Seluruh murid tahun pertama tertegun ketika menyaksikan perubahan warna pada mantel masing-masing. Dari putih menjadi warna sesuai dengan potensi tipe job masing-masing.
Sorakan dari murid tahun pertama meledak ketika mengetahui hasil dari aptitude test masing-masing. Kerja keras dalam menghadapi tes itu telah membuahkan hasil.
Hal yang sama juga terlihat pada Yudai dan Neu. Mantel mereka berubah dari putih menjadi biru gelap.
Yudai bersorak, “Yes! Aku jadi attacker!”
Neu sama sekali tidak menyangka ketika mantelnya berubah menjadi biru, meski mengetahui menjadi mage tipe attacker merupakan hal sulit. “Wow. Ini benar-benar menakjubkan.”
“Eh?” Yudai menghentikan selebrasi ketika menatap mantel Sans dan Beatrice. “Tunggu dulu.”
Beatrice tercengang mendapati mantelnya tidak berubah sesuai dengan warna job tipe, melainkan menjadi cokelat. “A-apa ini? Kenapa aku begitu berbeda daripada yang lain?”
Sans menatap mantelnya sama sekali tidak berubah seperti yang lain. Mantelnya tetap menjadi warna putih.
“Kenapa warna mantel kalian begitu berbeda?” Yudai heran.
Arsius menginterupsi perayaan setiap murid tahun pertama, “Boleh minta perhatiannya sebentar?”
Sorak sorai kebahagian itu langsung terhenti dan kini mereka mulai melirik kembali Arsius.
“Seperti yang kalian lihat, mantel kalian berubah sesuai dengan potensi tipe job kalian. Tipe job yang kalian dapatkan berdasarkan hasil tes selama tiga hari sebelumnya.”
Pembicaraan Arsius membuat seluruh murid kembali bercakap-cakap. Ekspektasi terhadap penilaian selama tiga hari sebelumnya mulai membuahkan hasil. Mereka menyadari bahwa hasil ujian tersebut murni dari keberhasilan setiap bagian aptitude test.
Yang menjadi perhatian juga adalah mantel warna cokelat milik Beatrice. Berbagai pertanyaan bermunculan di kalangan murid, terutama berbicara tentang warna yang berbeda dari ketiga tipe job lain.
“Oh, saya juga melihat ada yang memakai mantel warna cokelat? Jubah warna cokelat menandakan bahwa dia telah berhasil dalam dua dari tiga bagian aptitude test, yang berarti dia adalah song mage. Dia adalah song mage pertama di Akademi Lorelei dalam lima tahun terakhir.”
Beatrice tercengang ketika hampir seluruh murid kagum terhadap dirinya memakai jubah cokelat. “E-EEEEEEEH?!!”
Neu menepuk pundak Beatrice di hadapannya. “Selamat, Beatrice. Kamu lulus dua dari tiga bagian aptitude test. Meski sebenarnya dirimu—”
“Eh!” Yudai memperhatikan mantel Sans yang sama sekali tidak berubah. “Itu berarti …. Sans! Kenapa? Kenapa!”
Neu merespon sambil menundukkan kepala, “Apa boleh buat. Sans tidak lolos salah satu dari tiga aptitude test.”
Yudai tetap membantah, “Tidak mungkin! Kenapa para professor tidak menilai potensimu saja! Kenapa mantel Sans tidak berubah sama sekali! Dia sama sekali tahu potensi job-nya!”
Bantahan Yudai membuat hampir seluruh murid tahun pertama di dekatnya menoleh pada Sans. Bukan hanya Sans yang tidak beruntung, tetapi ada beberapa juga yang mendapati mantel sama sekali tidak berubah.
Seorang professor berkulit hitam juga memperhatikan Sans. Ia pun menghela napas begitu mengetahui jika Sans tidak lulus.
“Yudai, kamu dan Neu berhasil lolos bagian akhir aptitude test. Beatrice, kamu lolos bagian dalam dan luar aptitude test. Memang begini, aku sama sekali tidak lolos satupun aptitude test,” Sans membuka suara, “aku turut senang kalian menemukan potensi kalian. Kalian memang hebat.”
“Sans, kamu ….” Beatrice terengah-engah tidak tahu ingin berbicara apa lagi padanya.
