Keramik krem bercampur cokelat seakan menjadi ciri khas alun-alun di pusat kota ketika Sans dan Yudai memasukinya. Meski masih tergolong pagi ketika matahari mulai menengahi langit biru cerah, ternyata sudah cukup ramai dengan masyarakat kota. Alunan musik dari pengamen juga turut menemani keramaian menggunakan gitar mengharapkan uang di dekat sebuah air mancur di pusat alun-alun.
Mereka berdua justru menghiraukan keramaian yang tengah terjadi di alun-alun itu, lalu segera beralih pada quest board yang terletak di dekat gerbang timur alun-alun. Tidak terlalu banyak orang yang berdiri di hadapan papan pencarian pekerjaan itu.
Melihat quest board, berbagai lembaran kertas bertuliskan pekerjaan telah terpampang. Quest board dapat menjadi solusi bagi siapapun yang membutuhkan uang. Siapapun dapat mengambil pekerjaan yang mereka merasa mampu dan mendapat hadiah uang mencukupi kebutuhan.
Yudai menempelkan jempol dan telunjuknya pada dagu, bergaya layaknya detektif. Matanya memindai setiap lembar pekerjaan yang terpampang pada papan itu, mulai dari jenis hingga jumlah upah yang akan mereka dapatkan.
Sans hanya terdiam menatapi tulisan pada setiap lembarannya. Kebanyakan pekerjaan yang harus dilakukan begitu berbahaya bagi seorang amatir seperti dirinya, terlebih ia hanya membawa sekantung botol ramuan hijau dan buku dasar alchemist dari Nacht.
Bahkan pekerjaan yang paling berbahaya sedikit pun memiliki honor yang tinggi, menunjukkan pekerjaan yang berbahaya membutuhkan keterampilan mahir untuk mendapat uang sebanyak itu. Ia pun mulai berpikir, meskipun mengambil salah satu misi itu bersama Yudai tentunya belum cukup untuk menjamin apakah mereka akan selamat dan berhasil menjalannya atau tidak.
“Oke! Sudah diputuskan!” seru Yudai. “Kita akan ambil yang ini!” ia pun menunjuk salah satu lembaran dengan percaya diri.
Sans yang pada awalnya tenggelam dalam pemikirannya sendiri mulai teralihkan dan mulai melihat lembaran itu, “Berburu dua **** hutan? Yudai, apa kau yakin?”
“Ya, setidaknya ini bisa jadi awal kita, untuk berburu uang. Bahkan kita bisa mendapat 1800 vial untuk mendaftar ke akademi.”
“Ja-jadi biaya pendaftarannya 1800 vial?”
“Kakekku bilang biaya pendaftaran akademi hanya 900 per orang. Jadi kita bisa mengandalkan papan misi ini bukan hanya untuk mendapat uang demi pendaftaran ke akademi, tetapi juga kita bisa membeli makanan dan menginap di penginapan. Oh ya, kalau kemarin penutupan pendaftarannya hanya tinggal lima hari, berarti kalau hari ini tinggal empat hari. Sambil menunggu empat hari, kita bisa mengambil beberapa misi untuk uang ekstra”
“I-iya,” Sans mengangguk ketika Yudai mengambil lembaran pekerjaan yang dia pilih.
“Sebelum kita melakukan pekerjaan ini, kita beli senjata untukmu”
“Hah?” Sans tercengang dengan keputusan Yudai.
“Tentu saja, kita akan berburu **** hutan hari ini, setidaknya kamu butuh senjata untuk membunuh **** hutan. Beruntung kita masih punya 500 vial.” Ketika Yudai tengah ingin menambah perkataanya, perutnya kembali berbunyi begitu nyaring. “Ya, aku juga lapar. Sebelum berburu, kita cari sesuatu untuk dimakan.”
