NovelToon NovelToon

Lorelei Chronicles

Episode 01

“Ibu. Jangan khawatir, Ibu akan baik-baik saja. Aku janji, aku akan mengembalikan ingatan Ibu seperti dulu lagi.”

Itulah kalimat yang terlontar dari mulut laki-laki berkulit sawo matang pada seorang perempuan berambut putih dan berkulit keriput penuh garis. Laki-laki itu menggenggam tangannya, dingin, itulah sensasi pertama yang ia rasakan ketika menyentuhnya.

Sang Ibu hanya terdiam tanpa kata-kata dan gerakan sebagai respon. Matanya hanya berkedip beberapa menit sekali, terbuka lebar. Bibirnya juga kering seperti padang pasir berfatamorgana, kelembapan hampir nihil. Menyisakan napasnya yang masih berembus dari hidung dan mulut.

Berpasrah diri terbaring tak berdaya di atas bambu hijau kecokelatan muda. Kedua kakinya juga lemas, seperti tidak memiliki tenaga tersendiri. Sedangkan kondisi tubuhnya saat itu seperti kehilangan kendali pada tubuhnya, tidak dapat mengerahkan tenaga untuk bergerak dan bahkan berbicara sekalipun.

Ibunya telah mengalami sebuah penyakit langka yang menyebabkan dirinya lumpuh mulai dari otak hingga seluruh tubuh. Ingin sekali dia berbicara atau merespon menggunakan gestur tubuh, tetapi tidak bisa. Bukan hanya itu, tetapi juga seluruh ingatan telah sirna semua. Dia tidak dapat mengingat sang laki-laki yang telah merawatnya, bahkan namanya sekalipun.

Laki-laki berkulit sawo matang itu menggenggam tangan kanan ibunya secara erat. “Ibu, sakit, ya? Maafkan aku, Bu. Aku … belum mampu melakukan apapun dalam kondisi seperti ini.”

Melihat kondisi ibunya yang seperti patung bernapas sudah menyayat hati sang laki-laki berkulit sawo matang itu. Semakin dalam sayatan di dalam hatinya, tidak mampu pula dia menguasai dirinya agar tidak mengeluarkan air mata dan mulai terengah-engah dalam menarik napas.

Sayatan di dalam hatinya juga membuat pikiran dan tubuhnya bergetar. Gigi pun ikut bergemertak menahan tangis. Baginya, itu sudah lebih dari cukup mengingat akan kondisi ibunya.

Sebuah suara ketukan pintu sebanyak tiga kali seperti memukul pendengarannya. Kesedihan laki-laki bekulit sawo matang itu terhenti sejenak ketika dia alihkan pandangan pada pintu cokelat lapuk penuh garis irisan.

Sans mulai bangkit bangkit dari hadapan ibunya dan berbalik menghadap pintu. Melewati satu-satunya ruangan rumahnya yang penuh dengan kayu lapuk dan terkelupas, dirinya seperti malas untuk melangkah hanya untuk membuka pintu dan menerima seorang tamu.

Ia pun memutar knop pintu, kini tepat di hadapannya seorang perempuan berambut biru pendek dan bertubuh kurus sedikit berisi berdiri melihatnya dengan mata yang tenang. Ia mengenali perempuan itu sebagai tetangganya.

“Sans,” sapanya dengan nada yang cukup meyakinkan.

“Mery,” sahut Sans, “ada kabar baik kah?”

Sans memintanya untuk mencari informasi tentang penyakit yang di derita oleh ibunya tidak lama ini. Setelah berminggu-minggu menunggu kejelasan informasi yang benar dan terpercaya, ia mulai mengungkapkan kabar baik.

“Apa kamu yakin siap mendengarnya?” tanyanya dengan nada yang rendah.

“Tidak masalah,” Sans penuh tekad dalam menjawab, “mau apapun yang terjadi, bagaimanapun caranya, ibuku harus sembuh. Ibuku harus ingat. Ibuku harus seperti dulu lagi, ceria, penuh kasih sayang, dan berhasrat untuk melakukan pekerjaannya.”

Mery pun menarik napasnya. “Aku hanya mendapat informasi ini. Kamu dapat pergi ke sebuah akademi. Di sana, kamu akan mempelajari segalanya, termasuk untuk menyembuhkan ibumu”

“Akademi? Baiklah, aku akan ke sana—”

“Tetapi,” tepat sebelum itu, perkataan Sans terpotong dengan cepat, “akademi ini sangat jauh, bahkan harus melintasi lautan untuk mencapainya. Akademi itu berada di pulau yang berbeda. Tepatnya terletak di Benua Aiswalt.”

Mendengar lokasi akademi tersebut sudah membuat semangat Sans cukup jeblok. Terlebih, kondisi dirinya, apalagi jika melihat di sekitar desa, tidak memadai untuk hidup cukup layak sekalipun, apalagi untuk pergi ke dunia luar.

“Kamu sendiri tahu, biaya untuk memasuki akademi itu, mengingat lokasinya di Aiswalt, benar-benar … mahal, bagi penghuni Baik untuk pergi melintasi lautan atau biaya lainnya juga … tidak murah,” ucapnya dengan yang meninggi pada akhir kata, “kita, penghuni Desa Highwind, tidak akan sanggup membayar biaya untuk kedua hal itu.”

Sans menyetujui dalam hati. Apa yang dikatakannya memang benar. Kondisi ekonomi di kampung halamannya tidak akan sanggup membuat kondisi desa lebih baik daripada keadaan yang sudah kumuh, kotor, dan penuh goresan pada setiap bangunannya. Bahkan untuk memasuki sebuah akademi di Aiswalt dan pergi melintasi lautan dari pulau ke pulau setiap penghuni desa Highwind tidak akan mampu untuk membayarnya.

Keraguan tertanam di dalam benak Sans. Dia berbalik sejenak menatap ibunya yang tidak berdaya terbaring di tempat tidur bambu. Sebuah keputusan harus dibuat, dia harus melakukan sesuatu untuk menyembuhkan ibunya.

Jika dia hanya tinggal di desanya tanpa melakukan apa-apa dan hanya menunggu informasi, kondisi ibunya tidak akan membaik. Jika ia ingin pergi ke sana untuk memasuki akademi, Sans memerlukan uang yang banyak. Terlebih, memasuki akademi adalah satu-satunya cara untuk dapat menyembuhkan ibunya.

