1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Langkah Pertama
"Saya yakin tanpa ibunya, Bupati Soedarsono bisa memajukan daerahnya dengan jauh lebih baik. Dia punya hati untuk rakyat, Anda sendiri bilang dia rela pakai uang pribadi untuk bayar upah pekerja. Dia punya visi yang bagus. Tapi ibunya selalu menghalangi. Selalu mengontrol. Selalu mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri."
Dia mencondongkan tubuh lebih dekat. "Kalau Kusumawati ... entah diasingkan, atau kehilangan pengaruh, atau bahkan …," dia tidak melanjutkan kalimat itu, tapi maksudnya jelas, "Tuan Bupati akan bebas. Kadipaten akan lebih baik. Rakyat akan lebih sejahtera. Dan Anda …," dia tersenyum tipis, "... Anda akan mendapatkan kembali putra Anda. Pramudya."
Nama itu.
Nama yang membuat dada Pariyem sesak. Nama yang membuat air mata hampir keluar.
"Anda akan menggantikan posisi Kusumawati," lanjut Marius dengan suara yang sangat meyakinkan. "Bukan sebagai ibu. Tapi sebagai ... orang yang paling berpengaruh pada Soedarsono. Orang yang dia dengarkan. Orang yang dia percaya. Dan dengan posisi itu, Anda bisa menuntut apapun, termasuk hak untuk membesarkan putra Anda sendiri."
Pariyem terdiam. Otaknya memproses semua ini. Strategi yang sangat berbahaya. Strategi yang bisa membuat dia mendapatkan segalanya, atau kehilangan segalanya, termasuk nyawanya.
"Tapi …," suaranya gemetar, "kalau Ndoro Bupati tahu saya sengaja mengadu domba dia dengan ibunya ... dia akan membenci saya."
"Dia tidak akan tahu. Kalau Anda pintar melakukannya. Kalau Anda bisa membuat seolah-olah semua itu datang dari kesadaran dia sendiri. Bukan dari Anda. Anda perempuan yang cerdas, Nyonya Pariyem. Anda sudah bertahan hidup sejauh ini dengan kecerdikan Anda. Saya yakin Anda bisa melakukan ini."
Hening.
Hening yang sangat panjang.
Pariyem menatap tangan yang terjalin di pangkuannya. Tangan yang gemetar. Tangan yang dulu merawat Soedarsono dengan tulus, sekarang akan dipakai untuk memanipulasi pria yang sama.
Tapi demi Pramudya ... demi kesempatan melihat putranya lagi, membesarkannya, memeluknya ...
Apakah dia sanggup melakukan ini?
Apakah dia sanggup menjadi perempuan yang sejahat Kusumawati; memanipulasi, mengadu domba, menghancurkan hubungan ibu dan anak?
Tapi bukankah Kusumawati yang memulainya? Bukankah perempuan itu yang memisahkan dia dari Pramudya? Bukankah perempuan itu yang mengancam membunuhnya?
Kalau begitu ... dia hanya membalas. Hanya bertahan hidup. Hanya melindungi diri dan putranya.
Itu bukan kejahatan. Itu keadilan.
Atau ... apa itu hanya pembenaran untuk tindakan yang sama jahatnya?
Pariyem tidak tahu lagi. Batas antara benar dan salah mulai kabur. Yang dia tahu, dia ingin bertahan hidup. Dia ingin mendapatkan kembali putranya.
Dan kalau itu artinya harus menjadi jahat ... ya, dia akan menjadi jahat, tapi tidak lebih jahat dari Kusumawati.
Dia mengangkat wajah, menatap Marius dengan tatapan yang sudah berubah. Tidak lagi ragu. Tidak lagi takut.
"Baik, Tuan," ucapnya dengan suara yang pelan tapi tegas. "Saya akan melakukannya. Ajarkan saya bagaimana caranya."
Marius tersenyum, senyum yang penuh kemenangan.
"Bagus. Mari kita mulai."
Marius beranjak dari duduknya dengan gerakan cepat. "Mari ikut, Nyonya. Kita tidak boleh membuang waktu. Mari saya bawakan."
Dia mengambil tas Pariyem dengan gerakan yang sangat enteng, seolah tas besar itu tidak berisi apa-apa.
Pariyem bingung. Dia mengira Marius akan memberinya kamar di rumah ini. Tempat tinggal sementara yang aman. Tapi pria ini malah mengajaknya pergi?