Ketika keheningan tiba kembali, Arsius menutup pidatonya, “Saya harap kalian dapat mengembangkan potensi masing-masing selama berada di akademi. Khusus murid tahun pertama, kelas akan dimulai lagi dalam tiga hari. Manfaatkan libur selama tiga hari ini sebagai perenungan sekaligus istirahat. Semoga kalian dapat bertambah kuat dan bijak. Terima kasih.”
Seluruh murid bertepuk tangan ketika Arsius turun dari podium. Perayaan pun dimulai kembali demi membanggakan diri telah berhasil menyelesaikan salah satu dari serangkaian tes. Sorak-sorai menghiasi suka cita atas hasil jerih payah masing-masing.
Beatrice, Yudai, dan Neu tidak bisa bergabung dengan keramaian perayaan murid tahun pertama. Teman dekat mereka, Sans, sama sekali tidak dipandang potensi oleh setiap profesor selama tes berlangsung.
Sans hanya dapat merenungkan kegagalannya dalam tes ini, mengetahui itu... ia sama sekali tidak dapat berkata apa-apa.
***
Perayaan pun masih berlanjut ketika keluar dari aula. Perasaan gembira dan gagap gempita terlihat dari murid dengan mantel yang memiliki warna, mereka adalah orang-orang yang memiliki masa depan cemerlang. Sedangkan di sisi lain bagi mereka yang sama sekali tidak berwarna hanya dapat terdiam, mengetahui masa depan, dan juga karir mereka ke depannya tidak seindah apa yang mereka perjuangkan untuk dapat memasuki Akademi Lorelei.
Ketika melewati koridor menuju tangga, sekumpulan murid tingkat atas memandang Sans, seorang murid bermantel putih, bersama dengan Beatrice, Yudai, dan Neu. Terlebih, pandangan mereka menonjol pada mantel cokelat Beatrice, pertama kali dalam lima tahun terakhir.
“Lihat perempuan itu. Ia hebat sekali bisa menyelesaikan dua tes itu. Tentunya ia punya masa depan yang benar-benar cerah, Bung!”
“Aku merasa kasihan dengan si sawo matang bermantel putih itu. Ia sudah dekat dengan perempuan song mage. Akan lebih baik dia keluar saja dari akademi”
“Benar juga, murid bermantel putih tidak punya masa depan di Akademi Lorelei ini”
“Kita tunggu saja ia dikeluarkan dari akademi sekalian”
“Apalagi ia bernasib sial karena melawan Dolce.”
Percakapan dan gelak tawa dari sekumpulan murid tingkat atas seperti kumpulan pisau bermata dua, menusuk dari belakang. Sans terhenti ketika sekumpulan murid tingkat atas tersebut berlalu begitu saja, sebuah impian pun seakan retak.
Sans menundukkan kepala meresapi perkataan mereka. Kata-kata tersebut secara tidak langsung menjadi senjata penghancur.
“Sans?”
Yudai pun menoleh dan mendapati sahabatnya itu sedang dalam keadaan murung.
Beatrice langsung memahami. “Um, sebaiknya kamu abaikan saja perkataan orang-orang tadi. Jangan diambil hati.”
Sans menganggapi, “Aku mengerti. Aku telah mengecewakan professor dan juga... kalian. Aku sudah berjuang semampuku.”
“Eh? Ke-kenapa kami harus kecewa?” Beatrice secara terbata-bata kembali membalas, “kamu benar, kamu sudah berjuang semampumu. Kamu setidaknya sama sekali tidak melanggar peraturan.”
“Setidaknya kamu sudah berjuang sampai akhir, Sans,” tambah Yudai.
Sans mengangkat kepala dan berbalik menoleh pada kedua temannya itu. “Lalu, kenapa aku sama sekali tidak lolos? Kenapa aku tidak bisa lolos ketiga-tiganya? Kenapa jubahku tidak berubah?!”
“Sans—” Menatap raut wajah Sans semakin naik, Neu ingin berkata.
Sans memotong, “Tidak usah, Neu, tidak perlu mengatakan sesuatu. Pasti kalian kecewa denganku, sama seperti seluruh profesor. Kalian setidaknya lulus, jubah kalian berubah. Aku—”
“Sans, dengar—”
“Tidak usah!” jerit Sans.
Beatrice, Yudai, dan Neu tercengang ketika mendengar suara bicara Sans cukup tinggi. Kejadian tersebut juga mengundang perhatian beberapa murid di sekitar ruang depan dekat pintu aula.
Merasa bersalah begitu menyadari emosi telah terlampiaskan, Sans mulai melangkah. “Maafkan aku.”
