Kisah Seorang Buruh kasar yang ternyata lupa ingatan, aslinya dia adalah orang terkuat di sebuah organisasi rahasia penjaga umat manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Bab 8
Kenangan demi kenangan mulai bermunculan.
Rangga bukan lahir di Kota Veluna, melainkan di Kota Lyren Haven.
Dia adalah pewaris dari keluarga Wicaksana.
Keluarga Wicaksana merupakan keluarga kaya, namun Rangga dan kedua orang tuanya tidak sekaya cabang keluarga lainnya.
Tetap saja, untuk ukuran masyarakat umum, mereka termasuk kelas atas.
Saat Rangga berusia delapan belas tahun, dia bertemu dengan seorang lelaki tua dan bergabung dengan Night Watcher.
Selama kurang lebih enam tahun, Rangga menjadi bagian dari organisasi itu.
Di antara semua anggota, hanya Rangga yang menunjukkan kemajuan luar biasa dalam seni bela diri.
Dalam waktu satu tahun, dia sudah menguasai hampir semua jurus.
Di tahun ketiganya, Rangga berhasil meraih medali Starshine—penghargaan bagi anggota terbaik dari yang terbaik—dan naik ke peringkat Zero, posisi tertinggi di Night Watcher.
Para anggota lain menjulukinya pemburu gila, karena dia selalu menuntaskan setiap misi tanpa menyisakan target.
Tiga tahun lalu, Rangga bersama anggota Nomor 2 dan Nomor 7 menerima misi rahasia di Kota Veluna.
Namun, mereka disergap. Dalam pertempuran itu, No.7 gugur, sementara Rangga dan No.2 berhasil kabur.
Rangga terluka parah, dan sebelum sempat kembali ke markas, dia ambruk tak sadarkan diri.
Saat tersadar, Rangga sudah berada di rumah sakit—bersama ayah Liana.
Ayah Liana memperlakukannya dengan sangat baik.
Ia merasa Rangga adalah orang baik dan menyimpan potensi besar. Karena itu, dia menjodohkan Liana dengan Rangga.
Sebagai anggota Night Watcher, Rangga telah menjalankan misi selama enam tahun dan mengumpulkan kekayaan luar biasa—sekitar 2,4 triliun.
Jika diuangkan sekaligus, mungkin sebanyak gunung di negeri Aerion.
Kata demi kata yang diucapkan oleh Dokter Sisil Bahri terus mengalun lembut di telinga Rangga.
> “Apa kamu ingat? Dulu kamu adalah orang yang ditakuti di dunia yang keras ini. Orang terhebat di Night Watcher. Siapa pun musuhmu, saat mendengar namamu disebut… mereka akan lari dan bersembunyi di gelapnya gang-gang sempit di sudut kota.”
> “Entah sudah berapa banyak musuh yang berhasil kamu lenyapkan. Ada banyak nyawa juga yang sudah kamu selamatkan…” tambah Dokter Sisil lembut.
Kata-kata itu seperti kunci yang membuka pintu kenangan Rangga. Puzzle ingatan satu demi satu kembali ke tempatnya.
Entah berapa lama waktu berlalu—Rangga perlahan membuka matanya.
Dokter Sisil yang duduk di samping hanya menatapnya, menunggu reaksinya.
“Bagaimana?” tanya Nomor 66 cepat-cepat.
Rangga tersenyum padanya, lalu duduk bersandar di sofa. Ia mengulurkan tangannya, mengelus lembut rambut pendek wanita itu.
“Iya, aku sudah ingat. Kita sudah tiga tahun tidak bertemu. Kamu semakin cantik saja, Nindya.”
“J-jadi kamu ingat aku?” mata wanita itu berbinar.
Rangga mengangguk. Ingatannya sudah kembali.
Wanita berambut pendek yang tampak seperti anak anjing yang manja itu adalah Nindya Dewata.
Dialah gadis yang dulu dibawa Rangga bergabung dengan Night Watcher.
Itu terjadi saat misi pertama Rangga. Nindya masih berusia dua belas tahun kala itu.
