NovelToon NovelToon
Kakak Ipar Menjadi Pelipur Lara

Kakak Ipar Menjadi Pelipur Lara

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Duda
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Las Manalu Rumaijuk Lily

Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Darren marah karena istrinya mulai berubah,

Keesokan paginya, ada keheningan yang berbeda di rumah itu.

Bukan keheningan yang biasa, yang dingin dan datar, melainkan keheningan yang tebal, sarat dengan kata-kata tajam dan air mata semalam.

​Gita bangun lebih dulu. Dia menatap bayangannya di cermin—wajah sembab, mata merah. Tapi kali ini, ada kilatan tekad di matanya yang sayu.

Semalam, kata-kata Darren telah mencapai batas toleransinya. Tuduhan itu... sungguh menyakitkan.

​Ia tak lagi menyiapkan sarapan di meja makan. Ia hanya membuat secangkir teh hangat untuk dirinya sendiri, lalu duduk di teras, membiarkan mentari pagi menyentuh kulitnya.

​Ketika Darren keluar dari kamar, ia mendapati meja makan kosong.lagi lagi Itu tidak biasa. Gita selalu memastikan sarapan tersaji, meskipun seringkali ia tak menyentuhnya.

​Ia berjalan ke dapur, melihat Gita sedang duduk di teras.

​“Sarapanku?” tanyanya datar, tanpa intonasi.

​Gita menoleh, senyum tipis—entah sinis atau lelah—terukir di bibirnya.

​“Di kulkas. Ada roti dan selai,” jawabnya, suaranya tenang, nyaris tanpa emosi.

​Darren terkejut dengan nada itu. Gita biasanya akan langsung bergegas membuatkan sesuatu.

​“Kenapa tidak kamu siapkan di meja?”

​“Aku capek, ” jawab Gita, mengulang kalimat yang sering Darren gunakan untuk menolaknya. Ia menyesap tehnya perlahan. “Aku rasa, setelah semua yang terjadi semalam, aku juga berhak merasa capek.”

​Wajah Darren mengeras. Ia merasa tak nyaman dengan perubahan peran ini. Dialah yang selalu dingin, bukan Gita.

​“Jangan mulai lagi, Gita. Aku buru-buru.”

​“Aku tahu. Tapi bukankah kamu bilang kamu bekerja untuk rumah ini? Untukku? Kalau begitu kamu yang seharusnya menyiapkan untuk aku,sesekali harusnya tidak apa apa kan?” Gita menatapnya lurus.

​Pernyataan itu menusuk tepat sasaran. Darren terdiam, pandangannya sedikit goyah. Ini bukan Gita yang dia kenal—yang lembut, yang selalu menunduk dan meminta maaf.

​“Terserah,” desis Darren, akhirnya, lalu berbalik mengambil kunci mobilnya. “Jangan lupa bersihkan rumah.”

​“Tentu saja,” sahut Gita. “peran ku sebagai istri. Aku tahu pekerjaanku.”

​Kali ini, kepergian Darren terasa berbeda. Tidak ada lagi debar di dada Gita yang menanti suaminya pulang. Hanya ada lega, bahwa pria itu sudah pergi.

​Setelah Darren pergi, Gita membereskan rumah, tapi tidak dengan rasa terpaksa. Ia melakukannya untuk dirinya sendiri.

Ia membersihkan debu, bukan karena takut suaminya marah, tapi karena ia ingin tinggal di tempat yang nyaman.

​Siangnya, Gita menelepon seorang teman lama, Maya, yang sudah lama tidak ia temui. Mereka dulu sangat dekat sebelum Gita tenggelam dalam pernikahannya.

​“Gita? Astaga! Sudah berapa lama kita tidak ngobrol? Kenapa tidak pernah menghubungiku?” sambut Maya dengan suara riang di telepon.

​“Maaf, May. Aku… sibuk,” jawab Gita, tahu itu adalah alasan klise. “Bisakah kita bertemu? Siang ini?”

***

​Pertemuan dengan Maya terasa seperti menghirup udara segar setelah lama terpenjara. Mereka tertawa, berbicara tentang hal-hal ringan, tentang masa lalu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Gita merasa seperti dirinya sendiri—bukan hanya 'istri Darren'.

​Maya menyadari perubahan pada Gita. Mata Gita yang dulu selalu bersinar kini tampak meredup.

