Menaiki tangga di dalam salah satu jalan di ruang depan kastel, Beatrice akhirnya mencapai puncak dan hanya melihat satu arah menuju sebuah ruangan. Tepat di hadapannya terdapat dua orang yang tengah melangkah dengan hati-hati.
Beatrice pun mengendap-ngendap mengikuti mereka memasuki ruangan itu. Memegangi dinding sambil berjalan diam-diam, ia memandangi kedua murid tersebut telah berbelok bertepatan ketika suara tangisan anak kecil terdengar lantang.
Ketika ia telah mencapai ujung tembok yang merujuk pada pertigaan jalan, Beatrice ikut mengintip, menyaksikan dua murid itu mendekati seorang gadis kecil berambut panjang.
Gadis kecil itu menangis mendapati dirinya tersesat di dalam kastil terbengkalai. Tidak bisa menahan iba, salah satu dari murid itu mengenggam tangannya dan mencoba menghibur. “Tenanglah, kami akan membawamu keluar dari sini. Kita cari Patung Selene dan mengambil air matanya bersama-sama.”
Ketika gadis kecil itu berbalik, tangisannya lama-kelamaan berubah menjadi cekikikan pelan.
Mereka pun tercengang ketika melihatnya perlahan tumbuh lebih tinggi, dari badan hingga rambut, semuanya berwarna abu-abu. Dengan langkah gemetar, napas mereka terengah-engah, dan perlahan mulai mundur.
Beatrice yang juga melihatnya menjadi gemetar dengan jantung berdetak kencang, ia sama sekali tidak bisa bergerak. Ia berusaha menutupi mulutnya yang hampir saja ikut berteriak.
Makhluk tak jelas itu membuka mulut lebar dan meledakkan suara jeritan tepat pada kedua murid di depannya. Saking kerasnya, kekuatan suara itu hampir mencapai frekuensi ultrasonic, yaitu melebihi standar maksimum yang dapat diterima telinga.
Kedua murid itupun ikut berteriak. Pada akhirnya mereka jatuh berlutut sambil mencoba menutupi telinga hingga tanpa mereka sadari, bahwa mata mereka mulai memutih lalu ambruk tak sadarkan diri.
“I-itu… monster screamer-nya?” gumam Beatrice menyimpulkan identitas jelmaan perempuan abu-abu itu.
Monster itu memutar kepala untuk mencari mangsa baru. Tepat pada saat itu tatapannya mengarah pada mata Beatrice yang mencoba mengintip.
“Hiiii!!” jerit Beatrice langsung berlari berbelok kiri demi meloloskan diri dari kejaran sang monster. “Aptitude test bagian dalam lebih buruk daripada kemarin!!”
***
“Kamu mengikuti kami?” Neu mengonfrontasi Tay di hadapannya.
“Kalau iya memang kenapa?” Tay membalas.
Sans dan Yudai tidak dapat berkata apapun selain menatap Tay yang memang mengikuti dari belakang. Neu pun melangkah seraya membela mereka berdua.
“Orang macam apa kamu berkata ide Yudai kampungan? Mau meneruskan ejekan pada Sans dan Yudai? Kalau mereka kampungan? Hah?” Neu melampiaskan keluhannya. “Kamu juga hanya seorang diri mengikuti kami. Kenapa tidak bersama teman-temanmu saja?”
“Lalu kenapa perempuan ber-sun hat putih itu tidak bersama kalian? Apa dia terlalu kuat untuk kalian? Bisa lolos aptitude test bagian luar kemarin?” Tay membalas sindiran Neu.
“A-apa?”
“Begitu rupanya. Kalian menyingkirkannya demi keselamatan kalian sendiri hari ini, demi lolos bagian dalam dari aptitude test, karena kalian sebenarnya payah dan kampungan”
“Dasar,” Yudai tersinggung dan ingin menggerakkan kaki untuk membalas.
Neu merentangkan tangan kanannya, menghentikan kedua kawannya untuk mendekati Tay. “Itu yang terbaik darimu? Menggunakan kata-kata? Untuk menyerang orang? Dasar. Kami tidak punya waktu untuk melayani ejekanmu. Sans, Yudai, kita cari jalan lain saja, biarkan saja ia melewati salah satu dari dua jalan di sini.”
Ketika Neu tengah kembali menuju tangga, Tay kembali membalas, “Baiklah, silakan saja lakukan rencana pengecut seperti tadi, mata empat ***.”
Sebelum mereka meneruskan perjalanan, ejekkan Tay berhasil membuat ketiganya terengang. Padahal mereka baru saja mengambil langkah pertama.
