Menjemput seluruh murid tahun pertama yang masih berada di hutan dekat akademi membutuhkan waktu cukup lama hingga langit kehilangan warna menjadi hanya hitam. Tidak heran, Dolce mengumumkan bahwa hanya 13 orang dari semua murid tahun pertama yang mampu menemukan herb biru. Ketigabelas orang itu harus menunjukkan hasil pencarian mereka pada setiap professor sebagai bukti kelulusan aptitude test bagian luar.
Sans, Beatrice, Yudai, dan Neu hanya menatap setiap murid tahun pertama yang meluapkan kekesalan mereka telah gagal menemukan herb biru, apalagi sampai terluka akibat menghadapi binatang buas atau mengalami kecelakaan seperti jatuh dari tebing.
Yudai mulai mengangkat kedua tangan perlahan, “Tenanglah, semuanya tenanglah.”
Neu menolak dan menggerakkan kedua tangan menuju pinggang, “Bagaimana bisa tenang? Kita bahkan tidak menemukan herb biru sama sekali. Kita gagal! Karena keputusan bodohmu, memanjat pohon, kita dikejar-kejar lebah sampai disengat.”
Beatrice mengangkat tangan, “Se-sebenarnya aku telah menemukan herb biru. Aku juga sudah memberikannya pada professor.”
Yudai dan Neu melongo sejenak sebelum mengutarakan reaksi, “Benarkah!”
Sans menambah, “Setidaknya, dia berhasil menyelesaikan aptitude test bagian luar.”
“Sebenarnya, bagaimana Beatrice menemukan herb biru itu?” Neu bertanya.
***
Lelah berlari melawan waktu, Sans dan Beatrice melambat ketika berjalan menyusuri pepohonan ketika kembali berbelok. Seakan-akan mereka sudah tidak punya lagi tujuan demi mencari herb biru.
Menatap langit pun sama sekali tidak membantu, keindahan warna oranye di tepi bawah langit justru membuat pikiran kocar-kacir. Ditambah lagi tenggorokan sama sekali belum terbasahi oleh cairan apapun selain air liur.
Sans menghela napas. “Sebentar lagi senja, kita sama sekali belum menemukan herb biru.”
“Gi-gimana ini!” Semangat Beatrice hancur oleh naiknya ketegangan di dalam dirinya.
Beberapa suara langkah lari seperti mengikuti irama jantung. Mereka terhenti ketika saking keras suara langkah lari itu dari belakang.
Sans dan Beatrice menoleh, menatap segerombolan rusa tengah berlari kencang. Lebih buruk lagi, di hadapan segerombol rusa tersebut adalah Tay dan keempat temannya yang tengah berlari sambil menjerit.
Sans dan Beatrice juga ikut menjerit ketika menatap tepat pada wajah geromobolan rusa tersebut. Mereka berbelok memasuki pepohonan demi membebaskan diri dari kejaran gerombolan rusa yang meledak.
Begitu menatap segerombolan rusa masih tidak lelah mengejar Tay dan keempat temannya, Sans berbalik dan memegang salah satu badan pohon di samping. Dia justru tercengang ketika menatap Beatrice telah berada di dekat benda seperti gumpalan bulu hitam besar.
“Kenapa wajahmu masih begitu, Sans?” Beatrice sama sekali tidak menyadari dia telah menginjak bagian dari gumpalan bulu besar tersebut.
Sans menunjuk menggunakan telunjuk pada sesuatu yang telah Beatrice injak. Tanpa perlu bersuara lagi, dia tidak ingin membuat situasi lebih buruk.
Gumpalan bulu hitam besar itu bangkit dan mulai meraung, mengungkapkan dirinya sebagai seekor beruang, bahkan sebelum Beatrice mendengar suaranya.
“Eh?” Beatrice menatap tepat pada wajah beruang itu sebelum menyadari telah menginjak bagian kaki.
“Lari yang kencang!” jerit Sans begitu beruang itu kembali mengamuk.
Sans dan Beatrice berlari begitu berbalik dari kejaran beruang. Raungan beruang dan jeritan mereka secara nyaring meledak bersamaan. Alih-alih tetap bersama, Sans justru memisahkan diri dari Beatrice demi keselamatannya dengan berbelok kanan.
Beatrice yang berbelok kiri justru menoleh ke belakang bahwa beruang itu masih mengejar. “Hiii!! Ke-kenapa aku yang dikejar!”
