‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 : Duit untuk menampar
Amran menegakkan punggung, rautnya terlihat serius. “Lantas, bagaimana cara penanganannya?”
Dokter Juwita sejenak membisu, lalu tersenyum lembut. “Jadilah pelengkap nya, buat dia percaya bahwa dirinya berharga, istimewa. Dibalik sikap keras kepala, tegar, seolah sekokoh batu karang – tersembunyi hati yang rapuh dan krisis kepercayaan diri. Bu Dahayu, seperti seekor kepiting bercangkang keras, tetapi isinya sangatlah lunak.”
“Sesungguhnya menangani Bu Dahayu, lebih sulit daripada bu Warni, karena apa? Bila bu Warni jelas terlihat penyakitnya, sebabnya jelas, akar masalahnya sudah diketahui. Tinggal bagaimana kita menyikapi, melakukan pendekatan dengan apa yang dia sukai _” ia menjeda kalimatnya, agar lebih mudah dicerna.
“Akan tetapi, bila itu bu Dahayu – dia sengaja membangun tembok tinggi nan kokoh, hanya memperlihatkan apa yang memang ingin dia pertontonkan. Selebihnya, mungkin cuma dia dan Tuhan yang mengetahui. Terlihat tenang di permukaan, tampak pendiam, berbicara seperlunya saja – bisa jadi dia tengah mempersiapkan diri untuk sesuatu sulit kita terka.”
“Saya paham, Dok. Disaat kondisinya tidak stabil seperti ini, apa hamil dan memiliki bayi adalah hal tepat?” entah mengapa dia tiba-tiba mempertanyakan sesuatu yang sedari awal atas persetujuan nya. Ada nada cemas pada intonasinya.
“Hal itu tak bisa menjadi patokan, Tuan. Terkadang kita sering mendengar kalimat seperti ini – 'Adanya buah hati akan mempererat tali kasih, ikatan suci pernikahan'. Namun, hal tersebut berlaku bagi pasangan yang memang siap lahir batin memiliki bayi, telah mempersiapkan mental, materi, serta visi misi mereka satu tujuan.”
“Sebaliknya – tak sedikit pula seorang wanita sebenarnya belum siap, tapi didesak keadaan. Misalnya umur telah matang, paksaan suami maupun mertua, belum lagi pertanyaan para kerabat atau tetangga. Aslinya, mereka belum ingin. Merasa tidak mampu, masih perlu mempersiapkan diri bukan cuma fisik, tapi juga psikisnya.” Dia tatap segan pria bertopi hitam.
“Sementara kondisi sang ibu mempengaruhi tumbuh kembang janin. Bila nanti dia terlahir ke dunia, maka tekanan yang didapatkan ibunya lebih berat lagi. Butuh dukungan dari orang terdekatnya, terutama sang suami,” sambung dokter Juwita.
Kembali Amran bertanya, kali ini lebih serius dari sebelumnya. “Kemungkinan terburuk apa yang akan terjadi bila begitu melahirkan, si ibu dipisahkan dari bayinya, Dokter?”
Dokter Juwita tersentak, ada getar tak percaya pada pancaran matanya. Dia berusaha tetap profesional, meskipun hatinya penuh tanya. “Depresi, bila berkepanjangan dan si ibu tak kuat mental, telah dilakukan penanganan tapi gagal – bisa berujung kematian, bunuh diri.”
Amran menahan napas, tangan kirinya yang berada di sisi bangku, meremas besi kaki kursi. “Semisal sepasang suami-istri telah melakukan hubungan badan, tapi si pria mengurungkan niatnya untuk segera memiliki bayi, sedangkan sang wanita tidak menggunakan alat kontrasepsi, apa yang harus dilakukan, Dok?”
“Kalau sudah terlanjur bercinta tanpa pengaman, tunggu sampai periode si istri mendapatkan menstruasi. Setelahnya, minumlah pil KB, atau alat kontrasepsi lainnya. Sebelumnya, terlebih dahulu konsultasi dengan dokter kandungan, Tuan. Supaya tidak salah pilih obat maupun alat pencegah kehamilan,” senyum canggung tadi, berubah tulus. Sedikit banyaknya dia bisa menerka hubungan mulai berkembang.
