 
                            Masih saling sayang, masih saling cinta, namun terpaksa harus berpisah karena ego dan desakan dari orang tua. Ternyata, kata cinta yang sering terucap menjadi sia-sia, tak mampu menahan badai perceraian yang menghantam keras.
Apalagi kehadiran Elana, buah hati mereka seolah menjadi pengikat hati yang kuat, membuat mereka tidak bisa saling melepaskan.
Dan di tengah badai itu, Elvano harus menghadapi perjodohan yang diatur oleh orang tuanya, ancaman bagi cinta mereka yang masih membara.
Akankah cinta Lavanya dan Elvano bersatu kembali? Ataukah ego dan desakan orang tua akan memisahkan mereka dan merelakan perasaan cinta mereka terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jesslyn Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cheesecake untuk Bella
Dengan berat hati Vano terpaksa harus pergi meninggalkan Elana lagi. Gadis kecil itu terus bertanya mengapa mereka tidak tinggal bersama seperti dulu? Lagi-lagi baik Vano maupun Vanya tak bisa menjawab dengan jujur, mereka terus berbohong dan mencari alasan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah hampir dua jam menemui Elana, kini Vano benar-benar pergi ke kantor untuk melihat pekerjaan yang ia tinggalkan selama beberapa hari ini. Sebenarnya pekerjaan itu juga tidak terlalu penting, karna sudah di handle oleh Andre sebagai asistennya. Vano hanya mencari alasan untuk keluar dari rumah.
Setelah beberapa saat meninjau pekerjaan, akhirnya Vano memutuskan untuk pulang. Tak lupa ia membawa sesuatu untuk Bella walaupun sebenarnya Vano melakukan ini bukan dari hati.
Suasana cukup sepi saat Vano pulang ke rumah. Mama Erika dan Pak Dharma sedang pergi ke sebuah acara, begitu penuturan mbak Jum.
"Sayang sudah pulang?" Raut wajah bahagia Bella langsung terpancar kala Vano membuka pintu kamar. Sedari tadi dia memang hanya berdiam diri di kamar.
"Maaf membuatmu menunggu lama," Vano memberikan sebuah paper bag untuk Bella.
"Apa ini?" tangan Bella terlihat begitu antusias membuka paper bag tersebut. "Ini kan chess cake kesukaanku, sudah lama sekali aku menginginkannya," matanya berbinar melihat chess cake kesukaannya dulu.
"Makanlah."
Bella pun segera memotong chess cake itu dan segera melahapnya. "Rasanya tidak berubah, lezat sama seperti dulu," ucapnya dengan mulut penuh.
"Pelan-pelan," Vano khawatir Bella akan tersedak.
"Makasih ya sayang," Bella begitu tersentuh dengan pemberian Vano itu walaupun hanya chess cake. Setidaknya Vano masih mengingat apa kesukaan Bella, walaupun mereka sudah tak bertemu bertahun-tahun lamanya.
"Setelah ini kita jalan-jalan kan?" Bella memastikan.
"Iya, Kamu mau ke mana?"
"Nonton bioskop, setelah itu menikmati senja di danau tepi kota. Bolehkan?" tanya Bella penuh harap.
"Tentu," Vano hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan Bella dengan singkat dan padat.
-
-
"Mami, Elana mau jalan-jalan. Elana bosan di rumah terus." ucap Elana dengan wajah cemberutnya.
Vanya tersenyum sambil mencubit gemas pipi bulat Elana. "Kasihan anak mami, tuan putri mau jalan-jalan ke mana?"
"Elana mau ke Playground," Elana nampak bersemangat.
"Baiklah, tapi tidak boleh terlalu kelelahan. El kan masih masa pemulihan."
"Iya mami," jawab Elana cepat.
"Ya sudah Elana ganti pakaian dulu ya," Vanya menggandeng Elana ke kamar untuk berganti pakaian. Selesai dengan Elana, Vanya pun mengganti pakaiannya.
Setelah berganti pakaian Vanya pun pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Rencananya sekalian berbelanja bahan makanan yang sudah hampir habis.
"Mami, Elana mau eskrim boleh?" Mata Elana berbinar saat melihat kedai eskrim yang berada di bagian depan Mall.
Melihat binar mata Elana membuat Vanya tak tega menolaknya. "Iya sayang boleh, ayo kita beli eskrim yang paling enak,"
"Vanya, Elana," panggil seseorang dari belakang.
"Pak Ryuji," Vanya mengangguk sopan saat bertemu dengan Ryuji, sebenarnya Vanya hanya mengikuti kebiasaan Ryuji yang berasal dari Jepang tersebut.
"Kalian sedang jalan-jalan?"
"Iya om, Elana bosan di rumah terus," jawab Elana jujur.
"Bapak sedang apa di sini?" Vanya balik bertanya.
"Ah ini, saya membeli lensa kamera baru untuk pemotretan produk baru kita," Ryuji mengangkat paperbag yang di bawa nya.
"Bukannya untuk iklan di serahkan ke vendor pak?" Seingatnya memang sudah ada Vendor yang mengurus untuk urusan iklan.
"Saya sudah batalkan, melihat hasil iklan sebelumnya saya merasa kurang puas. Sudah tidak usah bahas pekerjaan di sini," Ryuji mengalihkan pembicaraan, tak ingin membahas pekerjaan saat masa cuti Vanya.
