Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kejadian singkat di lapangan
Pagi itu, langit Jakarta tampak cerah, namun udara di Starlight School terasa sedikit lebih dingin dari biasanya. Embusan angin menelusup di antara deretan pohon flamboyan di halaman depan. Suara langkah sepatu, obrolan ringan, dan deru mobil yang baru tiba berpadu menjadi rutinitas khas sekolah elit itu.
Zea turun dari mobil hitamnya dengan wajah tenang. Seragamnya rapi, rambutnya terikat, dan ekspresi datarnya kembali menjadi tameng yang nyaris sempurna. Tak ada yang bisa menebak bahwa semalam hatinya sempat berantakan.
Begitu melangkah ke koridor utama, suara ceria langsung menyambutnya.
“Zee! Akhirnya lo nongol juga!”
Claudy berdiri di sana dengan tangan melambai ceria. Di sampingnya, Arcelyn dan Valesya sudah datang lebih dulu. Seperti biasa, ketiganya terlihat fresh — dan kehadiran mereka otomatis menarik perhatian banyak siswa. The Untouchables memang selalu jadi pusat sorotan.
Zea tersenyum kecil dan menghampiri mereka.
Arcelyn melipat tangan di dada, ekspresinya campuran antara kesal dan khawatir.
“Semalam lo ke mana, sih? Gue cariin ke toilet gak ada. Katanya cuma bentar.”
Zea menarik napas pelan sebelum menjawab.
“Sorry, gue balik duluan. Lagi gak enak badan. Gue udah bilang kok ke Valesya lewat pesan.”
Valesya yang sejak tadi hanya menatap akhirnya ikut bersuara.
“Iya, semalam dia kirim pesan. Tapi gue lupa bilang ke kalian.”
Claudy mengerucutkan bibir.
“Hmm, ya udah deh. Gue pikir lo kabur karena bosen nongkrong bareng kita.”
Arcelyn terkekeh. “Claud, dia bukan lo yang kalo bete langsung ngilang.”
Zea tersenyum tipis. “Gak, gue cuma butuh istirahat aja.”
“Tapi sekarang lo udah baikan, kan?” tanya Arcelyn memastikan.
“Udah. Aman kok.”
Claudy menepuk pundaknya ringan.
“Oke, kalo udah baikan, nanti jam istirahat kita ke taman belakang, ya. Katanya anak musik bakal tampil live. Seru tuh!”
Arcelyn menambahkan cepat,
“Dan jangan kabur lagi, ngerti?”
Zea mengangguk kecil. “Gue janji.”
Bel masuk berbunyi. Mereka pun bergegas menuju kelas masing-masing.
Namun, saat menaiki tangga menuju lantai dua, tatapan Zea tanpa sengaja bertemu dengan sepasang mata tajam milik Agler — yang baru keluar dari lift sambil membawa bola basket di tangan. Sepertinya anak-anak kelas 12 IPA 1 memang ada jadwal olahraga pagi itu.
Tatapan mereka bersinggungan sepersekian detik. Tak ada senyum, tak ada sapaan. Hanya keheningan yang terasa tajam.
Zea segera mengalihkan pandangan dan melangkah naik. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang tidak tenang — denyut samar yang entah karena malu, marah, atau campuran keduanya setelah kejadian semalam.
Di sisi lain, Agler memantulkan bola di tangannya dengan tenang. Sudut bibirnya terangkat tipis — bukan senyum lebar, tapi cukup untuk menandakan bahwa ia mengingat dengan jelas apa yang terjadi semalam.
---
Lapangan Pagi Itu
Lapangan olahraga Starlight School pagi itu dipenuhi teriakan semangat dan suara sepatu beradu dengan lantai semen. Udara masih sejuk, tapi matahari mulai menanjak, memantulkan sinarnya ke peluh para siswa.