Sans menepuk kepalanya ketika dia kesulitan untuk memilih keputusan. Begitu pusing dirinya dengan biaya yang tidak sedikit, melainkan cukup banyak bagi penghuni desa Highwind sekalipun, dia menggelengkan kepala.

“Sans.” Mery menatapnya dalam diam selagi Sans masih merenungi kabar yang baru saja ia dapatkan, “Maafkan aku, hanya itu informasi yang kudapat. Aku bahkan sempat mencari informasi untuk menyembuhkan penyakit ibumu, tapi—”

“Ini bukan salahmu.” Sans berbalik menatap perempuan itu, “Memang tidak ada cara lain. Informasi tentang penyakit itu … akan ada jika aku mempelajarinya di akademi itu. Aku … aku … tidak akan diam di sini saja, terus bersedih dan menatap ibuku yang tidak berdaya dengan penuh harap. Aku … akan belajar di akademi itu, aku akan menyembuhkan ibuku!”

“Ta-tapi kan … seperti yang kubilang sebelumnya, bagaimana dengan uangnya? Uang untuk pergi ke sana! Apalagi untuk menjadi murid di akademi—”

“Uangnya … aku akan melakukan sesuatu! Aku akan melakukan sesuatu untuk mendapatkannya!” jerit Sans dengan kencang sampai menginjakkan kaki pada lantai lapuk, membuatnya berlubang.

Mery bahkan di buat ternganga karena jeritan Sans dipenuhi tekad yang kuat. Semangat membara juga membakar wajahnya, meski harus penuh dengan air mata.

“Sans,” ucap perempuan berambut biru itu terdiam.

“Aku akan melakukan sesuatu … untuk mendapat uangnya, begitu aku tiba di dermaga, akan kulakukan apapun, semua pekerjaan akan kulakukan, demi mendapat uang yang cukup.”

“Baiklah.”

“Besok, aku akan berangkat. Tapi … sebelumnya, bagaimana dengan ibuku? Bagaimana  kalau kondisinya semakin memburuk, lalu … tidak, saat aku berada di Aiswalt. Aku tidak akan tahu kondisi ibuku sebelum kembali ke sini setelah dari akademi.”

“Besok, fajar, sebelum kamu berangkat ke Aiswalt, aku akan menunjukkanmu suatu tempat. Tempat yang cukup untuk ibumu beristirahat dan menunggumu pulang. Jangan khawatir.”

“Fajar? Baiklah”

“Um … kurasa aku harus pergi sekarang. Nanti akan kujemput saat fajar.” Perempuan berambut biru itu pamit.

Sans akhirnya menghela napas, lega telah mendengar sebuah cara untuk menyembuhkan ibunya, meski dia ragu entah dia mampu mendapat uang yang jumlahnya cukup banyak untuk pergi ke Aiswalt dan menjadi murid di akademi.

Setelah menutup pintu dengan rapat, Sans berbalik menemui ibunya. Digenggamnya tangan dinginnya, dia menghela napas sebelum mengutarakan semuanya.

“Bu, aku akan menyembuhkan penyakit Ibu, Meskipun tempatnya berada di luar Desa Highwind, bahkan jika aku harus ke luar benua Grindeir. Apapun yang terjadi aku harus pergi ke sana.”

Untuk beberapa saat itu dalam hatinya yang dipenuhi oleh perasaan gelisah dan penuh kekhawatiran akan kondisi sang ibu, Sans tanpa sadar menitikan air mata, setelah itu mengusapnya dengan cepat. 

“Besok, aku akan berangkat ke sana, aku akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan uangnya. Jangan khawatir, Bu, aku akan baik-baik saja.”

Kini ia pun membungkus tangan ibunya dengan kedua telapak tangannya sendiri. Sensasi dingin dari permukaan kulit ibunya yang keriput dan pucat sama sekali tidak membuatnya menyerah begitu saja.

“Aku janji, suatu saat nanti aku akan menyembuhkanmu, Bu.”

***

“Sans?”

Suara Mery beserta ketukan pintu yang begitu keras menjadi hal pertama memukul pendengarannya. Dia telah terbangun dari lelapnya mimpi menuju dunia nyata karena kedua hal yang membangunkannya itu.

Sans telah tidur di lantai dekat tempat tidur bambu ibunya untuk mengawasi dan memastikan tidak ada yang terjadi. Dia secara perlahan mendorong tubuhnya menuju posisi duduk untuk mengumpulkan tenaga sebelum berdiri.

Sans secara perlahan mendekati pintu dan membukanya. Tepat di hadapannya Mery berdiri dengan wajah yang menandakan sesuatu yang baik akan terjadi.

“Oke, kamu siap?”

“Iya. Sebentar.”

Sans berbalik sejenak mendekati ibunya yang masih terlelap dalam mimpi panjangnya, lemas dan tidak berdaya. Dia menyentuh kedua pundak ibunya untuk mengubah posisi berbaring menjadi posisi duduk.

“Hati-hati, Sans,” bujuk Mery.

Kini Sans dengan hati-hati mulai menggendong ibunya.

“Apa kamu butuh bantuan yang lain?” tanyanya.

“Tidak usah, aku bisa. Ayo.”

Sans mulai melangkah perlahan membawa ibunya keluar melalui pintu rumahnya. Udara fajar pun mulai berembus melewati tubuhnya ketika langit biru kehitaman di atas dan oranye kehitaman di bagian bawah sudah terlihat pada pandangan, fajar. Langit hitam silih berganti memancarkan warnanya.

Melewati setiap bangunan di desa yang lapuk dan kumuh dengan tanah yang sedikit berlumpur, tidak ada kegiatan apa-apa di luar selama fajar. Belum ada aktivitas apapun, bahkan memulai menjajakan hasil bumi segar dari kebun atau hutan sebagai praktik jual beli. Tidak ada satu pun penghuni yang berjalan di sekitar desa selain Sans dan perempuan berambut biru.

Mery pun mendahului langkah Sans untuk menunjukkan jalan menuju tempat yang dijanjikan. Begitu mereka sampai di perbatasan desa menuju hutan, dia berbelok mengitari pepohonan lebat mengikuti aliran sungai di sekitarnya.

***

“Ini tempatnya?” tunjuk Sans.

Mery mengangguk menunjuk mulut sebuah gua, yakni pintu masuk. Gua itu terletak di dalam sebuah bukit bebatuan mengikuti aliran sungai di sekitar lebatnya pepohonan.

Mereka melangkah melewati bebatuan mengikuti aliran sungai menuju mulut gua tersebut. Akan tetapi, Sans terhenti sejenak akibat berat ibunya yang telah membebani punggungnya.