Ia pun kembali menundukkan kepalanya sambil berlari kencang meninggalkan teman-temannya menuju pintu utama kastil. Perasaannya yang campur aduk membuatnya merasa malu sekaligus iri terhadap mereka yang berhasil mendapatkan mantel berwarna.
“Sans!”
“Tu-tunggu!”
Baik Yudai dan Beatrice yang ingin mengejar Sans, dengan cepat Neu langsung menghentikan mereka, “Yudai! Beatrice!” bentaknya “berikan ia sedikit waktu, aku yakin itulah yang ia perlukan sekarang.”
Merasa bersalah, Beatrice menatap kembali mantel cokelatnya. Ia kembali memikirkan hal-hal yang telah berlalu seperti bagaimana dirinya dapat lolos tes tanpa adanya Sans yang menemaninya.
Ia pun menghela napas berpikir seharusnya dirinya tidak mendapat kehormatan sebagai song mage. Ia akan lebih bahagia jika saja Sans dapat lolos bersama dengannya. Kini di dalam benak kecilnya yang bahagia setitik rasa tidak senang muncul dan menjadikannya campur aduk.
Begitu juga dengan Yudai yang merasa bahwa dirinya bersalah ketika memikirkan menu latihan yang ia berikan pada Sans terbilang kurang efektif. Apalagi melihat kawannya itu bertarung melawan Dolce hingga pingsan, ia hanya bisa memalingkan wajah dengan gigi-gigi yang mengerat.
Mereka bertemu pertama kali di sebuah kota pelabuhan di Benua Grindelr, memberi korban perompak masing-masing sebuah ramuan, membelikan belati hitam, melakukan pekerjaan dari quest board, menceritakan tujuan, dan pertama kali masuk ke akademi. Momen-momen tersebut terpicu sebagai kilasan di dalam benaknya, terutama ketika mengingat wajah Sans.
Bagi Yudai, penilaian dalam tes kali ini murni hanya berdasarkan dari keberhasilan dalam mengerjakan tugas setiap bagian memang tidak adil. Setidaknya, ia pikir setiap profesor harus memandang potensi setiap murid berdasarkan usaha untuk mencegah terjadinya kegagalan dalam pembelajaran.
“Kenapa? Padahal kita masih belajar. Padahal Sans masih benar-benar belajar? Lalu, kalau kita masih belajar, kenapa jadi begini!” Yudai meluapkan amarahnya sambil mengangkat kepala.
Neu menganggapi, “Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Itu keputusan dari setiap profesor, terutama Profesor Arsius.”
***
Sebuah genangan danau memancarkan langit hitam penuh bercahaya lampu pijar merah jingga beserta warna dari taman depan kastil akademi. Setidaknya, pancaran emosi juga tergambar di danau tersebut.
Sosok Sans tengah berdiri di hadapan sebuah danau dengan semak berbunga indah yang memancarkan kesan kesunyian. Kunang-kunang terbang di sekitarnya, meski seperti itu... lelaki yang kini hanya menatap tanpa tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya sama sekali tidak bisa tenang.
Kegagalan yang di alaminya tentu memberikan luka yang begitu dalam. Terutama ketika mengingat olok-olok murid tingkat atas, ia merasa gagal. Apalagi mantel putihnya yang begitu menonjol.
Sans sampai mengibaratkan genangan danau di hadapannya sebagai air kehidupan di gua. Saking terbayang, ia menggambarkan tubuh sang Ibu di permukaannya. Hal itu memicu muncul kembali ingatan mengapa ia memasuki Akademi Lorelei.
Masa lalu, itu yang diingatnya saat itu. Terutama ketika menenggelamkan sang Ibu ke dalam air kehidupan. Jika mimpinya terhenti, tentu ia tidak punya muka untuk kembali ke kampung halaman, apalagi untuk menemui sang Ibu.
Sebuah janji, yaitu untuk mencari obat untuk menyembuhkan penyakitnya, terpaksa harus terkubur dalam-dalam jika Sans dikeluarkan dari akademi, sebuah anggapan bagi murid bermantel putih dan gagal menghadapi aptitude test karena umumnya akan memiliki performa buruk.
