Berbagai murid baru satu per satu meninggalkan kota melewati hutan kecil pembatas menuju Akademi Lorelei ketika senja tengah berganti menuju malam. Tentu akan memalukan jika mereka terlambat datang ketika upacara penerimaan akan segera diadakan.
Sans dan Yudai hanya dapat berdiri menyaksikan satu per satu murid baru, baik individu atau dalam kelompok, melewati hutan kecil pembatas antara akademi Lorelei dan kota menuju jembatan. Yudai sampai menyilangkan kedua tangan di dadanya, menatap menuju arah kota.
Sesuai janji pada hari sebelumnya, mereka menunggu Beatrice dan Neu sebelum melewati jembatan menuju akademi. Hanya embusan anginlah yang menjadi teman mereka selagi menunggu dan menyaksikan murid-murid lainnya berjalan dengan wajah senang.
Namun tiba-tiba saja sekumpulan laki-laki muncul di depan mereka setelah keluar dari hutan menuju gerbang akademi.
Sans dan Yudai sedikit terkejut ketika mengetahu mereka mulai mendekat. Yang ada dalam pikiran keduanya saat ini adalah apakah Beatrice dan Neu tidak terlambat?
Sekumpulan lelaki itu pun menatapi Sans dan Yudai. Berpakaian lusuh, bernoda hitam, dan kotor memberi kesan keduanya tampak tidak terpandang.
“Sudah dekil begitu, masih berharap bisa mengemis ya? Kalian lihat sendiri, kalau ingin mengemis, kembali saja menjadi gelandangan!” ucap lelaki berponi menyamping kiri kehitaman.
Yudai merespon perkataan laki-laki itu dengan nada setinggi naik, “Kami hanya menunggu teman”
“Menunggu teman? Buat apa? Buat ikut meminta-minta murid baru seperti kami? Hah?” balasnya menyindir.
Yudai mencoba untuk tetap tenang sambil kembali membalas, “Kata siapa? Kami juga murid baru Akademi Lorelei seperti kalian!”
“Kalian? Orang sedekil kalian murid akademi Lorelei?” sahut lelaki di sampingnya dengan senyum mengejek.
Alhasil mereka pun tertawa terbahak-bahak karena mendengar perkataan Yudai.
Terpicu dan dipermalukan, emosi Yudai sudah mendidih dan tidak dapat didinginkan lagi. “Keterlaluan!”
Meski telah memiliki busur dan quiver berisi panah di punggungnya, Yudai tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan fisik untuk memberi pelajaran pada laki-laki di hadapannya.
Ketika kepalan tangannya mulai berayun, Yudai melangkah lebih dekat untuk memukulnya tepat pada wajah. Tetapi, ialah yang terjatuh dengan punggung yang menghantam rerumputan karena serangannya berhasil dialihkan.
“Ughh!”
“Yudai!” jerit Sans sambil mendekat dan merendahkan tubuhnya, “sebenarnya apa urusan kalian?”
“Masih belum kapok juga, ya?” laki-laki berambut hitam pendek itu kemudian menyentuh gagang pedang dari punggungnya, seraya ingin menebas.
“Berhenti!”
Suara itu tiba-tiba muncul dan berhasil mengalihkan perhatian Sans dan Yudai.
Asal suara itu adalah milik Neu yang saat ini tengah berlari menghampiri mereka dengan tergesa-gesa.
Namun komplotan lelaki itu tidak takut dan mulai mengarahkan tatapannya pada Neu—lelaki berkacamata yang memiliki kepercayaan tinggi.
Neu menunjuk menggunakan telunjuk kanannya. “Kalian bergerombol dan menghajar mereka, ya? Tidak adil! Mereka temanku!”
“Bedebah!” jerit salah satu komplotan lelaki.
Laki-laki berambut hitam pendek itu merentangkan tangan kiri. “Tunggu. Biar aku saja,” selanya sambil mendekati Neu dengan tatapan tajam dan garang, “besar juga nyalimu, mata empat. Kalau kamu juga mengaku sebagai murid baru Akademi Lorelei seperti mereka berdua, kamu sama dekilnya.”
Ia pun kembali menggenggam bilah pedang, bersiap menyerang Neu.
“Uh, Bos?”
Salah satu rekannya langsung menunjuk pada setidaknya tiga murid baru yang terhenti untuk melihat kejadian itu di belakangnya.