“Sans,” panggil Mery yang ikut terhenti.

Sans menarik napas berkali-kali sambil memandang langit telah berubah menjadi biru bercampur oranye, berarti fajar telah berakhir menuju pagi. Matahari telah terangkat dari bawah langit secara perlahan.

“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya lagi.

“Aku baik-baik saja. Ayo.”

Mereka berdua kembali melangkah, kali ini memasuki gua tersebut. Meninggalkan terangnya pagi hari menuju gelapnya di dalam gua tersebut. Cahaya berwarna biru bening pun terpancar dari aliran sungai ketika memasuki gua.

Rintikan air dari langit-langit gua pun berjatuhan menimbulkan bunyi seperti gesekan pada tanah. Begitu keras semakin Sans dan perempuan berambut biru menuju dalam gua dengan melangkah banyak secara berliku-liku dan semakin menuju bawah tanah.

“Hebat. Bahkan airnya membuat guanya terang,” celetuk Sans kagum.

“Itulah kehebatan air kehidupan di gua ini. Benar-benar penuh keajaiban. Itu yang kebanyakan orang bilang tentang air kehidupan. Juga, air kehidupan dapat menjadi tempat istirahat orang yang sedang sakit parah tanpa perlu khawatir akan kondisi memburuk, ibumu akan baik-baik saja di sini”

“Hebat”

“Nah, kita sudah sampai di pusatnya.” Mery pun menghentikan langkahnya.

Sebuah genangan air kehidupan berbentuk lingkaran berdiameter besar layaknya kolam telah di depan mata. Cahaya biru bening dari air kehidupan juga terpancar menuju dinding gua penuh bebatuan putih bercampur abu-abu. Air terjun pun mengalir deras menuju genangan air kehidupan itu.

Sans secara perlahan berjongkok dan membaringkan kembali ibunya di lantai bebatuan. Ditatapnya sang ibu yang telah membuka mata lebar tanpa berkata-kata, hanya embusan napas terasa dari hidung dan mulut.

“Bu, ini akan jadi tempat sementara untuk beristirahat. Selagi aku ke akademi di Aiswalt, Ibu bisa tenang beristirahat di sini.”

Sekali lagi Sans membungkus tangan kanan ibunya menggunakan dua kepalan tangannya. Diarahkannya tangan ibunya pada wajah, dia mencium bagian pergelangan tangan ibunya dengan erat.

“Katakan, apa yang harus kulakukan?”

Mery pun menjawab, “Tenggelamkan ibumu di dalam genangan air ini.”

Mendengar kata tenggelamkan, Sans langsung melongo. Dia tentu tidak mau menggelamkan ibunya sendiri sampai mati.

“Jangan khawatir. Ibumu akan baik-baik saja. Ia akan tetap hidup di dalam air kehidupan. Kondisinya akan sama seperti sekarang.”

Sans menghela napas setelah mendengar penjelasan tambahan perempuan berambut biru. Penuh tekad tertanam di dalam otaknya, dia mengangkat ibunya menggunakan kedua tangan pada punggung.

“Bagaimana kamu bisa menemukan tempat ini?”

“Aku hanya kebetulan menemukannya saja,” sahutnya dengan wajah lega.

“Begitu saja?”

Namun Mery hanya menggeleng pelan, “Ketika aku terjatuh dari pohon saat ingin memetik beberapa buah, aku tidak tahu harus ke mana karena saat itu telah gelap. Aku pun memutuskan untuk pergi ke gua ini karena para penduduk tidak pernah melarang kita untuk memasukinya ... seterusnya, mungkin kamu tahu, ‘kan?”

Sans pun mengangguk pelan menandakan ia paham penjelasan perempuan itu.

Perlahan dia melangkah mendekati genangan air berbentuk lingkaran besar tersebut. Ditemani oleh suara rintikan air dan aliran air terjun, secara perlahan dia berlutut dan memasukkan tubuh ibunya ke dalam genangan air tersebut.

“Bu, beristirahatlah dengan tenang. Aku akan kembali setelah menemukan obat untuk penyakit Ibu. Ibu bisa tenang sekarang. Aku pergi dulu.”

Sans mendorong tubuh ibunya dan mulai menggelamkannya secara perlahan. Kepedihan juga menggetarkan tubuh dan jiwanya hingga mengeluarkan air mata, seakan tidak tega untuk menggelamkan ibunya sendiri.

“Maafkan aku, Bu …. Maafkan.”

Begitu ibunya sudah tidak terlihat di permukaan genangan air, Sans mulai meledakkan tangisannya. Inilah perpisahan dirinya dari sang ibu yang telah memberi kasih sayang selama kehidupannya.

Episode 02

Kedua kaki Sans telah menginjak butiran pasir cokelat dan putih. Setelah mengarungi hutan perbatasan antara Desa Highwind dan sebuah kota pantai sambil merenungi akan nasib ibunya. Kesedihan masih belum reda dan tidak mudah untuk mengalihkannya selama perjalanan.

Langit biru pun silih berganti menjadi oranye ketika matahari mulai meluncur mendekati lautan pada tatapan. Beberapa pohon palem berdiri kokoh menggoyangkan dedaunan di puncak mengikuti arah angin laut.

Kulit Sans penuh dengan peluh bukan hanya harus berjalan mengarungi hutan, tetapi juga cuaca panas menyengat di sekitar pantai. Kepenatan seakan mengganti kesedihan dalam pola pikirnya saat itu.

“Lalu … bagaimana kamu mencari uang? Untuk pergi ke Aiswalt?” tanya Mery.

“Aku masih memikirkannya”

“Sans, maafkan aku. Aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku harus pulang sebelum semua ayamku kabur dari kendang lagi. Apa tidak apa-apa meninggalkanmu sendiri?”

Sans menghela napas sejenak, “Terima kasih banyak sudah banyak membantuku”

“Tidak, aku justru tidak bisa membantumu untuk mencari uang. Uang itu penting agar kamu bisa menumpangi kapal dan memasuki akademi. Yang penting, membantumu membawa ibumu ke air kehidupan sudah cukup membantu”

“I-iya. Aku … akan berjuang”

“Selamat berjuang ya,” Balasnya sambil mencerahkan senyumannya sebelum pamit.

Mery pun berbalik dan mulai melangkah meninggalkan pantai. Melihat dirinya meninggalkan pantai, Sans menghela napas. Dia hanyalah seorang diri di sebuah kota pantai, tanpa uang dan tanpa teman.

