Kedua kru mulai menarik jembatan penyebrangan, sedangkan tiga kru di bagian baran sana bersama-sama menarik sebuah rantai berkarat dari lautan, sebuah jangkar yang terpasang pada rantai itu terangkat dari permukaan laut dan tiba perlahan di lantai kapal.
Kapal pun akhirnya mulai bergerak perlahan meninggalkan dermaga dan mulai melintasi lautan. Angin pun mendorong layar dan membantu menyeimbangkan kecepatan kapal.
Hampir semua orang di atas kapal itu melihat pemandangan kota seakan menghilang dari pandangan semakin jauh kapal itu melintas lautan. Kini, hanya lautan dan langit yang tengah berganti warna menjadi satu-satunya pemandangan pada pandangan menghadap haluan depan. Sang surya pun menampakan diri di ufuk sana, memancarkan kehangatan dalam dinginnya semilir angin laut.
Lelaki bersorban merah itu hanya berdiri menyandarkan di salah satu dinding menuju ruangan kapal, menyaksikan beberapa kru beramai-ramai berbincang menatap lautan, sedangkan beberapa penumpang lainnya hanya terdiam menutup mulut sambil menikmati pelayaran ini. Ia pun menghela napas sambil menempatkan kaki kiri pada dinding.
Kapal pun telah melintasi lautan selama satu jam. Beberapa burung camar berterbangan menyambut mereka dengan kicauannya yang harmonis.
Salah satu penumpang berlari menuju ujung geladak kapal di sebelah kiri ketika tangan kanan menutup mulutnya. Ia merunduk menghadap lautan dan mulai mengeluarkan cairan dari mulutnya yang telah terangkat dari lambung menuju tenggorokan. Tidak dapat menahan mual akibat embusan udara laut, cairan yang ia keluarkan pun semakin banyak.
Peristiwa itu menjadi perhatian bagi beberapa penumpang, bahkan mereka mulai memperbincangkannya hanya untuk menghibur diri.
“Lemah sekali. Kukira tampangnya itu mencerminkan jati dirinya”
“Sayang sekali, mabuk laut, huh?”
“Kalau dia sampai ke Aiswalt, mungkin yang tersisa darinya hanya beberapa tulang.”
Beberapa penumpang yang memandang dan membicarakan kejadian mabuk laut itu tertawa dengan terbahak-bahak. Sang penumpang yang mabuk laut pun memandang mereka sejenak.
Merasa dipermalukan oleh sesama penumpang, ia lagi-lagi muntah untuk waktu yang lama.
Lelaki bersorban merah itu menggelengkan kepala sambil membuang napas. Tidak menyangka akan sikap dari kebanyakan penumpang di kapal. Ia pun untuk beberapa saat memandangi mereka, setelah itu menggeleng pelan sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
Saat ini ia hanya bersandar pada salah satu dinding kapal, di mana sang kapten yang tengah mengemudikan kapal terlihat senang dengan raut wajah yang puas. Tetapi, sesaat setelah ia menunduk, langkah kakinya bergerak menghampiri seorang kru yang kini melewatinya.
“Maaf,” sapanya.
Tidak lama kemudian ia pun memintanya ... atau mungkin lebih tepat mengkomplain tentang sikap penumpang lainnya yang menertawakan seorang laki-laki tadi.
Namun si kru itu hanya terhenyak beberapa saat sebelum mulutnya tersenyum kecil dan pada akhirnya tertawa. Permintaan yang sangat aneh dan jarang sekali, itulah yang ia pikirkan.
***
Duduk, diam, dan tidak melakukan apapun. Itu yang hanya bisa dilakukan oleh Sans dan Yudai di dalam kotak penuh dengan sekumpulan ikan segar dan bau amis. Menunggu hingga kapal mendarat di daratan membuat penat pikiran mereka, apalagi butuh kurang lebih waktu yang cukup lama, paling tidak semalam, untuk tiba di Benua Aiswalt dari Benua Grindeir.
Hal yang hanya bisa dilakukan selain duduk, diam, dan tidak melakukan apapun hanyalah saling berbicara. Tetapi, mereka sudah kehabisan topik semenjak kapal meninggalkan dermaga menuju lautan.
Yudai mulai membaringkan tubuhnya di atas kumpulan ikan segar, tidak peduli akan bau menyengat masuk ke dalam hidungnya, kedua telapak tangannya langsung menyilang di belakang kepala dengan santai.
