“Akhirnya! Upah pertama kita!” seru Yudai mengangkat selembar vial begitu tinggi setelah kembali ke alun-alun kota.
Memang membutuhkan lebih lama ketika mendorong bangkai **** hutan dari hutan menuju kota. Ketika mereka kembali menuju alun-alun, langit perlahan mulai meredup, dan sebuah warna oranye keputihan mulai menyelimuti luasnya langit-langit di atas.
“Akhirnya selesai juga,” gumam Sans menghela napas.
“Oke, hanya tinggal empat hari. Berarti kita masih harus mendapat pekerjaan di quest board, demi uang ekstra!” tanggap Yudai ketika melewati quest board yang semakin padat oleh pengunjung. “Sekalian juga kamu masih harus belajar menggunakan belati itu”
“Iya, aku tahu.”
Ketika tengah melewati gerbang timur alun-alun, perhatian mereka tiba-tiba saja tertuju pada sebuah suara. Mereka pun sontak terhenti sesaat dan melihat seorang anak laki-laki menangis sambil berlari menghampiri keduanya.
Anak kecil itu berlari memasuki alun-alun dengan tangisan yang sangat keras. Bahkan perhatian beberapa petualang dan pengunjung tertuju pada anak tersebut karena penasaran.
“Tunggu!” seorang perempuan berambut pendek berkacamata juga melewati Sans dan Yudai untuk mengejar anak kecil itu.
Penasaran dengan kejadian tersebut, kedua pemuda itu berbalik meninggalkan gerbang timur alun-alun dan bergabung ke dalam kerumunan yang menyaksikan kejadian tersebut, terutama bersimpati pada anak kecil.
“Jangan ikuti aku, Bu!” jerit anak kecil itu menghentikan langkah tepat di hadapan gerbang selatan alun-alun. “Ibu hanya bisa memberikan harapan palsu! Ibu bilang Ayah akan pulang! Tapi Ayah tidak pulang setelah satu minggu!” Anak kecil itu berbalik meluapkan air matanya pada sang gadis berkacamata. “Kenapa Ibu tidak jujur saja! Kenapa?!”
“Nak.” Sang perempuan mulai berlinang air mata setelah mendengar keluhan dari sang anak. “Maafkan Ibu—”
“Tidak! Aku tidak mau pulang sampai Ayah kembali! Aku tidak mau pulang!” rengek anak kecil itu. Kedua kakinya dia tapakkan begitu keras pada lantai keramik alun-alun, membuat hampir semua pengunjung merasa iba.
Perempuan itu pun mendekati anak laki-lakinya dan tidak dapat menahan ledakan air matanya, “Maafkan Ibu, Nak.”
“Aku tidak mau pulang! Aku ingin Ayah pulang!” ronta anak kecil itu. “SIAL!!”
Sang Ibu pun berlutut dan mengikat pundak anaknya pada bahunya. Anak kecil itu tetap menangis dan meronta begitu nyaring di pelukan Ibunya. Bersama-sama, mereka meluapkan tangisan mereka untuk melampiaskan kerinduan sang ayah.
Menatap mereka berdua, sang Ibu mulai memeluk seorang anak laki-laki di hadapannya, membuat Sans terpikir kembali tentang Ibunya. Dia teringat setiap kali Ibunya memberinya kasih sayang sejak kecil di desa Highwind, setiap omelan hingga nasihat, membuatnya merindukan sosok berharga dalam hidupnya itu.
Yudai juga termenung ketika menyaksikan tangisan dan pelukan seorang Ibu dan anak di hadapannya. Beban di dalam otaknya juga mendadak menghilangkan semangat di luar. Tangan kanannya ia kepalkan untuk meresapi beban menuju tubuhnya.
Ketika Sans menoleh, ia dapat melihat raut wajah Yudai yang sedikit padam bahkan menunduk seperti memikirkan sesuatu yang sangat penting.
***
Sans mengeluarkan empat botol ramuan cairan hijau dan Buku Dasar Alchemist dari kantungnya menuju tempat tidur. Ia menghela napas ketika mengingat lupa bertanya tentang fungsi ramuan cairan hijau di dalam masing-masing botol berbentuk labu.
Sepuluh detik selesai menatap setiap botol ramuan itu, ia menoleh pada Buku Dasar Alchemist pemberian Nacht. Terpikir kembali ketika sosoknya yang misterius memberikannya sebuah buku bersampul merah ketika tiba di gerbang selatan kota.