Menatap hanya jalan lurus di hadapannya, ia pun memutuskan untuk berbelok kiri menuju semak-semak pembatas jalan. Perempuan ber-sun hat putih itu justru melompati semak-semak demi membebaskan diri dari kejaran beruang.
Namun, Beatrice justru tersandung menuju tebing menurun. Tubuhnya berguling meuruni tebing berrumput hijau tersebut tanpa kendali sebelum berhenti di tempat landau dekat aliran sungai.
Begitu Beatrice membuka mata, sebuah herb biru sudah berada di depan mata. Kesalahan justru membawa keberuntungan, dia mengambil herb biru tersebut.
“Aku dapat! Aku dapat! Aku dapat!” serunya sambil bangkit kembali dengan cepat.
Baru saja berdiri tegak, sebuah bunyi lonceng menandakan aptitude test bagian luar berakhir telah terdengar.
***
“Tidak mungkin!” Yudai melongo setelah mendengar cerita dari Sans dan Beatrice. “Jadi itu hanya keberuntungan?”
“Setidaknya aku lulus, kan?” tanggap Beatrice.
“Tidak bisa! Kamu telah menggunakan senjata untuk membunuh hewan buas!” Sebuah suara teriakan seorang profesor perempuan terhadap salah satu murid sontak menghentikan percakapan, mengalihkan perhatian pada samping.
Neu mengenali profesor perempuan yang menjerit itu. “Oh tidak. Itu Profesor Alexandria.”
Profesor perempuan berambut pirang kecokelatan pendek itu membentak sang pelanggar aturan, “Tidak usah banyak alasan! Saya melihat dengan mata saya sendiri! Lebih baik kamu kemas barangmu dan segera keluar dari akademi!”
Mendengar perkataan keluar dari akademi dari profesor seperti Alexandria sudah membuat seluruh murid di sekitar gerbang tercengang, menyimpulkan bahwa aturan tidak dibuat untuk dilanggar secara main-main. Apalagi perkataannya seperti meledakkan benak. Setiap professor sungguh serius ingin menguji potensi setiap murid tahun pertama.
Mereka tahu bahwa Alexandria telah menjadi terkenal karena memberi standar yang sudah keterlaluan, bahkan sering memotong argumen atau penjelasan murid ketika kelas berlangsung demi menunjukkan sebuah kuasa, sampai mengecap sebagai “sok tahu”. Tidak heran, setiap murid di Akademi Lorelei tidak ada yang berani atau suka pada profesor perempuan itu.
Perhatian pun beralih pada murid yang menjadi korban omelannya. Murid malang tersebut termenung ketika mendapati dirinya terpaksa harus keluar dari akademi karena melanggar peraturan selama aptitude test berlangsung.
“Kejam,” ucap Beatrice.
“Beruntung, kita akan habis jika berada di situasi yang sama,” gumam Yudai.
***
Sebuah kastel besar berdinding batu-bata penuh noda hitam dan bagian terkelupas merupakan kastel terbengkalai, lokasi tes bagian dalam. Seluruh murid tahun pertama yang mampu menghadiri tes ini terpana dengan keangkeran kastil tersebut, berbeda dari gedung akademi.
Dolce menjelaskan, “Kalian harus menemukan Patung Selene dan mengambil air mata yang terpancar menggunakan gelas kecil. Kalian boleh mengambil beberapa tetes. Begitu kalian telah mengambilnya, kalian harus kembali ke sini dengan selamat. Tetapi, jangan sampai tertangkap oleh kesatria patung yang mengawasi. Jika kalian tertangkap, kalian akan dibawa kembali ke sini dari pintu samping dan harus mengulang dari awal, hal yang sama juga berlaku untuk yang telah mendapatkannya dan belum berhasil keluar. Kalian juga harus menghindari monster screamer dan beberapa unsur kejutan lainnya yang akan membuat kalian gagal. Dua jam adalah batasnya. Seperti sebelumnya, waktu berakhir ketika lonceng berbunyi. Kalian mengerti?”
Beatrice lagi-lagi tidak dapat menyembunyikan ketegangan di balik wajahnya. “A-aku akan berjuang. Ki-kita akan lolos.”
“Oke, tantangannya lebih parah daripada sebelumnya, maksudku lebih menantang daripada sebelumnya,” komentar Yudai, “dan Neu pasti sudah membaca banyak soal monster-monster—”
“Kabar buruk, Profesor Alexandria memergokiku saat aku ke perpustakaan. Katanya murid tahun pertama tidak diperbolehkan untuk ke sana selama aptitude test berlangsung,” tuturnya.
