NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:528
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Langit malam di dermaga tampak kelabu, diterpa cahaya lampu pelabuhan yang memantul di permukaan air.

 Suara ombak memecah keheningan,pelan, tapi menyakitkan di telinga seseorang yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Apollo berdiri di tepi dermaga, jas hitamnya terurai diterpa angin dingin. Tatapannya kosong, menembus ke kedalaman air seolah berusaha mencari sesuatu yang sudah lama tenggelam di sana . Mungkin kenangan, atau seseorang yang tidak akan pernah kembali lagi.

 “Semua yang menyentuhku, akhirnya hancur.” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar, tengge lam oleh suara air yang menampar sisi kapal.

Ia menutup mata. Dalam bayangan pikiran nya, suara tawa lembut bergema nyaring, suara wanita yang dulu menjadi alasan ia percaya pada cinta. Wanita yang kemudian membuatnya kehilangan segalanya.Bayangan itu memudar, tergantikan oleh wajah Lyora…

Namun, bahkan dalam benaknya sendiri, dua sosok itu terasa tumpang tindih. Senyum Lyora samar-samar bercampur dengan siluet wanita masa lalunya.

Dan Apollo menatap ke arah laut, seolah ingin menenggelamkan dirinya bersama semua ingatan itu.

Sementara itu, tanpa ia sadari, beberapa meter di atas permukaan dermaga, di balik pagar penahan air yang ditumbuhi rumput liar dan lumut beku, dua sosok tersembunyi di bawah cahaya remang.

Angin laut membuat mantel panjang mereka berkibar, memperlihatkan senjata di pinggang dan sarung tangan kulit hitam yang menempel rapat di tangan.Sebuah topeng rubah perak menutupi wajah mereka sepenuh nya, memantulkan cahaya bulan dengan kilau dingin.

Sosok pria di sebelah kanan bergerak duluan. Ia menegakkan tubuhnya, mengeluarkan Tanegashima, pistol kuno asal Jepang yang larasnya tampak diganti dengan logam modern. Ia mengokangnya perlahan hingga terdengar bunyi klik yang menusuk keheningan. Ujung Tanegashima itu sendiri mengarah ke Apollo.

“Sekarang, Bos?” tanyanya datar, tanpa emosi.

“Satu peluru di antara mata, dan selesai.”

Namun sebelum Ia sempat menarik pelatuk, wanita di sampingnya mengangkat tangan, menahan gerakannya. Cahaya bulan mengenai sisi topengnya, memperlihatkan bibirnya yang sedikit bergetar, tapi bukan karena dingin.

“Jangan sekarang.”

suaranya rendah dan berat seolah bukan hanya perintah, tapi juga peringatan untuk dirinya sendiri.“Aku tidak ingin dia mati secepat itu.”

Pria itu menoleh padanya, tak percaya.

 “Tapi, dia targetnya. Bukankah itu perintahmu?”

Wanita itu tidak menjawab. Ia menatap Apollo di kejauhan, sosok pria yang tampak kecil di bawah langit luas itu, dengan postur tegap tapi bahu yang jatuh lelah.Tatapannya tajam, tapi bukan penuh kebencian, lebih seperti seseorang yang melihat hantu masa lalunya sendiri.

 “Aku ingin tahu alasan…”

ia berhenti sejenak, menelan rasa getir yang menyesak di tenggorokan.“…kenapa dia melenyapkan Suamiku..."

Suamiku...Kata itu menggantung di udara seperti racun yang tak ingin ia hirup tapi tak bisa ia hindari.

Pria di sebelahnya menurunkan senjata dengan enggan. “Kau masih belum yakin dia pelakunya?"

Wanita itu tak menjawab. Ia hanya menatap Apollo lagi, diam-diam memperhatikan bagaimana pria itu akhirnya duduk di pinggir dermaga, menatap laut tanpa gerak.

