“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Malam itu, setelah badai gairah mereda, hanya keheningan yang tersisa. Elvino duduk di tepi ranjang, tubuhnya yang tegap bersandar lelah, namun matanya tajam menatap ke arah Nayla yang tengah memunguti satu per satu pakaiannya dari lantai. Gerakannya pelan, hampir enggan, seolah mencoba merangkai kembali martabat yang sempat luruh semalam.
Elvino membuka suara, suaranya datar namun mengandung sesuatu yang dingin.
“Berapa nomor rekeningmu?”
Nayla menoleh, matanya membelalak. “Aku… aku nggak punya,” jawabnya nyaris berbisik.
Tanpa berkata lagi, Elvino berdiri, meraih dompet hitam dari atas meja kayu di sisi tempat tidur. Dengan gerakan tenang, ia mengeluarkan sebuah kartu ATM dan menyodorkannya ke arah Nayla.
“Ambil ini,” katanya singkat. “Di dalamnya ada cukup uang. Gunakan sesukamu.”
Nayla tak langsung menerima. Tangannya menggantung di udara, ragu, seperti sedang menimbang harga dirinya.
Namun Elvino belum selesai.
“Ada satu syarat,” lanjutnya. “Kau harus selalu tersedia untukku… kapan pun aku membutuhkannya.”
Sejenak dunia terasa hampa. Kalimat itu seperti palu godam yang menghantam batin Nayla. Matanya memandangi kartu di hadapannya, bukan sebagai alat bantu hidup… tapi sebagai label harga untuk tubuhnya.
...
Pukul sebelas lewat tiga puluh malam, mobil mewah hitam milik Elvino meluncur pelan di gang sempit menuju kontrakan Nayla. Ia hanya mengantar sampai gerbang. Permintaan Nayla. Gadis itu tidak ingin tetangga-tetangganya melihatnya turun dari mobil pria berjas mahal. ia sudah cukup hancur, tak perlu ditambahi bisik-bisik tetangga.
“Elvino…” ucap Nayla pelan sebelum turun.
“terimakasih sudah mengantarku.”
Lelaki itu hanya mengangguk, tanpa ekspresi, dan mobilnya perlahan menjauh ditelan malam.
Nayla membuka pintu kontrakan yang sudah reyot. Sunyi. Ibu dan kedua adiknya sudah terlelap. Ia berjalan perlahan ke kamar mandi, membilas tubuh yang masih menyimpan sisa-sisa hasrat dan rasa bersalah. Setelah itu, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis yang berbunyi saat disentuh. Langit-langit kamar penuh bercak jamur dan sarang laba-laba, seolah memantulkan kembali kenyataan pahit yang tak bisa ia hindari.
Air matanya jatuh diam-diam. Tak ada kata. Tak ada isak. Hanya sunyi yang menggigit bersama perih yang mengendap di tubuhnya.
...
Keesokan paginya, mentari Minggu belum tinggi saat keributan mengguncang kontrakan sempit itu. Suara bentakan pria membuat Nayla terbangun dengan jantung berdegup keras. Ia bangkit, masih setengah sadar, dan bergegas ke ruang depan.
Matanya membelalak.
Sosok yang tak pernah ia rindukan berdiri di sana. ayahnya, pria yang sudah menjual rumah mereka, dan meninggalkan mereka dalam penderitaan, kini datang membawa badai baru.
“Berikan aku uang!” bentak sang ayah kepada ibunya, suaranya keras dan menggelegar.
“U-uang apa, Bang? Abang bahkan nggak pernah kasih kami sepeser pun selama ini!” jawab ibunya terbata, tubuhnya gemetar.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi ibu Nayla hingga tubuh kurus itu tersungkur ke lantai. Nayla menjerit. Darahnya mendidih.
“Cukup!!!” teriak Nayla, berlari dan mendorong tubuh ayahnya dengan sekuat tenaga. Tubuh pria itu terhempas ke dinding, namun tatapan matanya tetap buas.
“Untuk apa Bapak ke sini, hah?! Belum puas menyakiti Ibu? Belum puas membuat kami semua hidup dalam penderitaan?!”
Ayahnya bangkit, wajahnya memerah karena amarah, dan tanpa aba-aba kembali menampar Nayla. Suaranya bergemuruh.
“Anak tak tahu diri! Kau kira sudah besar bisa seenaknya bicara?! Aku ayahmu!”
Kepala Nayla menoleh ke samping, bibirnya terasa perih, tapi hatinya jauh lebih luka.
“Kalau kalian bisa bayar kontrakan ini, berarti kalian punya uang, kan?! Ayo! Berikan padaku!” bentaknya lagi, lalu mulai mengobrak-abrik isi rumah.
Ia membongkar lemari pakaian, menghambur-hamburkan pakaian adik-adik Nayla, mengacak-ngacak seluruh rumah seperti orang kerasukan. Dan saat tangannya menggali ke dalam tumpukan baju Nayla… ia menemukannya.