"Kemana, Tuan?" tanyanya sambil bangkit dari kursi, mengikuti Marius yang sudah berjalan menuju pintu.
"Anda sementara ini harus bersembunyi," jawab Marius tanpa menoleh, terus berjalan dengan langkah cepat menyusuri lorong. "Buat Soedarsono merasa kehilangan. Baru kemudian muncul dan membuatnya lebih tergila-gila. Tapi selama Anda bersembunyi, agar tidak mubazir, saya akan menempatkan Anda pada seorang guru."
"Guru?" Pariyem semakin bingung. Guru seperti apa?
Marius berhenti sejenak di koridor menoleh dengan senyum tipis. "Ya. Guru yang akan mengajari Nyonya untuk membuat laki-laki semakin tergila-gila. Saya kenal seseorang. Saya pernah menolongnya dulu. Dia pasti akan menerima Anda sebagai murid atas permintaan saya."
Dia melanjutkan berjalan, melewati lorong, keluar ke teras depan, membukakan pintu untuk Pariyem dengan gerakan yang sopan tapi tergesa.
Pariyem keluar dengan perasaan campur aduk; bingung, takut, penasaran, dan sedikit kagum.
Ia mulai berpikir, pantas saja Belanda bisa menguasai tanah ini. Mereka menggunakan kepala mereka lebih banyak. Mereka punya strategi yang rumit.
Tidak seperti dirinya yang waktu itu hanya datang ke kadipaten untuk melihat putranya tapi hanya lelah dan air mata yang didapat. Tidak ada rencana. Tidak ada strategi. Hanya emosi.
Tapi Marius ... pria ini berpikir sepuluh langkah ke depan. Seperti main catur. Menggerakkan bidak-bidaknya dengan hati-hati. Dan dia sekarang salah satu bidak itu.
Tiba di halaman depan, Marius berseru pada kusir yang sedang minum teh di beranda samping, pria yang sama yang mengantarkan Pariyem pulang tempo hari.
"Siapkan kereta biasa! Sekarang! Kita akan pergi!"
Kusir itu langsung meletakkan cangkir tehnya, berlari menuju kandang kuda dengan langkah tergesa.
"Tunggu sebentar," kata Marius pada Pariyem sambil meletakkan tas di meja teras. "Silakan duduk dulu.”
Dia menarikkan kursi rotan. “Saya izin berpamitan pada anak-anak saya dulu."
Pria itu masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat. Pariyem duduk dengan perasaan campur aduk mendengar suara anak-anak yang tertawa, lalu suara Marius yang lembut berbicara pada mereka dalam bahasa Belanda yang tidak dia mengerti, tapi nadanya jelas penuh kasih sayang.
Beberapa menit kemudian, kusir sudah menyiapkan kereta. Tapi bukan kereta mewah dengan lambang Asisten Residen yang biasa dipakai Marius. Ini kereta biasa; tua, cat mengelupas, tidak ada lambang apapun. Seperti kereta sewaan yang biasa dipakai pedagang.
Tidak lama, Marius keluar. Tapi penampilannya ... berubah total.
Tidak lagi mengenakan kemeja putih rapi dengan rompi dan dasi. Sekarang dia memakai kemeja kotak-kotak sederhana dengan kerah terbuka, seperti yang biasa dipakai pedagang Eropa kelas menengah. Celana panjang cokelat dari kain yang tidak terlalu bagus. Sepatu kulit yang sudah agak lusuh.
Di kepala, topi fedora cokelat tua yang dipasang rendah, agak menutupi sebagian wajah. Kerah jaket tipis yang dipakainya diberdirikan, menyembunyikan sebagian rahang.
Bahkan parfum mewahnya tidak tercium lagi. Hanya sedikit bau cerutu murah dan minyak rambut yang umum dipakai orang kalangan menengah.
Kalau tidak kenal, Pariyem tidak akan mengira ini Asisten Residen yang berkuasa. Lebih seperti pedagang Eropa biasa yang sedang mencari nafkah di kota.
Pariyem yang mulai memahami permainan ini cepat-cepat menarik selendangnya menjadi kerudung, menutupi sebagian besar wajah. Hanya mata yang terlihat.
"Bagus," gumam Marius sambil menaiki kereta. "Anda belajar cepat."
suwun kak . .