“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rencana balas dendam?
Begitu pintu kamar Rani tertutup, keheningan menelan ruang tamu yang kini terasa pengap. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar di antara napas tersengal dua orang yang masih berdiri terpaku — Bu Marni dan Andi.
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya Bu Marni meledak.
“Kamu ini gimana sih, Andi?! Dasar bodoh! Perempuan kayak gitu harusnya kamu kendalikan, bukan malah dibiarkan jadi besar kepala begitu!”
Andi mengusap wajahnya kasar.
“Ibu pikir saya nggak nyoba?! Setiap kali saya ngomong, dia malah makin galak! Sekarang aja dia udah berani nyakar saya, Bu! Lihat nih!” katanya sambil menunjukkan bekas luka di pipi dan lengan.
Bu Marni mendengus tajam.
“Kalau kamu dari dulu tegas, nggak bakal begini jadinya! Uang-uang dia itu seharusnya kamu kuasai semua, bukan malah kasih ke tangannya! Sekarang lihat, dia jadi ngerasa paling hebat karena bisa kerja!”
Andi menatap ibunya dengan mata merah.
“Ibu pikir gampang, ya? Saya udah ambil ATM-nya, tapi entah gimana, uangnya nggak masuk! Malah dia bisa nunjukin bukti transfer kalau gaji itu udah masuk! Saya juga bingung—”
Bu Marni langsung menatapnya tajam.
“Kamu yakin uangnya nggak masuk, Andi?”
“Yakin, Bu! Saya udah cek di ATM, saldonya kosong!”
“Berarti kamu yang bodoh!” hardik Bu Marni, suaranya meninggi.
“Perempuan itu pasti udah muter akal! Sekarang dia sengaja ngejebak kamu biar keliatan salah! Dan kamu malah ngaku di depan dia kalau uangnya kamu pakai buat perempuan lain?! Otakmu di mana, hah?!”
Andi menunduk, rahangnya mengeras.
“Saya kelepasan, Bu… saya nggak sengaja ngomong begitu…”
Bu Marni mendengus kesal, berjalan mondar-mandir.
“Kelepasan, kelepasan! Dasar nggak becus! Sekarang gara-gara mulutmu sendiri, aku juga kena semprot! Perempuan itu bahkan nyebut aku benalu! Kamu tega, Andi?! Aku ini ibumu! Aku malu, tahu nggak? Tetangga udah banyak ngomongin soal perubahan dia, bilang aku yang salah ngelakuin menantuku sendiri!”
Andi membanting sandaran kursi dengan frustrasi.
“Udah, Bu! Saya juga capek dengarnya! Semua orang sekarang belain dia, seolah-olah saya yang jahat! Padahal dari dulu saya cuma pengin dihormatin sebagai suami!”
Bu Marni mendekat, menatap Andi dengan mata penuh api.
“Kalau kamu mau dihormatin, jangan lembek! Perempuan kayak dia harus ditaklukin, bukan dikasih kebebasan! Kamu harus ambil alih lagi semua kendali, termasuk uangnya! Jangan kasih dia kesempatan buat ngatur kamu!”
Andi terdiam. Wajahnya menegang, tapi di balik amarahnya, ada rasa ragu yang mengganjal.
“Tapi, Bu… kalau saya paksa lagi, dia bisa aja pergi. Dan kalau dia pergi, kita nggak punya apa-apa lagi.”
Bu Marni memukul meja dengan keras.
“Makanya jangan kasih dia kesempatan pergi! Bikin dia nggak bisa ke mana-mana! Kamu dengar, Andi? Kalau perlu, kamu buat dia menyesal udah ngelawan kamu!”
Andi menatap ibunya dalam-dalam. Suasana berubah dingin.
Di matanya, tampak sesuatu yang berbahaya mulai tumbuh—campuran antara rasa malu, dendam, dan kehilangan kendali.
“Baik, Bu,” katanya pelan, namun nadanya dingin.
“Kalau itu yang Ibu mau, saya bakal pastikan dia nggak bakal bisa seenaknya lagi.”
Bu Marni tersenyum puas, lalu menepuk bahu anaknya.
“Begitu dong, baru namanya laki-laki. Ingat, Andi—perempuan itu boleh keras kepala, tapi pada akhirnya tetap harus tunduk sama suaminya.”
Dari balik pintu kamar, Rani yang ternyata belum tidur menatap ke arah cahaya redup di bawah pintu.
Ia mendengar semuanya—setiap kata, setiap rencana jahat yang diucapkan ibu dan anak itu.
Tangannya menggenggam erat selimut, matanya tajam penuh tekad.
“Kalian pikir aku akan tunduk lagi?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
“Kali ini, yang kalah bukan aku.”
★★★★
Malam semakin larut. Suara jangkrik terdengar bersahutan dari luar jendela rumah sederhana itu. Lampu di ruang tamu sudah dimatikan, tanda Bu Marni dan Andi telah masuk ke kamar masing-masing. Tapi di balik pintu kamar yang remang, Rani belum juga memejamkan mata.
Ia duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong. Bekas air mata masih tampak di pipinya, namun kini bukan lagi karena lemah—melainkan karena amarah dan tekad yang mulai membara dalam diam.
Perlahan, Rani berdiri. Ia menyalakan lampu kecil di sudut meja rias, cahaya temaramnya menyinari wajah Rani yang tampak lebih tegas dari sebelumnya.