***
Suara lonceng menjadi penyambut ketika pintu terbuka. Begitu mereka memasuki sebuah toko senjata, berbagai rak penuh dengan senjata, mulai dari pedang, busur, tongkat sihir, hingga knuckles terpasang pada dinding. Di hadapan mereka, empat buah meja menjajakan berbagai senjata. Meja terdepan merupakan meja yang ditempati oleh penjaga toko.
“Permisi,” sapa Yudai.
“Selamat datang,” sapa lelaki berambut putih, “aku senang sekali anak muda seperti kalian ingin mencari senjata untuk bertarung”
“Sebenarnya, temanku tidak memiliki senjata,” Yudai menunjuk Sans di samping kirinya. “Maksudku, dia tidak membawa senjata. Kami akan melihat-lihat dulu”
“Baiklah, silakan.”
Mereka terlebih dahulu menghampiri salah satu meja pajangan senjata, tepatnya di sebelah kanan pada hadapan mereka. Terpampang setidaknya lima buah senjata pada masing-masing meja pajangan.
“Whoa!” Yudai melihat sebuah senjata yang tidak asing baginya, terutama ketika ia terpicu oleh ingatannya selama di ruang penyimpanan kapal.
Sebuah belati berbentuk melengkung berwarna bening seperti cermin berada di tengah kanan pada meja tersebut. Yudai pun menggenggam gagang belati tersebut untuk melihatnya lebih dekat.
“Whoa, kurasa kamu akan cocok memakai ini, Sans,” tutur Yudai terpana dengan pancaran warna bening bentuk belati melengkung itu.
“Oh, belati yang itu? Itu belati yang cukup bagus, harganya 1250 vial,” sang penjaga toko mengungkapkan ketika menatap Yudai menggenggam belati itu.
“Uh … mungkin tidak, terlalu mahal.” Yudai sampai tertegun sebelum meletakkan kembali belati berbentuk melengkung itu pada meja.
Lelaki kegirangan itu kemudian menatap sebuah senjata yang menarik perhatiannya pada meja kiri tepat di hadapan meja penjaga toko. Saking semangatnya, ia sampai berlari menghampiri meja itu.
Ketika Sans mengikutinya perlahan, Yudai mengambil sebuah senjata dari meja tersebut. Sebuah knuckles berduri pada bagian kuku dan punggung jari terlihat runcing seperti berkilau. Warna perak pada bagian jari ditambah warna hitam pada badan knuckles itu membuat Yudai terpana.
“Mungkin kamu akan cocok memakai ini, Sans. Kamu hanya tinggal memukul atau mencakar untuk menghadapi lawan atau buruan,” komentar Yudai terhadap knuckles itu.
“Knuckles itu terbuat dari perak berkualitas tinggi, jadi harganya 3400 vial,” tanggap penjaga toko itu.
“Oke, lebih mahal daripada sebelumnya,” Yudai kembali meletakkan knuckles itu pada meja.
“Yudai, aku hargai usahamu untuk membelikanku senjata. Tapi … aku bahkan tidak pernah menggunakan senjata. Aku bahkan tidak pernah berburu atau melawan perompak sama sekali.” Sans merasa tidak enak hati.
Begitu mendengar keluh kesah dari Sans sendiri, sang penjaga toko itu menganggapi, “Oh. tidak pernah menggunakan senjata, eh?”
Sang penjaga toko itu merunduk sejenak untuk mengambil sesuatu dari laci mejanya. Begitu dia bangkit, dihampirinya Sans dan Yudai sambil membawa sebuah senjata berupa belati hitam.
“Ini bisa menjadi senjata pertamamu,” ucap sang penjaga lalu menyerahkan belati hitam pada Sans.
Sans menatap belati hitam itu memiliki puncak tajam dan dua mata berwarna putih seakan memancarkan warna hitam. Ukuran belati itu setara dengan dua genggaman tangan, lebih kecil daripada pisau biasa atau pedang.
