Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Sudah dua hari sejak Alya meninggalkan apartemen dan juga sekolah. Dan sejak saat itu pula, Alya tidak keluar dari kamarnya.
Ia juga tidak menyentuh makanan, sudah sering ayah dan ibunya, membujuk nya untuk makan, namun Alya selalu menolak dengan alasan, tidak lapar.
"Pak... ibu kok khawatir sama Alya, dia belakang ini sering mengurung diri di kamar, apa terjadi sesuatu ya, pak?" tanya sari saat meletakan secangkir kopi di hadapan suaminya yang hendak pergi ngojek.
" bapak juga nggak tau buk... Tapi coba nanti ibu tanyakan pada Alya, barangkali nanti Alya mau cerita." ujar salim sembari menyeruput kopinya.
Sari hanya mengangguk, raut wajahnya terlihat cemas dengan keadaan putrinya itu.
Salim pun beranjak dari duduknya, meraih helm usang yang tergantung di spion motor tuanya. " Bapak berangkat dulu."
" iya pak... Hati-hati di jalan." ucap sari pada suaminya yang hendak pergi narik. Saat sepeda motor tua itu menghilang di sudut jalan, sari melangkah masuk ke dalam rumah dengan membawa cangkir kopi yang isinya telah habis, dan meletakkannya di tempat piring kotor.
Ia melangkah menuju kamarnya sang anak, mengetuk pintu nya pelan.
Tok..tok..tok..
"Nduk, boleh ibu masuk?"
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, memperlihatkan Wajah Alya yang tampak pucat.
"iya buk.. Ada apa," tanya Alya sambil mempersilahkan sang ibu untuk masuk. Kini mereka tengah duduk di sisi ranjang tua yang jika di beri tekanan akan mengeluarkan suara berdecit.
Sari menatap wajah putrinya, ada gurat lelah yang terpancar di sana. Ia tau putrinya itu sedang menyimpan banyak masalah, meski Alya sendiri tak pernah mengatakan nya.
"Alya... Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu selalu mengurung diri di kamar, kamu bahkan tidak pergi ke sekolah?" tanya sari dengan suara pelan, ia tidak ingin Alya merasa tertekan dengan pertanyaan tersebut.
Sesaat suasana menjadi hening, Alya tak menjawab, ia hanya menundukkan menatap lantai semen dengan mata yang mulai terasa panas. Entah mengapa pertanyaan ibunya tersebut membuat ingin menangis.
"Apa terjadi masalah antara kamu dengan Reihan?" tanya sari lagi.
Namun lagi-lagi, Alya tak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya. Lalu menarik nafas panjang sebelum berkata.
" Alya... Alya ingin pindah sekolah Bu." ucap Alya.
"Loh... Kenapa nduk? Bukan nya itu sekolah impian mu, kamu bersusah payah mempertahankan nilai mu, agar dapat beasiswa supaya bisa masuk ke sekolah itu?"
"iya Bu.. Tapi Alya merasa di sana bukan tempat Alya." ucap Alya, air matanya menetes, ia tidak sanggup lagi menahan nya.
Tangan sari terulur, mengusap bahu Alya. "kamu yakin, mau pinda sekolah?" tanya sari.
Hatinya terasa nyeri saat melihat putrinya menderita seperti ini. Ia ingat bagaimana kerasnya perjuangan Alya untuk dapat bersekolah di sana, dan betapa bahagia Alya saat di terima di sekolah elite tersebut. Sekolah internasional yang sangat ia impikan.
Alya hanya mengangguk, ia mengusap air matanya dengan menggunakan punggung tangan nya.
"Lalu, bagaimana dengan suami mu? Dia merupakan kepala sekolah di sekolah itu kan. Apa dia tidak tau yang kau alami?"
Lagi dan lagi jawaban yang Alya berikan hanya gelengan kepala. Alya mencoba tersenyum, agar sang ibu tidak terlalu khawatir padanya. meskipun senyuman itu terlihat sangat getir.
Sari mengulurkan tangan, membawa Alya masuk kedalam pelukannya. Air mata wanita paruh baya itu tak dapat lagi ia bendung. Melihat anak semata wayangnya, memendam rasa sakit seorang diri.
"baiklah... jika itu yang kamu mau. Ibu akan selalu mendukung mu, selama itu bisa membuat mu bahagia. Lakukanlah apa yang menurut baik untuk diri mu sendiri."
Mendengar perkataan sang ibu, membuat tangis Alya semakin pecah. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh wanita tua tersebut. Hanya di sinilah Alya merasa tenang, di sini Alya bisa merasakan damai. Tidak ada tatapan mata, yang menatapnya dengan tatapan jijik. Tidak ada kata hinaan yang ditujukan pada dirinya.