Rumah tangga Luna yang sangat hangat secara tiba-tiba hancur tanpa aba-aba. Luna mendapati suaminya, Ares, berkhianat dengan sahabatnya sendiri, Celine. Luka yang sangat menyakitkan itu membuat Luna mencari penyebab suaminya berselingkuh. Namun semakin Luna mencari kebenaran, semakin banyak tanda tanya menghantuinya hingga akhirnya Luna memutuskan mengakhiri pernikahan mereka.
Benarkah Ares sudah tidak lagi mencintai Luna?
Ataukah ada suatu kenyataan yang lebih menyakitkan menunggu untuk terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Far, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERMAINAN SEMAKIN KEJAM
Gosip itu menyebar secepat api membakar kertas kering. Sejak Ares memposting foto bersama Celine, kantor seolah menjadi pasar bisik. Setiap langkah Luna selalu dilirik dengan tatapan yang sulit ia artikan. Ada yang terlihat iba, ada yang tampak mencemooh, bahkan ada yang melihat dengan sinis tanpa Luna tahu sebabnya.
Luna menegakkan punggungnya. Senyum tipis tetap ia tebarkan, meski ia tahu semua orang sudah memandangnya berbeda. Ucapan-ucapan tidak enak kerap terdengar, namun Luna berpura-pura tuli.
Noval yang kerap berada di sekitar Luna, memperhatikan diam-diam. Ia tahu bagaimana gosip itu bisa sangat beracun bagi Luna dan perlahan mematikan pikirannya.
Namun yang membuat Luna hampir tidak percaya, dirinya tetap tegak. Tidak ada air mata yang menetes, ia juga tidak meninggalkan pekerjaannya. Bahkan Luna tetap mengadakan rapat bidangnya, menyampaikan paparan laporan dengan nada datar namun jelas, membuat rekan-rekan yang tadi berbisik hanya bisa terdiam.
Luna kali ini bisa mengendalikan kondisi. Luna harus terbiasa dengan masalah ini sekarang. Karena Luna tidak pernah tahu hari esok akan seberat apa masalah yang akan datang menghampiri.
***
Malam itu, rumah terasa sangat dingin meski lampu menyala dengan terang. Luna makan di meja makan, sementara Ares duduk sambil menonton televisi dengan memegang segelas kopi hangat. Sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada sapaan.
Namun Ares selalu terlihat dimanapun Luna berada walaupun Luna tidak tahu untuk apa Ares masih tinggal bersamanya.
Ares yang baru saja melihat ponselnya langsung datang menghampiri Luna dengan wajah berat dan penuh amarah. “Luna. Kalau kamu terus ikut campur,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan, “Jangan salahkan aku kalau kamu akan semakin terluka.”
Luna terpaku. Matanya melotot. Mendengar ucapan Ares, kali ini Luna memiliki tenaga untuk melawannya. “Apa kamu bilang? Ikut campur urusan kamu? Asal kamu tahu, apa yang aku lakukan bukan untuk kembali denganmu.”
Mendengar ucapan Luna yang mulai berapi seketika terlihat wajah Ares memandangi Luna dengan heran. Seaakan tidak percaya Luna akan berbicara demikian.
“Lagi pula aku sudah ingin berpisah dengan kamu. Tapi nyatanya kamu yang masih mempertahankannya kan?”
Luna lantas menggeser kursinya dan berdiri. Ia sengaja berdiri tepat dihadapan Ares sambil memandang sinis Ares. Entah kekuatan apa yang timbul. Kini Luna merasa ia jauh lebih tenang jika melihat Ares terpaku mendengar perlawanannya.
Luna berjalan meninggalkan Ares disana. Dari ekor matanya, Luna dapat melihat Ares melekatkan pandangannya ke Luna dan mengikuti kemana pun Luna berjalan.
Luna menutup pintu kamarnya dan duduk di ujung kasur. Luna memejamkan matanya dan menarik napas dengan panjang. “Apakah cintaku pada Ares sudah hilang?”
***
Keesokan harinya, Luna memutuskan untuk mampir ke café dekat kantor saat jam istirahat. Tidak seperti biasanya, Luna hari ini ingin duduk sendiri sambil menikmati kopi susu hangat.
Café itu masih ramai oleh pengunjung yang tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Luna duduk dengan kaku. Tangannya membuka tas bahunya dan mencari keberadaan ponselnya. Setelah ia menemukannya, Luna lantas mengangkat kepalanya. Luna dikejutkan dengan kehadiran Celine yang sudah berdiri di hadapannya.
“Hai, Lun,” suara Celine lirih tapi menusuk, “ada apa dengan kamu? kenapa kamu terlihat begitu lelah? Jangan terlalu keras mempertahankan yang bukan milikmu Lun.”
Luna menahan napas. Dadanya bergetar hebat. Luna sudah berusaha tenang, namun tatapan dan senyum Celine terus mendorongnya ke tepi jurang kesabaran.
“Kamu pikir kamu menang dari aku Celine?” balas Luna dengan senyum miring. “Kalau memang kamu menang, kamu tidak perlu menjatuhkan harga diri kamu dengan merebut suami wanita lain, terlebih itu adalah milik sahabatmu. Kenapa? Apa tidak ada laki-laki lain yang mau denganmu?”
