Alih-alih melewati tangga seperti kebanyakan kapal yang menyediakannya, begitu melewati pintu dari ruang penyimpanan, tanjakan landai yang berliku-liku mereka lewati untuk mencapai geladak kapal. Mereka bertiga mempercepat langkah lari ketika lama-kelamaan suara tebasan pedang dan jeritan meminta tolong semakin nyaring.
Begitu mereka tiba di hadapan pintu menuju geladak kapal, suara jeritan dan tebasan pedang semakin menjadi-jadi. Lelaki bersorban merah yang berada tepat di hadapan pintu menggenggam gagang dengan erat menggunakan tangan kiri. Tangan kanannya seketika menggapai gagang dan pangkal pedang yang menghadap lehernya dari belakang.
“Kalian di sini saja. Terlalu berbahaya menghadapi mereka,” lelaki bersorban merah meminta pada Sans dan Yudai.
“Hah? Aku juga bawa senjata, Anda juga melihatnya saat di ruang penyimpanan barang,” Yudai mengingatkan, “setidaknya aku bisa membantumu”
“Lebih baik jangan. Kalian masih muda, kalian masih punya masa depan yang cerah. Situasi ini terlalu berbahaya bagi kalian. Biar aku saja yang menghadapi mereka.”
Tanpa membiarkan Sans dan Yudai bereaksi terhadap perkataannya, ia pun langsung menarik gagang pintu seraya membukanya dan menarik pedang bermata gelombang berwarna hitam dari selongsong di punggungnya. Mereka berdua mundur sejenak dan terhenyak di saat yang bersamaan ketika melihat tarian pedang laki-laki itu.
Pintu pun terbuka begitu kencang oleh lelaki bersorban merah itu, mengungkapkan beberapa mayat segar telah tergeletak di lantai. Darah pun mengalir dari luka tebasan pedang di lantai kayu geladak kapal.
Rupanya, telah terjadi perompakan di kapal itu. Beberapa orang yang memakai ikat kepala dan berkemeja dengan kancing terbuka pada bagian atas tanpa ampun menebas penumpang dan kru yang berlarian sambil menjerit minta tolong. Tebasan pedang seketika mengiris tubuh masing-masing korban dan memuncratkan darah segar ke lantai.
Bahkan, beberapa penumpang memutuskan untuk menenggelamkan diri ke samudera. Beberapa kru yang berpedang berupaya untuk melindungi kapal serta penumpang, tetapi kebanyakan dari mereka tidak berkutik dan langsung mati akibat luka tebasan yang sangat dalam.
Beberapa kru yang masih bertahan mengayunkan pedang dan kerap menabrakkan mata pedang mereka dengan milik lawannya, para perompak.
Beberapa korban telah tergeletak begitu saja di lantai sebelum menjadi mayat segar akibat tidak mampu lagi menahan luka tebasan pedang. Darah segar dari tubuh masing-masing korban pun ikut mengalir di lantai kayu geladak kapal hingga mengering.
Lelaki bersorban merah itu bergerak cepat meninggalkan Sans dan Yudai. Target pertama ada di hadapannya, yaitu perompak yang tengah mengayunkan pedang untuk membunuh mangsanya. Penumpang tak bersenjata yang menjadi mangsanya pun hanya duduk terdiam dan ketakutan menatap salah satu perompak itu.
Kakinya bergerak lincah sedangkan tangannya dengan cepat mengayunkan pedang tanpa ragu. Serangan itu berhasil mengenai punggung sang perompak sekaligus menumpahkan darahnya ke lantai. Tersentak cukup kuat, keseimbangannya pun hancur, dan akhirnya sang perompak itu terjatuh dengan suara benturan yang kuat.
“Te-terima kasih …,” ucap penumpang itu.
Mata Sans kini hanya tertuju pada kehadiran sosok pria itu, sama halnya dengan semua perompak yang ada di sana, saat ini perhatian mereka semua hanya tertuju padanya. Namun apa yang membuatnya terhanyut saat itu adalah pemandangan di luar kapalnya yang dipenuhi oleh air, langit menggelap, dan udara semakin dingin.
Tidak ada kapal lain, selain kapal yang kini ia tumpangi.
Suara entakkan kaki menggebrak lantai kayu secara acak, para perompak dengan cepat segera menyerbu sang lelaki bersorban dengan wajah garang.
