NovelToon NovelToon
HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Ibu Tiri / Pelakor jahat / Nikahmuda / Selingkuh
Popularitas:876
Nilai: 5
Nama Author: EkaYan

Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tapi ... Bagaimana ini

Mendengar pengakuan pilu Arunika, hati Arsen tercabik-cabik. Rasa kasihan yang mendalam menyeruak melihat betapa hancurnya kekasihnya. Namun, bersamaan dengan itu, muncul pula rasa kecewa dan amarah yang tak tertahankan. Bagaimana bisa Arunika, gadis yang ia kenal cerdas dan berhati-hati, menjadi korban kecerobohan semacam itu? Pesta perpisahan memang rawan, tapi mengapa ia sampai kehilangan kesadaran sepenuhnya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar liar di benaknya, bercampur aduk dengan rasa iba yang berusaha ia tepis.

"Bagaimana bisa kamu... sebodoh itu, Nika?" ucap Arsen lirih, tanpa sadar nada suaranya menyiratkan tuduhan.

"Kenapa kamu tidak lebih hati-hati? Kamu tahu 'kan bahaya minuman yang tidak jelas?"

Air mata Arunika semakin deras mendengar nada bicara Arsen. Ia tahu, di balik rasa kasihan itu, tersirat kekecewaan yang mendalam. Ia tidak bisa membela diri, rasa malu dan trauma masih mencengkeramnya kuat. Ia juga tidak punya hak untuk memaksa Arsen tetap di sisinya setelah kenyataan pahit ini terungkap. Kehamilan ini adalah aib baginya, dan ia tidak yakin Arsen bisa menerima masa lalunya yang kelam.

"Aku... aku tidak tahu, Sen," jawab Arunika lemah, suaranya tercekat oleh isakan. "Aku benar-benar tidak sadar..."

Arsen terdiam, menatap nanar ke luar jendela klinik. Pikirannya berkecamuk hebat. Di satu sisi, ia merasa kasihan dan ingin melindungi Arunika. Ia tahu, menjadi korban bukanlah keinginannya. Namun, di sisi lain, ia merasa dikhianati oleh keadaan. Masa depan yang selama ini ia impikan bersama Arunika terasa hancur berkeping-keping. Ia tidak tahu apakah sanggup menerima kenyataan ini, membesarkan anak dari hasil perbuatan orang lain.

Keheningan di antara mereka terasa begitu menyesakkan. Arsen merasakan beban yang sangat berat di pundaknya. Ia mencintai Arunika, tetapi bayangan kejadian malam itu terus menghantuinya. Ia tidak yakin apakah cintanya cukup kuat untuk mengatasi trauma dan kenyataan pahit ini.

Setelah beberapa saat bergumul dengan pikirannya sendiri, Arsen berdiri perlahan. Ia menatap Arunika yang terbaring lemah dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kesedihan, kebingungan, dan ketidakberdayaan yang bercampur menjadi satu.

"Aku... aku tidak tahu harus bagaimana, Nika," ucap Arsen akhirnya, suaranya serak. Ia tidak sanggup lagi menatap mata kekasihnya.

Tanpa menunggu jawaban, Arsen berbalik dan melangkah keluar dari ruang pemeriksaan. Ia berjalan gontai menyusuri lorong klinik, meninggalkan Arunika yang terisak seorang diri di ranjang. Langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang ia pikul. Di benaknya hanya ada satu kepastian: ia tidak tahu apakah bisa menerima kenyataan ini dan melanjutkan hubungan mereka. Rasa cinta dan tanggung jawab berbenturan dengan rasa kecewa dan ketidakmampuan untuk menerima masa lalu Arunika. Pagi yang cerah di Yogyakarta itu berakhir dengan luka yang menganga di hati keduanya.

FLASHBACK 

Beberapa hari belakangan ini, tubuh Arunika terasa aneh. Lelah menyerang tanpa ampun, membuatnya lebih sering menghabiskan waktu di atas kasur kesayangannya.

Sore itu, saat memejamkan mata sejenak, sebuah ingatan tiba-tiba menyentaknya. Ia membuka mata dan terburu-buru mencari kalender di dinding kamarnya. Matanya membulat sempurna. Bulan ini ia belum menstruasi.

Napasnya tercekat. Seketika, kilasan malam itu menyeruak dalam benaknya. Pesta perpisahan yang seharusnya menjadi kenangan manis justru berubah menjadi mimpi buruk. Kesedihan mendalam atas kepergian ibunya telah membuatnya linglung. Ia bahkan lupa... lupa mengonsumsi pil kontrasepsi setelah kejadian laknat itu terjadi.

Jantung Arunika berdegup kencang. Ia harus memastikan. Malam itu juga, tanpa mempedulikan dinginnya udara, ia bergegas keluar dari kamar kostnya. Tujuannya hanya satu: apotek terdekat.

"Mau ke mana, Nika? Sudah malam begini," sapa Yuli, teman satu kostnya, yang sedang duduk di teras.

Arunika hanya menggeleng lemah, tidak ingin menjelaskan apa pun. Ia harus segera mendapatkan jawaban atas kecemasannya.