Sans menyentuh gagang belati berbentuk agak lonjong itu terlebih dahulu. Jari-jemarinya pun mulai menggenggam gagang lonjong itu. Garis-garis pada gagang itu mulai bersentuhan dengan kulit jari-jemarinya.
“Wow,” ucap Yudai terpana ketika menyaksikan Sans menggenggam belati hitam itu.
“Mendengar dirimu belum pernah menggunakan senjata membuatku teringat, bahkan, sering sekali teringat. Cukup banyak pemula yang ingin membeli senjata yang cocok hingga mereka kebingungan, jadi belati hitam ini menurutku akan cocok untuk mereka sebagai langkah pertama,” sang penjaga toko mulai menjelaskan, “terlebih, ketika mereka ingin mendaftar ke akademi, mereka kemari untuk membeli senjata demi melindungi diri. Itulah, hal yang selalu kuingat ketika menemui pemula yang mendatangi toko ini”
“Belati ini harganya berapa vial?” tanya Sans.
“Hanya 20 vial.” Penjaga toko itu mengangguk.
“Baik, kami ambil ini!” seru Yudai. “Lagipula ini cukup murah, kan? Oh ya, apa Anda menjual busur juga?”
***
Sans dan Yudai pun akhirnya menyeberangi gerbang keluar barat kota, meninggalkan pemandangan gedung-gedung tinggi nan megah dan jalan bebatuan. Kali ini, lantai bebatuan seketika berganti menjadi rerumputan. Beberapa pohon juga menyambut pada perbatasan barat kota.
Sambil melangkah, Yudai masih melahap secuil roti yang telah dia beli dari salah satu toko di kota sebelum berangkat menuju hutan. Lelaki itu begitu bersemangat dalam melangkah padang rumput dan melahap roti.
Sans hanya menatap sebilah belati hitam di genggaman tangan kanannya. Masih tidak percaya bahwa dia menggenggam senjata, tidak bisa dia bayangkan pula dirinya menghantam **** hutan menggunakan senjata tersebut.
“Aku tidak yakin apa aku bisa menggunakan belati ini, bahkan untuk membunuh **** hutan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi,” keluh Sans.
Yudai memberitahu Sans ketika selesai melahap rotinya, “Kalau begitu, ini saatnya kamu belajar menggunakan senjata. Misi ini jadi pelajaran pertama untuk menggunakan belati itu.”
Sans menghela napas ketika menatap belati di genggaman tangan kanannya sekali lagi. Pandangannya pun beralih pada kantung berisi botol ramuan hijau, Buku Dasar Alchemist, dan daun ars pemberian Nacht. Memang, dia tidak menyangka Yudai akan memilihkan pekerjaan pertama untuk memburu dua **** hutan.
Kurang lebih sudah satu jam mereka menyelusuri hutan di barat kota, bukit padang rumput telah mereka injak. Celah pada setiap pepohonan di setiap sisi juga cukup melebar, sebuah peluang bahwa binatang liar akan melewatinya.
Sans dan Yudai menggerakkan kepala untuk memastikan keberadaan **** hutan. Bahkan Yudai juga mengambil busur dan sebuah anak panah untuk menyiapkan diri.
Sans kembali menghela napas dan menatap belati hitam di genggamannya. Menatap genggaman pada gagang belati itu membuat dia terbayang dan khawatir. Ia mempertanyakan diri sendiri, bagaimana kalau belati ini malah menusuk target yang salah? Bagaimana kalau belati ini tidak menusuk begitu dalam?
“Sans? Kamu tidak apa-apa?” tanya Yudai menatap Sans termenung. “Sans? Sans?”
“Eh? A-aku tidak terlalu memikirkan apapun,” Sans berupaya untuk berbohong.
“Ayolah, sudah terlihat kalau kamu ragu menggunakan senjata.” Yudai menerka. “Oke, anggap pekerjaan untuk memburu **** hutan ini sebagai pelajaran pertama untuk menggunakan belati itu. Begitu kita menemukan seekor **** hutan, biar aku dulu yang memanah, lalu kamu temui **** hutan itu, dan potong lehernya. Kamu bisa?”