Laki-laki berambut hitam pendek itu menoleh ke belakang, menyadari bahwa mereka telah menjadi pusat perhatian bagi ketiga murid baru lain itu. Tidak ingin reputasinya dipertaruhkan, ia pun langsung melepaskan genggamannya.
“Baiklah. Aku tidak tahan lagi menatap wajah dekil kalian. Terutama kamu, mata empat!” Laki-laki berambut hitam pendek itu menarik baju Neu. “Saat kalian siap, aku tidak segan untuk menghajar kalian.”
Ia pun berbalik menuju jembatan bersama komplotannya, meninggalkan Sans, Yudai, dan Neu, beserta ketiga saksi lain. Yudai akhirnya mampu bangkit sambil menyentuh dadanya yang telah terhantam oleh lengan laki-laki berambut hitam pendek itu.
“Kalian tidak apa-apa, kan?” Neu memastikan.
Sans hanya bisa berucap sambil ikut bangkit, “Te-terima kasih, Neu. Kamu … menyelamatkan kami.”
Neu menghela napas saat mendekati Sans dan Yudai, memastikan tidak ada luka fisik yang terlihat secara signifikan. Dia kembali menggeleng.
“Aku tidak percaya akan ada orang seperti tadi. Mereka brengsek sekali, benar-benar brengsek,” lontar Neu.
“Maaf terlambat!” Beatrice melambaikan tangan ketika tiba mendekati Sans, Yudai, dan Neu. “Kudengar ada masalah pada kalian saat aku tiba di sini. Apa yang terjadi?”
Neu menghela napas kembali. “Kelima orang brengsek ini, mereka menghajar Sans dan Yudai tanpa alasan jelas. Jadi aku menghentikannya dan dia mengancam.”
“Eh!” jerit Beatrice melongo dan kewalahan. “Ja-jadi, kelima orang brengsek itu orang jahat? Mereka juga murid baru Akademi Lorelei seperti kita, ‘kan? Kita bilang saja pada profesor yang kita temui kemarin pada pendaf—”
“Tunggu. Sebaiknya jangan,” potong Neu mengingatkan.
“Eh? Kenapa? Padahal kan kelima orang itu sudah mengancam dan menghajar kalian, bukan? Jadi, solusinya kita bilang pada profesor di Akademi Lorelei, lalu semuanya akan selesai.”
Yudai menambah, “Aku setuju pada Neu. Kalau kita benar-benar memberitahu salah satu profesor, semua takkan pernah berakhir begitu, dan mereka mungkin akan menghajar kita dengan sungguh-sungguh.”
“Ta-tapi kan—” Beatrice mulai panik setelah mendengar tanggapan Yudai dan Neu.
Yudai kembali mengungkapkan, “Kakekku pernah bilang begitu. Ada baiknya sebuah masalah kita selesaikan dengan cara sendiri. Dengan cara itu, kita akan menjadi bijak dalam menghadapi masalah. Suatu saat nanti, masalah kita dengan laki-laki—”
“Kita?”
“Oh, maksudku, nanti gerombolan kelima laki-laki itu akan sadar sendiri dan jera, kan? Ya, kita sebaiknya tidak bertemu mereka secara langsung di akademi.”
Sans menoleh pada beberapa murid baru yang telah ikut berdatangan dan mulai melewati jembatan menuju akademi. Begitu juga dengan langit yang sudah mulai kehilangan arah senja dan menuju malam.
“Sebaiknya kita bergegas karena sudah mau malam. Upacara penerimaan murid baru akan dimulai!” Sans mengingatkan sebelum mereka kembali melangkah menuju jembatan tersebut.
“Setidaknya kita beruntung,” tambah Yudai mencoba menambah semangat.
***
Seluruh murid baru Akademi Lorelei berdiri dengan antisipasi tinggi di hadapan gerbang menuju halaman akademi. Keceriaan, air mata kebahagiaan, hasrat, dan harapan tergambar pada beberapa murid baru, tidak sabar menunggu untuk menapakkan langkah pertama di akademi.
Sans, Beatrice, Yudai, dan Neu menjadi salah satu murid baru di barisan belakang juga tidak kalah mengekspresikan antisipasi mereka meski telah menjadi “korban” dalam insiden sebelumnya.