Lima lembar uang seratus ribuan. Satu-satunya sisa dari malam kelam Nayla. Dimana pertama kalinya ia menjual harga dirinya pada Elvino. Uang yang ia simpan untuk beli beras, untuk biaya sekolah adik, atau sekadar untuk bertahan seminggu ke depan.
“Ini dia…” ayahnya tertawa getir. “Ternyata kalian memang punya uang. Dasar pembohong!”
Nayla menatap lembaran uang di tangan sang ayah dengan pandangan berkaca-kaca. Uang itu. hasil dari malam paling kelam dalam hidupnya. bukan hanya kertas, melainkan sisa harga dirinya. Sisa pengorbanan diam-diam yang ingin ia gunakan untuk menyambung hidup keluarganya.
Dan kini, uang itu direbut begitu saja oleh lelaki yang bahkan tak pantas disebut sebagai ayah.
“Jangan ambil itu,” bisik Nayla, suaranya serak.
Ayahnya tertawa pendek, sinis. “Kau kira kau siapa bisa melarang aku, hah?”
Dengan cepat, Nayla melangkah maju dan mencoba merebut uang itu dari tangan ayahnya. Tapi ia tak sempat menyentuhnya. sebuah tamparan keras menghantam pipinya, membuat kepalanya menoleh dengan suara berdebam.
Namun Nayla tidak mundur.
Ia mencoba lagi, kali ini dengan kedua tangan, menggenggam pergelangan ayahnya kuat-kuat. Tapi tangan itu lebih kasar, lebih kuat, dan lebih kejam. Lelaki itu mendorong Nayla hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.
“Apa kau mulai kurang ajar, hah?! Anak macam apa kau ini?!” teriak sang ayah.
Dalam satu hentakan, tangan besarnya melayang dan mendarat telak di pipi Nayla, lalu menyusul dengan pukulan bertubi-tubi ke wajah dan kepala. Tinju ayahnya menghujani Nayla seperti badai yang tak memberi jeda. Nayla hanya bisa menahan dengan kedua tangan, tapi tubuhnya terlalu lemah, terlalu rapuh untuk menahan amarah seorang pria yang buta karena ego dan haus uang.
“Berani-beraninya kau menantang aku! Dasar perempuan murahan! Anak pembangkang!” bentaknya sambil terus menghantam wajah Nayla.
Darah mengalir dari sudut bibir Nayla, menetes di lantai semen yang dingin. Pipinya memar, pelipisnya robek, dan tubuhnya limbung.
“Istighfar, Bang! Cukup! Itu anakmu!” jerit ibunya, berlari dan memeluk tubuh Nayla yang mulai terkulai. Ia menjadi tameng di depan anaknya, menahan pukulan berikutnya dengan tubuhnya sendiri.
“Kalau kau mau pukul, pukul aku! Jangan Nayla! Dia hanya ingin melindungi kami!” teriak sang ibu sambil menangis histeris.
Namun sang ayah tidak mendengar. Dadanya menggelembung karena amarah. Tangannya mengepal, tapi akhirnya ia menahan diri. mungkin karena tenaga sang ibu yang menahannya, atau mungkin karena ia merasa puas telah menunjukkan kekuasaannya.
Di sudut ruangan, kedua adik Nayla menangis keras. Tubuh mereka saling berpelukan, menyaksikan kekerasan yang terlalu berat untuk usia mereka. Mata mereka membulat penuh ketakutan, suara mereka tercekat oleh tangis yang tersedu-sedu.
Nayla perlahan terjatuh, tubuhnya ambruk ke pelukan ibunya.
“Maaf, Bu…” bisiknya lemah. “Aku cuma… ingin bantu…”
Tangis ibunya pecah. Ia mengelus rambut Nayla yang basah oleh keringat dan darah, mencium keningnya yang mulai membiru. “Kamu nggak salah, Nak… kamu nggak salah…”
Sang ayah membuang napas kasar, menggenggam uang lima ratus ribu itu erat-erat, lalu meludah ke lantai.
“Kalau kalian bisa menyembunyikan uang sebanyak ini, pasti ada lagi yang kalian simpan! Jangan pikir kalian bisa hidup enak tanpa aku!” teriaknya sebelum akhirnya melangkah pergi, membanting pintu hingga seluruh dinding rumah bergetar.
Sunyi.
Satu-satunya yang terdengar kini hanyalah isak tangis. Ibunya masih memeluk Nayla erat-erat, tubuhnya ikut gemetar, sementara adik-adiknya merangkak mendekat, memeluk punggung ibunya dari belakang, seperti anak-anak ayam yang ketakutan karena induknya hampir mati dipatuk pemangsa.
Nayla mencoba tersenyum meski bibirnya sobek dan wajahnya lebam. “Aku nggak apa-apa, Bu…” katanya pelan, meski tubuhnya berteriak kesakitan.
Namun malam belum datang, dan luka ini belum berhenti berdarah.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