“Kalau begitu kita tidak punya informasi tentang kelemahannya!” jerit Beatrice meluapkan kepanikannya. “Seram! Banyak sekali monster! Bagaimana kalau kita bertemu dengan monster-monster itu? Bagaimana ini!”
Sans menghela napas ketika salah satu profesor memberi mereka masing-masing satu gelas. “Apapun yang terjadi. Kita setidaknya harus mencapai Patung Selene, mengambil air matanya, lalu kembali dengan selamat”
“Apa semuanya sudah mendapat gelas masing-masing?” tanya Dolce.
Semua murid tahun pertama yang mengikuti aptitude test bagian dalam mengangkat gelasnya masing-masing.
“Baiklah. Begitu saya mengucapkan mulai, kalian boleh memasuki kastil ini,” ucap Dolce sambil mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi.
Seluruh murid baru mengambil posisi untuk bersiap berlari. Tangan kanan telah mengenggam cangkir seerat mungkin agar tidak jatuh dan pecah ketika terdorong di garis start.
“Aptitude Test bagian dalam … dimulai!” seru Dolce.
Semua murid baru akhirnya memulai start, berlari terbirit-birit memasuki melalui pintu depan. Beatrice pun terlambat bereaksi ketika seluruh murid baru telah mendahului dan menghalangi pandangannya.
Ia tercengang ketika ketiga temannya sudah terlebih dahulu bergabung di antara murid-murid lain di hadapannya. Ia pun panik ketika mengetahui bahwa hanya dirinyalah yang tertinggal paling terakhir.
“Ah! Sans? Yudai? Neu?” jerit Beatrice kembali panik. “Ti-tidak!”
***
Seluruh murid tahun pertama berbondong-bondong terlebih dahulu melewati ruang depan, tanpa memedulikan setiap belokan sama sekali, hal yang menjadi pandangan mereka berupa ruangan luas seperti sebuah pusat dari kastel tersebut.
Karena terdorong dan kalah cepat, Sans dan Yudai semakin panik ketika menyaksikan setiap murid di barisan depan seakan memperebutkan posisi pertama untuk mendapat air mata Patung Selene.
“Stop!” jerit Neu menahan bahu Sans dan Yudai ketika hampir mencapai ruangan luas di depan.
Jalan menuju ruangan luas itu pun seketika berganti seperti sebuah hologram, seketika kembali menjadi dinding batu-bata terkelupas. Tidak heran, suara jeritan dan pecahan gelas juga terdengar nyaring, mengagetkan seluruh murid yang sama sekali belum melintas.
“KESATRIA PATUNG!!” Itulah salah satu jeritan di balik dinding tersebut.
“A-apa ini?” Yudai tercengang.
“Da-darimana kamu tahu itu, Neu?” tanya Sans.
“Aku melihatnya, tembok itu berubah setelah bagian bawah seakan memantulkan cahaya,” Neu menyimpulkan, “i-ini dinding ilusi.”
“Di-dinding ilusi?” ulang Sans.
“Jangan bilang kamu hanya beruntung,” respon Yudai.
“Tu-tunggu, mana Beatrice?” Sans menyadari Beatrice tidak ada di sekitar mereka.
“Beatrice! Oh sial!” Yudai menyentuh kepalanya seraya tercengang. “Dia ketinggalan?”
Melihat dinding di hadapan mereka sudah bisa dianggap sebagai jalan buntu, berbagai jalan di samping kiri dan kanan merupakan pilihan lain. Akan tetapi, begitu banyak pilihan, begitu membingungkan pula untuk menentukan jalan tepat langsung menuju tujuan mereka.
Sama sekali tidak diberi petunjuk apapun, bahkan lokasi ataupun peta, hampir semua murid yang tersisa masing-masing memasuki jalan pilihan mereka. Kebingungan justru terpikir bagaimana jika jalan tersebut merupakan dinding ilusi atau berisi ksatria patung dan monster screamer.
Neu dapat melihat beberapa jalan di setiap sisi dinding kembali berubah menjadi dinding sebagai dinding ilusi. Jeritan murid baru yang melintasi dinding ilusi juga meledak seketika.
Neu berbalik dan menatap salah satu jalan yang sama sekali tidak berubah. Dia menunjuk pada salah satu jalan di balik dinding bagian kirinya. “Lewat sini!”
“Neu, tunggu, apa kamu yakin?” Sans ragu ketika dirinya dan Yudai mengikuti Neu. “Bagaimana dengan Beatrice?”