“Tidak mungkin? Bagaimana bisa para perompak itu bisa kemari?”
Yudai menerka, “Pasti mereka menyusup seperti kita!”
Mereka—para perompak mulai berteriak menyeru untuk meningkatkan semangat lalu mengayunkan pedangnya.
Namun, sasaran mereka tiba-tiba saja menghilang. Suara sayup udara yang berhembus cukup bising dan bayang-bayang yang kini berada di langit mendarat dengan sempurna. Berguling ke samping, kemudian bergerak cepat menebas perompak satu-persatu.
Jatuh tak berdaya, suara cipratan darah terdengar sega. Kini geladak kapal pun kembali mendapatkan mayat baru.
Sans dan Yudai hanya terpana dengan keahlian laki-laki yang memberi mereka apel itu. Di saat yang sama gerakan tangan lihainya kembali mendapatkan skor berkat tebasannya yang mengenai dada salah satu perompak di sebelah kanannya.
Beberapa kru bersenjata yang masih berdiri kokoh juga turut membantu menyerang. Seakan kepercayaan diri mereka sudah meningkat karena melihat keahlian laki-laki misterius yang membantai para perompak seorang diri.
“He-hebat,” ucap Yudai.
“Ah!” jerit Sans tercengang.
Sans memandang satu per satu perompak lain mendarat pada lantai geladak di hadapannya. Beruntung bagi mereka, para perompak itu langsung berlari menghadapi lelaki bersorban yang kini tengah menyerang perompak lainnya.
“Tunggu! Mereka dari lantai atas kapal?” terka Yudai.
Hampir selesai menyerang seluruh perompak dari setiap sisinya, lelaki bersorban merah mendapati beberapa perompak lagi di hadapannya, berjumlah delapan orang. Membuat seluruh penumpang dan kru yang masih bertahan, baik terbaring menahan luka atau menyandarkan badan di setiap sudut kapal, terutama di kepala kapal; merinding dan menggigil ketakutan, berharap agar lelaki bersorban merah dapat menghajar seluruh perompak.
Seluruh kru bersenjata juga melangkah mundur, ragu bahwa jumlah mereka, yaitu empat orang ditambah lelaki bersorban merah, kalah telak jika ditambah kemampuan bertarung. Para perompak di hadapan mereka sudah bengis membasmi hampir seluruh kru dan penumpang di kapal Terlebih, mengingat mereka baru saja dari lantai teratas kapal, yakni tempat kemudi, sang kapten kapal pasti telah diserang hingga terbunuh.
Lelaki bersorban merah itu berseru pada setiap kru bersenjata, “Jangan ragu! Serang sekuat kalian!”
Yudai melihat jumlah antara perompak dan kru bersenjata dengan lelaki bersorban merah. Melihat lawan para perompak sudah kalah jumlah, dia berinisiatif mengambil panah dan busur dari punggungnya, berharap dapat membantu dengan menyerang salah satu perompak dari belakang.
Sans yang melihat Yudai mengambil senjatanya justru menghentikannya dengan merentangkan tangan kanan.
“Jangan! Kamu ingat katanya, bukan? Terlalu berbahaya untuk menghadapi para perompak bengis itu!”
“Kamu lihat sendiri, kan?” Yudai menempatkan panah pada busurnya. “Akan kuterapkan hasil latihanku di rumah!”
“Tapi—”
“Ini kesempatanku! Selagi mereka tidak menatap kita!”
Yudai pun segera mengambil posisi menembak, kaki kiri dia tempatkan di depan, dan menempatkan ekor panah pada tali busur menggunakan tangan kanan. Sans sampai menurunkan tangan kanan begitu temannya itu serius ingin menembak salah satu perompak dari belakang.
Yudai menyipitkan mata seraya membidik salah satu dari perompak. Busur dan anak panahnya dia gerakkan mengikuti bidikan matanya.
Ia pun menarik ekor panah dan tali busur secara bersamaan dengan tangan kanan, untuk sesaat tubuhnya juga berguncang ketika mengingat perlakuan para perompak terhadap penumpang dan kru di geladak kapal semula. Ia tahu perompak itu tanpa ampun menyerang tidak peduli bersenjata atau tidak sampai darah menetes ke lantai.
Tanpa ragu lagi ia pun melepaskan anak panahnya dengan percaya diri. Sayangnya tidak seperti ekspektasi yang indah, pada nyatanya tembakan itu meleset, dan malah mengenai lantai geladak.