Namun Sans tiba-tiba saja berbicara, “Uh … Yudai?”
“Ya?”
Sans mendadak kehilangan apa yang ingin diutarakannya, seperti pikiran terhapus begitu saja. Ia pun menunduk menatapi ikan di bawahnya.
“Ti-tidak jadi”
“Eh? Kenapa?” Yudai melongo.
“A-aku … aku lupa apa yang ingin kukatakan”
“Oh, kurasa aku tahu,” Yudai mulai menerka dan kembali duduk, “kamu tidak akan nyaman tidur ditemani bau amis dari ikan-ikan ini, kan?”
“Uh … ”
“Oh ya, ngomong-ngomong aku lapar. Kita tentu tidak bisa memakan ikan mentah seperti ini.” Yudai menggenggam salah satu ikan menggunakan tangan kanan, “kita butuh makanan yang setidaknya tidak butuh dimasak. Ayolah, kita cari makanan, lalu tidur”
Yudai berbalik dan membuka alas kotak sedikit demi sedikit. Ia pun langsung melompat seakan tidak akan terjadi apa-apa.
“Whoa! Yudai?!” sahut Sans tercengang ketika mendengar tapakan kedua kaki Yudai pada lantai ruang penyimpanan di kapal.
Sans mulai merangkak mendekati ujung kotak di hadapannya. Tangannya pun meraih alas kain langit-langit kotak, melihat Yudai telah berdiri di hadapan kotak tersebut.
“Yudai, bagaimana kalau nanti—”
Yudai tidak membiarkan Sans bertanya sampai selesai, karena saat ini wajahnya menunjukkan harapan dan rasa optimis. “Ayolah, ini ruang penyimpanan barang di kapal, kan? Tidak ada yang akan kemari selama perjalanan, kita aman, benar-benar aman”
“Tapi—”
“Sudahlah, ayo turun. Kita cari makanan lalu tidur. Ayo!”
Sans menghela napas seraya melampiaskan kekhawatirannya. Ia berpikir bisa saja seseorang, terutama kru atau kapten kapal memasuki ruang penyimpanan untuk melakukan inspeksi mendadak.
Menggelengkan kepala sejenak untuk memastikan tidak ada siapapun kecuali teman barunya itu di sana, ia pun membuang napas lagi. Pada akhirnya Sans ikut memanjat mengikuti Yudai yang mendahuluinya.
Sans pun akhirnya melompat dari kotak itu dan menempatkan kedua kaki pada lantai kayu tempat penyimpanan barang. Untuk kesekian kalinya ia menggeleng memastikan tidak ada siapapun selain mereka berdua di sana.
Ruang tempat penyimpanan kapal dapat di gambarkan seperti ruangan petak yang berisikan kotak-kotak kayu. Bagian atasnya tertutupi kain hitam dan setidaknya tidak terlalu sempit sehingga kedua lelaki ulung itu dapat bergerak cukup bebas di sana.
Yudai mulai melangkah melewati celah antara kotak-kotak di hadapannya. Ia menghampiri salah satu kotak dan menempatkan kedua tangan pada alas kain. Dibukanya alas kain kotak itu dan dia membuka mulut begitu decakan kagum meningkat.
Ia pun menggerakkan jari tangan kanannya dari depan ke belakang dua kali seraya mengajak Sans untuk menghampiri kotak tersebut. Sans hanya mengangguk tanpa berkata-kata, lalu mendekati kotak tersebut.
Begitu menatap isi dari kotak itu, kumpulan belati berbentuk melengkung berwarna bening seperti cermin memenuhi setengah dari isi kotak itu. Bahkan Sans sendiri tidak percaya bahwa tumpukan belati tepat di hadapannya memenuhi isi kotak.
“Mungkin kamu akan cocok dan berminat menggunakan senjata seperti ini,” usul Yudai.
Sans menggeleng pelan, “Aku belum pernah belajar menggunakan senjata sama sekali. Apalagi menggunakannya untuk menebas seseorang.”
Yudai kembali melongo, “Bahkan untuk berburu? Kamu tidak menggunakan senjata untuk berburu di hutan?”
