Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Hiruk pikuk jalanan Malioboro terasa damai, pedagang-pedagang sepanjang jalan tetap buka seperti biasanya. Namun, karena hari masih belum terlalu larut, pengunjung belum banyak berdatangan.
Motor sport milik Tristan dapat lewat dengan leluasa tanpa terjebak macet. Sore itu, langit tampak sedih, gemuruh petir terdengar seolah akan menjatuhkan segala materi yang dikandungnya.
“All, kok Lo bisa kenal nyokapnya Sagara?” Tristan bertanya, namun suaranya sedikit naik, agar bisa didengar oleh Alleta yang duduk di jok belakang.
“Nnggak kenal sih, tapi kemarin gue jenguk Sagara ke rumahnya, pas gue mau balik mamanya pulang, jadi kenalan deh..” tutur Alleta santai.
“Ohh..” Tristan bergumam.
“Kenapa?” tanya Alleta, suaranya kalah dengan angin sehingga harus sedikit maju agar Tristan bisa mendengarnya.
“Enggak.” Tristan menggeleng pelan. “gue kira Lo bakal canggung ke rumah orang yang baru dikenal.”
“Awalnya emang canggung sih.” Alleta terkekeh kecil, “Tapi tante Sofi baik banget, ramah banget malah. Bikin nyaman.”
“Kayak Lo,” sahut Tristan cepat.
“Hah?” Alleta terdiam sejenak, “Kenapa jadi gue?”
“Ya karena Lo gampang bikin nyaman,” Tristan menjawab sembari matanya tetap fokus ke jalanan, “Makanya nyokapnya Sagara langsung welcome.”
Alleta mengernyit, tak tahu harus tertawa atau merasa aneh. “Apaan sih..”
Motor mereka berhenti ketika lampu merah menyala. Tristan menoleh sedikit, cukup untuk melihat ekspresi Alleta dari kaca sepion.
“Tapi kemarin Sagara juga agak beda.” Kata Alleta lagi.
“Beda gimana?”
“Ya agak gimana ya?, kayak lebih manusia gitu.”
“Lebih manusia?” Tristan tertawa pendek, “Maksud Lo apa coba.”
“Maksudnya ya lebih ada sisi manusianya, ga secuek dan sedingin di sekolah.” Alleta menatap langit yang semakin gelap.
Tristan terdiam sejenak. Lampu kembali hijau, motor mereka melaju perlahan.
“Ya lagian kan Lo bertamu, masa iya tamu dicuekin.” balas Tristan mengerutkan keningnya.
“Iya sih.”
Tak lama berselang, gemuruh langit semakin terdengar, tetesan air mulai turun satu persatu, gerimis tebal mulai membasahi jalanan.
“Ke pinggir dulu ya, pake jas hujan.” Ajak Tristan, menyadari mereka pasti akan basah kuyup jika terus menerobos.
“Gak usah, kita mandi hujan..” Seru Alleta yang kemudian merentangkan kedua tangannya dan menatap ke udara membiarkan air yang turun dari langit itu membasahi wajahnya.
Tristan menoleh ke belakang sekilas, “Nanti Lo sakit..” Seru Tristan mengingatkan.
“Gak apa-apa, lagian udah lama gak main hujan...” Alleta tetap kekeuh.
Tristan menghela nafas–pasrah. Ia menepikan motornya sebentar, berhenti di bawah papan toko yang mulai basah. “All serius, hujannya gede banget loh..”
Tapi Alleta malah tertawa kecil, suaranya tenggelam antara riuh rintik hujan di aspal. “Justru itu serunya, Tris!”
Tristan menatap gadis itu lama. Bukannya berteduh, Alleta malah menjauh dari atap toko, tangannya terentang seolah ingin memeluk hujan. Seragam putih abu yang dikenakan Alleta perlahan mulai basah, beberapa helai rambutnya terlihat menemukan di wajahnya.
“Serah Lo deh.” Ujar Tristan akhirnya, dia kemudian memakai mantel untuk dirinya sendiri, setidaknya salah satu dari mereka tetap mengendalikan keadaan.
“Yaudah.” balas Alleta santai, dia memejamkan mata sesaat. “Langit lagi bersedih, masa kita gak temenin.”
Tristan mendengus“Aneh Lo.”
“Tapi Lo tetep mau temenan sama orang aneh.” Alleta menyahut sigap.
Hujan tak lagi sekedar rintik, ia turun deras, menampar aspal, membuat genangan yang memantulkan lampu-lampu dari toko yang mulai menyala.
“Udah yuk, turunin tangan Lo. Bahaya kalo lagi jalan begitu.” Ujar Tristan akhirnya sambil menghidupkan mesin motor.
“Iyaa.” Alleta menurunkan tangannya perlahan, masih dengan senyum kecil yang terukir di bibirnya. “Bentar lagi juga reda kok.”