“Orang yang membunuh cinta…” gumamnya lirih.“…tidak selalu tampak seperti monster.”

Angin bertiup lebih keras, mengangkat helaian rambut hitam panjang dari balik tudungnya. Beberapa helai menempel di topeng rubah perak, melambai lembut seolah mengisyaratkan sesuatu yang jauh lebih rumit dari kebencian.

Ia menunduk sedikit, menatap bawah ke arah sosok Apollo yang tak menyadari mata-mata yang memperhatikannya. Cahaya lampu dermaga memantul di matanya, menciptakan pantulan lembut yang membuat pria di sampingnya sempat terpaku.

 “Kau… menangis?"

tanya pria itu ragu.Wanita itu hanya menggeleng pelan. “Tidak. Aku hanya teringat sesuatu.” Suaranya nyaris retak, tapi cepat ia redam lagi dengan nada dingin.

 “Ayo pergi. Sebelum dia menyadari keberadaan kita .”

Ia berbalik tanpa suara, langkahnya ringan tapi meninggalkan bekas jejak sepatu di tanah lembab. Pria itu mengikuti di belakang, masih menoleh sekilas ke arah dermaga, ke arah sosok yang belum tahu bahaya apa yang hampir menimpanya malam itu.

Sementara itu, di bawah sana, Apollo akhirnya meletakkan gelas winenya di tiang kayu dermaga. Ia menatap refleksinya di air yang bergoyang.

 “Jika cinta adalah kutukan…” katanya pelan, “maka aku adalah korbannya yang paling setia.”

Dan di balik bayangan air itu, entah mengapa, ia merasa seolah seseorang sedang menatapnya dari jauh.

...****************...

Langit malam di luar jendela mansion sudah pudar, menyisakan bayangan biru kelam di sela-sela tirai tebal. Udara dingin merayap masuk lewat celah ventilasi, membuat nyala api di perapian bergetar kecil.

Pintu utama terbuka perlahan. Apollo masuk, mantel panjangnya separuh basah karena kabut laut. Ia menutup pintu dengan satu hentakan pelan, menarik napas panjang, dan berjalan melewati aula besar yang remang.

Langkahnya terhenti begitu melihat sosok Lyora berdiri di anak tangga terakhir. Gaun tidurnya berwarna biru muda, lembut, jatuh hingga menyentuh lantai. Rambutnya tergerai sedikit berantakan, namun sorot matanya jernih, seolah menunggu sesuatu.

Apollo mendengus pelan, lalu melangkah ke arah meja bar di sisi kanan ruangan. Ia mem buka tutup botol, menuangkan minuman, lalu bertanya tanpa menoleh.

 “Kau masih terjaga?”

suaranya datar, nyaris tanpa nada.Lyora menggenggam tangannya di depan dada.

 “Aku tidak bisa tidur,” jawabnya pelan.

Apollo meneguk minumannya, lalu menatap pantulan dirinya di kaca. “Bagus. Jangan tidur kalau begitu.”

Nada suaranya seperti ejekan. Tapi Lyora tidak bereaksi marah, ia justru melangkah perlahan mendekat. Kakinya nyaris tak bersuara di atas karpet tebal. Ia berhenti di belakang Apollo, cukup dekat hingga bisa melihat refleksi wajah mereka berdua di kaca bar.

Di tangannya, sesuatu berkilat. Cincin pertunangan.Benda kecil yang seharusnya menjadi simbol komitmen, kini berputar pelan di jari manisnya.

 “Ini…” Lyora mengangkat tangannya, memperlihatkan cincin itu di bawah cahaya lampu gantung. “Kau mau memakainya atau tidak, itu pilihanmu.”

Apollo menoleh setengah, alisnya sedikit berkerut.Pandangan matanya jatuh ke cincin di telapak tangan Lyora ,kilau dingin yang terasa seperti sindiran.