Neu berbalik dan mulai mendidih dari dalam diri setelah mendengar ejekan Tay. “Hei! Orang brengsek macam apa dirimu ini!”
Tay begitu geram mendekati dan menarik kerah baju Neu. “Kenapa? Aku tidak berhak berkata seperti itu? Hah? Itu kenyataannya!”
“Whoa! Whoa! Whoa!” ucap Yudai mendekati keduanya. “Tenanglah. Tenanglah. Lebih baik kita selesaikan ini baik-baik, lalu kita anggap semua sudah lewat.”
Alih-alih menuruti Yudai, Neu mendorong bahu Tay ke belakang. “Memang orang brengsek seperti kamu yang berhak berkata seperti itu pada semua orang!”
“Memangnya aku brengsek?!” jerit Tay kembali mendorong bahu Neu. “Enak saja!”
“Uh, Neu, sudah. Tay, kamu juga,” bujuk Yudai ketika terdapat jarak antara Tay dan Neu.
Neu menghela napas dan menggeleng. “Dengar ya. Pasti di antara kita tidak ada yang mau mengulang dari awal hanya karena tertangkap kesatria patung atau masuk ke dalam dinding ilusi. Apalagi membuang waktu untuk bertengkar!”
“Jangan menasihatiku seperti—” Tay berupaya membalas.
Neu kembali menyindir, “Omong-omong, kamu meninggalkan teman-temanmu, kan? Hanya untuk mengikuti kami? Kamu sengaja, kan? Mereka pasti menyesal pernah berteman dengan orang brengsek sepertimu. Seharusnya dengan sikap seperti itu kamu keluar saja dari akademi—”
Tidak tahan lagi, Tay mendorong kepalan tangan kanan tepat pada wajah Neu hingga terjatuh. Sindiran Neu tentu membuat dirinya berapi-api, apalagi mengingat Beatrice sudah tidak ada di sekitar mereka.
Melihat Neu sampai menjatuhkan gelasya hingga pecah berkeping-keping, Yudai segera bertindak. Diikatnya kedua tangan Tay dari belakang seraya menahan agar tidak memukul Neu lagi.
Tay melampiaskan tenaganya melalui sikutan pada Yudai. Tak lama, Neu bangkit menghadapinya kembali.
“Yudai!” jerit Sans menyaksikan Yudai roboh ke lantai.
“Uh!” Giliran Neu membalas pukulan pada Tay tepat pada wajah hingga roboh ke lantai. “Itu yang pantas kamu dapatkan!”
Tay kembali bangkit dengan cepat ketika mendapati gelasnya juga ikut pecah di lantai. “Kamu anggap itu pukulan? Lemah! Kamu memecahkan gelasku!”
Tay kembali mengayunkan kepalan tangan kanannya kembali tepat pada wajah Neu. Tetapi , ia berhasil menahan pukulannya menggunakan tangan kiri.
Pada saat yang sama, Tay juga menahan ayunan kepalan tangan kanan Neu menggunakan tangan kiri. Masih saja meluapkan emosi pada satu sama lain, Tay membakar emosi menjadi tenaga untuk memcah pertahanan lawannya. Akan tetapi, tenaganya berakhir mendorong menuju salah satu pintu jalan.
“He-hentikan!” jerit Sans ketika menatap Tay mendorong Neu pada jalan di bagian kanan.
Alih-alih menghentikan langkah, mereka justru memasuki jalan tersebut. Tak lama setelah itu, jalan kanan seketika berubah kembali menjadi dinding batu-bata terkelupas, membuat Sans dan Yudai tercengang.
“D-dinding ilusi?” ucap Yudai bangkit sambil menggenggam gelas menggunakan tangan kiri.
“AAAAAAAAAAAARRRGH!!” Jeritan Tay dan Neu terdengar nyaring di balik dinding tersebut, menandakan mereka telah berada dalam bahaya.
Begitu mendekati dinding tersebut, mereka berdua terengah-engah ketika Tay dan Neu terperosok ke dalamnya. Mereka tidak menyangka bahwa jalan kanan tersebut adalah sebuah dinding ilusi.
Yudai beralih pandangan pada jalan yang menyerong kiri, satu-satunya jalan masih utuh di depan mata.
“Be-berarti ini jalan yang tepat, kan?” Yudai berupaya untuk menenangkan suasana. “Sepertinya melewati jalan yang tidak diambil kebanyakan orang benar-benar tepat.”
“Ta-tapi bisa saja ini juga sama,” Sans memperingatkan.
“Hanya ini satu-satunya untuk memastikan.” Yudai terlebih dahulu memasuki jalan tersebut.