Di sisi lapangan basket, Agler sedang berlatih bersama teman-temannya. Gerakannya cepat, presisi, dan penuh kendali.
“Nice pass!” teriak salah satu temannya ketika Agler berhasil melempar bola masuk ke ring. Tepuk tangan kecil terdengar, tapi Agler hanya mengangguk datar, mengambil kembali bola yang memantul ke arahnya.
Dari arah koridor, Zea muncul dengan langkah tenang. Ia mendapat tugas dari guru untuk mengambil buku piket di perpustakaan lantai dasar — dan sialnya, satu-satunya jalan tercepat memang melewati sisi lapangan tempat anak-anak kelas 12 berolahraga.
“Lewat sini aja, Zea,” ujar guru yang berdiri di dekat pintu.
Zea mengangguk patuh. Ia berjalan perlahan, berusaha tak menarik perhatian. Tapi jelas mustahil.
Begitu ia melintas, beberapa pasang mata otomatis menoleh ke arahnya — gadis berambut cokelat madu dengan seragam rapi dan wajah tenang itu memang sulit diabaikan.
Tak lama kemudian, siulan dan godaan mulai terdengar.
“Wah, itu anak baru, kan? Kelas 11 IPA 1?”
“Gila, cakep banget, men. Stok bidadari sekolah ini nambah lagi!”
Zea menunduk sedikit, pura-pura tak mendengar, meski langkahnya tetap mantap. Tapi semakin jauh ia berjalan, semakin ramai pula suara godaan yang mengikuti.
“Hei, Dedek Zea! Liat sini dong, senyum dikit!”
"Eh, tapi jangan deh, nanti abang terpesona."
"CIA...!"
"PIWIT-PIWIT!..."
"CIHUYY...!"
Sorakan makin menggema, beberapa dari mereka tertawa. Guru olahraga tampak hendak menegur, tapi perhatiannya teralih ke permainan.
Zea sendiri nampak tak peduli dengan terus melanjutkan langkahnya untuk mencapai tujuan, namun tiba-tiba....
WUSH!
Sebuah bola basket melayang cepat ke arah nya.
Ia spontan membeku, meringkuk kecil, mata terpejam menunggu benturan.
Namun benturan itu tak pernah datang.
Yang terdengar justru suara berat dan familiar di atas kepalanya.
“Refleks lo payah banget.”
Zea membuka mata perlahan. Tepat di depan wajahnya, Agler berdiri. Satu tangannya memegang bola, jarak mereka terlalu dekat — hanya sehelai udara yang memisahkan. Bayangan tubuhnya menutupi sinar matahari, menciptakan siluet yang nyaris dramatis.
Zea menegakkan tubuh, berusaha menguasai diri.
“Lo—”
"Kenapa? Gue tau kok, lo sengaja lewat sini biar bisa liat gue latihan, kan?" Nada Agler datar, tapi sarat ejekan.
Zea menatapnya tak percaya. “Excuse me?”
Agler memantulkan bola santai.
“Gak usah nyari alasan. Lo bisa nonton dari tribun, itu lebih aman.”
Nada suaranya terdengar santai, tapi jelas ada kesombongan halus di baliknya.
Zea mendecih pelan.
“Lo pikir semua orang sempet ngatur jadwal cuma buat nonton lo keringetan di lapangan?”
Agler menaikkan satu alis, separuh geli, separuh tertantang. “Mungkin gak semua. Tapi lo… kayaknya iya.”
Zea tersenyum tipis — senyum dingin penuh sindiran.
“Tenang aja, Kak Agler.” Tekanannya di kata Kak terdengar jelas. “Gue gak sepenasaran itu sama lo. Kalo pun gue mau liat orang keringetan, gue mending ke gym. Lebih banyak pilihan.”
Tawa kecil terdengar dari teman-teman Agler di pinggir lapangan.
Agler diam sejenak. Bola di tangannya berhenti memantul. Tatapannya menurun sedikit, lebih tajam — seperti menimbang sesuatu dari balik sorot mata Zea.