Sans kembali berbalik dan melangkah melintasi pantai. Memandangi dentuman ombak pada mulut pantai cukup besar hingga membasahi pasir yang menjadi lunak untuk diinjak. Lama-kelamaan, ombak pada mulut lautan menghantam kedua kaki Sans, membuatnya tertegun.

Ia pun tercengang ketika dirinya mempertanyakan apakah ia terlalu dekat dengan mulut pantai atau ombak lautan yang memang begitu besar. Ini adalah pertama kalinya dia merasakan ombak menghantam kedua kakinya hingga harus berhenti melangkah. Karena Sans sama sekali tidak pernah ke pantai, bahkan desa Highwind sama sekali tidak memiliki pantai karena terletak di tengah pepohonan.

Begitu mulut lautan kembali bergeser dari mulut pantai, sebuah daun seperti terdampar oleh ombak menuju mulut pantai. Daun berwarna merah sejernih kristal itu sudah berada di samping kaki kirinya seperti tertempel pada pasir.

Mendapati daun yang belum pernah dia lihat sebelumnya, Sans menggambilnya menggunakan tangan kosong. Dia mendekatkan daun tersebut di genggamannya pada pandangannya sambil berdecak kagum.

“Daun apa ini?” gumamnya masih terpana.

“Itu daun ars.” Suara seorang lelaki seperti memicu kekagetan dari belakang Sans.

Sans sampai berdecak ke depan sebelum terbalik terpicu oleh suara dari belakangnya. Begitu berbalik, seorang lelaki bersorban merah hingga menutupi wajah kecuali mata telah berdiri di hadapannya. Rambut panjang cokelat kehitamannya juga terbungkus oleh sorban merah.

“Ambillah. Daun itu akan berguna untukmu suatu saat nanti.”

Sans mempertanyakan pada hatinya mengapa ada orang asing yang menemuinya dan memberi informasi singkat mengenai daun ars tanpa menjelaskan lebih rinci kegunaannya.

“Jadi, apa yang kamu lakukan di sini seperti orang kebingungan?”

 “Aku … aku harus pergi ke Aiswalt. Aku … harus pergi ke akademi sesegera mungkin. Tapi … aku harus—”

“Oh, kalau kamu mau pergi ke Aiswalt, pergilah ke dermaga.” 

Lelaki bersorban merah itu menunjuk sebuah dermaga dari kejauhan, di mana aktivitas nelayan melewati jembatan dermaga membawa begitu banyak barang, terutama ikan, dan juga terdapat seseorang yang menaiki sebuah kapal besar dan berlayar garis merah dan putih bergantian.

“Naiklah kapal yang itu,” tunjuknya pada kapal berlayar bergaris merah dan putih bergantian, “itu kapal terakhir hari ini. Dan kalau kamu benar-benar ingin memasuki akademi di Aiswalt, kamu hanya punya lima hari sebelum pendaftaran murid ajaran baru ditutup”

“Lima hari?”

Sans merenungi perkataan lelaki bersorban merah itu. Lima hari sebelum pendaftaran murid ajaran baru akademi di Aiswalt ditutup. Dia tidak punya cukup banyak waktu mengingat perjalanan melewati lautan pasti akan memakan waktu yang cukup lama, paling tidak sehari atau dua hari.

“Kita akan bertemu lagi ... ” 

“Tunggu! Bagaimana aku bisa mendapat pekerjaan—” sahut Sans.

Lelaki itu pun berlalu meninggalkan Sans tanpa menanggapinya. Sans hanya terdiam memandangi orang yang baru ia temui itu melangkah begitu saja hingga seakan menghilang dari pandangan begitu melewati tangga menuju kota.

Sans menggelengkan kepala, kebingungan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Jika menatap beberapa orang di sekitar pantai, dia tahu tidak semuanya dapat dia percayai. Dia telah mendengar cerita dari Mery, bahwa selama perjalanan menuju kota pantai akan banyak sekali para penipu yang menawari pekerjaan mudah dengan penghasilan yang tinggi, apalagi ketika ia tiba di kota utama.

Sans tidak memiliki pilihan lain kecuali berjalan menuju dermaga. Pada akhirnya ia pun  memutuskan untuk mendekati jembatan yang telah menjadi pemberhentian banyak kapal.

***

“Kurang? Uangku kurang?” sahut lelaki berambut hitam pendek tegak pada salah satu penjaga kapal yang berdiri di hadapannya. “Apa maksudmu? Aku hanya punya uang sebanyak ini.”

“500 vial? Apa kamu bercanda? Kamu butuh 1000 vial untuk menaiki kapal ini untuk pergi ke Aiswalt!” sahut penjaga kapal itu.

“Ta-tapi … aku harus pergi ke akademi di sana! Aku ingin belajar di sana! Aku—”

“Bermimpilah, Nak. Bahkan dengan uang sebanyak itu kamu tidak akan bisa mendaftar di akademi sebagai murid.”

Begitu Sans mulai menapakkan kaki pada jembatan kayu berbentuk huruf T dan memandangi beberapa kapal singgah di setiap sisi ujung jembatan. Suara perdebatan terdengar dari hadapannya. Didengarkannya argumentasi antara lelaki berambut pendek tegak dan seorang penjaga kapal.

“Pergi dari sini! Carilah pekerjaan!” usir penjaga kapal tersebut pada lelaki berambut pendek itu.

“Baiklah!” balas lelaki berambut pendek tegak itu.

Sans menatapi lelaki yang baru saja di usir itu. Ia memiliki penampilan yang cukup unik dengan mata agak sipit dan alis melengkung ke bawah, kedua hal itu menjadi hal pertama untuk mengingat ciri khas serta karakteristik berdasarkan dari wajah. Punggungnya menggandeng quiver berisi beberapa panah dan juga busur. Mendengar lelaki berambut pendek tegak di hadapannya itu juga memiliki tujuan yang sama, Sans pun menyapa dengan ramah.

“Maaf.”

Lelaki berambut pendek tegak itu membalas sapa, “Kamu mendengarnya, ya?”

“Uh, sedikit. Tapi … kamu juga akan pergi ke akademi di Aiswalt, bukan? Aku juga ingin ke sana. Tapi … aku tidak punya uang sama sekali”

“Aku lebih buruk, seperti yang kamu dengar. Kukira 500 vial cukup untuk menaiki kapal ke Aiswalt, begitu juga dengan kakek dan nenekku. Tapi ternyata butuh 1000 vial. Padahal … aku akan mencari pekerjaan begitu tiba di Aiswalt untuk membayar biaya pendaftaran di akademi”

“Oh, aku minta maaf”

“Kenapa minta maaf? Kalau sudah begini apa boleh buat, kan?” lelaki itu mengulurkan tangan kanan. “Aku Yudai.”

