Shinamura Haruki, seorang siswa SMA kelas dua berusia 16 tahun, baru saja mengalami patah hati terburuk. Empat bulan lalu, cintanya ditolak saat malam Natal. Dalam kesedihan, ia memutuskan untuk membeli kopi sebelum pulang, tapi takdir berkata lain. Ia malah ditabrak oleh Aozora Rin, gadis teman satu sekolahnya. Bagaimana pertemuan tak terduga ini akan mengubah kisah cinta mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdulpro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wahana
Ayam jago mulai berkokok, disusul suara alarm yang berbunyi nyaring, memaksanya keluar dari mimpi indah. Dengan mata yang masih berat, Haruki meraih ponselnya. Notifikasi dari Rin muncul di layar, berisi dua foto baju yang berbeda.
“Menurutmu aku lebih cocok pakai gaun minimalis atau yang sedikit lebih terbuka?”
Haruki tersenyum kecil. Sebagai seorang laki-laki, tentu saja ia lebih tertarik pada opsi yang lebih terbuka, tetapi pikiran itu membuatnya sedikit tidak nyaman, apalagi jika banyak mata yang melirik. Namun, gaun yang minimalis akan membuat penampilan Rin terlihat serasi dengannya.
Setelah menimbang-nimbang, Haruki mengetik balasan.
“Aku lebih suka yang minimalis. Lebih cocok denganmu dan terlihat elegan.”
Di ujung sana, Rin mengenakan gaun pilihannya sambil menatap bayangannya di cermin. “Haruki benar”, pikirnya, gaun minimalis ini memang lebih pas. Tanpa menunggu lama, ia mengambil foto dirinya di depan cermin dan mengirimkannya pada Haruki.
“Menurutmu gimana? Kelihatan cocok, kan? Hehe.”
Haruki terdiam sejenak. Rin terlihat begitu anggun, seperti seorang model. “Wah, cocok banget 😍,” balasnya.
Pesan singkat itu membuat Rin tersipu. Pipinya merona dan ia buru-buru menutupi wajahnya yang salah tingkah.
Sementara itu, Haruki segera beranjak untuk mandi dan sarapan. Ia mengenakan kemeja hitam bergaris putih dan celana jeans berwarna abu-abu.
"Mau ke mana pagi-pagi begini, Haru?"
Haruki terkejut melihat ibunya sudah berdiri di ambang pintu kamarnya, bersandar santai.
“Anu… aku mau ke rumah Rin. Hari ini dia ulang tahun dan kebetulan aku diundang,” jawab Haruki gugup.
Ibunya tersenyum tipis. Ia tahu betul anak laki-lakinya tidak akan berdandan serapi ini hanya untuk datang ke pesta ulang tahun. Pasti ada acara jalan-jalan setelahnya. Namun, ia memilih untuk tidak mengungkitnya.
“Baiklah. Jaga diri baik-baik, ya. Jangan sampai merepotkan Rin, oke?” Ibunya berpesan sambil mengedipkan mata, membuat Haruki sedikit malu.
“Siap, Bu! Aku berangkat dulu!”
Haruki mengambil motornya dari garasi. Ia memeriksa semua barang yang perlu dibawa: dompet, kunci, SIM, STNK, dan kado yang sudah disiapkan dari kemarin.
"Oke, semua lengkap. Semoga hari ini lancar, amin."
Ia mulai berkendara. Udara pagi yang sejuk menyambutnya, berpadu dengan kehangatan sinar matahari. Perjalanan terasa begitu menyenangkan. Sepanjang jalan, pikirannya melayang memikirkan apa saja yang akan mereka lakukan hari itu. Tanpa terasa, ia sudah sampai di rumah Rin. Gadis itu sudah menunggunya di halaman.
Melihat Haruki datang, Rin segera berjalan ke arahnya. Ia mengenakan gaun biru abu-abu dengan pita manis yang mengikat di pinggang.
“Ini helmnya, sini aku pakaikan,” kata Rin sambil mengambil helm dari tangan Haruki. Perlakuan Rin yang tidak biasa ini membuat Haruki merasa gugup.
“Terima kasih. Ayo berangkat?”
Rin duduk di belakang Haruki dan merangkulnya erat-erat.
“Rin, jangan merangkul seperti ini, aku jadi gugup bawa motornya,” Haruki protes, namun Rin malah menyandarkan kepalanya di bahu Haruki.
“Sudah, tidak apa-apa. Aku nyaman kok, ya Haruki~.”
Rin tidak melepaskan pelukannya, bahkan saat Haruki mencoba melonggarkan pegangannya. Akhirnya, Haruki hanya bisa pasrah. Pipi Haruki memerah malu, namun ia tetap melajukan motornya. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol ringan tentang rencana mereka di taman kota.
“Haruki, nanti kita mau ke mana dulu?” tanya Rin.
Haruki tersenyum. Ia sudah punya daftar kegiatan yang panjang. “Aku sudah buat daftarnya. Kita keliling taman kota dulu, ya.”
“Oke deh, aku ikut kamu saja,” jawab Rin.