“Aku hanya berburu sayur mayur dan buah-buahan. Aku tidak berburu daging. Kalau aku harus beli, harganya mahal, hanya sekitar sebulan sekali”
“Tapi … setelah kita mendarat di Aiswalt, kamu bisa belajar terlebih dahulu sambil kita mencari pekerjaan untuk menghasilkan uang. Tentunya ... menggunakan belati ini.”
Sans hanya terdiam menatap kumpulan belati di dalam kotak tersebut. Ia sama sekali tidak pernah berpikir akan ada orang yang mau mengajarkannya bagaimana cara menggunakan belati untuk berburu.
“Uh … mungkin kita pikirkan soal itu nanti. Aku lapar,” ucap Yudai lalu menutup alas kain kotak kayu itu.
Yudai berlalu menuju kotak sebelah kiri. Langkah kakinya pada lantai sampai berbunyi, semangatnya telah memuncak meski perutnya ikut berbunyi keroncongan beberapa kali.
Sans juga sekali lagi mengikuti langkah Yudai. Begitu Yudai membuka perlahan alas kotak itu, dia juga ikut mengintip isinya. Ternyata, mulutnya menjulur ke bawah ketika menemukan sekumpulan barang bukanlah apa yang dia harapkan.
“Se-semuanya kentang,” ucap Sans polos.
“Benar, semuanya kentang,” ulang Yudai.
“Kita tidak bisa memakan kentang mentah-mentah. Setidaknya, kentang harus dipanaskan terlebih dahulu agar bisa dimakan”
“Setidaknya kita bisa mengambilnya dan mencurinya untuk nanti”
Sans membuka mulutnya seraya ingin bersuara, sekali lagi protes terhadap rencana Yudai. Namun, sebuah suara berasal dari pintu seakan memukul pikiran dan pendengaran, menghentikan kata-katanya.
Sans berbalik menatap pintu terhalang oleh beberapa kotak, sebuah langkah kaki pun juga ikut meluncur menuju telinga satu per satu. Kekhawatiran langsung meledak dalam hati Sans.
“Sial,” ucap Yudai perlahan.
“Cepat! Sembunyi!” bisik Sans menunjuk celah pada bagian belakang kotak yang menghadap dinding kayu.
Sans dan Yudai melangkah cepat dan terbirit-birit menuju bagian belakang kotak berisi kentang itu menghadap dinding. Napas mereka terengah-engah ketika mereka berlutut dan menghadap bagian belakang kotak itu.
Suara langkah kaki menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Ketegangan pun melanda ketika Yudai menyentuh badan dari kotak tersebut sambil menghela napas.
Lama-kelamaan, suara langkah kaki semakin nyaring pertanda orang itu sudah mendekat. Sans sampai menggepalkan kedua tangan untuk melampiaskan ketegangannya.
Akan tetapi, ketika menggepalkan tangan kirinya dan langkah kaki itu terhenti, Sans menyadari bahwa sesuatu telah lenyap dari genggamannya. Menggerakkan jari-jarinya pada badan tangan kirinya, dia tercengang.
“Daun ars-nya!” ucap Sans perlahan.
“Kenapa?” tanya Yudai heran.
Sebuah suara dari orang itu akhirnya terdengar. “Aku tahu kalian di sana. Keluarlah. Tidak apa-apa.”
Kedua laki-laki itu pun menghela napas ketika mereka telah ketahuan bersembunyi di tempat penyimpanan barang. Mereka tidak dapat menyangka apa yang akan terjadi berikutnya, entah harus dijebloskan ke dalam lautan atau ditinggalkan di sebuah pulau.
“Tidak apa-apa. Aku takkan bilang pada siapapun. Keluarlah. Aku bukan kru kapal, apalagi kapten. Kalian pasti menjatuhkan daun ars, kan?”
“Daun ars-mu?” bisik Yudai. “Kita—”
Sans perlahan bangkit dari duduknya di balik kotak dan melangkah menuju celah untuk menatap muka orang itu.
“K-kamu ….” Sans menatap orang itu merupakan lelaki bersorban merah.
Yudai juga mendekati Sans dan menatap lelaki bersorban merah telah berada di hadapannya. Dia kini tercengang seseorang yang pernah ia lihat selama bersembunyi di sebuah kotak penuh ikan segar telah berada di hadapannya.
Lelaki bersorban merah itu menyerahkan daun itu, “Ini milikmu. Daun ars ini benar-benar istimewa dan sangat langka. Beruntung kamu menemukannya di tepi pantai”
“Te-terima kasih,” sahut Sans, lalu menerimanya.
