"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lonely, but...
“Apaan deh?” Ucapan itu membuat semua orang menoleh ke arah Julian. Apa katanya? ‘Apaan deh’? Berani-beraninya dia berucap demikian kepada direktur perusahaan.
“Jul, sini, Jul.”
“Ck. Come on. Nggak usah lah.”
Julian membuat semua yang ada di dalam restoran terperanjat. Laki-laki yang mereka kenal begitu introvert, ternyata anak dari direktur perusahaan ini? Ya ampun! Tidak seorangpun dari mereka yang tidak speechless. Apalagi rekan-rekan satu timnya di divisi AR.
“Wah, ternyata, diam-diam lo anak dirut, Bro? Ngeriiii.” Axel menepuk pundak Julian tanpa sedikitpun rasa canggung. Hal itu membuat Sora langsung membesarkan kedua matanya.
“Ck. Ngeri apanya, bro. Biasa aja.”
“Jadi, selama ini lo jadi spy ya di divisi kita?” Entah kenapa Kayla bisa bertanya dengan lugunya.
“Diam-diam ngintai Sora kaliii.” Dan kembali lagi, Friska membawa-bawa nama Sora. Otomatis yang disinggung menatapnya tajam, serius. Kali ini sudah nggak lucu karena ini masih dalam agenda speech-nya bapak direktur. Friska pun otomatis terdiam.
“Julian, ke sini sebentar.” Direktur kembali memanggil puteranya. Sampai melambaikan tangan dengan serius. Akhirnya laki-laki yang duduk di sebelah Kayla itu bangkit berdiri seraya menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ada sedikit rasa kesal saat sang ayah membuka identitasnya sekarang. Setelah dua tahun merasa nyaman sebagai karyawan biasa di perusahaan ini.
Semua mata tertuju pada pria yang kini sudah berdiri di samping direktur utama. Siapa juga yang menyangka kalau mereka adalah ayah dan anak?
“Mungkin rekan-rekan semua sudah lama mengenal Julian. Dia adalah salah satu staff AR yang bergabung di kantor ini sejak dua tahun yang lalu. Tidak ada maksud lain dengan menjadikannya sebagai staff, alih-alih sebagai orang penting di perusahaan. Semuanya murni atas permintaan Julian sendiri.”
Julian membiarkan ayahnya berbicara sesuka hati. Dia hanya mendengarkan saja. Bingung juga kalau harus ikut berkomentar.
“Karena memang basic kuliahnya adalah bagian keuangan, dan sudah punya pengalaman bekerja di bidang ini, dia lebih memilih untuk start dari nol. Tidak ingin menggunakan kekuasaan ayahnya untuk memperoleh sebuah jabatan. Dan saya bangga karena dia punya pemikiran yang sangat dewasa.” Direktur menepuk pundak Julian untuk menunjukkan rasa bangga yang dia maksud. Perkataannya itupun membuat orang-orang langsung bertepuk tangan.
“Walaupun rekan-rekan sudah mengetahui fakta ini, saya berharap agar tetap bersikap biasa saja kepada putera saya. Tidak perlu sungkan. Karena dia masih berstatus sebagai staff, sama seperti rekan-rekan semua.”
“Pak, ijin bertanya, Pak.” Friska mengangkat tangan dengan sopan. Firasat Sora sudah tidak enak.
“Silakan, Bu.” Direktur mempersilakan.
“Kalau boleh tau, kriteria calon mantunya kayak apa ya, Pak? Temen saya cocok nggak?” tanyanya sambil menunjuk Sora dengan enteng. Asli bawaannya pengen bejek-bejek si Friska. Sora hanya bisa menahan diri untuk tidak merealisasikan hal tersebut.
“Ya seperti yang saya bilang tadi. Julian ini sudah terlalu lama menjomblo. Padahal umurnya sudah dua puluh tujuh. Sudah seharusnya punya pendamping. Ya, barang kali Ibu Sora berkenan?”
“Pa!” Julian menegur dengan sedikit lantang. Saat dia menyela ayahnya, saat itu juga orang-orang tertawa lucu melihat Sora yang benar-benar bangkit dari kursi seraya bersikap membereskan barang-barang miliknya.