Zea menatap balik tanpa gentar, lalu melangkah melewatinya.
“Sekarang minggir. Gue masih ada urusan, bukan waktu buat ngadepin orang kepedean.”
Langkahnya tegas, tak sedikit pun ragu.
Agler menoleh, melihat punggung Zea menjauh. Sudut bibirnya terangkat samar.
“Sekarang. Lo lebih dari sekadar menarik di mata gue, Zea.”
Riuh kecil terdengar. Semua mata kini tertuju pada Agler yang masih berdiri di pinggir lapangan dengan bola di tangan dan senyum kecil yang tak kunjung hilang.
“Woy, Gler!” seru Arvin sambil tertawa. “Gue gak nyangka, bro. Lo bisa juga kena tampar verbal sama cewek!”
Sorak-sorai pecah.
“Gila, itu tadi Zea, kan? Anak baru yang pinter banget itu?”
“Dia bikin si Agler diem satu detik! Rekor, sih!”
Agler hanya menatap sekilas, lalu memantulkan bola lagi. Ritmenya stabil, tapi jelas ia mendengar semuanya.
Elvatir tersenyum tipis di sisi ring. “Mukanya kayak lagi ngerjain soal fisika,” komentarnya kalem.
“Atau,” timpal Arvin, “lagi nyari rumus kenapa jantungnya sempet berhenti pas liat Zea.”
Agler melempar bola ke arah Arvin, nyaris kena kepala.
“Main, bukan ngoceh.”
“Oke, oke,” Arvin tertawa. “Tapi kalo nanti lo berdua nongol di kantin, gue gak janji, gak rekam.”
Tawa pecah lagi.
Agler hanya menghela napas, namun matanya sempat melirik ke arah koridor tempat Zea menghilang. Sebuah senyum kecil muncul tanpa bisa ia tahan.
“Woy, dia senyum barusan!” teriak Arvin. “Ketua kita beneran jatuh cinta!”
“Bacot!” semprot Agler, lalu kembali fokus ke permainan.
---
Di sisi lain lapangan, tiga pasang mata memperhatikan kejadian itu dengan tatapan seragam — tajam, dingin, dan sarat emosi yang tertahan.
Fokus mereka hanya satu: Zea, yang kini berjalan meninggalkan lapangan... dan Agler, yang tadi sempat menatapnya dengan tatapan aneh sulit dijelaskan.
Haura, sang ketua The Vipers, menatap tanpa berkata. Rahangnya mengeras, kedua tangan terlipat di dada.
“Lo liat sendiri, kan?” suara Ayyana pecah pelan, tajam seperti kaca retak. “Cewek itu beneran bikin Agler ngelirik.”
Tanisa menyandarkan tubuh ke kursi, ekspresinya setengah geli. “Gue kira rumor soal anak baru itu cuma dilebih-lebihin. Tapi ternyata... auranya emang nyolok banget.”
Namun Haura tetap diam.
Ia menatap kosong ke arah lapangan, suaranya rendah tapi mengandung bara.
“Dia baru dua hari di Starlight... dan udah berani muncul di radar Agler?”
“Mungkin cuma kebetulan, Ra,” ujar Tanisa hati-hati. “Dia cuma lewat, terus—”
“Dan Agler nolongin dia.” Haura memotong cepat, nada suaranya dingin tapi tajam.
“Agler gak pernah repot nolongin siapa pun. Bahkan waktu Valesya kejatuhan bola tenis, dia cuma nyuruh orang lain ambilin.”
Ayyana menatapnya serius.“Terus, lo mau kita apain gadis itu?”
Haura tersenyum tipis, lebih ke seringai licik. “Gak usah diapa-apain.” Ia bersandar pelan, nada suaranya tenang. “Gue yang bakal urus dia sendiri nanti.”
***
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