Ia pun mengambil buku itu dari atas ranjangnya. Sans mulai membukanya dan melihat isi halaman pertama, di sana terdapat daun ars yang terselip menjadi pengingat paling penting pada pertemuan pertamanya dengan Nacht.
Sans menyentuh sisi kanan halaman pertama. Ketika jari-jemarinya tengah mulai memutarbalikan halaman, Yudai pun tiba dan duduk di hadapan dirinya serta keempat botol ramuan cairan hijau.
“Kamu masih penasaran dengan pemberian Nacht, kan?” Yudai memulai percakapan.
Ketika Sans menoleh pada kawannya itu, dapat dikatakan kecerahan dari wajah Yudai bercampur dengan kesurauan. Ia pun menatapi sorot cahaya matanya telah memudar.
Sans mengangguk sambil menutup buku bersampul merah itu, “Aku mungkin akan mencarinya di buku ini.”
Sans pun beralih menatap ruang penginapan yang mereka tempati. Dinding wallpaper porselen putih dan motif bunga biru dapat menjadi tonjolan penginapan murah tersebut. Di dalam kamar hanya terdapat tempat tidur berlapis kelambu dan meja di hadapannya.
Yudai kembali membuka suara, “Sans, maaf ya. Aku … tidak dapat menahan diri untuk menanyakan ini. Um … kamu ada tujuan tertentu untuk masuk akademi?”
Mendengar pertanyaan itu, Sans mulai menghela napas ketika mengingat kembali keadaan Ibunya. Sebuah kilas balik mengenai dirinya meletakkan tubuh sang Ibu ke dalam air kehidupan di sebuah gua.
“Eh? Maaf. Apa aku membuatmu mengingat sesuatu? Sesuatu yang tidak kamu ingin bicarakan?” Yudai bereaksi ketika menatap kemasaman wajah teman sekamarnya. “Kalau begitu, sebaiknya lupakan saja”
“Tidak apa-apa,” jawab Sans, “aku hanya teringat ibuku.”
“Ibumu? Apa ibumu—”
“Benar,” potong Sans tanpa membiarkan Yudai menyelesaikan satu pertanyaan lagi, “Ibuku … telah terkena sebuah penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Ia telah lumpuh, tidak bisa menggerakkan tubuh. Bukan hanya itu, Ibuku juga lupa siapa diriku, siapa tetangga di sekitarnya, dan segalanya yang telah menjadi kenangan. Aku ingin ke akademi untuk mencari obat yang bisa menyembuhkannya, meski harus rela ke luar desa Highwind. Aku ingin Ibuku sembuh dan mengingat siapa diriku.”
Melihat bagaimana Sans menjelaskan kondisinya saat ini, Yudai mengetahui bahwa beban yang dimiliki oleh temannya itu sangat berat. Ketika Sans memikirkan kembali Ibunya yang saat ini berada di dalam air kehidupan, air matanya tak sengaja tumpah. Ia juga tidak tahu bagaimana kondisinya saat ini karena semenjak kepergiannya selama dua hari, dirinya tidak mendengar kabar lagi.
“Aku … tidak tahu lagi harus berkata apa,” ucap Yudai, “saat melihat anak kecil yang menangis ingin ayahnya kembali …. Iya, jujur, aku iri dengan anak-anak yang diberi kasih sayang oleh kedua orangtua sejak kecil, sampai mereka menjadi dewasa. Aku benar-benar iri.”
“Yudai ….”
“Aku ke akademi untuk belajar bertarung dan melindungi diri, untuk mempersiapkan diriku agar bisa mencari kedua orangtuaku. Mereka telah meninggalkanku, Kakek, dan Nenek saat umurku lima tahun. Waktu itu hujan deras. Aku terbangun setelah mendengar petir. Begitu aku bangun karena ketakutan, aku mendengar suara kedua orangtuaku yang akan pergi.”
***
“AAAAH!” jerit Yudai kecil ketika mengangkat badannya dan terbangun dari mimpi kembali ke dunia nyata.
Yudai kecil menarik napas cepat untuk menenangkan diri dari sambaran petir di balik derasnya hujan. Akan tetapi, nyaringnya suara di luar kamar berupa percakapan tidak kalah dengan suara rintikan hujan lebat menuju tanah.
“Kenapa? Kenapa kalian harus pergi secepat ini? Kenapa kalian tidak mengajak Yudai?” sang Kakek melontarkan pertanyaan pada Ayah dan Ibu Yudai.