“Uh … Sans.” Sans mulai berjabat tangan dengan Yudai.

Yudai menggenggam tangan kanan Sans dengan erat menggoyangkannya, “Mulai sekarang, kita adalah teman dengan tujuan yang sama”

“Eh? Teman?” ulang Sans ketika melepas tangannya.

“Tentu saja!” Yudai melengkungkan bibirnya. “Kau dan aku akan pergi ke Aiswalt, lalu pergi ke akademi itu, dan kita akan pikirkan sebuah cara untuk pergi ke sana … bersama”

“Uh … kamu hanya punya 500 vial, sedangkan kita butuh 1000 vial masing-masing untuk menaiki kapal. Lagipula, kapal itu … adalah kapal yang terakhir. Apa boleh buat, kita akan cari pekerjaan untuk menghasilkan uang, lalu besok kita menaiki kapal itu. Tapi … tetanggaku bilang, tidak semua orang yang menawarkan pekerjaan di sini—"

Sambil mendengar perkataan Sans, Yudai menggerakkan tubuh mulai dari kepala.

“—dapat dipercaya, lebih buruknya, mereka penipu dan mengirim kita ke tempat lebih berbahaya”

Yudai memberi usul, “Aku punya ide yang lebih baik daripada itu.”

Yudai menganggukkan kepala mengarah pada belakang Sans. Begitu Sans berbalik, ia melihat sebuah kotak beralas kain yang menutupi seluruh isinya. Salah satu petugas dermaga menemui sang pembawa kotak itu sambil mengangguk. Sang pembawa kotak itu menunjuk kotak itu akan dimasukkan ke dalam kapal berlayar garis merah putih bergantian, berarti Aiswalt menjadi tujuan kotak tersebut.

“Oh tidak, tidak, tidak,” tolak Sans.

“Ya.” Yudai mengangguk sambil berlalu meninggalkan jembatan dermaga nenuju kotak tersebut.

“Serius? Ini satu-satunya cara untuk pergi ke Aiswalt  saat tidak punya uang?” tanya Sans mengikuti langkah teman barunya itu.

Memandang sang pembawa kotak tersebut tengah bercakap-cakap dengan salah satu petugas dermaga. Yudai tanpa ragu lagi mendekatkan kedua tangan pada kotak dan kain alas.

Ia pun membuka alas kain secara perlahan-lahan. Mengintip isinya untuk memastikan tidak ada sesuatu yang berbahaya, lalu mengangguk dengan yakin.

“Kamu yakin ini aman? Bagaimana kalau—”

Yudai memotong perkataan Sans sambil menempatkan kedua kaki pada ujung atas kotak, “Lebih baik begini daripada tidak melakukan apapun, apalagi melakukan pekerjaan di sini.”

Ia pun langsung masuk ke dalamnya tanpa ragu-ragu dan mendarat dengan sempurna.

“Ta-tapi kan—”

“Cepatlah!” Yudai mengeluarkan lengan kanan melewati kain kotak tersebut seraya mengulurkan tangan, “sebelum ketahuan!”

“Ba-baik,” Sans mengangguk.

Sans menarik napas sejenak sebelum menaiki kotak tersebut, lalu meraih lengan temannya itu. Begitu Yudai menariknya ke atas, ia langsung menempatkan tangan kirinya pada alas lapisan atas kotak dan menggerakkan kedua kaki seraya memanjat.

Ia pun akhirnya terbanting masuk ke dalam kotak, mendarat di kumpulan barang berbau menyengat yang menyerang hidung. Sans menggelengkan tangan kanan berupaya untuk mengusir bau tersebut.

Sambil mencoba mengusir bau yang menyengat itu, Sans pun memperhatikan sekitarnya. Apa yang menjadi tempat duduknya saat ini adalah tumpukan ikan laut yang masih segar.

“I-ini … apa tidak apa-apa tetap di kotak ikan saat memasuki kapal? Saat kita berada di kapal?” keluh Sans.

“Aku sudah terbiasa dengan bau dari ikan. Ini lebih baik daripada tidak sama sekali,” hibur Yudai, “lagipula, kalau beruntung, pekerjaan di sini tidak terlalu menghasilkan banyak uang. Kalau dengan cara itu, kita mungkin akan ke Aiswalt saat pendaftaran ke akademi ditutup. Lebih baik mencari pekerjaan di sana dari pada di sini, karena di sana bayarannya cukup menggiurkan”

“Baiklah.”

Kotak penuh kumpulan ikan segar itu terdorong oleh sang pembawanya, memicu guncangan di dalamnya. Saking tercengangnya, Sans sampai terjatuh menuju posisi terlentang di atas kumpulan ikan segar. Daun ars dalam genggaman tangan kirinya mulai berhamburan.

“Whoa!” Yudai berdecak kagum ketika melihat daun itu dan mengambilnya. Dia dekatkan pada mata untuk melihat keunikan dari bentuk dan warnanya. “Daun ini … aku belum pernah melihatnya.”

“I-itu—" Sans kembali bangkit dalam posisi duduk “—katanya daun ars. Aku menemukannya di tepi pantai. Seorang lelaki bersorban merah bilang kalau daun itu benar-benar akan berguna. Tapi … dia tidak memberitahuku apa kegunaannya.”

Kotak pun kembali berguncang menimbulkan bunyi dari gesekan pada jembatan dermaga. Beruntung, Sans dapat menahan tubuhnya dari guncangan tersebut dan tetap di posisi duduk.

Sans berbalik menghadap salah satu ujung kotak tersebut dan membuka perlahan alas kain sambil menempatkan kedua lutut pada sekumpulan ikan segar, mengubah posisi duduknya. Ia hanya ingin mengintip untuk memastikan mereka menuju kapal yang benar dan menuju Aiswalt.

Sebuah pandangan memicu getaran pada hatinya, seseorang yang tidak asing baginya, apalagi orang itu baru saja dia temui, terlihat membayar sebesar 1000 vial pada penjaga kapal.

“I-itu … orang itu …,” Sans menunjuk orang bersorban merah itu di hadapan sang penjaga kapal menggunakan telunjuk kanan.