"Kayaknya gue ijin pulang duluan deh guys," ucapnya dengan sangat polos. Sampai-sampai tidak terlihat kalau dia hanya sedang bercanda.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Ya ampun ya ampun ya ampun!” Kayla terpingkal-pingkal sambil menahan gerakan tangan gadis itu, kemudian menariknya kembali duduk. Pak direktur dan Julian juga tak kuasa menahan tawa melihat wajah Sora yang bersemu merah.
“Stop it, guys. Semua orang benar-benar membuat Sora tertekan malam ini.” Julian berusaha membela. Namun yang lain malah kembali bersorak, mengaku sangat terhibur dengan atraksi yang mereka tonton sejak tadi.
Tapi tidak dengan Tama yang sedang mengalami peperangan batin. Saat ini dadanya seperti sedang mengalami kebakaran lokal. Sekujur tubuhnya dilanda rasa panas berlebih. Dia tidak peduli siapa Julian. Dia hanya memikirkan perempuan yang sedang mengipasi wajahnya dengan kedua tangan. Grogi, malu, sudah pasti itu yang kini dia rasakan.
Pertanyaan Tama adalah… apakah dia senang menjadi pusat perhatian sejak tadi? Apakah dia senang dikait-kaitkan dengan Julian? Di ciye-ciyein seisi ruangan? Apalagi sampai ditembak langsung oleh bapak direktur? Apakah dia suka dalam posisi ini? Karena sepertinya Sora selalu tertawa menanggapi semuanya.
Belum juga mulai makan, Tama sudah tidak betah duduk di sini. Ingin segera pulang dan menginterogasi Sora di apartemen.
***
Acara dinner itu berjalan dengan sangat lancar. Seperti permintaan direktur, sikap anak-anak kembali biasa terhadap Julian. Terutama Sora yang sejak tadi dijodoh-jodohkan dengannya. Profesional, itulah sikap yang wanita itu tunjukkan. Tidak ada yang berubah. Dari ekspresinya setiap kali berbicara dengan Julian, nada bicaranya, sikapnya, semua normal. Begitupun dengan anak-anak yang lain. Syukurlah.
Pukul sembilan malam, Direktur memutuskan untuk menyudahi acara dan pamit pulang duluan. Yang lain juga mulai berbenah barang masing-masing.
“Sora, lo pulang sama gue.” Tiba-tiba suara dari balik punggung Sora membuat gerakan perempuan itu berhenti. Dia mendongak ke atas dan mendapati Tama sudah berdiri di belakangnya.
“Hah? Lo… nggak bareng Giselle?” Sora berusaha menguasai diri. Ini mengejutkan. Sudah lama dia tidak nebeng di mobil Tama. Mungkin sekitar dua bulan lebih? Yang jelas sejak laki-laki ini punya pacar.
“Dia pulang sama Pak Rahmat. Ayo.” Tama menarik tas yang bahkan belum selesai Sora kemas.
“E—eh? Gue belum kelar, Tam! Woy!”
Axel, Jo, Julian, Kayla dan Friska, juga yang lainnya, melihat peristiwa itu dengan kebingungan. Tama sudah pergi membawa tas Sora tanpa mempedulikan pekikan perempuan itu.
“Ya elah, dikira lagi di kantor apa ya? Bossy banget.” Friska menyeletuk kesal.
“Kay, duh, gue…” Sora mondar-mandir, tidak tau apa yang harus dia lakukan. Sesekali melihat ke luar, sesekali melihat Kayla dan yang lainnya.
“Gue gampang, Ra. Udah, kejar sono! Keburu tas lo dibuang ke tengah laut!”
“Duh, maaf ya, Kayyyyy! Jul, titip sahabat gue ya! Ehh, bye semuanya!” Sora langsung berlari menyusul Tama yang sudah keluar dari restoran. Gilaaa! Kenapa jantungnya berdebar tidak karuan sekarang? Rasanya seperti akan berkencan dengan gebetan untuk yang pertama kalinya.
Tama baru saja masuk ke dalam mobil saat Sora keluar dari restoran. Perempuan itu menghampiri dan mengetuk kaca jendela.
“Masuk.” Tama malah langsung mendorong pintu, tidak membukakan jendela seperti yang dia mau.