Dengan hati-hati, ia membuka lemari pakaian dan mengeluarkan beberapa baju yang masih layak pakai—yang sebagian besar adalah pemberian Nadia.
Tangannya gemetar, tapi langkahnya pasti.
Ia melipat satu per satu pakaian itu, memasukkannya ke dalam tas kain lusuh yang biasa ia pakai kerja.
“Aku nggak mau hidup begini lagi…” bisiknya lirih.
“Cukup… kali ini aku yang harus bertindak.”
Ia berjalan ke bawah tempat tidur, menarik sebuah kaleng bekas susu yang sudah berdebu—tempat di mana dulu ia menyembunyikan uang darurat sebelum ATM-nya direbut Andi.
Kaleng itu tak seberapa berat, tapi saat ia buka, matanya sedikit berbinar: masih ada beberapa lembar uang seratus ribuan dan beberapa koin. karena tabungan Rani yang 80 juta telah ia serahkan kepada Nadia dan ia mengambil tabungan lainnya yang ia simpan di bawah kolong tempat tidur.
“Lumayan… buat ongkos awal.” katanya pelan sambil menghela napas.
Rani mengambil ponsel tuanya, mengetik pesan singkat pada Nadia.
“Nad, aku udah mutusin. Aku mau pergi dari rumah ini. Tapi tolong… jangan kasih tahu siapa-siapa dulu. Aku butuh waktu buat siapin semuanya.”
Tak lama, balasan masuk.
“Akhirnya, Ran. Aku tunggu kamu di salon besok. Biar aku bantu.”
Rani menatap layar ponsel itu lama-lama, sebelum akhirnya meletakkannya di meja.
Ia melangkah ke jendela, menyingkap tirai sedikit—melihat pekarangan rumah yang gelap, seolah jadi saksi bisu penderitaan bertahun-tahun yang ia telan.
Di luar, angin berhembus lembut membawa aroma malam yang dingin, tapi di dalam dadanya, Rani justru merasa hangat.
Bukan karena ketenangan, melainkan karena api tekad yang kini menyala.
Ia berbalik, melihat kamarnya yang sederhana.
Tempat yang dulu jadi saksi tangisnya setiap malam.
Tempat di mana ia dulu takut membuka suara, takut menatap mata Andi, takut disalahkan oleh Bu Marni.
Kini, ketakutan itu perlahan lenyap.
“Besok… semua ini akan berubah.”
Suara Rani terdengar mantap.
Ia mematikan lampu kecilnya, lalu berbaring. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rani tidak tidur dengan air mata—melainkan dengan sebuah senyum kecil di ujung bibirnya.
Senyum dari seorang wanita yang akhirnya tahu waktunya bangkit telah tiba.
Malam itu, setelah memastikan seluruh rumah sunyi, Rani melangkah pelan ke kamar Bu Marni. Napasnya tertahan, tapi bukan karena takut — melainkan karena amarah yang sudah lama ia pendam kini mendidih di dada.
Ia tidak lagi berniat melukai secara fisik, tapi ingin menuntut keadilan dengan caranya sendiri.
Di meja rias Bu Marni, terpampang foto keluarga — Bu Marni, Andi, dan Rani saat awal pernikahan.
Rani menatap foto itu lama. Matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena sadar betapa bodohnya ia dulu, rela menafkahi dua manusia yang bahkan tak tahu arti terima kasih.
Pelan, ia mengambil foto itu dan memasukkannya ke dalam tas.
“Kalian sudah buat aku jatuh… sekarang giliranku yang bangkit.”
Namun bukannya mencuri, Rani mengambil dokumen-dokumen lama miliknya yang disimpan Bu Marni — ijazah, surat kerja, dan slip gaji. Semua itu adalah dokumen pribadinya yang selama ini dikuasai oleh keluarga Andi agar ia tak bisa keluar dari rumah.
Rani menatap semua dokumen itu dengan tatapan penuh tekad.
Dengan dokumen itu, ia bisa mengurus rekening baru atas namanya sendiri, dan lebih penting lagi — menuntut hak hukum atas kekerasan dan penelantaran yang ia alami.
Sebelum keluar kamar, ia sempat menatap KTP Bu Marni yang tergeletak di meja rias. Tangannya dengan gesit mengambil KTP Bu Marni yang ada di meja rias.
“Aku nggak akan jadi sejahat kalian… tapi aku akan pastikan kalian ngerasain akibatnya.”
Ia meninggalkan kamar dengan langkah pasti — malam itu bukan hanya awal rencana balas dendamnya, tapi juga awal dari kebebasan baru yang akan mengubah hidupnya.
______
Di dalam kamar Rani dengan gesit mengambil ponselnya dan mulai mendownload salah satu aplikasi pinj*l ilegal, ia menyiapkan semua persyaratan yang di butuhkan dan gampang di acc.
Hanya dalam lima menit terlihat sebuah limit yang lumayan besar delapan puluh juta adalah angka yang fantastis. Rani tersenyum smrik dengan segera ia mencairkan pinjaman itu ke rekening milik Andi yang memang telah ia ambil diam diam sore tadi.
"kalian akan merasakan akibatnya" ucap Rani tersenyum puas ketika pinjaman telah berhasil dan tak lupa ia mencantumkan nomer Andi dan selingkuhannya, jangan tanya Rani dapat dari mana yang jelas semuanya akan terlihat mudah jika ia bermain cantik.
"selamat menikmati kehancuran kalian" kata Rani pelan.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
di neraka .