“Mana?” Yudai juga mendekati Sans dan ikut mengintip ke luar.

“Whoa, biar kubantu!” Lelaki bersorban merah itu berbicara dan berlari menemui sang pembawa kotak.

“Dia yang memberikan daun ini padaku. Aku masih tidak mengerti kegunaannya. Dia memintaku untuk menyimpannya karena akan berguna untuk nanti.” Sans menutup kain tersebut ketika kotak terdorong oleh tenaga dari dua orang.

“Kurasa … melihat dari keunikan daun ini, pasti ada sesuatu yang spesial, mungkin semacam kekuatan yang tidak terduga atau sebuah bahan untuk membuat sesuatu. Meski berada di genggaman, daunnya bahkan tidak remuk atau retak, atau bahkan kering. Ini benar-benar menarik, kamu harus menyimpannya.” Yudai pun menyerahkannya kembali.

“Iya. Kamu benar,” Sans mengambil kembali daun ars itu.

“Oh ya, kamu … tidak membawa senjata, kan?”

Mendengar Yudai bertanya hal itu, Sans sekali lagi menatap quiver dan busur yang terpampang pada punggung. Dia menghela napas menyadari dia tidak membawa senjata apapun, apalagi belum mampu menggunakannya.

“Aku … belum bisa menggunakan senjata. Aku … belum terpikirkan senjata apa yang akan kupakai,” jawab Sans.

“Hah?” seru Yudai tercengang dengan perkataan Sans. “Jangan bilang kamu ke akademi tanpa membawa atau mampu menggunakan senjata? Baiklah, sepertinya kita harus menyisihkan uangku untuk membelikanmu senjata. Hanya untuk berjaga-jaga, beberapa pekerjaan di Aiswalt membutuhkan senjata untuk menyelesaikannya. Setidaknya, kita akan menghasilkan cukup uang untuk biaya pendaftaran akademi sebelum ditutup.”

“Se-sebenarnya tidak usah. Aku—”

Ucapan Sans terpotong ketika kotak mulai miring. Berarti, lelaki bersorban merah tengah membantu mendorong kotak melewati plank miring antara jembatan dan pintu masuk kapal. Beruntung, mereka dapat menyeimbangkan tubuh tepat pada waktunya, tetap pada posisi duduk.

“Akhirnya, ini tandanya! Kita naik kapal!”

Episode 03

Kedua kru mulai menarik jembatan penyebrangan, sedangkan tiga kru di bagian baran sana bersama-sama menarik sebuah rantai berkarat dari lautan, sebuah jangkar yang terpasang pada rantai itu terangkat dari permukaan laut dan tiba perlahan di lantai kapal.

Kapal pun akhirnya mulai bergerak perlahan meninggalkan dermaga dan mulai melintasi lautan. Angin pun mendorong layar dan membantu menyeimbangkan kecepatan kapal.

Hampir semua orang di atas kapal itu melihat pemandangan kota seakan menghilang dari pandangan semakin jauh kapal itu melintas lautan. Kini, hanya lautan dan langit yang tengah berganti warna menjadi satu-satunya pemandangan pada pandangan menghadap haluan depan. Sang surya pun menampakan diri di ufuk sana, memancarkan kehangatan dalam dinginnya semilir angin laut.

Lelaki bersorban merah itu hanya berdiri menyandarkan di salah satu dinding menuju ruangan kapal, menyaksikan beberapa kru beramai-ramai berbincang menatap lautan, sedangkan beberapa penumpang lainnya hanya terdiam menutup mulut sambil menikmati pelayaran ini. Ia  pun menghela napas sambil menempatkan kaki kiri pada dinding.

Kapal pun telah melintasi lautan selama satu jam. Beberapa burung camar berterbangan menyambut mereka dengan kicauannya yang harmonis.

Salah satu penumpang berlari menuju ujung geladak kapal di sebelah kiri ketika tangan kanan menutup mulutnya. Ia merunduk menghadap lautan dan mulai mengeluarkan cairan dari mulutnya yang telah terangkat dari lambung menuju tenggorokan. Tidak dapat menahan mual akibat embusan udara laut, cairan yang ia keluarkan pun semakin banyak.

Peristiwa itu menjadi perhatian bagi beberapa penumpang, bahkan mereka mulai memperbincangkannya hanya untuk menghibur diri.

“Lemah sekali. Kukira tampangnya itu mencerminkan jati dirinya”

“Sayang sekali, mabuk laut, huh?”

“Kalau dia sampai ke Aiswalt, mungkin yang tersisa darinya hanya beberapa tulang.”

Beberapa penumpang yang memandang dan membicarakan kejadian mabuk laut itu tertawa dengan terbahak-bahak. Sang penumpang yang mabuk laut pun memandang mereka sejenak.

Merasa dipermalukan oleh sesama penumpang, ia lagi-lagi muntah untuk waktu yang lama.

Lelaki bersorban merah itu menggelengkan kepala sambil membuang napas. Tidak menyangka akan sikap dari kebanyakan penumpang di kapal. Ia pun untuk beberapa saat memandangi mereka, setelah itu menggeleng pelan sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.

Saat ini ia hanya bersandar pada salah satu dinding kapal, di mana sang kapten yang tengah mengemudikan kapal terlihat senang dengan raut wajah yang puas. Tetapi, sesaat setelah ia menunduk, langkah kakinya bergerak menghampiri seorang kru yang kini melewatinya. 

“Maaf,” sapanya.

Tidak lama kemudian ia pun memintanya ... atau mungkin lebih tepat mengkomplain tentang sikap penumpang lainnya yang menertawakan seorang laki-laki tadi.

Namun si kru itu hanya terhenyak beberapa saat sebelum mulutnya tersenyum kecil dan pada akhirnya tertawa. Permintaan yang sangat aneh dan jarang sekali, itulah yang ia pikirkan. 

***

Duduk, diam, dan tidak melakukan apapun. Itu yang hanya bisa dilakukan oleh Sans dan Yudai di dalam kotak penuh dengan sekumpulan ikan segar dan bau amis. Menunggu hingga kapal mendarat di daratan membuat penat pikiran mereka, apalagi butuh kurang lebih waktu yang cukup lama, paling tidak semalam, untuk tiba di Benua Aiswalt dari Benua Grindeir.

Hal yang hanya bisa dilakukan selain duduk, diam, dan tidak melakukan apapun hanyalah saling berbicara. Tetapi, mereka sudah kehabisan topik semenjak kapal meninggalkan dermaga menuju lautan.