Setelah membeli alat tes kehamilan, Arunika kembali ke kamar dengan langkah tergesa. Tangannya gemetar saat membuka kemasan dan mengikuti instruksi. Beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam berlalu. Dengan napas tertahan, ia mengangkat alat itu.

Dua garis merah samar terlihat jelas. Dunia Arunika terasa runtuh seketika. Air mata langsung membanjiri pipinya. Kenyataan pahit itu kini terpampang nyata di hadapannya. Ia hamil. Hamil akibat malam kelam yang ingin ia lupakan. Rasa takut, malu, dan putus asa bercampur aduk menjadi satu. Masa depannya terasa suram dan tidak pasti.

FLASHBACK END

Langkah Arsen terasa semakin berat seiring ia menjauhi ruang pemeriksaan. Lorong klinik yang tadinya tampak biasa kini terasa panjang dan menyesakkan. Setiap pasang mata yang tak sengaja berpapasan dengannya seolah menyorotinya dengan pertanyaan yang sama: apa yang terjadi? Namun, Arsen sendiri belum menemukan jawabannya.

Ia tiba di ruang tunggu, tempat di mana beberapa pasien lain tampak tenang menunggu giliran. Kontras dengan kekacauan yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia meraih ponsel di saku celananya, menatap kosong layar yang menampilkan fotonya bersama Arunika. Senyum gadis itu tampak begitu polos dan cerah, sebuah pemandangan yang kini terasa menyayat hatinya.

Tanpa sadar, jemarinya mengetik sebuah pesan. Bukan untuk siapa pun, melainkan hanya barisan kata yang mewakili kebingungannya. Aku mencintaimu, Nika. Tapi... bagaimana ini? Pesan itu tidak terkirim, hanya terhenti di layar sebelum akhirnya ia hapus dengan kasar.

Arsen menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak emosi yang menguasainya. Ia tahu, Arunika lebih terluka. Ia adalah korban dalam situasi ini. Namun, rasa kecewa dan ketidakmampuannya untuk menerima kenyataan ini terus menggerogoti hatinya. Ia merasa masa depannya telah dirampas, mimpi-mimpi yang telah mereka rajut bersama kini tampak seperti ilusi belaka.

Di luar, mentari pagi di Yogyakarta bersinar cerah, seolah mengabaikan kegelapan yang sedang meliputi hati Arsen. Ia berdiri dari duduknya, merasa tidak sanggup lagi berlama-lama di tempat itu. Ia butuh ruang, waktu untuk mencerna semua ini.

Sementara itu, di dalam ruang pemeriksaan, Arunika masih terisak. Rasa sakit fisik akibat pemeriksaan seolah kalah oleh perih di hatinya. Ia tahu, kepergian Arsen adalah jawaban yang paling ia takuti. Ia tidak menyalahkan kekasihnya. Kenyataan ini terlalu berat untuk dipikul sendirian, apalagi dipikul bersama masa lalu kelamnya.

Air matanya terus mengalir, membasahi bantal di bawah kepalanya. Ia merasa kotor, hina, dan tidak pantas untuk dicintai. Kehamilan ini adalah bukti nyata dari malam mengerikan itu, sebuah pengingat yang akan terus bersamanya. Bagaimana mungkin Arsen bisa menerima dirinya yang ternoda ini? Bagaimana mungkin ia bisa membesarkan anak yang mengingatkannya pada trauma mendalam?

Dalam keputusasaannya, Arunika merindukan ibunya. Sosok yang selalu menjadi pelindung dan tempatnya berbagi segala keluh kesah. Namun, ibunya telah tiada, meninggalkan dirinya seorang diri menghadapi badai kehidupan yang begitu kejam.

Di luar klinik, Arsen terus berjalan tanpa arah yang jelas. Pikirannya masih berkecamuk. Ia mencintai Arunika, sangat mencintainya. Namun, bayangan masa lalu gadis itu, dan konsekuensi dari kejadian itu, terasa seperti jurang yang menganga di antara mereka. Ia takut. Takut tidak bisa menerima, takut menyakiti Arunika lebih dalam, dan takut masa depannya tidak lagi sama.

Langkah kakinya membawanya tanpa sadar ke sebuah taman yang rindang. Ia duduk di bangku di bawah pohon besar, menatap kosong dedaunan yang berguguran. Hatinya terasa hampa. Ia merindukan tawa Arunika, sentuhan lembutnya, dan semua mimpi yang telah mereka rajut bersama.

Arsen memejamkan mata, mencoba mencari jawaban di tengah kekacauan batinnya. Ia tahu, ia harus mengambil keputusan. Keputusan yang tidak hanya akan menentukan masa depannya, tetapi juga masa depan Arunika dan bayi yang dikandungnya. Namun, keputusan itu terasa begitu berat, seolah ada beban besar yang mengikat kakinya. Pagi yang seharusnya membawa harapan kini terasa seperti awal dari sebuah babak baru yang penuh dengan ketidakpastian dan luka.

1
partini
wah temen lucknat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!