Perompak yang dibidik itu tercengang ketika menatap panah terbaring di dekat kaki kanannya, begitu juga kawan di sampingnya. Setelah itu tatapan mereka mengarah pada sesosok pemuda tidak jauh dari sana, ia adalah Yudai.
“Si-sial,” ucap Yudai begitu tembakannya meleset.
“Sudah kubilang …. Pe-perompak itu …,” lanjut Sans.
Mereka pun mendapati kedua perompak itu mulai mendekat. Menatapi wajah berkeriput, senyum sinis mereka, baik Yudai dan Sans memiliki perasaan yang tidak enak. Apalagi dengan ikat kepala dan kemeja putih penuh darah yang memperkuat perasaan mereka.
“Mu-mundur!” jerit Yudai mengambil panah dari punggungnya lalu menempatkannya pada busur. Meskipun seperti itu, ia tetap merinding, napasnya juga mendadak cepat ketika perompak di depannya semakin mendekat.
Sans terdiam ketika berpikir apa yang akan mereka lakukan jika keduanya benar-benar berada di depannya. Apalagi mengetahui serangan Yudai yang gagal, tentunya membuat kedua perompak itu kesal.
Setelah mengalahkan salah satu perompak, lelaki bersorban itu mendapati dua orang perompak tengah mendekati Sans dan Yudai. Ia pun langsung menerjang mendekati mereka, sayangnya ia tiba-tiba saja dihadang oleh seorang perompak lainnya.
Ia pun dengan lincah menghindarinya. Tetapi, serangan perompak itu berhasil menggores pipinya. Selain itu sorban miliknya juga ikut teriris dan jatuh ke lantai.
Namun apa yang membuatnya tercengang adalah bentuk wajah sang lelaki bersorban itu. Dengan alis cokelat yang tipis serta kumis maupun jenggotnya pun tipis ... sedangkan proporsi wajahnya lonjong.
Hanya dalam sekejap ia pun menebas sang perompak tanpa mempertimbangkan apapun. Menutupi wajahnya sendiri lalu segera memastikan apakah kondisi kedua anak yang ia temui di dalam gudang penyimpanan
Kawanan perompak lainnya terdiam ketika melihat mayat temannya jatuh lemas dengan cipratan darah yang membasahi pakaiannya. Tubuhnya pun ikut lemas dan terjatuh bersamaan dengan senjata yang lepas dari tangannya.
“K-kau … kau … kau … Nacht!” jerit perompak itu sampai tersandung menuju posisi duduk. “Mantan royal guard kerajaan!”
Semua orang yang masih bertahan di sana juga ikut tercengang atas revelasi tersebut. Ternyata lelaki itu merupakan salah seorang mantan anggota kerajaan yang terhormat. Tidak heran, hampir semua orang mengenalinya.
Menghiraukan semuanya Nacht langsung mengangkat pedangnya yang penuh darah, kemudian menghuyungkannya tepat mengenai bagian kiri kepalanya sebagai peringatan.
Perompak itu pun menggeleng sambil melangkah mundur menggunakan kedua tangan. Tidak tahan menghadapi Nacht hanya dengan menatap wajahnya, dia merinding ketakutan. Peluhnya mulai bercucuran di wajah dan kedua telapak tangan.
Tetapi, hal ini tidak membuat ragu para perompak yang tersisa. Bersama-sama, mereka berlari dan mengayunkan pedang mendekati Nacht sambil berteriak, meninggalkan kru kapal bersenjata yang sedang mereka lawan.
Bahkan tanpa menoleh, Nacht memutar tubuhnya ke kiri sambil mengayunkan pedangnya ketika mereka telah mendekat. Ayunan pedangnya akhirnya menjadi tebasan pada dada setiap perampok itu hingga menumbangkan seketika. Darah segar pun mengalir menuju lantai dari luka tebasan masing-masing tubuh perampok itu.
Sang perompak terakhir tidak berkutik menyaksikan hasil tebasan Nacht pada seluruh sisa rekannya. Dirinya semakin menggeretakkan gigi ketika mantan anggota kerajaan itu kembali menoleh padanya.
Seiring berjalannya waktu, angin pun bertiup semakin kencang hingga menggoyangkan layar begitu dalam. Permukaan samudera juga semakin pasang menggoyangkan bagian bawah kapal bersamaan datangnya petir yang menggelegar.