Yudai mulai membaringkan tubuhnya di atas kumpulan ikan segar, tidak peduli akan bau menyengat masuk ke dalam hidungnya, kedua telapak tangannya langsung menyilang di belakang kepala dengan santai.

Namun Sans tiba-tiba saja berbicara, “Uh … Yudai?”

“Ya?”

Sans mendadak kehilangan apa yang ingin diutarakannya, seperti pikiran terhapus begitu saja. Ia pun menunduk menatapi ikan di bawahnya.

“Ti-tidak jadi”

“Eh? Kenapa?” Yudai melongo.

“A-aku … aku lupa apa yang ingin kukatakan”

“Oh, kurasa aku tahu,” Yudai mulai menerka dan kembali duduk, “kamu tidak akan nyaman tidur ditemani bau amis dari ikan-ikan ini, kan?”

“Uh … ”

“Oh ya, ngomong-ngomong aku lapar. Kita tentu tidak bisa memakan ikan mentah seperti ini.” Yudai menggenggam salah satu ikan menggunakan tangan kanan, “kita butuh makanan yang setidaknya tidak butuh dimasak. Ayolah, kita cari makanan, lalu tidur”

Yudai berbalik dan membuka alas kotak sedikit demi sedikit. Ia pun langsung melompat seakan tidak akan terjadi apa-apa.

“Whoa! Yudai?!” sahut Sans tercengang ketika mendengar tapakan kedua kaki Yudai pada lantai ruang penyimpanan di kapal.

Sans mulai merangkak mendekati ujung kotak di hadapannya. Tangannya pun meraih alas kain langit-langit kotak, melihat Yudai telah berdiri di hadapan kotak tersebut.

“Yudai, bagaimana kalau nanti—”

Yudai tidak membiarkan Sans bertanya sampai selesai, karena saat ini wajahnya menunjukkan harapan dan rasa optimis. “Ayolah, ini ruang penyimpanan barang di kapal, kan? Tidak ada yang akan kemari selama perjalanan, kita aman, benar-benar aman”

“Tapi—”

“Sudahlah, ayo turun. Kita cari makanan lalu tidur. Ayo!”

Sans menghela napas seraya melampiaskan kekhawatirannya. Ia berpikir bisa saja seseorang, terutama kru atau kapten kapal memasuki ruang penyimpanan untuk melakukan inspeksi mendadak.

Menggelengkan kepala sejenak untuk memastikan tidak ada siapapun kecuali teman barunya itu di sana, ia pun membuang napas lagi. Pada akhirnya Sans ikut memanjat mengikuti Yudai yang mendahuluinya.

Sans pun akhirnya melompat dari kotak itu dan menempatkan kedua kaki pada lantai kayu tempat penyimpanan barang. Untuk kesekian kalinya ia menggeleng memastikan tidak ada siapapun selain mereka berdua di sana.

Ruang tempat penyimpanan kapal dapat di gambarkan seperti ruangan petak yang berisikan kotak-kotak kayu. Bagian atasnya tertutupi kain hitam dan setidaknya tidak terlalu sempit sehingga kedua lelaki ulung itu dapat bergerak cukup bebas di sana.

Yudai mulai melangkah melewati celah antara kotak-kotak di hadapannya. Ia menghampiri salah satu kotak dan menempatkan kedua tangan pada alas kain. Dibukanya alas kain kotak itu dan dia membuka mulut begitu decakan kagum meningkat.

Ia pun menggerakkan jari tangan kanannya dari depan ke belakang dua kali seraya mengajak Sans untuk menghampiri kotak tersebut. Sans hanya mengangguk tanpa berkata-kata, lalu mendekati kotak tersebut.

Begitu menatap isi dari kotak itu, kumpulan belati berbentuk melengkung berwarna bening seperti cermin memenuhi setengah dari isi kotak itu. Bahkan Sans sendiri tidak percaya bahwa tumpukan belati tepat di hadapannya memenuhi isi kotak.

“Mungkin kamu akan cocok dan berminat menggunakan senjata seperti ini,” usul Yudai.

Sans menggeleng pelan, “Aku belum pernah belajar menggunakan senjata sama sekali. Apalagi menggunakannya untuk menebas seseorang.”

Yudai kembali melongo, “Bahkan untuk berburu? Kamu tidak menggunakan senjata untuk berburu di hutan?”

“Aku hanya berburu sayur mayur dan buah-buahan. Aku tidak berburu daging. Kalau aku harus beli, harganya mahal, hanya sekitar sebulan sekali”

“Tapi … setelah kita mendarat di Aiswalt, kamu bisa belajar terlebih dahulu sambil kita mencari pekerjaan untuk menghasilkan uang. Tentunya ... menggunakan belati ini.”

Sans hanya terdiam menatap kumpulan belati di dalam kotak tersebut. Ia sama sekali tidak pernah berpikir akan ada orang yang mau mengajarkannya bagaimana cara menggunakan belati untuk berburu.

“Uh … mungkin kita pikirkan soal itu nanti. Aku lapar,” ucap Yudai lalu menutup alas kain kotak kayu itu.

Yudai berlalu menuju kotak sebelah kiri. Langkah kakinya pada lantai sampai berbunyi, semangatnya telah memuncak meski perutnya ikut berbunyi keroncongan beberapa kali.

Sans juga sekali lagi mengikuti langkah Yudai. Begitu Yudai membuka perlahan alas kotak itu, dia juga ikut mengintip isinya. Ternyata, mulutnya menjulur ke bawah ketika menemukan sekumpulan barang bukanlah apa yang dia harapkan.

“Se-semuanya kentang,” ucap Sans polos.

“Benar, semuanya kentang,” ulang Yudai.

“Kita tidak bisa memakan kentang mentah-mentah. Setidaknya, kentang harus dipanaskan terlebih dahulu agar bisa dimakan”

“Setidaknya kita bisa mengambilnya dan mencurinya untuk nanti”

Sans membuka mulutnya seraya ingin bersuara, sekali lagi protes terhadap rencana Yudai. Namun, sebuah suara berasal dari pintu seakan memukul pikiran dan pendengaran, menghentikan kata-katanya.

Sans berbalik menatap pintu terhalang oleh beberapa kotak, sebuah langkah kaki pun juga ikut meluncur menuju telinga satu per satu. Kekhawatiran langsung meledak dalam hati Sans.

“Sial,” ucap Yudai perlahan.

“Cepat! Sembunyi!” bisik Sans menunjuk celah pada bagian belakang kotak yang menghadap dinding kayu.