Sesudahnya Amran dan dokter Juwita – terlibat pembicaraan serius mengenai bu Warni dan juga Dahayu. Kesepakatan pun sudah disetujui, Tuan muda pemilik perkebunan ribuan hektar itu telah memutuskan sesuatu penting.
.
.
Dilain tempat – pajak ( pasar ). Bu Warni merengek minta dibelikan rok. Mak Rita pusing bukan kepalang membujuk sahabatnya itu. Sedangkan Dahayu masih terus melakukan tawar menawar dengan sang ibu.
“Buk, kita beli jajan saja yuk? Atau makan bakso, minumnya es jeruk, mau?”
Wajah bu Warni memerah, dia mulai marah, kesabarannya habis sudah. “ADIK BOHONG!!”
Rok dalam genggaman dijatuhkan lalu dipijak- pijak. “Aku tak suka orang pembohong!”
Nelli menahan ibu penjual yang ingin melakukan protes, dengan mengatakan akan mengganti kerugian, tetap membeli rok telah kotor.
“Beli tak? Dikasih beli tak?!” Tatapannya menghujam wajah sendu sang putri. Kakinya tetap menginjak rok berwarna kuning gading.
“Belikan saja, nanti kita akali pas dirumah, Nak.” Mak Rita mengelus lengan Dahayu. Dia paham akan trauma masih berakar kuat itu.
“Ya, Ayu belikan. Satu saja, ya?” Dayu berjongkok, sangat lembut mencoba menggeser kaki ibunya yang mengenakan sandal tali.
“Empat!” Jari tangannya teracung tujuh.
"Salah, buk! Gini yang benar.” Nelli membuka kesepuluh jari tangannya, berakhir dirinya dipukul ibu kandungnya.
“Pantas akhir-akhir ini si Warni kepintarannya merosot. Ternyata yang ngajarin bodohnya bukan main.”
Suara tawa bersahutan. Ibu pemilik lapak kain pun ikut terpingkal-pingkal.
“Wah wah … lihatlah Mak, ada siapa di sini!” Nafiya tersenyum sinis, menatap meremehkan.
“Buk, hati-hati loh … dijaga baik-baik barangnya, jangan sampai yang dibeli cuma satu, tapi lebih dari tiga diangkut itu baju,” sindir Nafiya, dia berkacak pinggang.
Ijem yang baru sampai, berdiri bersisian dengan sang putri, serta kedua tangannya menenteng dua plastik berlogo toko baju – tidak mau kalah ingin merendahkan.
“Halla … gaya betul hendak memilih-milih pakaian baru, paling-paling cuma memegang abis itu ditinggal pergi. Kalaupun tidak, ya menawar sampai mulut berbusa. Orang miskin kok berlagak seperti berpunya! Sadar diri itu lebih baik, daripada nantinya dihantam rasa malu.”
“Betul itu, Mak. Tak punya uang, kok ya pegang-pegang pakaian baru. Inilah yang dinamakan si kere, tapi sok ningrat!” hina Nafiya, tangannya menarik paksa rok yang dipegang bu Warni, lalu membuangnya pada tumpukan pakaian baru.
‘Mengamuk lah kau! Biar tambah malu putri bodoh mu itu!’ Nafiya sengaja memancing emosi ibunya Dahayu.
Bu Warni bereaksi, tapi diluar ekspektasi Nafiya dan Ijem. Dia membuka resleting tas selempang Nelli, mengeluarkan plastik kresek berisi pemberian sang menantu.
“Kami punya duit ya. Lihat ini!” Lembaran uang seratus ribu lebih dari sepuluh itu dilebarkan mirip kipas, lalu dikibas-kibaskan tepat di depan wajah Nafiya dan Ijem.
Mata Ijem terbelalak, mulut Nafiya menganga. Mereka terdiam sejenak.
“Mana lagi duitnya, Dik! Yang tadi dikasih teman baru. Ambil cepat! Biar bisa buat menabok (menampar) mulut orang jahat!”
.
.
Bersambung.
belah dagu yg bikin haik,, haik,,,