Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Dua hari setelah konfrontasi yang menghancurkan dengan Jiya, Lee Yujin mencari Lee Lino. Ia tidak mencari Lino untuk kehangatan atau dukungan, tetapi untuk sebuah konfrontasi yang rasional, satu-satunya alat yang ia miliki. Hatinya berdenyut nyeri, namun ia menolak untuk menyerah pada emosi. Logika adalah senjatanya, dan ia akan menggunakannya.
Yujin menemukan Lino di kantin Fakultas Hukum. Pria itu duduk sendirian, memamerkan citra mahasiswa yang sibuk dan penting. Laptop terbuka di depannya, namun matanya tidak fokus pada layar. Ia tampak menikmati perhatian yang ia dapatkan dari mahasiswa lain yang lewat.
Yujin berjalan ke mejanya, setiap langkahnya terasa berat. Ia menempatkan kedua tangannya di meja, dan menatap Lino lurus di mata, mencoba mempertahankan ketenangan yang tidak ia rasakan. Di dalam dirinya, badai amarah dan kekecewaan bergemuruh, namun ia menolak untuk membiarkannya terlihat.
"Kita harus bicara, Oppa," kata Yujin, suaranya tenang, tetapi ada nada ancaman yang samar. Ia benci bagaimana kata itu terasa pahit di lidahnya. 𝘖𝘱𝘱𝘢. Dulu itu adalah panggilan sayang, sekarang hanya sebuah formalitas kosong.
Lino tersenyum, senyum yang memuakkan bagi Yujin. Senyum itu terlalu percaya diri, terlalu puas diri. Ia menggeser kursi di hadapannya. "Tentu saja, Yujin. Aku tahu kau pasti ingin membicarakan Jiya. Duduklah."
Yujin tidak duduk. Ia ingin mempertahankan keunggulan posisinya. Ia tidak ingin terlihat lemah atau rentan. Ia ingin Lino tahu bahwa ia tidak bisa dimanipulasi.
"Jiya menyebutku Pelakor. Dia mengira kita berciuman di halaman belakang," kata Yujin, langsung ke intinya. Ia tidak ingin membuang waktu dengan basa-basi. "Kau harus menghentikan ini. Kau harus menjelaskan padanya apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa itu hanya percikan api. Bahwa kau hanya meniupnya."
Lino menghela napas yang dibuat-buat lelah, mengambil alih peran sebagai pria yang lelah karena drama. 𝘐𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘪𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯, pikir Yujin dengan sinis.
"Yujin, aku sudah mencoba. Kau pikir aku tidak mencobanya?" tanya Lino, nadanya terdengar frustrasi. "Aku sudah menjelaskan pada Jiya berkali-kali. Aku bilang padanya itu hanya kecelakaan. Tapi dia tidak mau mendengarku."
"Kalau begitu, coba lagi. Kau harus! Dia adalah kekasihmu!" desak Yujin. Ia tidak bisa membiarkan persahabatannya dengan Jiya hancur karena keegoisan Lino. "Aku tidak akan membiarkan persahabatanku hancur karena skenario kekanak-kanakanmu!"
Lino menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap Yujin dengan tatapan belas kasih yang palsu. Tatapan itu membuat Yujin ingin muntah.
"Yujin, ini bukan lagi tentang percikan api atau kesalahpahaman. Ini tentang realitas yang harus kita hadapi," kata Lino, nadanya penuh keseriusan yang direkayasa. Ia selalu pandai membuat dirinya terdengar meyakinkan, bahkan ketika ia berbohong.
"Realitas apa?" tanya Yujin, mencengkeram tepi meja. Jantungnya berdegup kencang, dan ia merasa pusing. Ia tidak suka arah pembicaraan ini.
Lino tersenyum pahit, senyum yang seharusnya membuat Yujin merasa iba. Namun, Yujin hanya merasa jijik.
"Aku putus dengan Jiya," Lino berbohong dengan enteng, seolah itu adalah fakta yang menyedihkan. "Aku putus dengannya semalam. Aku meneleponnya, dan aku bilang padanya bahwa aku tidak bisa lagi bersamanya. Hubungan ini tidak sehat. Dan dia... dia tidak bisa menerimanya. Dia menangis histeris. Dia bahkan mengancam akan menyakitiku jika aku berani mendekatimu lagi."
Yujin terkejut. Ia tidak menyangka Lino akan mengatakan hal seperti itu. "Kalian putus? Tapi... Jiya tidak pernah mengatakan apa-apa."
"Tentu saja dia tidak akan mengatakannya, Yujin," Lino melanjutkan sandiwaranya. "Dia mungkin terlalu malu. Dia masih berpikir kita akan kembali, tetapi aku tidak mau lagi. Aku tidak bisa mencintai gadis yang tidak bisa mengerti kompleksitas hidupku. Aku hanya mencintai gadis yang selevel denganku."
Lino mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati Yujin. Matanya berkilat-kilat, dan senyumnya semakin lebar.
"Yujin, aku mencintaimu. Aku sudah mengatakan ini beberapa waktu yang lalu bukan? Kau yang kuinginkan. Sejak awal. Aku hanya bersama Jiya karena dia adalah cara paling mudah untuk mendekatimu. Sekarang, aku bebas. Kau juga harus bebas."