Celine tertawa sinis, lalu meraih cangkir kopi Luna di atas meja. “Harga diri?”
Celine mengayunkan cangkir itu tepat ke arah Luna. Gerakannya cepat, lebih cepat dari refleks Luna untuk bangkit. Suara dentingan pecah terdengar keras, hingga memecah riuh di café.
Spontan Luna menutup matanya sejenak, tubuhnya menegang menunggu hantaman panas menyentuh kulitnya. Tapi yang terasa justru cipratan kopi yang jatuh ke meja, lalu terdengar suara teriakan tertahan.
“Arrrrgh!”
Saat Luna membuka mata, seketika jantungnya seolah berhenti sejenak. Di hadapannya berdiri Ares. Lelaki itu berdiri bagai perisai, menahan hantaman cangkir dengan kepalanya. Darah menetes dari keningnya bercampur dengan cairan kopi dari cangkir Luna.
“Ares!” pekik Luna. Baru saja ia hendak meraih tangan Ares, namun Ares menepisnya dengan kasar.
“Kamu!” suara Ares menggelegar hingga mengisi ruangan café. Namun bukan pada Celine kemarahan itu diarahkan, melainkan pada Luna yang hampir saja menjadi korban. “Kenapa kamu membuat keributan seperti ini?!”
Luna terdiam. Hatinya seperti dipukul berkali-kali. Rasa malu tidak dapat ia sembunyikan saat semua mata mengarah ke dirinya.
Celine tersenyum samar, seolah puas Luna di permalukan oleh Ares. Ia buru-buru mendekati Ares dengan wajah khawatir pura-pura. “Ares, kamu tidak apa-apa kan?” ucapnya dengan penuh sandiwara.
Darah di pelipis Ares semakin mengalir, mengotori kemejanya. Namun alih-alih menegur Celine, ia justru menatap Luna dengan sinis.
Dari kejauhan, suara langkah cepat dan panik terdengar. Noval datang, seketika matanya membulat melihat Ares dengan darah yang menetes di wajahnya.
Namun Noval sama sekali tidak menanyakan keadaan Ares, ia justru meraih lengan Luna, lalu menatap Celine sekilas dengan dingin. “Ayo Lun.”
Celine terkekeh kecil. “Oh rupanya persahabatan ini begitu manis sekali.”
Noval tidak menanggapi. Ia menarik Luna sebelum Luna runtuh disana.
Luna mengkuti langkah noval dengan pikirannya yang masih bingung. Bagaimana bisa Ares secara tiba-tiba hadir melindunginya.
***
Malam itu, di ruang kerja Luna yang sepi, mereka duduk dihadapan foto, jadwal perjalanan, dan salinan data penumpang. Mereka memandangi semua itu dengan tatapan kosong. Semua terasa sia-sia.
“Celine selalu selangkah didepan,” gumam Luna. Mengapa dia selalu tahu pergerakan kita?”
Noval mengangguk pelan. “Itu berarti ada masalah yang lebih besar yang akan kita hadapi. Pasti ada yang membocorkan semua rencana kita.”
Luna menatap Noval. “Maksud kamu ada mata-mata?”
“Bisa jadi. Kita harus mengubah strategi kita. Kita cari tahu dulu bagaimana Celine bisa mengetahui rencana kita. Baru setelah itu kita fokus mencari tahu bukti Celine dan Ares. Bagaimana?” tanya Noval sambil menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Kalau memang ada yang mengawasi langkah kita, berarti kita tidak hanya memburu, tapi juga diburu.” Luna menggigit bibirnya.
***
Sekitar pukul sepuluh, saat Luna baru tiba di depan rumahnya, ia menemukan sebuah paket di depan teras. Tidak ada nama pengirim, hanya amplop cokelat.
Jantungnya berdegup kencang. Ia membuka amplop tersebut dengan tangan gemetar.
Isinya sebuah foto polaroid.
Luna hampir menjatuhkan foto itu. Terlihat jelas gambar dirinya sedang berdiri di pantry kantor, menuang kopi kedalam sebuah cangkir. Disebelahnya ada Noval, duduk sambil memainkan ponselnya. Fotonya diambil dari kejauhan, diam-diam.
Dengan cepat Luna masuk kedalam rumah dan menuju kamarnya. Ia mengunci pintu kamarnya, kemudian mengambil ponsel dari dalam tasnya.
Luna melakukan panggilan video bersama Noval dan menunjukan polaroid tersebut. “Ini tadi ada di depan rumah.”
Noval memandangi foto tersebut cukup lama. “Luna, ini bukan sekedar ancaman. Ini peringatan.”
Keheningan menyelimuti ruangan Luna. Baik luna maupun Noval di seberang sana terdiam tanpa berkata.
Siapa sebenarnya yang mengawasi mereka? Apakah ini Celine? Atau orang lain yang sengaja di bayar Celine? Tapi siapa? Semua yang ada dikantor adalah orang yang Noval dan Luna kenal. Mereka semua tidak ada yang memiliki hubungan apapun dengan Celine.