“Tu-tunggu!” seru Sans.
Begitu keduanya memasuki ruangan tersebut, tidak terjadi apapun. Dinding dan lantai batu-bata masih terpasang utuh. Hanya ada jalan seperti tikungan mengarah kanan. Sans bernapas lega mengetahui jika jalan yang mereka lalui aman.
“Keajaiban!” Yudai mulai berlari.
“Yu-Yudai, pelan-pelan!”
***
Hanya ada beberapa murid tahun pertama yang dapat melintasi setiap jalan menuju lantai teratas kastel setelah menghindari dinding ilusi, monster screamer, dan kesatria patung di dua lantai terbawah. Lantai tiga, lantai teratas, merupakan letak Patung Selene berada.
Patung itu terletak di pusat ruangan lantai tiga, bagian kepala dapat terlihat dari balik setiap tembok pembatas. Patung yang terbuat dari marmer putih itu memancarkan air seperti pancuran hingga berbunyi nyaring dan jelas.
Ketika setiap murid memasuki lantai teratas, dinding batu-bata berada di depan mata bersama pilihan jalan, tampak seperti labirin bersimpang siur. Terlebih, ketika mereka memasuki jalan untuk berbelok demi mencapai Patung Selene, begitu banyak kesatria patung dan monster screamer menanti secara tidak terduga untuk mengejutkan.
Benar saja, setiap jeritan dari setiap murid begitu mendapati kedua makhluk tersebut meledak. Lebih buruk lagi, mereka sudah bersusah payah mencapai lantai ketiga hanya untuk tertangkap dan harus mengulang dari lantai pertama kembali.
Beatrice yang baru saja tiba dari pintu timur menyaksikan satu per satu murid memasuki sebuah jalan di dinding labirin tersebut. Semakin sedikit murid yang tersisa, semakin sulit rintangan yang menanti di lantai teratas.
Ia perlahan melangkah memasuki jalan tersebut, memasuki labirin. Akan tetapi, dia kembali bersembunyi ketika mengintip ke kanan bahwa ada setidaknya dua kesatria patung. Terengah-engah akibat ketegangan, ia tentu tidak ingin tertangkap dan perjuangan menuju lantai teratas sia-sia.
“Jangan pecahkan gelas, jangan sampai pecah, jangan bertemu kesatria patung dan monster screamer, kamu akan baik-baik saja,” gumamnya demi menenangkan dan mengingatkan diri.
Di sisi yang lain, Sans dan Yudai juga tiba di sebelah selatan, menyaksikan dinding masuk menuju labirin yang merujuk pada Patung Selene. Yudai pun kembali terpana ketika “air mata” dari patung tersebut memancar seperti pancuran.
Mendengar jeritan dari setiap murid yang melintas di dalam labirin, Sans menyatakan keraguannya, “I-ini terlalu berbahaya. Peluang kita untuk tertangkap sangat tinggi”
“Kecuali kalau kita cerdas dalam melangkah. Kita akan melewati labirin ini, menghindari kesatria patung, dinding ilusi, dan monster screamer. Oh ya, sebenarnya kita belum bertemu dengan monster screamer. Ayo!” Tanpa perlu pertimbangan lebih lanjut, dia mulai melintas jalan di dinding untuk memasuki labirin.
“Tu-tunggu!” Sans menyusul Yudai.
Mulai menyusuri labirin, mereka perlahan berlari sambil bersandar pada dinding. Ketika mencapai ujung menuju dua buah belokan, mereka menghela napas ketika mengintip sebuah monster screamer menjerit pada seorang murid tahun pertama pada belokan kanan.
Yudai terengah-engah setelah menyaksikan monster screamer itu berubah menjadi seorang anak kecil. “I-itu monster screamer.”
Sans beralih menuju dinding di hadapan dirinya dan Yudai. Begitu mengintip pada belokan kiri, sebuah kesatria patung di belokan di jalan tersebut berlalu begitu saja menuju kiri.
“Bagaimana?” tanya Yudai.
“Kurasa sudah aman.” Sans mengangguk.
“Baiklah.” Yudai beralih menuju belokan kiri dengan Sans mengikutinya. Terengah-engah dan ingin mencapai patung Selene tanpa memecahkan gelas masing-masing, mereka kembali berlari secara perlahan.
“AAAAAAH!!” Jeritan seorang perempuan justru yang menjadi perhatian bagi Beatrice, membuatnya berpaling dan terhenti sejenak ketika menyusuri labirin.
“Tenang, jangan teralihkan,” ucap Beatrice.