Tanpa berkata apa-apa, Lyora melepas cincin dari jarinya sendiri. Jemarinya sedikit bergetar, tapi tatapannya tetap tenang saat mengembalikan benda itu ke Apollo.

“Apa maksudmu?”

Lyora menatapnya , tenang, tapi matanya menyala oleh kejujuran yang menyakitkan. Ia melepaskan cincin dari jarinya, memegang nya di telapak tangan, lalu mengulurkannya pada Apollo.

 “Pertunangan ini masih bisa dihentikan.”

“Jika memang kau ingin bersama wanita yang kau cintai.”Kata-katanya menggantung di udara, seperti embun yang membeku sebelum jatuh.

Apollo diam.Hanya detik jam yang bergerak di antara mereka.

Senyum kecil tersungging di sudut bibir Lyora, samar dan pahit. Ia menatap cincin di telapak tangannya ,benda mungil yang ternyata lebih berat dari apapun yang pernah ia bawa.

Apollo memejamkan mata sesaat, lalu menghela napas panjang. Ketika ia menatap Lyora kembali, tatapannya berubah. Ada api yang berkilat di sana, tapi bukan hanya marah ada luka, ada ketakutan, ada sesuatu yang berusaha ia kubur dalam-dalam.

Ia melangkah maju dengan cepat.Gelas di tangannya ditaruh keras di meja, menimbul kan suara denting tajam.

“Cukup.” Ucapnya tajam.

Lyora terperanjat., tapi belum sempat mundur, tangan Apollo sudah mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat, tegas, tapi bukan kasar.

“Kau pikir ini permainan, hah?!”

Lyora menatapnya dengan mata membesar, suaranya tertahan di tenggorokan. “Aku hanya tidak ingin kau memaksakan sesuatu yang kau benci.”

“Aku tidak benci ini,” desis Apollo, matanya menusuk ke arah cincin yang masih di tangan Lyora.“Aku hanya benci kenyataan bahwa setiap kali aku mencoba mencintai seseorang, dunia selalu menertawakanku.”

Sebelum Lyora sempat membalas, Apollo menarik tangannya ke depan dan, dalam satu gerakan, memasangkan cincin itu kembali di jari Lyora. Dingin logamnya terasa di kulit Lyora, tapi sentuhan Apollo.meski gerakannya keras ,tapi membuat jantungnya berdetak cepat.

 “Jangan pernah melepaskannya lagi,” katanya, suara rendah tapi bergetar.Kau mengerti ?! ”

Lyora menatapnya lama, napasnya naik turun.

 “Aku tidak mengerti kenapa kau marah.”

Apollo menunduk sedikit, menatap cincin itu di jari Lyora ,benda yang kini seperti simbol dari sesuatu yang ia sendiri tak pahami.

 “Karena kau berbicara seolah tahu siapa aku…” katanya akhirnya.“Padahal bahkan aku sendiri sudah lupa siapa diriku sejak lama.”

Setelah itu, ia melepaskan cengkeramannya, berbalik, dan berjalan menjauh. Langkahnya bergema di lorong panjang mansion, dingin dan berat.

Lyora masih berdiri di tempatnya, memandangi cincin di jarinya. Cahaya dari lampu gantung menimpa permukaannya, membuatnya berkilau samar seperti air mata yang belum sempat jatuh.

 “Aku tidak tahu segalanya tentangmu, Apollo…” bisiknya pelan.“…tapi aku tahu satu hal: cinta bisa menyembuhkan, tapi juga bisa menghancurkan.” Dia tersenyum tipis, penuh rahasia.

 Saat ia menatap punggung Apollo yang menjauh, sorot matanya berubah ,bukan lagi hanya sedih, tapi juga sesuatu yang tersembunyi, seperti kenangan lama yang mulai bangkit kembali.

Di luar, salju turun tanpa suara.Dan di dalam mansion Dragunov, dua hati yang retak perlahan mulai saling melukai ,bukan dengan kebencian, tapi dengan cinta yang belum selesai.

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!