Sans terdiam sekali lagi, ditatapnya kembali belati hitam pada genggamannya. Dia pun berbalik menatap Yudai yang seakan cerah penuh optimisme dan semangat. Dia mengangguk. “Oke.”
“Bagus. Sekarang kita tunggu di sini.”
Ketika Sans berbalik menghadap kiri, dia menatap sebuah makhluk yang berbulu dari kejauhan. Dia sudah bisa menyaksikan kedua mata makhluk itu tengah menatap tepat pada dirinya dan Yudai.
“Sans? Ada apa?” Yudai tertegun ketika menatap Sans melongo. “Eh?”
Makhluk itu merupakan seekor **** hutan. Bulu hitamnya dapat dikatakan cukup tipis untuk melapisi tubuh merah jambunya.
Yudai menggertakkan gigi terlebih dahulu hingga membuka mulut lebar-lebar ketika menyaksikan **** hutan itu mulai meraung. Napasnya juga seperti mengeluarkan asap dari hidung untuk memelesatkan larinya.
“Baiklah! Aku yang lebih dulu menyerang!” Yudai pun mengambil sebuah anak panah lalu melihat target sasarannya. “Hah!”
Ketika **** hutan itu telah mendekat, Yudai tercengang ketika ia menatap ukuran hidung **** hutan itu, tidak sesuai ekspektasinya, yaitu berbentuk seperti palu. Dia mengira **** hutan di sebelah barat kota memiliki tinggi yang sama dengan **** di peternakan.
“Ba-**** macam apa itu!” jerit Sans.
“Dia mendekat!” jerit Yudai berbalik menurunkan panah dan busurnya.
Sans dan Yudai mulai berlari terbirit-birit demi menghindari hantaman **** hutan itu. Saking paniknya, mereka juga menjerit tidak percaya bahwa **** hutan tidak sesuai ekspektasi mereka.
Ketika mereka belok kiri, Yudai pun berbalik menatap **** hutan itu juga tengah berbelok, sehingga dengan cepat ia menempatkan anak panah pada busurnya. Menarik ekor tali sambil mengencangkan kuda-kuda, posturnya terlihat telah siap untuk melesatkan anak panah itu kapan saja.
Yudai pun melepas genggaman ketika menarik tali busur dan ekor panah secara bersamaan, meluncurkan tembakan menuju tepat pada kepala **** itu. Akan tetapi, panah tembakannya justru tertangkis oleh hidung palu sang **** hutan hingga patah ketika mencapai rerumputan.
**** itu pun berbelok mengarah pada mereka yang terdiam sejenak menatapnya. Kecepatan larinya pun cukup cepat tidak seperti kebanyakan spesies ****.
Begitu **** itu mulai mendekat dengan kecepatan larinya, tanpa berbicara lagi, Sans dan Yudai menyingkir dan melompat menuju dua posisi berbeda. Sans beralih ke sebelah kiri, sementara Yudai ke sebelah kanan.
**** itu tanpa menghentikan langkahnya tercengang ketika mengetahui mangsanya berhasil menghindar. Tetapi, ia terlambat mengerem ketika sebuah pohon berada tepat di depan mata. Hidungnya terlebih dulu menghantam pohon, membuat dirinya seperti tertusuk petir pada syaraf dan tumbang sejenak.
“Ini kesempatan!” seru Yudai menembakkan panah pada dahi **** hutan itu.
Akhirnya, panah Yudai mengenai tepat pada dahi sang **** hutan. **** hutan itu seketika tumbang begitu kepala panah tepat menusuk keningnya.
Yudai pun menghampiri **** hutan itu dan mengambil panah yang tertancap. Dia pun tercengang ketika Sans hanya terdiam menyaksikan **** hutan itu akan menjadi salah satu dari dua hasil buruan mereka.