Motor itu kembali melaju, membelah hujan. Suara air yang diterjang ban terdengar seperti langkah kecil yang terburu-buru. Langit di atas mereka semakin kelam, seolah menggulung awan-awan yang dipenuhi beban.
“Kayaknya dia lagi marah..” Alleta kembali bergumam.
“Siapa?”
“Langit.”
“Langit gak marah.” bantah Tristan pelan. “Dia cuma capek mendam semuanya sendirian.”
...****************...
Hachiii...
Hachiii..
Di dalam kamarnya, Alleta terbaring lemah di atas tempat tidur. Mamanya–Sekar, nampak tengah memeras lap kecil pada wadah berisi air hangat kemudian menempelnya di kening Alleta.
“Mama udah telfon wali kelas kamu, kamu istirahat aja hari ini, gak usah sekolah.” ujar Sekar.
“Iya maa..” lirih Alleta.
Sekar mengelus kening putrinya, berusaha menurunkan panas yang sejak pagi tak kunjung reda. Alleta hanya meringkuk sembari memeluk bonekanya, tubuhnya menggigil meskipun selimut tebal menutupi tubuhnya.
“Kamu main hujan ya kemarin?” tanya Sekar, suaranya perpaduan antara kesal dan khawatir.
“Dikit.” cicit Alleta.
“Dikit apanya?, kemarin bi Maya katanya lihat kamu basah kuyup pas pulang.” Sekar menghela nafas, mencelupkan kembali lap ke air hangat. “Boleh aja kalo main hujan, tapi jangan berlebihan, ingat kondisi.”
Alleta hanya mengangguk. Di luar, suara hujan masih terdengar membuat kamar itu terasa sepi.
Tok..Tok..Tok..
Suara pintu diketuk pelan. Sekar menoleh, “siapa?”
“Tristan tante.”
“Ohh Tristan, masuk aja.
Pintu terbuka sedikit, menampilkan Tristan dengan seragam sekolahnya dan tas hitam yang tersampir di punggungnya, dia kemudian melangkah pelan memasuki kamar Alleta.“Pagi tante, boleh nengok bentar?”
“Bolehh.”
Alleta yang awalnya memejamkan mata, mencoba membuka matanya lagi.
“Tristan?” suara Alleta serak, hampir tidak terdengar.
Tristan maju beberapa langkah, “Katanya hujannya bakal reda bentar lagi.” ujarnya pelan, mengulang kalimat Alleta kemarin. “Ternyata hujannya masih lanjut sampai pagi.”
Alleta memutar bola mata, setengah malas menanggapi. “heeh..”
Tristan kembali menoleh ke arah Sekar, “Maaf ya tante, kemarin Alleta hujan-hujanan sama Tristan.” kata pemuda itu tulus.
“Gak usah minta maaf, bukan salah kamu, Alleta nih yang bandel.” Sekar menjitak lembut kening Alleta.
“Aduh.., mama.., anaknya sakit malah dijitak..”
rengek Alleta dramatis.
Tristan tertawa ringan dengan tingkah sahabatnya.
Sekar tersenyum tipis melihat kedua remaja itu, “Udah.., mama mau bikin bubur dulu.” Sekar bangkit dari duduknya, “Tristan jangan lama-lama disini, nanti kamu kesiangan sekolah nya.” ujarnya lagi mengingatkan.
“Iya tante, bentar aja kok, masih pagi.” pemuda itu melirik ke arah jam di dinding.
“Yaudah, tante ke dapur dulu.” ujar Sekar sebelum akhirnya keluar dari kamar meninggalkan mereka berdua.
Kini kamar itu semakin sunyi hanya ada mereka berdua, Alleta nampak malas tapi juga tidak terganggu dengan kehadiran Tristan.
“Lain kali kalo mau main hujan, jangan pas di motor.” Tristan kembali bersuara.
Alleta mendengus pelan. “Nyalahin gue?”
“Bukan gitu.” Tristan menggeleng, “Lo bikin khawatir tau ga?”
Alleta terdiam, tidak memiliki energi untuk menjawab. Ia kembali menarik selimutnya hingga hanya hidungnya yang terlihat. Napasnya terdengar berat.
Tristan memperhatikan sebentar, kemudian berkata pelan.“Cepet sembuh All.”
Alleta mengangguk kecil dibalik selimut, “Makasih.”
“Yaudah, gue cuma mau mastiin aja, gue berangkat dulu.” Pamit Tristan. “Nanti gue bawain roti bakar.”
“Oke, hati-hati.” ujar Alleta pelan.
Tristan kemudian berbalik, membuka pintu kemudian keluar. Setelah pintu kembali tertutup, Alleta menghela nafas panjang. Senyum tipis muncul di wajahnya, meski tubuhnya masih terasa lemas.
Sungguh menyenangkan memiliki sahabat laki-laki yang memperlakukan kita layaknya tuan putri. Alleta benar-benar bersyukur punya Tristan yang sudah dia anggap seperti kakak laki-lakinya sendiri.
