Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: Dua hati yang rindu
Di ruang keluarga yang luas, Pak Surya duduk sambil menonton TV bersama istrinya, sementara Stevan duduk santai dengan laptop di pangkuannya.
Dewi masuk dengan wajah berbinar. Sejak pulang kantor, ia tampak berbeda. Ada senyum malu-malu yang tak biasa, dan Stevan langsung menyadarinya.
“Dek, wajahmu kok bahagia gitu? Ada kabar baik?” tanya Stevan sambil menutup laptopnya.
Dewi menggigit bibir, lalu duduk di samping ibunya.
“Ibu… Ayah… Kak… aku mau cerita sesuatu.”
Pak Surya menonaktifkan suara TV.
“Wah, sepertinya serius sekali. Ayo, cerita.”
Dewi menarik napas panjang.
“Di kantor… aku kenal dengan seorang pria. Namanya Andre. Dia teknisi di bagian perawatan mesin. Orangnya sederhana, baik hati, rajin, dan… entah kenapa, aku merasa nyaman kalau dekat sama dia.”
Ibu Ratri langsung mengalihkan pandangannya ke arah Dewi. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Andre? Itu nama yang bagus. Seperti apa dia, Nak?”
Dewi menunduk malu.
“Dia nggak banyak bicara, Bu. Tapi kalau ngobrol selalu nyambung dengan dewi, dan juga dia perhatian. Aku suka sama dia.”
Suasana mendadak hening. Stevan menatap adiknya, lalu melirik ayahnya. Pak Surya menghela napas pelan lalu tersenyum.
“Kalau nggak salah, dia itu yang pernah nolongin Ayah waktu mobil mogok di jalan tol, kan? Pria berkemeja lusuh, tapi cekatan sekali.”
Dewi mengangguk cepat.
“Iya, Yah! Itu dia!”
Pak Surya mematikan TV. Wajahnya penuh wibawa tapi lembut.
“Menurut Ayah, dia memang punya hati baik. Buktinya, saat Ayah kena musibah, cuma dia yang bantu Ayah. Ayah senang kamu suka dengan pria yang punya hati baik begitu.”
Ibu Ratri menimpali lembut,
“Yang penting dia bisa menghargaimu, Nak. Harta bisa dicari, tapi hati yang tulus itu mahal sekali.”
Mendengar itu, Dewi lega sekaligus bahagia. Ia menoleh ke Stevan, kakak yang paling ia segani.
“Kalau Kak Stevan gimana? Kakak setuju?”
Stevan menatap adiknya lama, lalu tersenyum hangat.
“Kalau dia bisa bikin kamu bahagia, aku juga bahagia. Tapi Kakak ada satu syarat!”
“Apa, Kak?” tanya Dewi penasaran.
“Jangan sampai dia berani menyakiti hati adik Kakak tersayang.”
Dewi tersenyum malu.
“Kak... Andre itu orangnya baik, Kak. Aku yakin dia bukan tipe yang main-main.”
Pak Surya mengangguk mantap.
“Kalau begitu, kita harus kenal lebih dekat.”
Stevan menambahkan dengan nada tenang,
“Aku akan cari waktu untuk bicara dengan Andre. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia.”
Dewi tertawa kecil, wajahnya memerah. “Jangan bikin dia takut duluan, Kak. Dia orangnya pemalu.”
Pak Surya tertawa pelan.
“Dan kamu, Stevan, kapan kamu akan memperkenalkan pacar kamu?”
“Sebentar lagi, Ayah.”
“Ayah tunggu janji kamu.”
Semua tertawa kecil. Malam itu keluarga Cartoun benar-benar merasakan kehangatan baru.
Beberapa hari kemudian, Dewi semakin sering mengajak Andre keluar setelah jam pulang kerja.
“Andre, habis kerja jangan langsung pulang ya. Aku mau ngajak kamu makan di warung langgananku,” ucap Dewi sambil tersenyum.
Andre kaget, lalu menggaruk kepala. “Waduh, nanti malah ngerepotin Mbak Dewi. Saya nggak enak.”
“Apanya yang repot? Aku kan senang bisa punya teman ngobrol setelah kerja. Lagian kamu terlalu sering sendirian.”
Akhirnya Andre mengalah.
Setelah pulang kerja Mereka berdua duduk di warung sederhana, memesan mi goreng dan teh hangat.
“Andre suka makanan begini?” tanya Dewi sambil menyeruput teh.
Andre tertawa kecil.
“Suka banget. Di kampung dulu malah tiap malam makan beginian. Rasanya lebih enak dari restoran mewah.”
Dewi mengangguk setuju.
“Iya, aku juga lebih suka tempat begini daripada restoran mahal. Rasanya lebih enak.”
Andre menoleh sekilas, menatap mata Dewi yang berbinar. Ada rasa hangat di dadanya, meski ia masih sering menahan diri karena di dalam hatinya, bayangan Fanda masih begitu kuat.
Tapi Dewi tak peduli. Ia semakin sering mencari alasan untuk bersama Andre,makan siang, pulang bareng, atau sekadar berjalan di halaman pabrik sambil ngobrol ringan.
“Boleh aku panggil Kak Andre?” tanya Dewi.
“Iya, boleh.”
“Kak Andre tahu nggak? Aku jadi sering ketawa kalau bareng Kak Andre.”
