Alda Putri Anggara kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan tumbuh di bawah asuhan paman dan bibi yang serakah, menguasai seluruh harta warisan orang tuanya. Di rumah sendiri, Alda diperlakukan seperti pembantu, ditindas oleh sepupunya, Sinta, yang selalu iri karena kecantikan dan kepintaran Alda. Hidupnya hanya dipenuhi hinaan, kerja keras, dan kesepian hingga suatu hari kecelakaan tragis merenggut nyawanya untuk beberapa menit. Alda mati suri, namun jiwa seorang konglomerat wanita cerdas dan tangguh bernama Aurora masuk ke tubuhnya. Sejak saat itu, Alda bukan lagi gadis lemah. Ia menjadi berani, tajam, dan tak mudah diinjak.
Ketika pamannya menjodohkannya dengan Arsen pewaris perusahaan besar yang lumpuh dan berhati dingin hidup Alda berubah drastis. Bukannya tunduk, ia justru menaklukkan hati sang suami, membongkar kebusukan keluarganya, dan membalas semua ketidakadilan dengan cerdas, lucu, dan penuh kejutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 — Langkah yang Tak Ingin Dilihat Dunia
Kening mereka hampir bersentuhan, napas berpadu dalam keheningan yang anehnya menenangkan.
Namun sebelum jarak itu benar-benar menghilang, suara ketukan pelan di pintu memecahkan suasana.
“Maaf, Tuan Arsen, Nona Alda…”
Suara asisten pribadi Arsen, terdengar gugup dari luar. “Dokumen perusahaan sudah siap di meja kerja.”
Aurora langsung mundur setengah langkah, pura-pura sibuk merapikan kalung di lehernya.
Arsen hanya menghela napas pelan, lalu berkata datar, “Letakkan saja di sana.”
Pintu menutup kembali.
Hening lagi.
Aurora menatap lantai, wajahnya masih sedikit merah. “Kenapa mereka selalu datang di waktu yang salah?”
Arsen tersenyum tipis. “Mungkin semesta masih belum rela melihat kita jadi adegan romantis.”
Aurora terkekeh, lalu berbalik hendak keluar dari kamar, tapi suara Arsen menahannya.
“Sebentar. Aku mau peluk” ujarnya pelan dengan malu
Aurora melangkah mendekat dengan senyum tulusnya. “Kenapa kamu gak bilang dari tadi? Oh iya kenapa kamu tidak bilang pada yang lain jika sudah mulai bisa berdiri?”
Arsen menatapnya sambil tersenyum kecil. “Karena aku gak mau semua orang tahu dulu. Aku… belum siap menerima belas kasihan orang. Aku cuma mau kamu yang tahu.”
Aurora menggigit bibirnya, matanya bergetar.
“Jadi semua waktu ini, kamu pura-pura gak bisa jalan?”
“Bukan pura-pura,” jawab Arsen lembut. “Aku masih butuh kursi ini. Tapi kadang kalau malam, atau waktu kamu gak lihat aku latihan. Aku pengen berdiri lagi, bukan cuma buat diriku… tapi supaya bisa jalan di sampingmu.”
Aurora menatapnya lama.
Lalu tanpa pikir panjang, ia melangkah maju dan memeluknya erat.
Tubuh Arsen sedikit limbung, tapi ia menahan keseimbangan dan membalas pelukan itu dengan lembut.
“Aku bangga,” bisik Aurora di dada Arsen.
Arsen tertawa kecil, suaranya bergetar. “Kamu terdengar seperti guru TK yang memuji muridnya.”
Aurora meninju pelan dadanya. “Dasar, gak bisa serius sedikit.”
Mereka tetap begitu cukup lama dua jiwa yang sama-sama pernah patah, kini saling menyangga untuk berdiri.
----
Beberapa hari setelahnya, rumah keluarga Varmond mulai terasa lebih hidup.
Aurora mulai berani keluar lebih sering, bahkan menghadiri acara amal atas nama yayasan yang dulu diam-diam ia bangun sebagai Aurora Lin.
Sementara Arsen, yang masih menjaga rahasianya, ikut menemani dengan kursi rodanya meski terkadang Aurora menangkap gerak refleks kecil di kakinya, bukti bahwa kekuatannya perlahan kembali.
Suatu sore, mereka duduk di taman belakang, menikmati matahari yang condong ke barat.
Aurora membaca daftar proyek sosial di tangannya, sementara Arsen sibuk menggambar sketsa sesuatu di buku catatan.
“Kamu gambar apa?” tanya Aurora tanpa menoleh.
Arsen menutup bukunya cepat. “Rahasia.”
“Rahasia? Jangan-jangan wajahku lagi.”
Arsen tersenyum misterius. “Kalau iya, kamu gak boleh marah.”
“Aku gak marah. Aku cuma minta royalti.” jawab Alda
Mereka tertawa bersama.
Beberapa detik kemudian, Arsen menatapnya lebih serius.
“Kamu tahu, semua hal yang kamu rencanakan ini… membangun yayasan, melindungi anak-anak, menata ulang bisnis keluarga Lin kamu gak takut tercium keluarga lamamu?”
Aurora menghela napas panjang. “Takut, tentu. Tapi aku gak akan terus sembunyi. Mereka sudah menghancurkan hidupku dulu. Sekarang giliranku menunjukkan kalau aku gak akan hancur dua kali.”