Gerbang pun terbuka lebar seakan terbelah menjadi dua, mengungkapkan sebuah kesan pertama mengenai bagian dalam yang tersembunyi di balik pagar. Sebuah taman berbunga penuh warna, mulai dari hijaunya rerumputan hingga beberapa bunga yang menyerupai akademi dengan keragaman warna lainnya.
Seorang laki-laki berambut bowl cut menutupi alis kiri menghampiri mereka untuk menyambut, mengundang semakin banyak antisipasi bagi kebanyakan murid baru, terutama di barisan terdepan yang tidak dapat menyembunyikannya.
Ia pun memperkenalkan diri, “Selamat datang di Lorelei. Saya Dolce, salah satu profesor di akademi ini. Sebelum kalian menempatkan langkah pertama di halaman akademi ini, saya ingin kalian berbaris rapi dan berjalan mengiringi tanah cokelat yang akan mengantar kalian menuju kastel.”
Semua murid pun tanpa bertanya lebih lanjut langsung mengikuti arahan Dolce dengan tenang. Dengan langkah pertama mereka yang melewati pagar pembatas itu, mata mereka melebar, mulut yang tak berhenti gemetar, dan akhirnya terpana melihat keindahannya yang luar biasa.
Tidak hanya pepohonan yang menjadi sorotan, tetapi juga semak berbunga penuh warna dan danau kecil turut mengiringi perjalanan menuju kastel. Ditambah lagi cahaya oranye kekuningan dari lentera yang terpasang pada setiap sudut halaman depan memancarkan keindahan taman tersebut di balik langit gelap.
Yang menjadi sorotan utama Kastel Akademi Lorelei adalah warna hitamnya yang mendapat penerangan dari cahaya oranye kekuningan terlihat dari setiap jendela. Setiap murid baru terpesona dengan keindahan dari pancaran cahaya di setiap jendela dari kejauhan.
Seluruh murid tetap mengikuti jalan tanah sesuai arahan Dolce, meski harus berbelok beberapa kali, kastel akademi tetap berada di depan mata. Antisipasi pun semakin tajam ketika mereka tiba di hadapan gerbang utama kastel.
Dolce mendorong kedua pintu gerbang utama seakan terbelah menjadi dua, mengungkapkan ruangan depan dari kastel akademi Lorelei. Batu-bata bercampur marmer menjadi ciri khas dinding, pilar, dan pagar tangga, karpet merah yang merujuk menuju tangga dua arah di hadapan mereka, serta lentera di setiap sudut ikut menonjolkan warna dinding dan pintu.
Ia pun menggiring barisan murid baru ke kiri bagian tengah ruangan, di mana sebuah pintu sudah menanti beserta di dalamnya juga mulai terdengar suara sambutan.
Setelah itu ia berbalik menghadap barisan murid baru. “Baik, begitu terdengar refrain nyanyian sambutan dari paduan suara, saya akan membukakan pintu, kalian dapat duduk di hadapan meja yang paling kanan, meja untuk murid tahun pertama. Kalian akan bermalam di asrama selama tahun ajaran berlangsung, anggap saja setiap murid dan professor di sini sebagai keluarga kalian sendiri.”
Suara tepuk tangan terdengar begitu nyaring dari dalam ruangan di balik pintu berbentuk persegi panjang berwarna keemasan itu. Dolce pun mengangguk dan berbalik menghadap pintu, siap untuk memandu.
Sebuah alunan musik mulai terdengar menuju telinga, campuran kumpulan gesekan biola dan tiupan terompet serta ketukan piano berurutan membuat harmoni indah dan enak didengar. Nyanyian dari paduan suara turut bergabung memeriahkan harmoni indah tersebut. Mendengar harmoni dari musik di balik pintu tersebut sudah mulai bisa menenangkan hati dari ketegangan bertemu murid akademi tingkat di atas mereka.
Ketika nyanyian telah mencapai awal dari refrain penuh nada tinggi, Dolce kembali berbalik dan mendorong pintu berbentuk persegi panjang tersebut, mengungkapkan sebuah aula di mana upacara tengah berlangsung.
“Kalian siap untuk masuk,” Dolce mempersilakan.
Setiap murid baru pun akhirnya mulai memasuki aula, tetap dalam barisan lurus dan rapi. Terlebih dahulu empat buah meja lebar lengkap dengan kursi, bahkan hampir mencapai tiga per empat dari ruangan aula yang begitu luas, cukup untuk menjadi tempat duduk bagi semua murid setiap tingkat. Jauh di hadapan mereka, sekumpulan paduan suara menyanyi merdu mengikuti alunan biola, terompet, dan piano seraya mengucapkan selamat datang.