"Baik pak,"
"Kalian mau ke mana?" tanya Ryuji kemudian.
"Elana dan mami mau beli eskrim," Elana menunjuk kedai eskrim di depannya.
"Kalau begitu biar om yang traktir."
"Tidak usah merepotkan pak," Tolak Vanya merasa tak enak hati.
"Tidak apa-apa Vanya, anggap saja perayaan karena Elana sudah sehat,"
"Terimakasih pak," ucap Vanya sungkan.
"Terimakasih ya om," Elana pun ikut mengucapkan terimakasih pada Ryuji..
"Sama-sama anak pintar."
Mereka pun masuk ke eskrim. Bahkan nampak seperti keluarga kecil yang harmonis di tambah pakaian yang mereka kenakan berwarna senada.
Ryuji memberikan buku menu, meminta Elana dan Vanya memilih es krim yang mereka suka.
"Elana mau eskrim pisang, mami juga kan?"
Mendengar kata pisang Vanya langsung teringat ucapan Vano tadi pagi. "Mami mau rasa coklat,"
"Kata papi, mami kan suka pisang. Kenapa sekarang mau coklat?"
"Mami mau coba rasa baru," jawab Vanya asal.
Elana hanya ber oh tanpa suara. Tak perlu menunggu waktu lama pesanan eskrim pun datang, mereka pun menikmati eskrim sambil bertukar cerita.
"Setelah ini kalian mau ke mana?"
"Elana mau ke Playground," jawab Elana bersemangat dengan mulut yang penuh dengan eskrim
Ryuji tersenyum melihat bibir Elana yang belepotan kemudahan mengelapnya dengan tissue. "Boleh om ikut?"
"Tapi kata papi, mami tidak boleh dekat-dekat dengan laki-laki selain papi."
Vanya tersenyum malu dengan kepolosan Elana.
"Om ini atasan mami Elana di kantor, papi Elana juga sudah kenal baik sama om ini," Ryuji menjelaskan dengan cara yang lebih sederhana. Mungkin dulu Vano memang melarang Vanya karena mereka masih terikat pernikahan. Namun sekarang, menurutnya tidak ada yang salah karena Vanya sudah sendiri.
"Memangnya bapak tidak sedang sibuk?" Vanya memastikan. Vanya tahu, Ryuji bukan orang yang suka membuang waktu untuk urusan yang tidak terlalu penting. Apalagi hanya untuk menemani mereka bermain yang notabene nya bukan siapa-siapa bagi Ryuji.
"Untuk saat ini tidak Vanya. Saya ada pertemuan lagi nanti pukul 3." ujar Ryuji melirik arloji di pergelangan tangannya.
Vanya hanya mengangguk, mau menolak pun rasanya sungkan.
Mereka pun memutuskan untuk pergi tempat bermain.
"Mami, ayo main capit boneka," Elana menarik tangan Vanya menuju mesin capit boneka.
Sedangkan Ryuji berbelok membeli kartu untuk permainan.
"Ini kartunya," Ryuji menyodorkan sebuah kartu yang baru saja ia beli.
"Tidak usah repot-repot pak, Kami sudah punya," Vanya mengambil kartu dari dompetnya.
"Tidak apa-apa. Pakai saja ini," Ryuji sedikit memaksa.
Akhirnya Vanya pun mengambil kartu yang di berikan oleh Ryuji.
Awalnya Elana sangat bersemangat bermain capit boneka, hingga beberapa kali mencoba Elana selalu gagal sampai membuat gadis itu kesal.
"Padahal Elana mau boneka yang itu mami," tunjuk Elana sambil cemberut pada boneka bebek berwarna kuning yang berukuran besar.
"Sini biar om yang ambilkan," Ryuji mengambil alih mesin yang di pegang Elana.
Dengan wajah serius Ryuji membidik boneka yang sedari tadi di incar Elana. "1...2...3..." Ryuji menghitung sambil menekan tombol pada mesin tersebut.
Dan boneka itupun berhasil Ryuji dapatkan dengan sekali Capitan.
Elana dan Vanya bersorak bahagia. Ryuji mengambil boneka itu dan menyerahkannya pada Elana.
"Wah terimakasih om," Elana menerima boneka dari tangan Ryuji dan segera memeluknya.
"Om keren banget, papi aja gak bisa main capit. Elana malah di belikan boneka dari toko bukan dari dalam mesin capit," ucap Elana dengan polosnya.
Ryuji tersenyum sambil mengelus rambut Elana. "Setelah ini Elana mau main apa?"
"Main basket om.. Ayo kita main basket," Elana menarik tangan Ryuji dan mengabaikan Vanya.
Vanya hanya menggeleng melihat tingkah putri kesayangannya. Vanya merasa Dejavu, dulu tangan Vano yang selalu Elana genggam kemanapun mereka pergi. Mungkin kini dirinya tak akan bisa lagi menyaksikan momen Vano dan Elana seperti itu lagi. Kalaupun itu terulang rasanya mungkin tidak akan sama seperti dulu.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen...
lari vanya.. lari.... larilah yg jauh dr vano n org2 di sekitaran vano pd gila semua mereka