Sans juga beralih pada ingatan yang lain, pertama, wajah Yudai yang tergambar di dalam benaknya. Pertemuan pertama mereka di dermaga kota pelabuhan di Benua Grindelr memberinya kesan yang pekat, menyelinap ke dalam kapal bersama hingga menyasikan perompak dan bertemu dengan Nacht. Membeli belati hitam sebagai senjata pertama, mengerjakan berbagai pekerjaan dari quest board, memasuki Akademi Lorelei, dan akhirnya mengerjakkan aptitude test bersama-sama. Tidak lama setelah mengenang perjuangannya bersama sang kawan, Sans pun teringat akan Beatrice dan Neu.
Perasaan yang begitu banyak membuatnya harus berlutut karena membayangkan setiap wajah yang ia kenali memandangnya dengan rasa kecewa dan penyesalan.
Saat ini pikirannya dipenuhi oleh kekecewaan yang mendalam dan melampiaskannya ke dalam bentuk tangisan. Kedua tangannya menutupi wajah yang tidak dapat tertahankan dan akhirnya menangis sejadi-jadinya dalam rasa sunyi malam penuh penyesalan.
Kini ia hanya dapat meratapi janjinya kepada sang Ibu yang mulai hancur.
***
Tempat itu memiliki dinding dengan keramik cokelat, bergorden abu-abu, serta langit-langit atasnya di cat dengan warna hitam bergaris. Sebuah chandelier menggantung lengkap bersama lampu meja berwarna kuning jingga—itulah pemandangan pertama yang dapat di lihat setiap murid ketika memasuki kamar asramanya masing-masing.
Dua tempat tidur yang hanya terbatasi oleh meja lebar dan jendela bergorden juga menjadi tempat istirahat bagi setiap murid, terutama bagi Sans.
Meski semua lampu sudah dimatikan, meski malam sudah begitu larut, meski udara mulai terasa hampa, Sans tetap terjaga meski sudah berbaring dan beberapa kali menutup mata, susah terlarut untuk memasuki fase lelap.
Tubuhnya benar-benar kaku, seperti tidak ingin lemas untuk menuju fase istirahat. Sans hanya dapat menghela napas dan mencoba tidur untuk sekali lagi. Sayangnya, berbagai upaya, termasuk mengosongkan pikiran, tidak membuat pandangan menghitam total untuk sementara, seperti ketika dia terhantam oleh Dolce ketika aptitude test bagian akhir.
Sans menoleh Yudai yang telah terlelap di tempat tidur tepat di samping kirinya, dekat meja lebar. Sebuah dengkuran terdengar begitu keras menandakan tidak dapat terganggu.
Aku yakin, kamu akan menjadi orang yang hebat saat kita bertemu lagi. Kamu memiliki potensi yang hebat. Berjanjilah, begitu kita bertemu lagi, kalian sudah menjadi orang hebat, orang yang di luar dugaanku, berbeda dari saat kita bertemu pertama kali.
Salam perpisahan Nacht ketika di dermaga mendadak muncul di dalam pikiran Sans. Entah mengapa, kesedihan dan kekecewaan terkalahkan oleh tenaga ekstra berkat kata-kata motivasi.
Ia pun langsung beranjak dari tempat tidurnya dan beralih pada meja lebar di antara dua tempat tidur. Dilihatnya menuju bawah meja ketika mengambil kantung bawaan berisi belati hitam, lima botol ramuan cairan hijau, dan buku dasar alkemis.
Aku berpikir akan lebih baik kamu memiliki buku ini. Ucapan perpisahan itu kembali keluar ketika ia memperhatikan buku bersampul merah motif emas di hadapannya.
Sans mulai membuka sampul halaman pertama. Ia mendapati Daun Ars masih terselip di antara sampul dan halaman pertama, masih utuh dan tidak kusut apalagi robek sama sekali, seperti ketika menemukan pertama kali di tepi pantai.
Ia pun langsung membulatkan tekadnya. Setelah itu ia tidak akan memikirkan kegagalan yang menimpanya saat itu dan mulai mencari jalan baru dengan potensi yang mungkin saja bisa ia kembangkan sendiri.
Mulai detik tersebut, Sans memutuskan untuk mulai membaca buku dasar alkemis secara mendalam sebagai langkah pertama. Jari-jemarinya menyingkap lembaran baru dan mulailah jalan baru terbuka lebar untuknya.
Tidak peduli berapa banyak teks dan gambar yang mungkin sulit untuk dipahami, lelaki yang kini mendapatkan kembali tekadnya itu segera memfokuskan diri....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
John Singgih
kekecewaan dan tekad sans
2021-03-21
0