Setiap murid baru juga terpana oleh beberapa chandelier kuning keemasan terpasang di langit-langit, memancarkan lebih banyak cahaya pada aula. Jendela pada bagian atas dinding jauh di hadapan mereka juga memancarkan hitamnya langit beserta pancaran sinar bulan. Setiap pilar berobor api juga terpasang pada dinding, membantu penerangan dari chandelier memenuhi warna pada aula.
Nyanyian dari paduan suara pun akhirnya mencapai klimaks menuju penyelesaian ketika satu per satu murid baru menempati tempat duduk di hadapan meja paling kanan aula. Murid dari barisan terdepan terlebih dahulu menempati tempat duduk di posisi depan, dekat bagian paduan suara dan musisi.
Begitu lagu telah berakhir, paduan suara dan musisi berlalu memisahkan diri menempati posisi masing-masing, sesuai dengan tingkat mereka. Kepergian paduan suara dan musisi dari hadapan murid lain juga mengungkapkan seorang laki-laki berkulit hitam dan berjanggut putih memenuhi pipi telah berdiri di hadapan sebuah podium emas. Begitu pula dengan beberapa profesor yang telah duduk di hadapan meja di belakangnya.
Laki-laki berkulit hitam dan berjanggut putih itu memberikan sambutan, “Selamat datang! Selamat datang untuk murid baru Akademi Lorelei! Akan lebih baik jika kita semua menyambut mereka sekali lagi dengan tepuk tangan.”
Seluruh murid dan profesor di aula mulai bertepuk tangan ketika hampir seluruh murid baru menempati tempat duduk mereka, kerasnya tepuk tangan menandakan antusias untuk menyambut generasi baru dalam setiap sejarah Akademi Lorelei.
Ia pun mulai berpidato, “Saya Arsius, Kepala Akademi Lorelei yang akan bertanggung jawab untuk mengedepankan pendidikan demi masa depan kalian semua, baik sebagai petarung, penyembuh, dan petualang. Kalian, murid baru, telah menunjukkan kemampuan dan keberanian untuk mendaftarkan diri sebagai murid baru. Saya dapat melihat setiap tahun, berbagai murid baru dari berbagai daerah, berbagai benua, dan bahkan berbagai warna kulit penampilan, saya begitu senang melihat keberagaman di antara kalian, murid baru.
“Tetapi, keberanian itu harus kalian tambahkan, karena berbagai tantangan dari didikan kami akan lebih berbahaya, bahkan untuk penakut sekalipun. Kalian akan diajari untuk bertarung dan bertualang menghadapi bahaya yang akan merintangi masa depan dan mengasah keterampilan kalian semua oleh seluruh profesor yang berada di belakang saya.”
Seluruh murid kembali bertepuk tangan ketika Arsius menunjukkan setiap profesor pada seluruh murid baru. Setiap profesor, termasuk Dolce yang baru mengambil posisinya, ikut membalas tepuk tangan tidak kalah meriah.
“Patut diketahui untuk murid tahun pertama, selama semester berlangsung, kalian diharuskan untuk menginap di asrama. Maka, kalian tidak diperbolehkan untuk keluar selama jam malam kecuali karena izin dari yang bersangkutan. Ditambah, murid tahun pertama, seragam berupa pakaian olahraga dan pakaian musim dingin serta musim panas sudah berada di masing-masing setiap kamar yang akan kalian tempati. Seragam tersebut wajib kalian pakai saat setiap kelas berlangsung.
“Juga, kalian juga akan mengikuti aptitude test dalam waktu dekat, untuk menentukan job sesuai dengan kecocokan dan keterampilan kalian. Masa depan kalian akan bergantung pada kemampuan kalian menghadapi aptitude test. Semoga berhasil untuk semua murid baru.”
Seluruh murid dan professor bertepuk tangan begitu keras ketika Arsius berpaling dari podium dan kembali ke mejanya di posisi paling tengah. Upacara penyambutan murid baru tersebut berlangsung cukup meriah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
T4guk
haaaa males gw bacanya bertele2.
2022-06-03
0
John Singgih
insiden murid baru & suasana penyambutan murid baru
2021-03-20
0