NovelToon NovelToon
CINTA ANTARA DUA AGAMA

CINTA ANTARA DUA AGAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: MUTMAINNAH Innah

Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

33

Jika dia serius denganku. Kesempatan yang diberikan abi padanya nggak mungkin disia-siakannya. Dan jika keinginannya sungguh-sungguh ingin menikah denganku, dia tak perlu menghapus semua akun media sosialnya hingga jejaknya saja kini tak bisa lagi kulihat."

"Maaf, Bang. Ada baiknya obrolan difokuskan saja pada hubungan abang dan Nayla. Semua itu masa lalu yang sudah terjadi. Semua orang punya masa lalu tak terkecuali abang. Maaf aku ikut menasehati." Baru kali ini kulihat Aisyah bicara serius dengan Pak Rahman. Sebelumnya mereka selalu bercanda di setiap kebersamaan yang sering kulihat.

"Sebentar," ucapnya tanpa merespon nasehat adiknya.

Pak Rahman mengeluarkan ponselnya lalu menelepon seseorang.

"Waalaikum salam, sudah di mana, Bi?" tanyanya.

Sepertinya Pak Rahman menelepon Pak Yahya. Ada apa ini? Kenapa kali ini melibatkan Pak Yahya? Apa Pak Rahman curiga padaku yang masih belum bisa sepenuhnya melupakan masa lalu?

"Kita tunggu abi sebentar nggak apa-apa, ya?" tanyanya padaku.

Aku hanya mengangguk sambil memperhatikan sekeliling ruangan ini. Di salah satu meja kulihat ada novelku. Katanya tadi sudah menamatkan cerita itu. Tetapi dia masih membawanya.

"Pak," panggilku ragu.

"Ya," sahutnya.

"Maaf sebelumnya, ada yang ingin kutanyakan juga." Akhirnya aku memberanikan diri.

Sepertinya jika bukan aku yang bertanya, dia juga tidak akan mengatakannya. Ataukah mungkin dia ingin aku juga menanyakan hal yang sama tentang keputusannya.

"Apakah setelah pertemuan terakhir kita waktu itu bapak juga melakukan salat istiqarah?" tanyaku.

"Ya," ucapnya sambil menautkan tangan. Lalu bagaimana? Apakah mantap untuk melanjutkan atau sebaliknya?" tanyaku.

Suasana benar-benar menjadi sangat hening. Hanya kicauan burung saja yang terdengar dari luar sana.

"Bagaimana jika aku menjawabnya di depan abi nanti? Sebentar lagi abi akan sampai," pintanya.

Perasaanku mulai nggak enak. Kenapa harus di depan Pak Yahya dia menjelaskan semuanya? Padahal kemaren hanya ditemani Aisyah saja.

"Abang, ada apa? Kenapa harus ada abi?"

Aisyah mewakili pertanyaanku. Sepertinya dia juga penasaran akan hal itu.

"Itu lebih baik, Aisyah. Agar ada penengah," sahut Pak Rahman.

"Penengah? Untuk apa?" tanyaku semakin penasaran.

"Untuk menasehati kita berdua," sahutnya lagi.

Aku dan Aisyah saling pandang. Mungkin

Dia juga tidak mengerti maksud Pak Rahman, sama sepertiku.

Dalam keheningan itu, terdengar suara mobil abi yang langsung parkir di depan kantor. Kami semua serentak menoleh. Terlihat abi turun dari mobilnya dan berjalan ke arah kantor.

"Assalamualaikum," uap Pak Yahya dengan senyumnya yang teduh.

"Waalaikumsalam," sahut kami semua serentak.

Pak Yahya langsung duduk bergabung bersama kami.

"Bagaimana Nayla? Sudah ada keputusannya?" tanya Pak Yahya setelah kami sedikit berbasa-basi.

"Inysa Allah, aku siap, Pak. Tetapi Pak Rahman belum menjawab pertanyaanku. Kata beliau tunggu Bapak dulu," terangku.

"Jadi begini, pernikahan itu hendaknya hanya sekali. Maksudnya, setelah pernikahan jangan ada perceraian karena Allah sangat membenci itu. Dan dalam menentukan pilihan, kita dianjurkan melakukan salat istiqarah untuk memantapkan hati. Jika hati tidak mantap rasanya untuk melanjutkan, tidak ada paksaan dalam menikah, karena menikah itu karena Allah. Untuk mencari ridho Allah. Jika rasanya hati berkata tidak, ya katakan sejujurnya," papar Pak Yahya.

Astagfirullah, aku merasa bersalah. Bagaimana bisa aku mengatakan siap sementara hatiku sendiri sebenarnya berkata tidak. Walaupun sejak rapat tadi sudah ada benih yang mulai tumbuh, dan mungkin bisa berkembang. Tetapi aku tetap merasa jadi pembohong, sekalipun ini menurutku demi kebaikan.

Aku menatap Pak Yahya dan Pak Rahman bergantian. Mulai terpikir di benakku untuk jujur saja. Walaupun kini rasa itu mulai ada.

"Nayla," panggil Pak Rahman ketika aku hendak membuka mulut mengatakannya.

"Ya," sahutku.