​“Ada apa, Gi? Kamu kenapa? Suamimu... dia baik-baik saja?” tanya Maya hati-hati.

​Gita tersenyum getir. “Kami baik-baik saja, May. Kami hidup di bawah atap yang sama. Itu saja.”

​Ia menceritakan sedikit, tanpa perlu merinci. Maya langsung mengerti.

​“Gita, kamu harus ingat, kamu berhak bahagia. Kamu berhak dicintai. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam kesepian di rumahmu sendiri,” ujar Maya tulus, menggenggam tangan Gita.

Gita tersenyum pahit menanggapi.

​Malam itu, Gita pulang lebih larut lagi. Ia sudah makan malam di luar bersama Maya, menikmati waktu tanpa perlu melihat jam, tanpa perlu terburu-buru.

​Ketika ia membuka pintu, rumah itu sudah gelap, kecuali lampu di ruang tamu.

​Darren ada di sana, di tempat yang sama seperti malam sebelumnya, tetapi kali ini ia tidak duduk. Ia berdiri, bersandar di dinding, menatap Gita dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada kelelahan, tapi juga sedikit… ketakutan.

​“Dari mana saja kamu?” tanyanya, lebih tenang dari malam sebelumnya, tapi tetap dingin.

​Gita melepas sepatunya, tatapannya tak gentar.

​“Aku bertemu temanku. Aku juga makan di luar,” jawabnya, lugas.

​“Kenapa tidak memberitahuku?”

​Gita tertawa, tawa yang kering dan pahit.

​“Kenapa aku harus memberitahumu, Ren? Kamu bahkan tidak peduli aku ada di rumah atau tidak. Kamu pulang larut, dan aku hanyalah penyambut pintu. Sekarang aku sibuk, apa itu penting?”

​“Tentu saja penting! Kamu istriku!” suara Darren meninggi.

​“Istrimu? Benarkah? Kapan terakhir kali kamu memperlakukanku seperti istrimu? Aku hanya seorang penyewa di rumah ini, yang bertugas membersihkan dan memasak!”

​Gita melangkah melewatinya menuju kamar tamu, berhenti di ambang pintu.

​“Aku tidak akan tidur di kamarmu lagi, Ren,” katanya pelan, tapi tegas. “Sampai kamu memutuskan apa yang kamu inginkan dari pernikahan ini. Aku sudah selesai. Aku tidak akan memohon lagi. Aku tidak akan mengejar lagi. Kamu sudah punya hidupmu sendiri di luar sana. Sekarang, aku akan punya hidupku sendiri di dalam sini.”

​Ia menutup pintu kamar tamu, meninggalkan Darren yang terpaku di ruang tamu, di tengah keheningan yang sekarang benar-benar kosong.

​Malam itu, Darren tidak bisa tidur. Ia mondar-mandir di depan pintu kamar tamu. Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Gita telah berubah. Ia sudah tidak lagi rapuh.

​Ia melihat ke cermin, menyadari sesuatu. Selama ini, ia selalu menganggap Gita akan selalu ada. Selalu menunggu, selalu memaafkan, selalu pasrah. Ia telah mengambil Gita untuk sesuatu yang pasti.

​Tetapi sekarang, ia menyadari bahwa Gita, yang ia perlakukan dengan dingin dan acuh, kini sedang membangun tembok di sekeliling hatinya.

Dan untuk pertama kalinya, Darren merasakan sensasi asing—kehilangan. Bukan kehilangan seorang istri, melainkan kehilangan kepastian bahwa ada seseorang yang selalu mencintainya, seburuk apapun dia.

​Di kamar tamu, Gita berbaring, menatap langit-langit yang gelap. Ia tidak menangis. Air matanya sudah kering. Ia merasa sakit, ya, tapi ia juga merasa... bebas.

Janjinya semalam—untuk berhenti mencintai pria itu—telah dimulai.

​Ia tidak akan lagi menunggu Darren pulang.

Ia akan mulai menunggu dirinya sendiri untuk kembali.

​bersambung...

1
Reni Anjarwani
lanjut thor
Bianca Garcia Torres
Aku beneran suka dengan karakter tokoh dalam cerita ini, thor!
Las Manalu Rumaijuk Lily: terimakasih kk
total 1 replies
Myōjin Yahiko
Dijamin ngakak mulu!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!