“Jaga Yudai baik-baik,” ucap sang Ayah sebelum menjawab salah satu pertanyaan sang kakek, “Kami tidak ingin membahayakannya. Kami akan menjalankan misi yang berbahaya, bahkan tidak tega menyaksikan anak kami menjadi korban.”
Sang Ibu juga menambah, “Tolong jaga anak itu. Kami mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat. Kami … harus meninggalkan Yudai pada kalian.”
Mendengar percakapan tersebut, terutama ketika Yudai kecil meninggalkan tempat tidur dan mendekati pintu. Tertegun akan kenyataan bahwa kedua orangtuanya harus meninggalkannya membuat hatinya pecah berkeping-keping. Kedua tangannya dia tempelkan pada pintu saat air mata mulai menetes menuju pipi.
“Kami harus pergi. Maafkan kami,” ucap sang Ayah.
Yudai kecil mendobrak pintu kamarnya dengan nyaring. Ketika dia mulai berlari menghampiri sumber suara percakapan itu, dia menjadi tatapan sang ayah dan ibu. Kakek dan neneknya juga tercengang dengan kedatangannya.
“Ayah! Ibu! Jangan pergi!” jerit Yudai kecil menarik tangan ayah dan ibunya.
“Yudai,” ucap Kakek.
Sang Ibu berlutut untuk berbicara pada Yudai kecil. Jempolnya menyentuh pipi Yudai kecil untuk menghapus tetesan air mata.
“Nak. Ayah dan Ibu sebenarnya ingin membawa kamu untuk berpetualang lagi, melihat dunia luar sekali lagi. Tapi tugas Ayah dan Ibu berbahaya, bahkan kamu bisa saja celaka, Nak.” Sang Ibu menyentuh pipi bagian bawah Yudai kecil. “Kamu jaga Kakek dan Nenek baik-baik, ya. Jadilah laki-laki yang kuat seperti Ayah. Bisa, ‘kan?”
Tidak tahan meneteskan air mata pula, sang ibu memeluk Yudai erat-erat untuk menenangkannya sejenak. Sang ayah juga ikut berlutut dan bergabung pada pelukan Yudai sejenak.
“Yudai, maafkan Ayah dan Ibu. Kami tidak bisa membawamu untuk melihat dunia luar,” ucap sang Ayah.
Kedua orangtua Yudai kecil pun melepas pelukannya dan berbalik menghadapi pintu depan, melangkah keluar untuk pergi. Sebuah kereta kencana telah menunggu mereka membelakangi pintu di bawah derasnya hujan, bersiap untuk berangkat.
“Ayah! Ibu!” jerit Yudai kecil ketika genggaman pada tangan kedua orangtuanya terlepas.
Sang Kakek pun mengikat tubuh Yudai kecil menggunakan tangan kanan. Matanya juga berbinar-binar ketika menyaksikan sang ayah dan ibu mulai menaiki kereta kencana di hadapannya.
Yudai kecil meronta-ronta dan meledakkan tangisan ketika pintu kereta kencana telah tertutup. “Ayah! Ibu! Ayah! Ibu!”
Sang Nenek pun melangkah sambil termenung. Dipegangnya pintu depan rumah untuk menutupnya dengan rapat.
“Ayah! Ibu!” jerit Yudai kecil lagi.
Tidak tahan menyaksikan kereta kencana di hadapannya mulai meninggalkan halaman rumah, Yudai kecil menyenggol perut kakeknya menggunakan sikut kiri untuk membebaskan diri.
Sang kakek pun tercengang dengan rasa sakit sehingga melepaskan Yudai kecil dari ikatannya. Tangan kanannya menyentuh perut terlebih dahulu sambil memandang Yudai kecil menyebrangi pintu depan rumah, tepat sebelum sang nenek dapat menutup rapat pintu.
“Ah!” jerit sang nenek melihat Yudai kecil menerobos pintu.
“Yudai!” jerit sang kakek mendekati pintu menyaksikan Yudai kecil mulai mengejar kereta kencana.
Tidak peduli hujan deras ikut membasahi dirinya, tidak peduli juga hawa dingin, Yudai kecil berlari secepat mungkin mengejar kereta kencana. Namun, kecepatan larinya kalah jika dibandingkan kecepatan langkah kereta kencana dihadapannya.
“Ayah! Ibu! Ayah! Ibu!” jerit Yudai kecil. “Ah!”
Yudai kecil pun tersandung menuju jalan bebatuan, menyaksikan kereta kencana di hadapannya semakin jauh dari pandangannya. Kereta kencana itu seketika menghilang dari pandangannya di balik hujan lebat.