Kebohongan itu terlalu mulus. Yujin tiba-tiba menyadari sesuatu. Sesuatu yang membuatnya merasa mual.
𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘓𝘪𝘯𝘰 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘱𝘶𝘵𝘶𝘴 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘑𝘪𝘺𝘢, 𝘑𝘪𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶. 𝘑𝘪𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘢𝘯. 𝘑𝘪𝘺𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘣𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘥𝘪 𝘬𝘰𝘳𝘪𝘥𝘰𝘳.
Yujin tahu Lino berbohong. Jiya adalah gadis yang sangat mencintai Lino; Jiya tidak akan pernah mengakhiri hubungan itu, dan Jiya tidak akan menjauhi Yujin karena putus cinta. Penarikan diri Jiya adalah karena rasa sakit dan pengkhianatan—bukti bahwa ia masih menganggap Lino adalah kekasihnya.
Yujin menatap Lino, matanya memancarkan kekecewaan yang mendalam. Ia tidak bisa mempercayai bahwa Lino bisa berbohong dengan begitu mudah.
"Kau berbohong, Oppa," kata Yujin, nadanya datar. Ia tidak ingin membuang energi untuk berteriak atau menangis. "Kau tidak putus dengan Jiya. Kau hanya menggunakan kebohongan ini untuk memaksaku masuk ke dalam permainanmu, bukan?"
Lino terdiam. Ia tidak menyangka Yujin akan menyanggahnya dengan begitu tenang. Ia terbiasa dengan Yujin yang emosional dan mudah diprovokasi.
"Jiya mencintaimu, Oppa. Dan dia membenciku, karena dia percaya aku mencurimu darinya. Itu berarti dia masih menganggapmu miliknya," Yujin memotong, suaranya mengandung logika tajam yang tidak bisa Lino bantah. "Kau tidak putus dengannya, dan kau tidak punya niat untuk memberitahunya kebenaran karena kau menikmati kekacauan ini."
Yujin akhirnya duduk, bukan di hadapan Lino, melainkan di samping, menjaga jarak. Ia menatap Lino dengan pandangan dingin. Ia merasa jijik berada di dekatnya.
"Kau harus menjauh, Lino. Jauhi aku, dan jauhi Jiya. Kau akan menghancurkan segalanya," Yujin memohon, menggunakan nama depan Lino sebagai peringatan. Ia berharap Lino bisa mengerti betapa seriusnya situasi ini.
Lino tersenyum kecil, ia tetap mempertahankan ekspresi santai, terkesan tidak terpengaruh oleh penolakan Yujin. Ia selalu pandai menyembunyikan perasaannya.
"Kau tidak punya hak untuk memintaku menjauh, Yujin," Lino menjawab, nadanya kembali menjadi posesif dan tenang. "Aku akan tetap menjagamu. Aku akan tetap memastikan kau aman. Aku tidak akan membiarkan Jiya menyakitimu. Aku akan selalu ada di sini."
Lino meraih tangan Yujin, mencoba menggenggamnya, tetapi Yujin menarik tangannya dengan cepat, sebuah penolakan fisik yang tegas. Ia tidak ingin disentuh oleh Lino. Ia merasa kotor.
Yujin menyadari, tidak ada argumen rasional yang bisa mengalahkan obsesi dan kebohongan Lino. Hanya ada satu jalan keluar: isolasi total. Ia harus menjauh dari Lino dan Jiya. Ia harus melindungi dirinya sendiri.
Yujin berdiri, menatap Lino untuk terakhir kalinya. Matanya penuh dengan tekad yang dingin. Ia tidak akan membiarkan Lino menghancurkan hidupnya.
"Aku akan menjauhimu, Lino. Dan aku tidak akan membiarkanmu mendekatiku lagi, aku tidak butuh perlindunganmu. Aku akan menjadi bayangan di kampus ini. Aku akan menghilang dari pandanganmu."
Yujin berbalik dan pergi, berjalan cepat menuju Fakultas Desain. Ia merasa seperti sedang melarikan diri dari bahaya.
Lino hanya menatap punggung Yujin, senyum sinisnya kembali terukir. Ia tidak percaya bahwa Yujin bisa benar-benar menjauh darinya.
"Menghilang? Kau pikir kau bisa menghilang dariku, Yujin? Aku adalah satu-satunya yang tersisa di hidupmu. Aku adalah satu-satunya yang bisa kau andalkan, dan aku akan membuktikannya padamu."
Lino meraih ponselnya. Ia tahu Yujin akan mulai menjauhinya, dan itu berarti ia harus meningkatkan intensitas serangannya. Ia harus membuat Yujin merasa terancam oleh orang lain, sehingga ia mau mencari perlindungan pada Lino.
Lino membuka file yang ia curi dari kamar Christopher. Ia mulai menyusun serangkaian email anonim yang akan dikirim ke Dewan Desain, email yang akan menuduh Christopher Lee melakukan plagiat dalam proyek terbarunya.
Ini adalah rencana jahatnya: Menghancurkan Christopher, dan membuat Yujin merasa bertanggung jawab. Ia ingin Yujin merasa bersalah dan membutuhkan bantuannya.
Lino tersenyum. Drama baru akan dimulai. Ia tidak sabar untuk melihat bagaimana Yujin akan bereaksi.
.
.
.
.
.
.
.
ㅡ Bersambung ㅡ