Memasuki perempatan lagi, ia menoleh ke arah kanan. Seorang anak kecil berambut panjang menyapa, “Ayo main.”
“Ti-tidak!” ucap Beatrice langsung belok kiri, mengetahui anak kecil itu merupakan jelmaan monster screamer.
Beatrice kembali berlari dengan terengah-engah menuju belokan lain. Begitu ia mencapai belokan tersebut, ia langsung bersandar pada dinding setelah menyaksikan seorang murid telah menjadi korban kesatria patung.
“Lepaskan! Lepaskan aku!” jerit murid malang itu.
Beatrice menutup mulutnya agar napas tidak terdengar secara langsung oleh kesatria patung itu. Perasaannya semakin deg-degan ketika dirinya melihat kedua makhluk penghalang, kesatria patung dan monster screamer.
Menyusuri labirin tersebut tentu memakan banyak waktu, kadang setiap murid seperti Sans, Yudai, dan Beatrice bersembunyi di balik dinding di dekat perempatan atau pertigaan demi menghindari kesatria patung dan screamer. Terlebih, semakin banyak murid tahun pertama yang tertangkap oleh kesatria patung dan monster screamer terpaksa harus mengulang aptitude test bagian dalam dari awal.
Seluruh jeritan baik dari murid dan screamer semakin nyaring ketika semakin dekat dengan letak patung Selene di balik dinding. Setiap murid semakin terengah-engah ketika sedikit lagi berhasil membebaskan diri dari labirin lantai tiga itu.
Setelah beberapa kali upaya untuk mencari jalan benar menyusuri labirin dan menghindari kesatria patung serta screamer, Sans dan Yudai akhirnya memasuki jalan menuju letak patung tersebut dan menarik napas dengan lega.
“Hei!” ucap Yudai ketika mereka mulai mendekati Patung Selene tanpa memedulikan sekitarnya.
Air yang keluar dari bagian mata Patung Selene memancar seperti pancuran menuju sebuah kolam lingkaran di bawahnya. Tetapi, keindahan patung tersebut bukan menjadi perhatian bagi seluruh murid, termasuk Sans dan Yudai, karena mereka harus mendapatkan air pancuran tersebut ke dalam gelas demi menyelesaikan tes.
“Syukurlah, kita tiba juga,” ucap Sans.
Langkah mereka terhenti begitu tiba di depan patung tersebut.
“Kita ambil air matanya sekarang juga!” Yudai mengangkat gelasnya tinggi.
Tepat sebelum Sans dan Yudai sempat mendapatkan satu tetes air mata Patung Selene ke dalam gelas, dua kesatria patung memergoki mereka dari belakang.
“Whoa! Whoa!” jerit Sans dan Yudai ketika mereka terangkat menggunakan tangan kesatria patung yang menangkap mereka hingga menjatuhkan gelas ke lantai.
“Aaah! Padahal tinggal sedikit lagi!” jerit Yudai ketika kesatria patung berbalik membawa dirinya dan Sans keluar dari sana.
Melihat hampir seluruh murid yang berupaya untuk mendapat air mata Patung Selene berujung gagal total, Beatrice akhirnya memutuskan untuk berlari mendekati patung tersebut begitu melihat celah kosong.
Akan tetapi, ketika ia mencapainya, sebuah kesatria patung muncul dari salah satu jalan labirin. Lebih buruk lagi, sebuah monster screamer menjelma anak perempuan yang semula ia temui juga tiba berupaya mendekatinya.
“Ayo main,” ucap monster screamer itu.
“AAAAH!” jerit Beatrice segera mendekatkan gelas pada pancuran air mata patung Selene. Setidaknya ia mendapat setengah gelas air mata tersebut ketika berbalik. “Be-begini cukup?”
Ksatria patung dan monster screamer itu melompat secara bersamaan untuk menangkap Beatrice. Screamer mulai mengubah dirinya ketika membuka mulut lebar. Tetapi, ia langsung menunduk, membuat kesatria patung tersandung lalu tercebur ke dalam kolam, sedangkan di sisi lain screamer juga menabrak tepat pada patung Selene tanpa sempat meledakkan jeritan sama sekali, dan ikut masuk ke dalam kolam.
Beatrice menggenggam gelas berisi air mata itu erat-erat, tidak memedulikan apa yang baru saja terjadi. “Benar.”
Tidak ingin menunggu lama lagi agar kesatria patung dan screamer lain menemui dirinya, Beatrice segera berlari memasuki salah satu jalan untuk keluar dari kastil dengan selamat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
John Singgih
horror ujian kedua
2021-03-21
0
Muma
baca lagi
2020-08-22
0