Arsen menatapnya lama, lalu mengulurkan tangan. “Kalau begitu, aku ikut dalam perangmu.”
Aurora menatap tangan itu, kemudian menggenggamnya erat. “Kamu yakin mau terlibat?”
“Sudah terlalu jauh untuk mundur,” jawab Arsen tenang. “Lagi pula, aku gak mau kamu melawan sendirian.”
Aurora tersenyum tipis. “Kalau begitu, jangan kaget kalau nanti rumahmu dikelilingi reporter dan pengacara.”
Arsen tertawa pelan. “Selama kamu di sisiku, aku siap.”
----
Malam itu, di kamar kerjanya, Arsen duduk di depan meja besar dengan setumpuk dokumen.
Di balik wajah tenangnya, ada kilatan rencana.
Ia baru saja menerima laporan tentang pergerakan keluarga pamannya orang yang selama ini menguasai sebagian besar saham perusahaan Varmond dengan cara licik.
Arsen menatap foto digital di layar.
“Waktunya dibalik,” gumamnya.
Aurora masuk pelan, membawa secangkir teh. “Kamu belum tidur?”
“Belum. Aku cuma… menyusun strategi kecil.”
Aurora menatap layar, lalu menaikkan alis. “Oh, strategi kecil yang bisa menjatuhkan tiga direktur besar sekaligus?”
Arsen tersenyum tanpa menoleh. “Kamu cepat belajar, Nona detektif.”
Aurora meletakkan teh itu di meja. “Kamu tahu, semakin hari kamu makin mirip aku.”
“Kalau itu pujian, aku terima,” jawab Arsen santai.
Aurora menghela napas, lalu duduk di tepi meja, menatapnya. “Tapi Arsen, janji ya. Kita lakukan ini dengan tenang. Aku gak mau lagi kehilangan orang yang kusayangi cuma karena balas dendam.”
Arsen menatapnya lama, lalu berkata lirih, “Aku janji. Aku gak akan buatmu kehilangan siapa pun lagi… termasuk aku.”
Aurora menunduk, pipinya memanas.
Ia berusaha menyembunyikan senyum, tapi gagal.
---
Keesokan harinya, kabar kecil beredar di kalangan bisnis: pemilik lama yayasan Lin kembali aktif secara misterius.
Beberapa orang mulai gelisah, terutama keluarga pamannya yang dulu mengambil alih semua aset Aurora Lin setelah “kematiannya”.
Aurora duduk di ruang tamu, menggulir berita itu di ponselnya sambil tersenyum puas.
“Permainan dimulai,” katanya pelan.
Arsen muncul dari belakang sofa, mendorong kursinya. “Aku suka nada suaramu waktu bilang itu.”
Aurora menatapnya geli. “Nada suara wanita jahat?”
“Bukan. Nada suara wanita kuat.” ujar arsen
Aurora menatapnya lembut. “Dan kamu tahu? Aku gak akan bisa sekuat ini kalau bukan karena kamu.”
Arsen membuka mulut hendak menjawab, tapi sebelum sempat, Aurora berdiri dan menarik kursinya ke tengah ruangan.
“Bangun,” katanya tegas.
“Eh?”
“Bangun, aku tahu kamu bisa jalan beberapa langkah.”
Arsen tampak bingung. “Sekarang?”
“Sekarang. Anggap ini latihan, tapi aku yang awasi.”
Dengan napas berat tapi penuh tekad, Arsen perlahan berdiri.
Aurora menahan lengannya, memastikan ia seimbang.
Langkah pertama goyah.
Langkah kedua lebih mantap.
Dan di langkah ketiga Aurora tersenyum lebar.
“Lihat? Kamu bisa.”
Arsen mendengus kecil. “Kalau kamu terus tatap aku kayak gitu, aku malah tambah gugup.”
Aurora menahan tawa. “Bagus. Itu berarti kamu masih punya alasan untuk berusaha.”
Mereka berhenti setelah beberapa meter. Arsen duduk kembali, wajahnya setengah lelah tapi puas.
Aurora berjongkok di depannya, menatapnya dalam.
“Kamu tahu apa yang paling aku suka dari kamu?”
“Aku tampan?”
Aurora menggeleng. “Kamu keras kepala.”
Arsen tertawa kecil, lalu menyentuh pipinya lembut.
“Dan kamu,” katanya lirih, “adalah alasan kenapa aku gak berhenti berjuang.”
Aurora menatapnya, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka lenyap.
Hanya ada dua hati yang pernah hancur, kini berdetak dalam irama yang sama.
---
Malam itu, di bawah langit yang perlahan mendung, Aurora berdiri di balkon sambil menatap kalung sayap di dadanya.
Ia tersenyum kecil. “Terbang lagi, ya…” bisiknya pelan.
Dari belakang, Arsen datang pelan, kali ini tanpa suara roda.
Ia berdiri di sampingnya tegap, walau masih berpegangan pada pagar.
Aurora menoleh, terkejut. “Kamu—”
Arsen hanya menatap bintang, tersenyum. “Ssst. Rahasia kita berdua.”
Aurora mendekat, menggenggam tangannya.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa benar-benar pulang.
Bersambung