“Gue tadi berangkat sama Julian. Gue nggak enak, Tam.” Sora masih mencari alasan untuk tidak pulang bersama laki-laki ini. Dia tidak yakin jantungnya akan tenang selama di perjalanan.
“Gue nggak peduli itu. Come in.” Nada Tama masih rendah.
“Gue juga nggak mau ada gosip yang akan sampai ke telinga Giselle!” tolak Sora semakin tegas.
“Masuk!!”
Perempuan itu tersentak. Baru kali ini Tama meninggikan suara saat berbicara dengannya. Belum wajah pria itu yang mengeras seperti benar-benar marah. Hal itu membuat nyali Sora langsung ciut dan menuruti perintah Tama. Dia masuk tanpa bisa mengelak lagi. Dengan cepat semua pintu dikunci oleh si empunya mobil.
“Seat belt,” perintah laki-laki itu sambil menginjak pedal gas. Padahal Sora memang berencana memasangnya walau tidak diingatkan.
Suasana di dalam mobil terasa begitu tegang. Padahal seharusnya tidak, karena mereka adalah teman lama. Tapi Tama seharusnya sudah tau, semenjak dia berpacaran dengan Giselle, hubungan dia dan Sora memang sudah banyak berubah. Mereka kehilangan banyak komunikasi dan chemistry. Sudah tidak seperti dulu lagi.
“Lo senang malam ini?” Tama bertanya dengan dingin.
“Every body was happy, Tam. Memangnya lo enggak?” Sora berusaha tetap tenang meskipun aslinya dia gondok. Bete. Matanya sibuk melihat pemandangan dari kaca samping. Ya hanya gedung-gedung sih.
“Lo hepi karena Julian?”
“Maksudnya?” Perempuan itu menoleh dan Tama juga melakukan hal yang sama. Jadilah keduanya saling menatap sejenak. Mungkin sampai lima detik lamanya, sampai Sora memutus tautan itu lebih dulu. Sudah lama dia tidak berani membalas tatapan Tama.
“Lo senang dijodoh-jodohkan dengan dia? Sampai pak direktur juga hafal nama lo.”
“Biasa aja.”
“Tapi bukan itu yang gue lihat, Sora.”
Sora menoleh lagi. “Apa? Memangnya lo ngeliat apa?”
Tama menelan ludah. Tatapannya sudah kembali tertuju ke jalan lurus yang ada di depan. “Lo suka Julian," tembaknya tanpa basa-basi. Hal inilah yang sejak tadi bercokol dalam benaknya. Rasa penasaran itu sungguh tak terbendung.
Namun tebakannya malah membuat Sora melongo dan geleng-geleng kepala. Apa dasar Tama mengatakan kalau dia menyukai Julian? Apakah dia buta? Kenapa sih, Tama justru tidak bisa melihat jika dia lah pria yang Sora suka? Perempuan itu tidak tau harus menjawab apa. Berujung pada mendiamkan Tama dan tidak peduli jika laki-laki itu sedang menunggu jawabannya.
“Lo nggak bisa jawab. Berarti benar?” cecar Tama lagi beberapa detik kemudian.
“Terserah lo mikirnya gimana.”
Tama geram. Oh Tuhan! Benar-benar, suasana hatinya sedang kacau. Apapun jawaban Sora, sepertinya akan tetap salah di matanya. Come on, Tama! Lo nggak bisa bawa dia ke ranjang lagi! Ingat cewek lo!
Keheningan di dalam mobil akhirnya mendominasi sampai mobil itu tiba di apartemen. Tiga puluh menit saling berdiam diri, berhasil membuat keduanya sama-sama tenang dan kembali cooling down. Seperti Sora yang tetap menunggu Tama selesai mengunci pintu mobil demi masuk bareng ke dalam lift. Tidak ada maksud lain. Hanya sebuh bentuk tata kerama sebagai seseorang yang sudah menumpang pulang dengan orang lain.
Tama berdiri di tengah-tengah lift dan Sora memilih agak mundur di belakangnya. Semacam punya alergi kalau dia terlalu dekat dengan laki-laki ini. Tama sendiri mengawasi gerak-gerik Sora dari bayangan yang terpantul di pintu lift.
Hanya sebentar, pintu baja itu kembali terbuka. Tama melangkahkan kakinya keluar. Sora juga. Perempuan itu mulai merogoh saku tasnya untuk mencari kunci.