Orang tuanya gugur dalam misi bersama Rangga, dan ia menjadi yatim piatu.
Rangga memutuskan untuk melindunginya dan membawanya ke markas Night Watcher.
Rangga menghela napas, lalu menatap Dokter Sisil.
“Terima kasih, Dokter Sisil.”
Dokter Sisil mendengus kecil. “Terima kasih? Mimpi apa aku bisa dengar kata itu darimu.”
“Yah, orang bisa berubah,” jawab Rangga sambil tersenyum.
“Kamu sudah ingat sekarang,” kata Nindya penuh semangat. “Jadi misi kali ini akan lebih mudah diatasi.”
“Misi apa?” tanya Rangga serius.
“Orang-orang Red Lotus,” jawab Dokter Sisil tenang. “Sejauh ini, tiga anggota kita sudah gugur melawan mereka.”
Rangga memicingkan mata, aura tajam terpancar dari wajahnya.
Kalau saja ekspresi ini ditunjukkannya di depan keluarga Liana, pasti mereka tak akan berani menghina.
Tiga tahun terakhir, Rangga bekerja mati-matian untuk keluarga itu.
Namun balasannya adalah penghinaan dan pengusiran dari rumah yang ia beli sendiri.
Kini, semuanya berbeda.
Mendengar nama Red Lotus saja sudah cukup untuk membangkitkan insting pembunuhnya.
“Apa No.2 sudah ditemukan?” tanya Rangga.
“Belum. Termasuk jenazah No.7,” jawab Dokter Sisil pelan.
“Tujuan Red Lotus kali ini adalah—”
Drttt… Drttt…
Ponsel Rangga bergetar.
“Halo, Manajer Selena…”
“Di mana kamu sekarang? Aku sudah selesai kerja. Kamu ingat janji untuk berpura-pura jadi pacarku dan pergi ke pesta denganku, kan? Kirimkan alamatmu, aku akan menjemputmu sekarang,” suara Selena terdengar lembut di seberang.
Rangga terkejut. Dia benar-benar lupa soal janji itu. Melirik jam dinding—sudah pukul setengah enam sore.
Berapa lama dia tertidur?
“Aku di Komplek Pondok Indah. Kalau kamu sudah sampai nanti telepon aku lagi, biar aku siap di depan pintu,” kata Rangga.
“Oke, aku akan sampai dalam sepuluh menit lagi,” jawab Selena, menutup panggilan.
“Aku sudah ada janji,” kata Rangga pada Dokter Sisil dan Nindya. “Apa kalian bisa memberiku kunci serep rumah ini? Aku tidak ada tempat tinggal, jadi nanti aku akan ke sini lagi.”
Dokter Sisil berpaling dan berjalan ke kamarnya dengan wajah kesal.
Sebaliknya, Nindya berlari mencari kunci dengan senang hati dan menyerahkannya.
“Ini kuncinya!”
“Ngomong-ngomong, apa tujuan Red Lotus kali ini?” tanya Rangga.
“Putri orang terkaya di Kota Veluna—Windy Syam!” jawab Nindya serius.
“Lalu apa rencana kalian?” tanya Rangga lagi.
“Untuk sekarang masih belum jelas. Nanti kalau kamu sudah kembali dan selesai dengan urusanmu, kita akan bicarakan lagi,” jelas Nindya.
Rangga mengangguk paham, lalu keluar rumah menunggu Selena datang.
Setelah Rangga menutup pintu, Nindya bertanya pelan,
“Dokter Sisil, kalau kita katakan apa rencana kita… apa Rangga akan setuju? Dia ‘kan baru saja cerai.”
“Dia harus setuju,” jawab Dokter Sisil dingin dari balik pintu kamarnya.
…
Sebuah mobil merah berhenti tepat di depan Rangga.
“Masuklah,” kata suara lembut Selena.
Setelah masuk, Rangga memasang sabuk pengaman. Untuk mencairkan suasana, dia bertanya,
“Ngomong-ngomong, acara apa yang akan kita datangi?”
“Ini pesta untuk anak-anak dari beberapa pemilik perusahaan besar di Kota Veluna. Sebagian besar yang datang itu anak-anak orang terpandang,” jawab Selena sambil cemberut.