Tak lama kemudian, mereka sampai di taman kota. Di tengah taman, terdapat air mancur yang indah, dikelilingi taman bunga.
“Tidak apa-apa kan kita ke sini dulu?” tanya Haruki.
Rin tersenyum bahagia.
“Tentu saja tidak apa-apa! Aku suka tempat ini.”
Mereka berjalan berkeliling, menikmati suasana, sambil mencari jajanan. Haruki melihat sebuah stan dimsum.
“Rin, kamu suka dimsum, kan? Ayo kita beli.”
Rin belum pernah mencoba makanan itu. Ia ingin sekali mencicipinya, namun ketika ia membuka dompet, ia sadar uangnya hanya cukup untuk beberapa jajanan kecil.
“Serius? Tapi aku…”
Sebelum Rin menyelesaikan kalimatnya, Haruki menutup dompet yang Rin pegang.
“Sudah, simpan saja uangmu. Hari ini kan ulang tahunmu, jadi biar semua aku yang traktir.”
Mendengar itu, Rin merasa tidak enak hati.
“Tapi apa tidak masalah buatmu? Aku juga bawa uang kok.”
Haruki menghela napas, lalu memegang pundak Rin. “Rin, aku mengajakmu ke sini karena keinginanku. Jadi, aku akan tanggung semuanya. Jangan merasa tidak enak, ya. Anggap saja ini hadiah dariku.”
Mata Rin mulai berkaca-kaca. Ia terharu dengan perhatian Haruki. “Terima kasih, Haruki,” bisiknya tulus.
Mereka membeli beberapa porsi dimsum dan segera menyantapnya. Rin makan dengan lahap, senyum tak pernah luntur dari wajahnya. Haruki memandangnya dengan perasaan senang.
“Ternyata Rin suka sekali dimsum, ya. Lain kali aku akan belikan lagi, sekalian untuk ibunya Rin”, pikir Haruki dalam hati.
“Wah, enak banget! Ini pertama kalinya aku makan ini,” seru Rin gembira.
Haruki tertawa melihat tingkah Rin. “Kalau begitu, ayo ke tempat rekreasi. Di sana ada beberapa wahana menarik.”
Rin segera menghabiskan sisa dimsumnya. “Ayo!”
Mereka tiba di area wahana. Terdapat roller coaster yang menakjubkan, bianglala yang menjulang tinggi, dan berbagai wahana lainnya.
“Kita mau naik yang mana dulu?” tanya Haruki sambil memberikan sebotol air minum yang ia bawa dari rumah.
“Sebenarnya aku takut ketinggian,” Rin mengakui. “Mungkin kita coba wahana yang ringan dulu, atau kita jalan-jalan dulu saja, ya?”
Haruki mengangguk setuju. “Ide bagus. Lagipula kita baru selesai makan. Ayo kita keliling dulu.”
Mereka berjalan santai, mengamati wahana-wahana di sekeliling.
Rin mengeluarkan ponselnya dan mulai memotret.
“Haruki, kamu tidak ikut foto-foto?” tanya Rin.
Haruki merasa malu. “Aku tidak percaya diri foto sendirian di tempat seramai ini. Kamu foto saja, nanti aku minta fotonya.”
Rin tiba-tiba membalikkan badan dan memotret Haruki yang belum siap. ‘Ckrik!’
“Rin, aku belum siap, tahu!” Haruki terkejut. Ia melihat hasil fotonya. “Astaga, jelek sekali. Ulangi, dong!”
Rin tertawa geli melihat ekspresi Haruki.
“Padahal yang ini bagus, kok.”
Haruki memperbaiki posenya, menaruh tangan di saku celana dengan tubuh sedikit menyerong.
“Oke, aku foto, ya. Satu, dua, tiga!” ‘Ckrik!’
Rin menatap hasil fotonya dengan senyum tipis. Haruki mendekat.
“Mana? Coba aku lihat.” Haruki tampak puas dengan hasil jepretan Rin.
“Haruki, ayo foto bersama?” ajak Rin.
“Eh, serius? Ya sudah, ayo.”
Rin memberikan ponselnya pada Haruki untuk memotret mereka berdua. Tanpa sengaja, Rin menggandeng tangan Haruki dan bersandar di bahunya.
Pose itu membuat Haruki gugup, namun ia tidak berani protes. Setelah beberapa foto diambil, mereka melanjutkan perjalanan menuju wahana pertama: kereta mini.
“Haruki, sepertinya naik ini seru. Ayo kita coba!” Rin menunjuk wahana itu sambil menarik tangan Haruki.
Mereka membeli tiket dan menunggu giliran.
“Rin, kamu mau duduk di depan atau di belakang?” tanya Haruki.
“Di depan saja, biar lebih seru dan bisa lihat pemandangan lebih jelas.”
Ketika giliran mereka tiba, Haruki dan Rin duduk di bangku paling depan. Sambil merekam video, mereka mengobrol tentang banyak hal, termasuk kesibukan di sekolah. Obrolan itu membuat waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, kereta mini sudah mengelilingi taman dan kembali ke stasiun. Mereka pun turun dan melanjutkan petualangan mereka ke wahana berikutnya.
(Bersambung…)