersebut untuk mengambil sebuah belati hitam.
Ia memperhatikan belati itu, belati yang sudah menemaninya semenjak dirinya dan Yudai belum mengikuti tes. Kini belati dalam genggamannya itu terasa ringan.
Sudah begitu lama Sans kembali merasakan tekstur kasar dari gagang belati hitam pada genggamannya. Dia menghela napas ketika memutuskan apa yang harus dilakukan.
***
Ruang latihan bertarung fisik yang dia masuki benar-benar kosong melompong, hanya menyisakan enam belas ring berbentuk bujursangkar tanpa pembatas tali, tidak seperti terakhir kali ketika memasuki kelas pertarungan fisik sebelum menghadapi tes.
Sans menapakkan kedua kaki pada salah satu ring tanpa pembatas tersebut. Ia meletakan kaki kiri di depan, badannya dia busungkan mengarah seakan-akan memandang sang lawan.
Digenggamnya belati hitam itu seakan bersiap untuk menghantam lawan. Sans mulai mengayunkan belati hitam menggunakan tenaga dari dalam tubuh. Terlebih dahulu belati hitam dia ayunkan secara vertikal dan horizontal, seakan-akan sedang bertarung melawan seorang musuh.
Seluruh emosi telah terlampiaskan menjadi tenaga dalam mengayunkan belati hitam. Langkah Sans juga mengikuti sesuai dengan tebasan udara di depan. Tidak lupa, Sans juga ikut berbalik sambil mengayunkan belati hitam kembali.
Berbagai posisi dan langkah telah dia coba. Bisa terbayang setiap musuh menyerang dari segala sudut, depan, belakang, kiri, dan kanan. Sans menebaskan genggaman belati hitam itu secara langsung menuju udara pada setiap sudut di dekatnya.
Sans terengah-engah ketika ia terhenti sejenak. Peluhnya semakin banyak menetes pada kulit hingga membasahi pakaian. Setidaknya, awal dari berlatih bertarung fisik sebagai murid Akademi Lorelei sudah terjalankan.
***
Kembali terbangun dari tidur menjelang fajar, Sans bangkit dari tempat tidur untuk kembali menuju meja. Ia menoleh pada Yudai yang masih terlelap dan mendengkur di tempat tidur sebelah meja tersebut, tidak dapat terganggu untuk dibangunkan.
Menatapinya, untuk beberapa saat pikiran itu kembali terbesit. Sesuatu yang ingin diutarakan dengan kata-kata secara langsung, siap untuk berbicara. Tetapi, dia merasa tidak enak jika harus menganggu tidur Yudai.
Sans menempati kursi di hadapan meja lebar dan membuka kembali buku dasar alkemis. Diputarbalikkannya setiap halaman bab pertama hingga menuju bab kedua. Kali ini, bab kedua akan berfokus tentang salah satu dasar dari alkemis, yaitu sebuah barang wajib, gauntlet atau sarung tangan.
Bab kedua dibuka dengan tulisan bahwa sarung tangan merupakan hal wajib bagi seorang alkemis untuk menunjukkan sebuah jati diri. Berbeda dari sarung tangan biasa, sarung tangan ini memiliki sebuah ciri khas, yaitu dua lubang di bagian telunjuk dan jempol.
Selesai membaca pendahuluan bab kedua yang cukup panjang oleh penjelasan bahwa sarung tangan menjadi ciri khas dan jati diri seorang alkemis, subbab bahan telah menanti. Alih-alih menyebutkan setiap bahan satu per satu, penjelasan berupa beberapa paragraf panjang justru tampak.
Seperti bab pertama, pendapat dari orang lain turut menghiasi penjelasan setiap barang, bertujuan untuk menjelaskan fungsi dan penyebab kebutuhan untuk membuat sebuah sarung tangan alkemis. Mulai terpana pada penjelasan bahan pertama, yaitu jaring laba-laba es, pandangannya mulai tertuju pada paragraf pertama penjelasan bahan tersebut.
“Sans?”
Suara Yudai sontak membuatnya terhenti sesaat.
Ia pun menoleh pada Yudai yang baru saja bangkit dari posisi berbaring sambil mengangkat kedua tangan. Tercengang ketika teman sekamarnya telah terganggu dari istirahat malam.
“Apa aku membangunkanmu?”
“Tidak apa-apa, aku tidak keberatan, meski masih tengah malam.”
Yudai menoleh pada buku di hadapan Sans, melihat dari sampul merah bermotif emas dari sisi bawah tumpukan halaman. Ia menyengir sedikit dan mengangguk.
“Itu buku dari Nacht, bukan? Kamu membacanya?”
Sans pun menoleh ke arah bukunya sebentar sebelum berbalik menuju Yudai.
“Ya, sayang kalau tidak dibaca. Setidaknya ini bisa membantuku keluar dari waktu... itu.”
Sans kembali menurunkan kepala, teringat pada ejekan dan sindiran murid tingkat atas. Sebuah anggapan bahwa murid bermantel putih seperti dirinya dicap sebagai murid gagal dan calon drop out atas kemauan sendiri atau professor kembali menghantui pikiran.
“Sans, kamu mau bicara tentang itu?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
John Singgih
usaha sans
2021-03-21
0
Muma
next
2020-08-22
0