Drttt...drttt...
Baru saja hendak kembali memejamkan mata, ponsel Alleta tiba-tiba berdering. Dengan malas Alleta merentangkan sedikit tubuhnya, menggapai ponselnya yang tergeletak di meja dekat tempat tidur.
Panggilan video masuk.
Nama Aru terpampang jelas di layar.
Dengan gerakan lemas, Alleta menggeser tombol hijau.
Layar langsung menampilkan wajah Aru yang memenuhi seluruh frame, mendadak heboh.
“ALLETAA… YA AMPUN!” Aru langsung teriak. “Gila, lo pucet banget. Lo sakit apaa? Udah kayak kasur rumah sakit, putih semua!”
Alleta meringis. “Lo jangan kenceng-kenceng, Ru… kuping gue berdenging.”
Aru memonyongkan bibir. “Duh, sorry, sorry. Tapi sumpah, suara lo kayak habis nge-rapping lima jam.”
“Gue cuma flu.” Alleta mengucek matanya. “Kebanyakan mandi hujan.”
Aru menganga dramatis. “Tuh kan! Lagian Lo hobi banget mandi hujan, udah tau gampang sakit…”
“Iyaa iyaaa bawell. ” Alleta berbicara sembari matanya terpejam.
“Ehh Lo tau ga..??” Aru kembali berbicara dengan nada pelan tapi heboh.
“Apa?”
“Barusan, Sagara nyariin lo.” Katanya kegirangan.
Alleta membuka mata sedikit, meski kelopaknya terasa berat. “Hah?, Sagara?”
Aru mengangguk cepat, rambutnya sampai ikut bergoyang. “Iyaa! Dia masuk kelas pagi-pagi banget terus nanya, ‘Alleta sakit?’ gitu. Pendek, tapi itu aja udah bikin satu kelas kayak—” Aru menirukan orang-orang ternganga.
Alleta memutar bola matanya pelan. “Please jangan lebay…”
“Ini bukan lebay, ini FAKTA lapangan.” Aru menunjuk dirinya sendiri seolah reporter terpercaya. “Sagara tuh jarang banget nanyain orang.”
“Terus kenapa..?” Alleta memegang ponsel dengan satu tangan, suaranya pelan dan bindeng. “Mungkin dia cuma… formalitas, kan kemarin gue juga jenguk dia.”
“Formalitas dari orang yang tiap hari di sekolah kayak tembok batu? Enggak, gue gak percaya.”
Ceklek..
Mama Sekar masuk sembari membawa semangkuk bubur dan susu hangat untuk Alleta.
“Mama..”
“Aru bawel banget ya, suaranya kedengaran sampai dapur.” ujar Sekar bercanda.
“Eh tante, haii tanteeee....” Seru Aru heboh ketika kamera dialihkan ke Sekar.
“Hai Aru.., makasih ya udah perhatian sama Alleta.” balas Sekar tulus.
“Gapapa tante, gausah makasih.” Kata Aru, “Udah deh, All Lo makan yang banyak, habis itu minum obat, terus istirahat.” Cerocos gadis itu penuh perhatian.
“Iyaa iyaaa, temen gue yang paling baik dan perhatian sejagat raya...” sahut Alleta berusaha mengimbangi kehebohan Aru.
“Oke bye..”
Klik..
Panggilan berakhir, Alleta kemudian meletakkan ponselnya kembali.
“Aru perhatian, kayak Sagara.” guman Sekar tiba-tiba.
“Iya, kan mereka sahabat aku.”
“Iya, kamu harus bersyukur dikelilingi orang-orang yang tulus kayak mereka.” ucap Sekar lembut sambil merapikan posisi bantal Alleta agar putrinya bisa duduk lebih nyaman.
“Iya, Ma… dari dulu juga aku bersyukur,” balas Alleta pelan.
Sekar tersenyum kecil. “Maksud Mama, karena kamu sudah punya teman-teman baik, kamu juga harus jaga hubungan itu. Persahabatan itu soal timbal balik—kalau mereka perhatian sama kamu, kamu juga harus perhatian balik. Jangan sampai orang-orang baik kayak mereka justru kamu anggap sepele.”
“Iya Ma, Alleta juga bersyukur punya Mama paling baik sedunia...” Alleta memeluk leher Sekar–erat dan tak lama kembali melepaskannya.
Sekar tersenyum, lalu meniup sedikit bubur panas sebelum menyodorkannya pada Alleta.
“Nah, makan dulu. Nanti obatnya diminum.”
Bersambung...
-Persahabatan bukan tentang siapa yang paling lama mengenal, tapi siapa yang selalu ada saat kita membutuhkan. Persahabatan harus setara, biar saling memberikan feedback positif, bukan malah dimanfaatkan kebaikannya.-
~Alleta Cassandra Sabiru ~