Namun, hingga tiba di depan unit apartemennya, dia tidak menemukan benda tersebut. Apakah tercecer? Tapi seingatnya tadi, dia tidak mengeluarkan apapun dari dalam tas selain ponsel. Bagaimana caranya tercecer??
“Lo nyari ini?”
Wajah Sora berpaling ke samping, ke arah Tama yang sedang memainkan kunci kamar yang sejak tadi dia cari.
“Lo?!” hardiknya spontan.
Tama memasukkan kembali benda itu ke dalam saku dan membuka pintu kamarnya sendiri.
“Masuklah, kalau lo mau kunci lo balik,” ujarnya sebelum menghilang di balik pintu. Kemudian tidak ada bunyi kuncian yang terdengar dari dalam. Itu artinya dia mengharapkan Sora masuk, seperti yang dia perintahkan.
Sora Abigail terpaku di posisinya. Apa maksud Tama melakukan ini? Apa yang dia rencanakan dengan mengajak Sora masuk ke dalam? Tingkahnya sangat aneh. Seperti tadi, dia juga memaksa memaksa gadis itu pulang dengannya di depan banyak orang. Apa dia tidak takut akan ada gosip yang muncul nanti? Untuk apa juga dia bertanya-tanya soal Julian?
Tidak. Sora tidak akan melakukan kesalahan dengan masuk ke dalam apartemen keramat ini. Tidak perlu repot-repot mempertimbangkan, karena dilihat dari segi apapun, ini jelas salah. Maka, Sora tidak akan mempersulit dirinya. Dia tau pihak apartemen pasti punya kunci cadangan. Perempuan itu kembali menggerakkan kakinya dan berjalan ke arah lift.
Dia tidak tau kalau Tama sedang menunggunya di balik pintu. Laki-laki itu tidak merencanakan apapun. Hanya ingin bersama Sora dan merasakan ketenangan yang dia dapatkan setiap kali Sora ada di dekatnya. Seperti yang dulu-dulu. Dan dia harus kecewa mendengar langkah Sora yang semakin menjauh dari pintu. Dia benar-benar bukan lagi Sora yang dulu.
Sudah pasti.
***
Tidak berapa lama kemudian, Sora kembali dengan kunci baru dalam genggamannya. Dia bersyukur pihak manajemen percaya kalau benda itu benar-benar hilang. Ya, walaupun harus dikenai sanksi membayar sekian rupiah terlebih dahulu. Tapi tidak apa, asal tidak harus masuk ke kamar Tama saja.
Namun dia lupa kalau laki-laki itu bisa saja nekat. Karena, setelah berhasil membuka pintu, sosok yang ingin dia hindari itu sudah duduk di sofanya. Sudah berganti pakaian dan… sudah tampan.
“Lo mau ngapain sih, Tammmmm? Heran.” Perempuan itu bertanya dengan nada sedikit frustasi lantaran tidak tau harus berbuat apa lagi. Masak iya harus mengusir teman sendiri?
“Gue mau ngobrol sama lo doang, Sora. Keberatan?”
Entah kenapa hati Sora mendadak sakit mendengar itu. Apalagi melihat raut wajah Tama yang membuatnya langsung iba. Apakah dia terlalu jahat?
“Lo bukan cowok singgel. Ingat prinsip gue ‘kan?” Tapi tetap saja harus diingatkan barang kali Tama lupa. Sora masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Dia perlu berganti pakaian. Selama berada di dalam kamar, Tama tidak menjawab apapun. Sampai dia kembali keluar untuk meletakkan baju kotor di tempat yang semestinya, laki-laki itu masih diam.
“Lo bilang kita masih berteman meskipun gue dengan Giselle.”
Langkah Sora berhenti saat posisinya masih membelakangi sofa.
“Tapi dua bulan ini lo menjauh dari gue. Bukan hanya lo. Semua orang menjauh seakan-akan gue adalah pendosa berat hanya karena jatuh cinta sama seorang perempuan.”
What? Apakah Tama datang ke sini hanya untuk menyalahkan dia dan teman-temannya yang lain? Sungguh!
“I feel lonely, Ra. Gue merasa terasing sekalipun sedang berada di tengah-tengah kalian. Tadi kalian semua tertawa-tawa dan tidak sedikitpun mengingat gue. Why?"