“Sans, cepatlah!” seru Yudai. “Sembelih dia sebelum dia bisa sadar!”
“I-iya!” Sans pun menghampiri **** hutan tersebut.
Sans mulai mengangkat belati hitam genggamannya mengarah pada leher ****. Akan tetapi, dia ragu ketika dirinya pertama kali menggunakan belati hanya untuk memotong leher ****, apalagi untuk menebas lawan.
Genggamannya mulai gemetar ketika dia meragukan kemampuannya menggunakan belati. Telapak tangan kanannya mulai berair seiring dia semakin ragu.
Ketika mengangkat kepalanya, Sans tertegun ketika ia menatap satu lagi ekor **** hutan yang tengah mengangkat kepala seraya membuat napas dari hidung dan meraung. Ia kaget karena **** hutan itu mulai mengambil ancang-ancang.
“Ah! Yudai, di belakangmu!” tunjuk Sans.
Ketika Yudai berbalik sesuai arahan Sans, **** hutan di belakangnya itu mulai berlari begitu kencang mengincarnya, menganggukkan kepala ingin menghantam dirinya.
“AAAAH!” jerit Yudai melompat menghindari tebasan **** hutan itu.
Sans pun terlambat bereaksi ketika **** hutan itu hampir mencapai Yudai. Dia justru menyentuh tepat pada hidung hingga tanpa sengaja “menunggangi” **** itu hingga keduanya terjatuh.
“Sans!” jerit Yudai.
“Uh!” jerit Sans mendarat dengan lengan kiri terlebih dahulu, menjatuhkan kantongnya. Tetapi, botol ramuan di dalamnya sama sekali tidak pecah.
Sans menempatkan kedua tangan di belakang dirinya ketika **** hutan di hadapannya tengah berupaya untuk bangkit menggunakan keempat kaki. Dia kembali menggenggam belati hitamnya dengan erat.
“Gunakan belati itu, Sans!” jerit Yudai.
**** hutan itu meraung ketika badannya mulai bergeser menuju posisi merangkak semula. Memandang Sans sebagai target di sampingnya, dia kembali membuang napas melalui hidung.
Ketakutan akan dirinya menjadi korban hantaman hidung **** hutan itu, Sans menutup mata dan mendorong belati hitamnya. Ketika terdengar sebuah tusukan, dia membuka mata untuk menyaksikan dirinya telah menusuk **** hutan itu pada bagian leher.
**** itu menjerit tidak dapat menahan rasa sakit dari tusukan belati Sans. Dia meronta-ronta hingga akhirnya kehabisan napas dan menutup mata.
Sans pun melepas tusukan belati pada tubuh **** hutan itu. Darah segar pun bersisa dan menetes pada belati hitam di genggamannya, menyadari bahwa dia telah berhasil menggunakan sebuah senjata.
Dua ekor **** hutan telah menjadi bangkai segar di hadapannya. Setidaknya dia dan Yudai berhasil menjalankan pekerjaan, yaitu memburu **** hutan.
“Sans! Kamu berhasil!” seru Yudai menghampirinya. “Akhirnya kamu mampu menggunakan belati itu!”
Sans pun menghela napas untuk mengungkapkan reaksinya. “Ta-tadi itu hanya keberuntungan kurasa. Kalau kita berhasil membunuh kedua **** hutan ini, bagaimana cara membawanya? **** sebesar ini pasti begitu berat untuk diangkat.”
“Kita dorong ke kota. Mungkin akan lebih lama saat kita kemari, tetapi bisa jadi bagian dari latihan.” Yudai memberi usul sambil mencerahkan senyuman dan semangatnya. “Ayo, kita dorong dua **** ini ke kota untuk mendapat uang kita!”
“Ta-tapi kan—"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
John Singgih
pengalaman saat pertama kali berburu
2021-03-19
0
Andry Chang
wow dimas ikutan juga? good luck untuk kamu ya! salam dari kreator everna saga dan adilaga :p
2019-12-03
1