“Ini mungkin jalan yang benar.” Neu melintasi jalan tersebut terlebih dulu. “Tidak ada waktu untuk menunggu lagi.”
Menyaksikan Sans, Yudai, dan Neu memasuki salah satu jalan di dinding, Tay yang masih berdiri meski ditinggal oleh semua teman dekatnya berubah pikiran. Laki-laki berambut hitam pendek itu memutuskan untuk mengikuti mereka melalui jalan yang sama.
Ketika beberapa murid yang tersisa di ruangan depan kastil tersebut mulai memilih jalan masing-masing untuk menemukan Patung Selene, Beatrice akhirnya baru saja melewati pintu masuk, menyaksikan berbagai jeritan dan pecahan gelas.
“Hiii!!” jerit Beatrice semakin merinding, apalagi ketika melihat dinding terdepan berubah kembali menjadi jalan menuju seperti ruang pusat. “I-itu di-dinding macam apa?”
Beatrice terlebih dulu menyusuri jalan lurus demi mengintip setiap jalan, baik itu berupa tembok ilusi atau bukan. Ketika salah satu jalan berubah kembali menjadi dinding, dia tercengang ketika menyadari jalan itu berupa dinding ilusi.
Mengintip salah satu jalan asli, ia pun menyaksikan salah satu murid menjerit ketika tertangkap oleh sebuah ksatria patung. Benar. Ksatria patung.
“Hiii!!” desis Beatrice.
Kesatria patung tersebut memang terbuat dari batu. Berbeda dari patung biasa, benar apa yang dikatakan Dolce dan Arsius, kesatria patung dapat bergerak demi menebas dan menangkap setiap murid sambil mengawasi.
Setiap kesatria patung memiliki kepala menyerupai helm besi, torso ber-armor, genggaman tangan berpedang, dan celana menyerupai baja. Hampir tidak mungkin setiap murid berhadapan dengan ksatria patung menggunakan tangan kosong.
Beatrice kembali ngeri sambil menyentuh sun hat putih di atas kepala ketika menyaksikan kesatria patung di balik jalan tersebut mengangkat dua murid sekaligus. “Ba-bagaimana ini? Aku hanya seorang diri! Harusnya aku bersama Sans, Yudai, dan Neu! Harusnya aku tidak ragu setelah mendengar penjelasan Dolce!”
***
Beruntung, jalan yang Sans, Yudai, dan Neu pilih merujuk pada sebuah tangga. Tidak ada rintangan seperti ksatria patung, dinding ilusi, ataupun monster screamer. Mereka bertiga secara hati-hati menaiki tangga yang sekali lagi terbuat dari batu-bata berkelupas, melangkah perlahan.
Begitu mencapai puncak dari anak tangga, terlihat dua buah jalan terbuka, lurus atau menjorok ke kiri seperti posisi miring di antara dua ujung tembok di kiri.
Sans menutur lagi, “Lebih baik kita lewat mana?”
“Baik, seperti kemarin, ke kiri!” Yudai memberi usul dan mulai mengambil ancang-ancang.
“Tunggu!” Neu menahan bahu Yudai.
“Ke-kenapa? Padahal ke kiri itu merupakan pilihan yang tidak mengikuti mayoritas seperti kemarin,” Yudai menganggapi.
Neu menganggukkan kepala pada kedua jalan di hadapan mereka. “Pastikan dulu apa salah satu dari dua jalan itu merupakan dinding ilusi atau bukan. Kalau kita melewatinya, kita mungkin akan tertangkap oleh para ksatria patung. Lebih buruk lagi, kita terpaksa mengulang dari awal dalam waktu yang tidak banyak.”
Sans menatap selama beberapa detik, Yudai dan Neu memutuskan tidak terjadi apapun pada kedua jalan tersebut, bahkan sama sekali tidak berubah menjadi dinding.
“Kalau begitu kita berpencar lagi,” Yudai mengungkapkan ide bodohnya.
“Itu sama saja dengan bunuh diri, bodoh!” Neu menampar bahu kanan Yudai.
“Kenapa kalian tidak coba saja ide kampungan itu?” Tay berucap setelah mencapai puncak dari tangga menghadapi ketiganya.
Ketika mendengar suara itu, Sans, Yudai, dan Neu berbalik. Tay telah mengikuti mereka dari belakang seorang diri. Neu menggeretakkan giginya ingin meluapkan emosinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
John Singgih
ujian di kastil terbengkalai
2021-03-21
0