Andre tersenyum canggung.
“Wah, saya jadi tersanjung dengarnya, Mbak.”
“Bukan tersanjung, tapi itu fakta,” jawab Dewi sambil menepuk lengannya pelan.
Andre terdiam. Ia tak ingin memberi harapan, tapi juga tak sanggup menolak kebaikan Dewi.
Sementara di tempat lain, Fanda semakin sering bertemu dengan Stevan. Meski hatinya masih diliputi bayangan Andre, ia tak bisa menolak kebaikan pria itu.
Stevan selalu hadir tepat di saat ia merasa rapuh.
Suatu sore, Stevan menjemput Fanda di depan kantornya. Mobil hitam mewah berhenti di depan lobi, membuat beberapa karyawan menoleh.
“Fanda, sudah siap?” tanya Stevan sambil membuka pintu mobil untuknya.
Fanda tersenyum tipis.
“Iya, terima kasih, Stevan.”
Mereka melaju menuju taman kota yang sedang ramai oleh keluarga dan anak-anak.
“Aku suka taman ini,” kata Stevan sambil berjalan pelan di samping Fanda.
“Di sini aku bisa melepaskan semua beban pekerjaan. Tenang dan sederhana.”
Fanda mengangguk, matanya menatap pepohonan.
“Aku juga. Dulu… aku sering ke taman bersama seseorang.”
Stevan menoleh, suaranya lembut. “Seseorang yang kamu rindukan?”
Fanda terdiam. Dadanya terasa sesak. Ia hanya menjawab singkat,
“Iya.”
Stevan menatap wajah Fanda yang sedih, tapi ia tidak bertanya lebih jauh. Sebaliknya, ia berkata pelan,
“Kalau kamu butuh teman untuk sekadar diam pun, aku bisa jadi orang itu.”
Fanda menoleh, sedikit terkejut. Wajah Stevan begitu tulus. Ia hanya mampu berkata,
“Terima kasih, Stevan.”
Di sisi lain di taman yang sama, Dewi melangkah riang di samping Andre. Mereka baru saja membeli jajanan kaki lima, yaitu bakso tusuk.
“Kak Andre, coba ini deh. Enak banget,” ucap Dewi sambil menyodorkan tusukan bakso.
Andre terkejut.
“Lho, buat saya?”
“Iya lah. Cepat coba.”
Dengan canggung Andre menerima, menggigit sedikit.
“Hmm… enak juga.”
Dewi tertawa.
“Tuh kan. Kalau aku bilang enak, pasti bener. Kamu percaya sama aku aja.”
Andre ikut tertawa kecil.
“Iya, iya. Saya percaya kok.”
Mereka berjalan pelan menikmati suasana sore. Di kejauhan, jalur yang mereka lalui perlahan mendekat ke arah tempat Fanda dan Stevan duduk.
Fanda saat itu sedang menunduk, memainkan gelas plastik jus di tangannya.
“Aku sering merasa kesepian. Padahal sekelilingku ramai, tapi di dalam sini…” Ia menunjuk dadanya.
“…hampa.”
Stevan menatapnya penuh pengertian. “Kosong itu wajar kalau seseorang yang kita cintai pergi. Tapi percaya sama aku, Fanda… lambat laun ruang kosong itu akan terisi lagi.”
Fanda menoleh dengan mata berkaca. “Entah bisa atau tidak…”
Beberapa langkah dari sana, Dewi menoleh ke arah kerumunan.
“Eh, Mas, ayo ke sana. Ada pertunjukan musik jalanan!”
Andre mengikuti arah tunjukannya. Mereka hampir melewati jalur yang sama dengan Fanda dan Stevan.
Sejenak Fanda mengangkat wajahnya. Hatinya tiba-tiba berdegup aneh, seperti ada yang familiar.
Ia menoleh sekilas ke arah jalur yang dilewati Dewi dan Andre.
Namun tiba-tiba sekumpulan anak kecil berlari-lari mengejar balon yang terbang.
Jalur itu terhalang, membuat Dewi menarik tangan Andre untuk memutar sedikit lebih jauh.
“Kak, lewat sini aja biar nggak ketabrak anak-anak,” kata Dewi sambil menarik lengan Andre.
Andre menurut. Ia menunduk, memperhatikan langkahnya, tak menyadari bahwa hanya beberapa meter dari situ, Fanda sedang duduk.
Fanda menahan napas.
“Kenapa rasanya… seperti ada dia di sini?” gumamnya lirih.
Stevan menoleh.
“Ada apa, Fanda?”
Fanda buru-buru menggeleng, menghapus keresahan itu.
“Ah, nggak apa-apa.”
Stevan tersenyum menenangkan.
“Kalau kamu merasa lelah, kita bisa pulang sekarang.”
Fanda tersenyum kecil.
“Tidak usah. Aku ingin di sini sedikit lebih lama.”
Sementara itu, Andre yang berjalan bersama Dewi sempat menoleh ke belakang. Entah kenapa dadanya terasa sesak, seperti ada orang yang begitu dikenalnya di antara keramaian. Tapi ia menggeleng cepat.
“Ah, Mana mungkin dia ada di sini,” dalam batinnya.
Mereka terus berjalan menjauh, dua hati yang sama-sama rindu, nyaris saling bertemu, tapi kembali dipisahkan oleh takdir.