Sora membuka keranjang pakaian kotor dan memasukkan kemeja serta rok bahan yang tadi dia pakai. Kemudian berbalik lagi. Hufft. Sudah sempat mengira Tama datang ke sini untuk berbicara baik-baik dengan dirinya. Ternyata tidak. Dia hanya menuntut penjelasan kenapa semua orang terkesan menjauh. Ck! Untung saja level ge-er Sora tidak separah itu.
“Kalau lo tanya gue, itu karena gue nggak nyaman masih dikait-kaitkan sama lo. Gue menghargai pacar lo, Tam. Jadi, gue prefer mengambil jarak. Itu aja. Gue malas berurusan dengan hubungan orang lain. Tapi kalau soal anak-anak yang lain, gue nggak tau.” Sora menjelaskan dengan tegas. Masih berdiri menghadap Tama, dengan posisi sekitar dua meteran.
Tama menatapnya dalam. Oh, Sora sungguh rindu menikmati wajah tampan ini dari jarak dekat. Tapi sudah tentu sekarang tidak bisa lagi.
“Lo nggak nyaman dikait-kaitkan sama gue, tapi lo blushing, lo salah tingkah saat semua orang menjodoh-jodohkan lo dan Julian.” Tama mengingatkan bagaimana wajah bersemu Sora sepanjang acara tadi.
“Out of topic, Tam. Udah ‘kan? Lo ke sini cuma mau tau alasan gue jaga jarak doang ‘kan?” Sora berharap Tama mengerti arti kalimatnya. Maksudnya, keluar, sekarang.
Tama bangkit dari sofa. Tanpa ada aba-aba, menubruk Sora yang kurang persiapan. Bukan hanya dada mereka yang saling menyatu, namun bibir juga. Memang itulah yang ditargetkan Tama sejak tadi.
Sora tersadar dan langsung berontak. Dia marah karena Tama seenaknya. Sekuat tenaga melepaskan diri dari pelukan dan ciuman laki-laki itu, sambil memukuli dadanya. Berhasil? Tentu tidak. Tama malah semakin memojokkan dirinya ke tembok. Menekan seluruh tubuhnya ke tubuh wanita yang sudah dia angkat kedua tangannya.
Air mata Sora berjatuhan karena merasa sakit hati. Kenapa Tama begini? Setelah dia dibuang dan lebih memilih perempuan lain, kenapa sekarang bersikap seperti ini? Apa maksudnya?
Sudah pasti Tama merasakan isakan Sora. Ciuman kasar pria itu perlahan melembut sampai akhirnya berhenti. Meski demikian, Sora belum bisa bergerak karena tangannya masih berada di atas kepala. Sekarang dia bisa melihat laki-laki brengsek itu dari jarak yang begitu dekat karena hidung mereka masing saling menempel.
"I feel lonely, Ra. Gue kesepian." Tama mengadu tentang kesepian yang benar-benar dia alami belakangan. Dia ingin Sora kembali menjadi temannya.
Tidak ada jawaban dari Sora. Gadis itu masih menangis dalam diam. Air matanya masih meleleh, pertanda hatinya sedang sangat sakit.
"Please, kembali jadi teman gue. Gue kesepian nggak ada lo, Ra." Tama kembali menyesap bibir Sora dengan sedikit emosional. Sampai-sampai perempuan itu menggeram lantaran perih.
"Teman seperti apa yang lo maksud, Tam? Yang akan tetap lo peluk, cium, bahkan lo bawa ke atas ranjang?" Sora bertanya dengan sarkas. "Kalau lo masih kayak gini ke gue, cinta lo ke Giselle patut dipertanyakan, Tama!"
Tama mengakui ucapan Sora benar. Separuh jiwa dan raganya masih ingin bersama wanita ini. Persis seperti dulu.
"Gue hanya ingin temen gue balik. Dan lo juga nggak hanya menghindari gue, tapi Giselle juga. Axel, Jo, Kayla juga sama. Sebenarnya apa yang membuat kalian menjauhi kami berdua? Hm? Apakah Giselle pernah menyakiti kalian?"
...
"Setidaknya, kalau kalian tidak bisa menerima gue, tolong bertemanlah dengan Giselle. Dia anak yang baik."
***