Sans dan Yudai melangkah cepat dan terbirit-birit menuju bagian belakang kotak berisi kentang itu menghadap dinding. Napas mereka terengah-engah ketika mereka berlutut dan menghadap bagian belakang kotak itu.

Suara langkah kaki menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Ketegangan pun melanda ketika Yudai menyentuh badan dari kotak tersebut sambil menghela napas.

Lama-kelamaan, suara langkah kaki semakin nyaring pertanda orang itu sudah mendekat. Sans sampai menggepalkan kedua tangan untuk melampiaskan ketegangannya.

Akan tetapi, ketika menggepalkan tangan kirinya dan langkah kaki itu terhenti, Sans menyadari bahwa sesuatu telah lenyap dari genggamannya. Menggerakkan jari-jarinya pada badan tangan kirinya, dia tercengang.

“Daun ars-nya!” ucap Sans perlahan.

“Kenapa?” tanya Yudai heran.

Sebuah suara dari orang itu akhirnya terdengar. “Aku tahu kalian di sana. Keluarlah. Tidak apa-apa.”

Kedua laki-laki itu pun menghela napas ketika mereka telah ketahuan bersembunyi di tempat penyimpanan barang. Mereka tidak dapat menyangka apa yang akan terjadi berikutnya, entah harus dijebloskan ke dalam lautan atau ditinggalkan di sebuah pulau.

“Tidak apa-apa. Aku takkan bilang pada siapapun. Keluarlah. Aku bukan kru kapal, apalagi kapten. Kalian pasti menjatuhkan daun ars, kan?”

“Daun ars-mu?” bisik Yudai. “Kita—”

Sans perlahan bangkit dari duduknya di balik kotak dan melangkah menuju celah untuk menatap muka orang itu.

“K-kamu ….” Sans menatap orang itu merupakan lelaki bersorban merah.

Yudai juga mendekati Sans dan menatap lelaki bersorban merah telah berada di hadapannya. Dia kini tercengang seseorang yang pernah ia lihat selama bersembunyi di sebuah kotak penuh ikan segar telah berada di hadapannya.

Lelaki bersorban merah itu menyerahkan daun itu, “Ini milikmu. Daun ars ini benar-benar istimewa dan sangat langka. Beruntung kamu menemukannya di tepi pantai”

“Te-terima kasih,” sahut Sans, lalu menerimanya. 

Perut keroncongan Yudai pun berbunyi tidak dapat menahan kekosongan, tidak sabar untuk menerima nutrisi dari makanan. Yudai memegang perutnya menggunakan kedua tangan.

“Ya, seperti yang kalian dengar, aku lapar, benar-benar lapar” ucap Yudai.

***

Lelaki bersorban merah itu menyerahkan masing-masing satu buah apel pada Sans dan Yudai begitu mengambil dari salah satu kotak. Ia mengambil satu buah apel dari kotak untuk bagiannya. Ketiga apel itu mengkilap memancarkan warna hijau kemerahan.

“I-ini … tidak apa-apa mengambil apel dari kotak?” Sans ragu ketika memandang apel di genggamannya.

“Apa boleh buat, kalian lapar, kan? Makanlah.”

Sans dan Yudai mulai menggigit apel yang berada di genggaman mereka masing-masing. Potongan apel mendarat di lidah dan terkunyah oleh gigi. Air dari potongan apel merembes ke lidah ikut meluncurkan rasa asam dan manis. Kombinasi asam dan manis dari apel membuat mulut seakan-akan tercuci oleh sari buah.

“Enak!” Yudai melampiaskan kenikmatan dan kesegaran asam dan manis dari apel.

“Oh ya, sebenarnya … aku sudah tahu semenjak kapal ini berangkat kalian berada di sini, bersembunyi di salah satu kotak,” tuturnya.

“Eh?” ucap Yudai melongo.

“Kamu tahu? Tahu darimana?” tanya Sans.

“Aku melihat kalian menyusup ke dalam kotak itu, ketika tidak ada yang melihat. Begitu aku tahu kalian masuk ke kotak itu, aku membantu pembawa kotak itu untuk memasukkannya ke dalam ruangan ini,” lelaki bersorban merah itu bercerita, “kalian juga ingin ke Aiswalt, kan? Tidak punya uang. Jadi aku membantu kalian.”

Yudai menggigit apelnya dengan cepat dan lahap, tidak sabar ingin mengisi perut dari keroncongan. Setiap gigitan melembapkan mulut dan lidah berkat air dari gigitan apel itu.

Sans memandang Daun ars pada telapak tangan kirinya. Mengetahui lelaki bersorban merah berada di hadapannya, rasa penasaran tidak dapat dipungkiri lagi. Dia ingin tahu kegunaan spesial dari daun ars.

Yudai menginterupsi, “Oh ya, omong-omong Anda siapa? Kenapa menutup wajah menggunakan sorban merah itu?”

Lelaki bersorban merah itu menjawab, “Siapa aku tidak penting bagi kalian, begitu juga dengan seluruh penumpang kapal ini, apalagi seluruh kru dan kaptennya. Aku hanya ingin pergi ke suatu tempat.”

Kini giliran Sans untuk mengemukakan sebuah pertanyaan. “Sejak dirimu memberitahu Daun ars ini berguna untuk nanti, aku bertanya-tanya apa kegunaan—”

Suara jeritan dari geladak kapal di atas ruang penyimpanan meledak seketika, menghentikan perkataan Sans. Mereka bertiga menatap ke langit-langit ruangan begitu berbagai jeritan bermunculan bersama dengan tebasan pedang.

Lelaki bersorban merah itu bangkit. Mendengar jeritan dan tebasan pedang semakin meledak dari geladak kapal, lelaki bersorban merah itu menatap pintu keluar ruangan penyimpanan barang seraya ingin kembali ke lantai teratas kapal.

Semakin banyak suara jeritan dan tebasan pedang, semakin lahap pula Yudai menggigit apel di genggamannya. Saking cepatnya, daging apel sudah tidak bersisa, hanya menyisakan biji.

“A-apa yang terjadi?” gumam Sans.

“K-kita diserang,” lelaki bersorban merah itu menyimpulkan dan berbalik menghadap pintu.

Sans terpana ketika menatap senjata di punggung lelaki bersorban merah. Sebuah pedang bermata bentuk gelombang berwarna hitam. Dari situlah Sans akhirnya tahu, bahwa laki-laki misterius yang membantu mereka bukanlah seseorang yang biasa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!