Aku sudah siap dengan apa yang akan dikatakannya sekalipun dia nanti menebak perasaanku yang sesungguhnya.

"Tadi kukatakan jika aku sudah menamatkan bukumu. Entah kenapa di sana aku melihat ada keraguan. Ada penjelasan di sana jika kamu masih menunggunya," ucapnya. Aku tak berani menyangkap karena yang dikatakannya itu benar adanya. "Lalu aku mencoba untuk salat istiqarah, namun masih dilema. Aku melakukan salat bahkan sampai tujuh kali hingga akhirnya aku menemukan keputusan," sambungnya lagi sambil menghela napas panjang.

"Lalu, bagaimana keputusannya?"

tanyaku sudah tak sabar.

Sekilas aku sempat menatap Pak Yahya juga tetapi beliau memalingkan muka.

"Maaf sekali, Nayla. Dari hati yang terdalam dan dengan segala kerendahan hati, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius," ucapannya segera membuat syaraf-syaraf mataku bekerja.

Entah apa yang sebenarnya terjadi pada hatiku. Yang jelas di pelupuk mata ini kini terbendung air yang sudah bersiap untuk turun.

"Abang!" pekik Aisyah.

"Tidak apa, Aisyah," selaku sambil menatapnya yang ada di sampingku.

Ketika itu juga air mata ini tak terbendung lagi. Aku tersenyum dibalik cadarku sekalipun tidak ada satu orang pun yang bisa melhatnya. Air mata ini bukanlah air mata kesedihan. Ini hanyalah bentuk dari sedikit kekecewaan yang tiba-tiba terasa. Selebihnya adalah perasaan lega, dan mungkin bahagia.

Begitu indah cara tuhan memposisikan semuanya di kondisi terbaiknya. Andai dari mulutku keluarnya kata-kata itu, mungkin semua orang akan kecewa padaku. Dan aku tidak punya keberanian yang kuat untuk itu. Tetapi Pak Rahman sudah melakukannya. Dia sudah berhasil utnuk tidak membohongi dirinya sendiri dan semua orang yang ada di sekitarnya. Dia sudah menyelamatkan masa depan kami berdua.

"Aku benar-benar minta maaf, mungkin aku mengecewakanmu, Aisyah dan abi. Kuharap keputusanku ini tidak berdampak pada hubungan kita kedepannya, hubungan antara Ibu dan Aisyah, begitu juga persahabatan orang tua kita," paparnya lagi.

"Insha Allah tidak, semua akan baik-baik saja. Insha Allah," sahutku.

"Abang tega, padahal abang duluan yang jatuh cinta," sanggah Aisyah. Sepertinya dia masih berat menerima ini.

"Aisyah, tidak mudah menjalani kehidupan berumah tangga bersama seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya, kelak kamu akan mengerti," ucap Pak Rahman.

Aisyah tak mampu berkata-kata lagi.

Kubiarkan air mata yang jatuh ini kering sendiri diserap oleh kain penutup wajahku.

Aku tak ingin Pak Rahman mengetahui ini.

Aku tak ingin ada kesalah pahaman karena ini. Aku tak ingin semua yang ada di sini tahu jika apa yang di katakan Pak Rahman itu benar. Aku belum sepenuhnya lepas dari masa laluku.

"Terimakasih, Nak. Kamu bijak sekali. Pantas orang tuamu begitu bangga padamu. Bapak juga turut minta maaf padamu karena kamilah yang menjodohkan kalian. Namun berjodoh atau tidaknya, itu semua tetaplah pada takdir Tuhan." Pak Rahman memecah keheningan.

"Aku juga berterima kasih, Pak. Pertama, sudah diterima menjadi bagian keluarga di sekolah ini yang mungkin ada kaitannya juga dengan perjodohan ini sehingga aku sekarang berada di sini. Dan yang kedua, atas perjodohan ini, yang sudah mendekatkanku pada Pak Rahman, Aisyah dan Bapak sendiri, serta yang terakhir atas segala-galanya yang kudapat selama di sini mulai dari ilmu, keluarga baru dan jabatan sebagai pembina asrama juga."Aku mencoba mencairkan suasana. Agar Pak Rahman tidak terkesan terlalu bersalah.

"Nay, aku juga minta maaf, tetaplah jadi sahabat baikku walaupun kita gagal menjadi ipar." Dia lalu memelukku. Aku membalas serta yang terakhir atas segala-galanya yang kudapat selama di sini mulai dari ilmu, keluarga baru dan jabatan sebagai pembina asrama juga."Aku mencoba mencairkan suasana. Agar Pak Rahman tidak terkesan terlalu bersalah.

"Nay, aku juga minta maaf, tetaplah jadi sahabat baikku walaupun kita gagal menjadi ipar." Dia lalu memelukku. Aku membalas pelukannya. Kudengar lirihan tangisnya di ujung telingaku.

Terimakasih ya Allah. Walaupun rasa yang baru saja ada itu kini dipatahkannya. Tetapi aku sangat bahagia, karena aku tidak ingin pernikahanku diawali dengan kebohongan hati. Patah ini akan segera kuperbaiki. Insha Allah, tidak akan memakan waktu lama.

1
Mugiya
mampir
Nha: oke kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!