Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Untuk merayakan hari kebebasan aku sebagai seorang wanita yang kembali sendiri dan tak bersuami lagi, sepulang dari pengadilan aku sengaja singgah ke pasar. Aku membeli beberapa bahan makanan ada ayam, cabai, santan, bumbu dapur,pokoknya semua yang kubutuhkan. Rencananya, aku mau masak sesuatu yang enak. Anggap saja bikin syukuran kecil-kecilan di rumah sendiri.
Begitu masuk rumah, aku langsung mengeksekusi bahan-bahan itu. Hari ini aku ingin masak ayam rica-rica, sayur lodeh, dan sambal terasi. Untuk Keenan tentu aku siapkan ayam kecap kesukaannya.
Satu per satu masakan mulai matang. Suasana dapur hangat dan harum bumbu memenuhi ruangan. Untung Keenan masih bersama Ibuk di rumah Tante Ratna, jadi aku bisa masak dengan leluasa tanpa si bocah kecil mondar-mandir minta digendong.
Tak lama kemudian, semua masakan akhirnya tersaji rapi di meja makan. Nasi di magicom pun sudah matang dan mengepul hangat. Aku menarik napas lega.
Dari dalam dapur, terdengar suara Keenan berceloteh riang pada neneknya. Sepertinya mereka sudah pulang. Itu artinya aku tinggal menunggu Kevin saja. Rencananya, kami akan makan bersama malam ini.
“Wah, banyak kali makanannya?” Ibuk menatap meja makan dengan alis terangkat tinggi.
“Iya, buk… ini buat syukuran. Tadi sidang Aini sama bang Rendra lancar,” jawabku sumringah. Namun ekspresi ibuk justru tampak sendu.
“Kamu yakin gak apa-apa, Aini?” pertanyaan ibuk langsung membuatku terdiam.
Benar kata ibuk. Aku sebenarnya tidak baik-baik saja. Siapa coba, yang mau jadi janda di umur segini? Tatapan tetangga pasti bakal berubah. Stigma-stigma aneh akan muncul. Tapi apa daya, bertahan dalam pernikahan yang terus melukaiku jauh lebih menyakitkan daripada menghadapi status baruku sekarang.
“Insyaallah, Aini baik-baik saja buk.” jawabku sambil tersenyum, meski sedikit memaksa.
“Ya sudah. Aini mandi, sekalian mandiin Keenan. Nanti pas magrib Kevin pulang, kita makan sama-sama,” kata ku sambil mengelus pundak Kennan sekilas.
Ibuk mengangguk dan akupun segera mengajak Keenan ke kamar mandi.
**
Magrib pun tiba. Aku menunaikan salat tiga rakaat kewajibanku. Setiap selesai salam, selalu ada doa-doa yang kupersembahkan untuk ibuk, untuk Kevin, dan tentu saja untuk anakku. Entah kenapa, air mata tiba-tiba menetes. Aku sendiri tidak tahu apakah ini air mata sedih atau justru lega karena akhirnya bisa memulai hidup baru.
Selesai salat, aku bergegas ke ruang makan untuk menyiapkan piring. Kevin tampak mengajak Keenan bermain mobil-mobilan di lantai. Tapi aku tidak melihat ibuk.
“Vin, ibuk ke mana?” tanyaku heran.
“Tadi keluar sebentar, mbak,” jawab Kevin tanpa menoleh.
“Oh… ya sudah. Ayok kita makan,” ajakku.
Kevin mengangguk lalu mengangkat Keenan untuk duduk di kursinya. Meski begitu, pikiranku tetap bertanya-tanya kemanakah ibuk keluar dan buat apa pas waktu-waktu begini?
“Assalamualaikum!” suara Tante Ratna terdengar dari luar.
“Waalaikumsalam,” sahut suara ibuk dan ternyata ibuk sudah di luar rumah.
“Masuk, Buk Ratna!” panggil ibuk.
Aku dan Kevin refleks saling menoleh. Tidak menyangka ibuk malah datang membawa Tante Ratna… dan tentu saja pak Arsya juga ada di belakangnya.
Aku hanya bisa tersenyum ke arah mereka, meski dalam hati rasanya pengen tepuk jidat. Ini kan syukuran karena hal yang… yah… sebenarnya gak perlu dirayain rame-rame. Dan ibuk malah mengundang tetangga depan. Mana ada pak Arsya pula. Ya ampun, malu sekali rasanya. Masa aku bikin syukuran karena resmi jadi janda?