Perut keroncongan Yudai pun berbunyi tidak dapat menahan kekosongan, tidak sabar untuk menerima nutrisi dari makanan. Yudai memegang perutnya menggunakan kedua tangan.
“Ya, seperti yang kalian dengar, aku lapar, benar-benar lapar” ucap Yudai.
***
Lelaki bersorban merah itu menyerahkan masing-masing satu buah apel pada Sans dan Yudai begitu mengambil dari salah satu kotak. Ia mengambil satu buah apel dari kotak untuk bagiannya. Ketiga apel itu mengkilap memancarkan warna hijau kemerahan.
“I-ini … tidak apa-apa mengambil apel dari kotak?” Sans ragu ketika memandang apel di genggamannya.
“Apa boleh buat, kalian lapar, kan? Makanlah.”
Sans dan Yudai mulai menggigit apel yang berada di genggaman mereka masing-masing. Potongan apel mendarat di lidah dan terkunyah oleh gigi. Air dari potongan apel merembes ke lidah ikut meluncurkan rasa asam dan manis. Kombinasi asam dan manis dari apel membuat mulut seakan-akan tercuci oleh sari buah.
“Enak!” Yudai melampiaskan kenikmatan dan kesegaran asam dan manis dari apel.
“Oh ya, sebenarnya … aku sudah tahu semenjak kapal ini berangkat kalian berada di sini, bersembunyi di salah satu kotak,” tuturnya.
“Eh?” ucap Yudai melongo.
“Kamu tahu? Tahu darimana?” tanya Sans.
“Aku melihat kalian menyusup ke dalam kotak itu, ketika tidak ada yang melihat. Begitu aku tahu kalian masuk ke kotak itu, aku membantu pembawa kotak itu untuk memasukkannya ke dalam ruangan ini,” lelaki bersorban merah itu bercerita, “kalian juga ingin ke Aiswalt, kan? Tidak punya uang. Jadi aku membantu kalian.”
Yudai menggigit apelnya dengan cepat dan lahap, tidak sabar ingin mengisi perut dari keroncongan. Setiap gigitan melembapkan mulut dan lidah berkat air dari gigitan apel itu.
Sans memandang Daun ars pada telapak tangan kirinya. Mengetahui lelaki bersorban merah berada di hadapannya, rasa penasaran tidak dapat dipungkiri lagi. Dia ingin tahu kegunaan spesial dari daun ars.
Yudai menginterupsi, “Oh ya, omong-omong Anda siapa? Kenapa menutup wajah menggunakan sorban merah itu?”
Lelaki bersorban merah itu menjawab, “Siapa aku tidak penting bagi kalian, begitu juga dengan seluruh penumpang kapal ini, apalagi seluruh kru dan kaptennya. Aku hanya ingin pergi ke suatu tempat.”
Kini giliran Sans untuk mengemukakan sebuah pertanyaan. “Sejak dirimu memberitahu Daun ars ini berguna untuk nanti, aku bertanya-tanya apa kegunaan—”
Suara jeritan dari geladak kapal di atas ruang penyimpanan meledak seketika, menghentikan perkataan Sans. Mereka bertiga menatap ke langit-langit ruangan begitu berbagai jeritan bermunculan bersama dengan tebasan pedang.
Lelaki bersorban merah itu bangkit. Mendengar jeritan dan tebasan pedang semakin meledak dari geladak kapal, lelaki bersorban merah itu menatap pintu keluar ruangan penyimpanan barang seraya ingin kembali ke lantai teratas kapal.
Semakin banyak suara jeritan dan tebasan pedang, semakin lahap pula Yudai menggigit apel di genggamannya. Saking cepatnya, daging apel sudah tidak bersisa, hanya menyisakan biji.
“A-apa yang terjadi?” gumam Sans.
“K-kita diserang,” lelaki bersorban merah itu menyimpulkan dan berbalik menghadap pintu.
Sans terpana ketika menatap senjata di punggung lelaki bersorban merah. Sebuah pedang bermata bentuk gelombang berwarna hitam. Dari situlah Sans akhirnya tahu, bahwa laki-laki misterius yang membantu mereka bukanlah seseorang yang biasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
John Singgih
serangan bajak laut
2021-03-19
0