“AAAAAH!!” teriak perampok itu bangkit dan berbalik berlari menuju permukaan samudera, menggelamkan dirinya.
Begitu merasakan angin kencang sudah mulai menusuk kulit dan air pasang laut sudah semakin mengguncangkan kapal, hampir seluruh kru dan penumpang yang masih bertahan di kapal mulai merinding bahwa badai akan datang. Terlebih, hantaman petir pada lautan menambah getaran pada tubuh. Baik gertakan gigi dan raut cemas menjadi suatu hal yang sangat jelas terlihat menghiasi semua orang di sana.
Nacht menatap pada jendela ruangan di lantai teratas, yaitu lantai kemudi. Terlihat darah telah mengering akibat cipratan. Menyimpulkan bahwa sang kapten telah terbunuh dan tidak ada yang mengambil kendali kemudi.
Begitu menatap reaksi mayoritas dari seluruh penumpang dan kru yang terdiam atau terngiang menatap mayat-mayat tergeletak di geladak penuh darah, ia tanpa ragu lagi menegur, “Jangan diam saja! Badai akan datang! Kalian masih ketakutan dengan perompak tadi?!”
Teguran Nacht membuat seluruh kru dan penumpang yang masih bertahan justru tersadar pada ucapannya. Mengingat dia adalah mantan royal guard, semuanya menunggu aba-aba darinya.
“Kalian, bawa semua korban yang terluka pada lantai bawah! Cepat! Badai akan memuncak!” Nacht memberi arahan pada seluruh penumpang dan kru kapal.
“Ba-baik!” seru semuanya yang masih bertahan.
Seluruh kru dan penumpang yang masih dapat berdiri kokoh mulai menggotong beberapa korban tergeletak di lantai akibat luka tebasan pedang para perompak. Dengan terburu-buru, dua orang masing-masing membawa satu korban sambil berlarian menuju pintu lantai bawah.
“Tunggu,” pinta Nacht pada Sans dan Yudai yang berbalik akan melewati pintu menujuu lantai bawah.
Satu per satu, dua orang yang membawa korban luka melewati pintu menuju lantai bawah ketika Sans dan Yudai berbalik menghadap Nacht.
“Sudah kubilang terlalu berbahaya menghadapi para perompak itu,” tegur Nacht.
“Ma-maafkan aku,” ucap Yudai, “aku mencoba untuk menghentikannya—”
“Ini.” Nacht menyerahkan sebuah kantong yang semula tertempel di sisi kanan celananya pada Sans.
Ketika menerima kantong milik Nacht, Sans menatap isinya berupa kumpulan botol berisi cairan berbagai warna dalam berbagai bentuk.
“Bantu sembuhkan korban yang luka-luka dengan ramuan ini di bawah. Badai akan datang, sebaiknya kalian bergegas ke bawah bersama yang lain,” pinta Nacht, “kemudi biar kuambil alih.”
“Tu-tunggu, bukannya kapten yang—” potong Yudai.
“Kapten sudah mati. Dengarkan aku, kalian sembuhkan seluruh korban menggunakan ramuan-ramuan yang ada di kantong ini.”
Sekali lagi, suara petir kembali menggelegar diikuti oleh turunnya hujan begitu deras. Badan kapal pun semakin bergoyang akibat hantaman permukaan laut mengikuti arah badai.
“Cepatlah!” Nacht pun akhirnya berlari menuju tangga lantai teratas kapal. Begitu dia menginjak anak tangga pertama, dia menunjuk salah satu kru di geladak kapal. “Kau, ikut aku!”
“Tunggu!” jerit Sans. “Anda lupa bilang—”
Sans hanya menatap Nacht telah menaiki tangga menuju ruang kemudi tanpa mendengarkan. Hanya badai, hujan, dan petir menjadi suara penghalang bagi dirinya dan Nacht untuk bersuara.
Seluruh kru dan pemumpang, terutama korban yang terluka, sudah melewati pintu menuju lantai bawah. Tanpa pengetahuan tentang ramuan-ramuan milik Nacht, Sans dan Yudai juga memasuki ruang menuju lantai bawah dan menutup pintu rapat-rapat begitu angin sudah mulai kencang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
John Singgih
ada perompak di kapal
2023-05-05
0