**
“Silakan duduk, Tante Ratna… Pak Arsya, mari,” ucapku sambil menarik kursi dan meletakkan piring di depan mereka.
“Selamat ya, Aini!” kata Tante Ratna semangat.
“Selamat? Selamat untuk apa, Tante?” tanyaku bingung. Ucapan itu terasa janggal di telingaku.
“Kata ibuk kamu, kamu diterima kerja. Makanya kamu adain makan-makan begini. Tante sama Arsya sekalian diundang,” ujar Tante Ratna sambil terkekeh dan menyenggol lengan ibuk.
Aku otomatis melirik ibuk dengan tatapan, serius buk? Namun bibirku tetap tersenyum.
“Oh… iya, Tante. Makasih banyak,” jawabku pelan.
“Maaf ya, tadi ibuk kamu ngasih taunya udah mepet magrib. Jadi Tante dan Arsya nggak bawa apa-apa,” tambah Tante Ratna sedikit sungkan.
“Gak apa-apa, Tante. Kehadiran Tante dan Pak Arsya saja sudah membuat kami senang,” kataku. Sambil dalam hati menjerit, senang dari mana…?
Kebohongan macam apa ini? Jelas-jelas aku malu setengah mati. Apalagi Pak Arsya pasti tahu kalau ini sebenarnya syukuran status baruku yang… yah… barusan jadi mantan istri orang. Dia pun tahu aku tadi pagi pergi sidang.
Rasanya besok mau berhenti kerja saja. Malu benar menghadapi Pak Arsya di kantor. Astaga… sungguh malu.
“Ayo, Buk Ratna dan nak Arsya, cicipi makanannya. Ini semua Aini yang masak!” kata ibuk sambil mengambilkan nasi untuk Tante Ratna dan Pak Arsya.
Kevin dan Keenan memilih duduk lesehan di lantai. Kevin dengan sabar menyuapi keponakannya sambil sesekali tertawa melihat celotehan Keenan.
“Hmmm… enak sekali. Kamu jago juga masaknya, Aini!” puji Tante Ratna sambil mengangkat jempol.
“Ah, biasa saja, Tante. Ini cuma masakan sehari-hari,” ucapku malu-malu.
“Tuh lihat, Arsya sampai lahap banget. Dia itu kalau makan ayam rica-rica sama sambal terasi bisa candu,” ujar Tante Ratna sambil menoleh ke anaknya.
“Syukurlah kalau cocok Tante,” jawabku, makin kikuk dipuji begitu.
Sesekali Pak Arsya menatapku. Entahlah tatapan macam apa itu. Ada sesuatu di matanya, seperti ingin bicara tapi ditahan. Mungkin dia masih mengingat kejadian beberapa malam lalu, saat aku tidak sengaja mendengar obrolannya dengan Mbak Risa.
Ingin rasanya aku bilang kalau aku memang mendengar, tapi aku tidak akan cerita ke siapa pun. Namun tentu saja itu tidak mungkin kubicarakan sekarang, di tengah-tengah meja makan ramai begini.
Selesai makan,Pak Arsya dan Kevin ngobrol di ruang tamu. Sedangkan ibuk dan tante Ratna malah sibuk berbagi resep makanan. Padahal mereka sudah jumpa tiap hari kok,tapi yah namanya ibuk-ibuk memang kayak gitu.
Aku kemudian membuatkan teh untuk Pak Arsya dan Kevin. Dari dapur bisa aku dengar kalau mereka lagi ngobrol masalah pekerjaan. Malahan aku juga dengar Pak Arsya menawarkan pekerjaan untuk Kevin.
"Ini teh nya Pak!" ujarku meletakkan secangkir teh di meja.
"Mbak,temani mas Arsya ngobrol dulu! Aku mau ke toilet dulu!" ucap Kevin buru-buru ke kamar mandi.
Suasana jandi hening antara aku dan pak Arsya. Si Kevin ada-ada saja, malah nyuruh aku ngobrol dengan Pak Arsya. Mau ngomongin apaan coba?
"Soal malam itu.."
"Kamu mendengarnya?"
Akupun memanggil dan merasa bersalah.
"Maafin saya,pak! Sumpah saya gak sengaja mendengarnya. Dan gak ada tujuan untuk menyebarnya."
" Lupakan saja. Lama kelamaan ini semua akan terbongkar kok!" Pak Arsya menghela nafas. Seolah ini memang beban yang tak pernah ia ceritakan ke orang lain.
Bisa aku tebak,tak ada selama ini yang tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Mbak Risa. Termasuk Tante Ratna,mamanya sendiri.