“Ayah! Ibu!” Yudai kecil meledakkan jeritan dan tangisan sekuat tenaga. “Ayah, Ibu, jangan pergi! Ayah! Ibu!”
Jeritan Yudai kecil semakin meledak diiringi derasnya hujan dan mencekamnya petir.
***
“Sejak saat itu, kedua orangtuaku tidak pernah kembali. Bahkan, mereka sama sekali tidak mengirimiku surat atau memberikan kabar mereka mereka. Seperti orang tua kebanyakan anak yang menanyakan apa aku baik-baik saja, tumbuh dengan baik, atau menjadi kuat. Aku tidak tahu bagaimana kabar kedua orangtuaku sekarang,” Yudai melanjutkan cerita masa lalunya.
Sans terdiam begitu mendengar teman sekamarnya itu. Ia tidak menyangka bahwa masa lalu Yudai lebih kelam dibanding dirinya. Terlebih, jika mengingat sifatnya yang selalu tersenyum dan bersemangat untuk melakukan segala sesuatu, hal ini di luar dugaannya.
“Sebenarnya, aku lahir ketika Ayah dan Ibu sedang bertualang di gua, setidaknya kami selamat. Bahkan, Ayah dan Ibu begitu repot mengasuhku sambil bertualang sebelum pulang ke rumah. Selain itu, aku pernah hampir diterkam oleh seekor harimau, Ayah menyelamatkanku. Itulah kenapa, aku lupa berapa lama setelah keluargaku pulang ke rumah, Ayah dan Ibu meninggalkanku bersama Kakek dan Nenek, demi menyelamatkanku dari bahaya.
“Selain sering diajak Kakek untuk memancing di sungai, katanya lebih aman daripada berburu. Tapi, aku memutuskan untuk belajar memanah, bahkan sampai menghabiskan uang pemberian Kakek hanya untuk membeli busur dan beberapa panah, meskipun membuat mereka cemas tapi aku memberanikan diri untuk berburu di hutan.
“Mengingat aku belum terlalu mahir atau bisa menggunakannya, pada akhirnya lenganku terluka. Ketika aku kembali, Kakek dan Nenek yang sudah terlebih dahulu sampai langsung mencemaskanku. Tetapi, aku ingin seperti orang tuaku. Sekarang, aku sudah memutuskan akan mencari kedua orangtuaku, dimulai dari belajar di akademi atas perintah Kakek. Jika aku pulang hanya karena soal 500 vial itu, pasti Kakek kecewa”
Sans menganggapi, “Wow. Aku tidak menyangka.”
Yudai kembali melebarkan senyuman di balik perenungannya. “Kakekku bilang tidak semua orang sebaik penampilannya. Tidak semua orang sesenang kelihatannya. Jadi, aku yakin tujuanmu benar-benar mulia, kamu tidak membawa apapun, bahkan senjata dan uang, kamu tidak tahu apa-apa tentang bertarung dan berburu, tidak apa. Kita belajar bersama di akademi. Oh, benar, saat kita mengambil beberapa pekerjaan lagi demi tambahan uang.”
“I-iya. Aku akan berusaha keras.” Sans menunduk malu.
“Oh ya, besok akan menjadi hari baru, hari yang cukup panjang karena pekerjaan di quest board.” Yudai mulai berbaring di tempat tidur. Kedua tangannya juga ditempatkan pada punggung kepala. “Menceritakan ini membuatku lebih lelah. Selamat tidur”
“Selamat tidur,” ucap Sans pelan ketika Yudai mulai menutup mata.
Sans pun kembali menoleh pada buku dasar alchemist dan keempat botol ramuan cairan hijau di dekatnya. Wujud Nacht kembali terpancar pada pikirannya, terlebih ketika dia diberikan seluruh barang itu.
Diangkatnya kembali buku dasar alchemist pada genggamannya, Sans menghela napas. “Nacht.”
Dalam pikirannya saat ini Sans hanya bertanya-tanya mengapa mantan anggota kerajaan seperti dirinya bisa berada di atas kapal itu, apa tujuannya, dan mengapa ia memberikan buku dasar mengenai alchemist kepadanya?
Walaupun banyak sekali pertanyaan yang mengganjal dihatinya, tetapi ia langsung mengenyahkannya, lalu menutup mata berharap dapat terlelap dengan cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Leo
alur nya cepetin dikit ngapa thor
2021-07-24
1
John Singgih
kisah masa lalu yang menyedihkan Sans dan yudai
2021-03-20
0