“Aku ke sana karena diutus oleh Astra Bank. Sebenarnya aku tidak suka tempat bising seperti itu.”
Setelah panjang lebar menjelaskan, Selena tersenyum kecut.
“Jadi… a-aku minta maaf padamu karena mengajakmu.”
“Tidak apa-apa. Tenang saja,” jawab Rangga dengan santai, melipat tangan di dada.
Wajar kalau Selena tak nyaman datang sendirian.
Dia wanita cantik, lajang, dan pintar—target empuk di pesta semacam itu.
Setengah jam kemudian, mereka tiba di Hotel Marquess—hotel terbaik di Kota Veluna.
Dulu, Rangga sempat bermimpi membawa Liana dan ibunya makan di sini agar mereka berhenti merendahkannya.
Tentu saja itu cuma mimpi masa lalu. Sekarang, Rangga tak lagi punya niat seperti itu sedikit pun.
Setelah memarkirkan mobil, Selena menggandeng lengannya.
“Sebaiknya kita berjalan lebih dekat lagi,” katanya malu-malu. “K-kalau tidak, nanti orang tidak percaya kalau kita pacaran.”
Rangga hanya mengangguk dan mengikuti. Mereka berjalan seperti pasangan pengantin baru yang masih canggung.
Begitu pintu terbuka—
“Manajer Selena!”
Rangga menoleh. Di depannya, tiga orang berjalan mendekat.
Dia langsung mengenali dua di antaranya: Liana dan Rafael Voss!
Rangga tidak menyangka akan bertemu mereka di sini.
Liana mengenakan gaun hitam elegan. Saat melihat Rangga di sisi Selena, wajahnya menegang.
“Rangga? Apa yang kamu lakukan di sini?”
Rangga hanya diam, menatap Rafael tajam.
Di samping Rafael, seorang pria berambut abu-abu memperhatikan mereka dari ujung kepala hingga kaki.
“Manajer Selena, siapa dia?”
Selena tersenyum tipis. “Perkenalkan, dia pacarku. Namanya Rangga.”
“Dia Rafael, kamu pernah bertemu dengannya. Dan ini Zachry Shah, putra kedua dari Shah Group.”
“Selera manajer Selena agak unik ya,” ucap Zachry sinis. “Dia sudah mengejarmu selama dua tahun, dan kamu malah berpacaran dengan orang seperti ini. Katanya dia baru saja bercerai?”
“Benar,” timpal Liana dengan senyum merendahkan. “Rangga adalah kuli angkut batu bata. Kau sungguh cantik, Selena, pintar lagi. Sayang, penglihatanmu sedikit kurang.”
Selena tetap tersenyum lembut. “Menurutku Rangga orang yang baik.”
“Aku tidak percaya,” balas Zachry. “Kamu pasti hanya berpura-pura seperti ini supaya aku menyerah mengejarmu. Kamu akan menyesal!”
“Kamu harusnya berpikir lebih cerdas,” Zachry menunjuk Rangga.
“Pakai baju yang sesuai dengan tempat yang kamu datangi! Kamu mempermalukan dia! Sudah jelas kamu bukan pacarnya!”
Wajah Selena berubah tegang. Gawat, sandiwara mereka bisa terbongkar.
Sebelum Zachry mendorong Rangga, Selena mempererat genggamannya—menarik Rangga lebih dekat ke tubuhnya.
Rangga menatap mereka penuh kemenangan, melingkarkan tangannya di pinggang Selena dan berkata datar,
“Ayo kita ke sana.”
Selena mematung sesaat, lalu mengangguk. Mereka berjalan masuk ke dalam hotel.
“Sialan!” teriak Zachry geram.
“Tenang saja,” ujar Rafael. “Dia cuma kerikil di jalan. Mana mungkin Selena mau dengannya.”
Zachry menatap tajam ke arah tangan Rangga yang masih melingkar di pinggang wanita pujaannya.
“Kalau begitu, aku akan membuatnya kehilangan muka di pesta nanti,” desisnya.
Bersambung